Jumat, 15 Januari 2021

Pink Floyd, Ki Hadjar Dewantara, dan Pendidikan

Oleh: Eko Santosa

We don’t need no education

We don’t need no thought control

No dark sarcasm in the classroom

Teachers, leave them kids alone

Hey, Teachers, leave those kids alone

All in all its just another brick in the wall

All in all you’e just another brick in the wall

(Pink Floyd, Another Brick in The Wall Part 2)


Pink Floyd adalah band rock progresif asal London yang ditubuhkan pada tahun 1965. Personil band ini terdiri dari Syd Barrett, Nick Mason, Roger Waters, Richard Wright dan bergabung terakhir David Gilmour. Mereka pertama kali mengusung aliran
psychedelic dan kemudian beralih ke progresif serta sering memproduksi album berkonsep di mana cerita atau basis pemikiran/filosofi terangkai mulai dari lagu awal sampai lagu terakhir. Salah satu album konsep yang terkenal adalah The Wall yang diproduksi tahun 1979. Konsep dasar album ini berkaitan erat dengan teori psychodynamic mengenai relasi objek yang fokus membahas tentang kemampuan dan ketidakmampuan individu dalam membangun relasi yang sehat dan dewasa dengan lingkungannya (Phil Rose, 2015:89).

Secara keseluruhan, album The Wall memang menggambarkan problematika kejiwaan seseorang yang menemui banyak hambatan berinteraksi dengan lingkungan secara sehat karena berbagai sebab. Sebab yang sangat berpengaruh selain perang dan politik adalah pendidikan. Secara khusus, album ini menggambarkan pentingnya pendidikan bagi kejiwaan seseorang dalam lagu Another Brick in The Wall Part 1, 2, dan 3. Lagu yang dicipta dalam 3 seri ini menggambarkan situasi, kondisi, dan akibat yang didapatkan seseorang melalui perjalanan pendidikan di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Keterkaitan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat, seperti konsepsi lagu Another Brick in The Wall, dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui Tri Pusat Pendidikan. Melalui konsep ini Ki Hadjar mengemukakan peran utama keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai motor dalam membentuk karakter dan mentalitas anak. Oleh karena itu, pendidikan karakter akan berjalan dengan baik ketika terjadi harmoni dalam ketiga aspek tersebut. Namun demikian, tidak jarang terdapat perilaku anak usia sekolah yang dapat dikategorikan sebagai di luar kontrol. Hal ini terjadi karena tidak adanya harmoni dalam pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat (Yamin, 2009:184).

Ketakharmonisan keluarga, sekolah, dan masyarakat inilah yang diungkap oleh Pink Floyd. Seturut analisis Phil Rose (2015:89-150) mengenai album The Wall, problematika yang terjadi di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat benar-benar mempengaruhi hidup seseorang yang dalam seri lagu Another Brick in The Wall digambarkan sebagai sosok soliter, antisosial, dan senantiasa membangun tembok diri. Pembangunan tembok ini sebelum menjadi kehendak terlebih dahulu dimulai dari kegagalan keluarga dalam membimbing anak untuk menghadapi persoalan kehidupan nyata. Dalam syair lagu bagian 1 dituliskan sebuah keluarga broken di mana si Ayah pergi dan tidak meninggalkan apa-apa selain secuil foto kenangan ketika mereka masih bersama. Kondisi ini bagi si Anak merupakan salah satu bata dalam tembok yang disusun seolah membentengi diri dari kesalahan berkeluarga (dunia di luar diri). Analisis Phil Rose menjelaskan bahwa dalam video yang dibuat oleh Pink Floyd untuk lagu tersebut menggambarkan si Ibu menyesali kepergian si Ayah, namun dalam waktu yang sama ia berperan seolah-olah tidak terjadi apa-apa di depan si Anak. Bahkan, ia justru selalu berusaha melindungi anaknya dari kesedihan akibat kepergian si Ayah dan tidak memberikan pemahaman bahwa setiap masalah yang ada dan terjadi mesti dihadapi, diurai sebab-akibatnya, diselesaikan, dijadikan pelajaran, dan dengan itu hidup mesti terus berlanjut. Penggambaran ini hendak menyatakan bahwa sejak saat itu terjadilah kerenggangan hubungan jiwa yang dirasakan Anak terhadap Ibunya, setelah sebelumnya jelas terjadi dengan sosok Ayah. Mulai dari kondisi inilah perkembangan kejiwaan si Anak tidak utuh karena seolah sengaja dipisahkan dari persoalan hidup sesungguhnya.