Oleh: Eko Santosa
We don’t need no education
We don’t need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teachers, leave them kids alone
Hey, Teachers, leave those kids alone
All in all its just another brick in the wall
All in all you’e just another brick in
the wall
(Pink Floyd, Another Brick in The Wall Part 2)
Pink Floyd adalah band rock progresif asal London yang ditubuhkan pada tahun 1965. Personil band ini terdiri dari Syd Barrett, Nick Mason, Roger Waters, Richard Wright dan bergabung terakhir David Gilmour. Mereka pertama kali mengusung aliran psychedelic dan kemudian beralih ke progresif serta sering memproduksi album berkonsep di mana cerita atau basis pemikiran/filosofi terangkai mulai dari lagu awal sampai lagu terakhir. Salah satu album konsep yang terkenal adalah The Wall yang diproduksi tahun 1979. Konsep dasar album ini berkaitan erat dengan teori psychodynamic mengenai relasi objek yang fokus membahas tentang kemampuan dan ketidakmampuan individu dalam membangun relasi yang sehat dan dewasa dengan lingkungannya (Phil Rose, 2015:89).
Secara keseluruhan,
album The Wall memang menggambarkan problematika kejiwaan seseorang yang
menemui banyak hambatan berinteraksi dengan lingkungan secara sehat karena
berbagai sebab. Sebab yang sangat berpengaruh selain perang dan politik adalah
pendidikan. Secara khusus, album ini menggambarkan pentingnya pendidikan bagi
kejiwaan seseorang dalam lagu Another Brick in The Wall Part 1, 2, dan
3. Lagu yang dicipta dalam 3 seri ini menggambarkan situasi, kondisi, dan
akibat yang didapatkan seseorang melalui perjalanan pendidikan di dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keterkaitan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat, seperti konsepsi lagu Another Brick in The Wall, dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui Tri Pusat Pendidikan. Melalui konsep ini Ki Hadjar mengemukakan peran utama keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai motor dalam membentuk karakter dan mentalitas anak. Oleh karena itu, pendidikan karakter akan berjalan dengan baik ketika terjadi harmoni dalam ketiga aspek tersebut. Namun demikian, tidak jarang terdapat perilaku anak usia sekolah yang dapat dikategorikan sebagai di luar kontrol. Hal ini terjadi karena tidak adanya harmoni dalam pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat (Yamin, 2009:184).
Ketakharmonisan
keluarga, sekolah, dan masyarakat inilah yang diungkap oleh Pink Floyd. Seturut
analisis Phil Rose (2015:89-150) mengenai album The Wall, problematika
yang terjadi di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat benar-benar
mempengaruhi hidup seseorang yang dalam seri lagu Another Brick in The Wall
digambarkan sebagai sosok soliter, antisosial, dan senantiasa membangun tembok
diri. Pembangunan tembok ini sebelum menjadi kehendak terlebih dahulu dimulai
dari kegagalan keluarga dalam membimbing anak untuk menghadapi persoalan
kehidupan nyata. Dalam syair lagu bagian 1 dituliskan sebuah keluarga broken
di mana si Ayah pergi dan tidak meninggalkan apa-apa selain secuil foto
kenangan ketika mereka masih bersama. Kondisi ini bagi si Anak merupakan salah
satu bata dalam tembok yang disusun seolah membentengi diri dari kesalahan
berkeluarga (dunia di luar diri). Analisis Phil Rose menjelaskan bahwa dalam
video yang dibuat oleh Pink Floyd untuk lagu tersebut menggambarkan si Ibu menyesali
kepergian si Ayah, namun dalam waktu yang sama ia berperan seolah-olah tidak
terjadi apa-apa di depan si Anak. Bahkan, ia justru selalu berusaha melindungi
anaknya dari kesedihan akibat kepergian si Ayah dan tidak memberikan pemahaman
bahwa setiap masalah yang ada dan terjadi mesti dihadapi, diurai sebab-akibatnya,
diselesaikan, dijadikan pelajaran, dan dengan itu hidup mesti terus berlanjut. Penggambaran
ini hendak menyatakan bahwa sejak saat itu terjadilah kerenggangan hubungan
jiwa yang dirasakan Anak terhadap Ibunya, setelah sebelumnya jelas terjadi
dengan sosok Ayah. Mulai dari kondisi inilah perkembangan kejiwaan si Anak tidak
utuh karena seolah sengaja dipisahkan dari persoalan hidup sesungguhnya.