Tinjauan Umum Gaya Pementasan Parade
Teater Jawa Timur 2018
Oleh: Eko Santosa
(Artikel ini dimuat dengan judul, “Gaya Pementasan Parade Teater Jawa Timur 2018”, di Cak Durasim Majalah Seni Budaya Jawa Timur, Edisi 7 September 2018)
Parade Teater Jawa Timur diselenggarakan
oleh Taman Budaya Jawa Timur pada tanggal 23-25 Agustus 2018. Selama 3 malam
digelar 9 pementasan dari sanggar, komunitas atau perkumpulan teater di Jawa
Timur dan salah satunya dari Sulawesi Tenggara. Ragam ekspresi artistik
ditampilkan dalam agenda ini dan mampu menyedot animo masyarakat penggemar
teater. Hampir setiap malam venue
dipenuhi oleh penonton. Setiap penyajian memiliki daya tarik tersendiri untuk
diapresiasi dan tulisan singkat ini merupakan tinjauan umum terhadap gaya
pementasan dari seluruh penyaji Parade Teater Jawa Timur 2018. Tinajuan gaya
ini menggunakan pandangan McTigue (1992) yang membagi gaya teater menjadi 3
besaran yaitu presentasional, representasional, dan pasca realis. Pementasan
teater selalu saja memiliki hal-hal menarik untuk dicermati terutama
keterkaitannya dengan budaya di mana teater itu tumbuh berkembang. Lev-Aladgem
(dalam Santosa, 2014) menyatakan bahwa teater tidak pernah memiliki persepsi yang
tetap dan stabil. Definisi teater selalu hanya bisa dibatasi oleh sosio-budaya
dan selalu terbuka secara konsisten terhadap tantangan. Oleh karena itu,
pemaknaan gaya dalam tinjauan ini juga mempertimbangkan kemungkinan
keterlibatan sosio-budaya di mana teater itu tumbuh.
1. Presentasional
Gaya
presentasional dapat disejajarkan dengan gaya teater konvensional atau klasik.
Gaya ini biasanya digunakan oleh teater tradisional di mana ciri utamanya
adalah pertunjukan memang dipersembahkan kepada penonton sehingga tidak perlu dibangun
dinding imajiner. Ciri lainnya adalah penggunaan kalimat dialog puitik. Teater
Tombo Ati (TTA) dari Jombang menampilkan gaya ini melalui lakon “Wiruncana
Murca”, sutradara Fandi Ahmad. Tata panggung, busana, dan musik ilustrasi menandakan
kemewahan dari gaya ini. TTA cukup bagus dalam menyajikan lakon penggalan cerita
Panji terutama ilustrasi musik yang mengena. Setiap sisi konvensi itu coba
ditampilkan. Adegan pembuka dengan sesaji dan dalang, tarian awal dan akhir, dagelan
hingga ke akhir lakon tersaji mulus. Komposisi tari, penggunaan kalimat dialog
puitis, dan dagelan yang mengalir menjadi penanda kuatnya teater konvensional.
Namun kekuatan konvensi ini sekaligus melemahkannya. TTA kurang
mempertimbangkan durasi sehingga banyak adegan yang ditampilkan kurang efektif.
Dalang yang keluar-masuk di dalam adegan pokok sebenarnya tidak terlalu
diperlukan jika karakter Bancak dan Doyok bisa dibatasi secara ketat durasinya.
Selain itu karakter dagelan juga sering menyela pada saat adegan krusial. Tentu
saja hal ini menjadi masalah dalam durasi pendek. Sementara adegan-adegan
penting justru diperingkas, misalnya adegan perang gagal, Wiruncana berguru
serta prosesi sayembara hingga terbukanya diri pribadi sang Panji. Mengingat
laku cerita yang tidak terlalu dramatik, peringkasan adegan ini menghilangkan
daya klimaks lakon.
Dari sisi keaktoran yang cenderung tipikal (khas teater presentasional) semua berjalan seperti arahan. Torso, gestur, gestikulasi menjadi penanda akan hal ini. Namun sayang, penentuan posisi three-quarter para aktor saat adu tangkas memanah justru melemahkan adegan krusial tersebut. Lain halnya jika posisi arah hadap one-quarter yang diambil sehingga ekspresi wajah dan torso aktor ketika memanah dapat disaksikan penonton (mengenai efektivitas penentuan arah hadap pemain dapat dilihat dalam, Snyder dan Drumsta, 1986). Jika saja durasi diperpanjang kemungkinan ekspresi artistik gaya presentasional dari TTA ini bisa lebih maksimal. Namun perlu juga dipetik satu kebijaksanaan bahwa tampil dalam parade atau festival semestinya berbeda dengan tampil dalam produksi mandiri. Untuk itu diperlukan kecermatan penyusunan adegan.
Dari sisi keaktoran yang cenderung tipikal (khas teater presentasional) semua berjalan seperti arahan. Torso, gestur, gestikulasi menjadi penanda akan hal ini. Namun sayang, penentuan posisi three-quarter para aktor saat adu tangkas memanah justru melemahkan adegan krusial tersebut. Lain halnya jika posisi arah hadap one-quarter yang diambil sehingga ekspresi wajah dan torso aktor ketika memanah dapat disaksikan penonton (mengenai efektivitas penentuan arah hadap pemain dapat dilihat dalam, Snyder dan Drumsta, 1986). Jika saja durasi diperpanjang kemungkinan ekspresi artistik gaya presentasional dari TTA ini bisa lebih maksimal. Namun perlu juga dipetik satu kebijaksanaan bahwa tampil dalam parade atau festival semestinya berbeda dengan tampil dalam produksi mandiri. Untuk itu diperlukan kecermatan penyusunan adegan.
2. Representasional
Istilah lain untuk representasional dan
umum diketahui adalah realisme. Di dalam gaya ini, dinding imajiner sengaja
diciptakan untuk memisahkan dunia penonton dan panggung. Aktor saling bermain
di antara mereka dan dialog menggunakan bahasa sehari-hari untuk menambah kesan
nyata. Teater Ganda Gong (TGG) Sulawesi Tenggara dan Teater Racun Tikus (TRT)
STKW Surabaya menampilkan gaya ini dan menarik untuk dicermati. TGG hadir
dengan cerita “Orang Pinggiran”, sebuah cerita sederhana tentang pertemanan,
cinta segit tiga, dan akhir yang memilukan, disutradarai oleh Al Galih. Lakon
ini disajikan secara bersahaja dengan menempati area panggung depan tengah dan
komposisi triangular di mana fokus
permainan mudah diperoleh (lih.,
Groote, 1997) sehingga memudahkan pengarahan. Memang seperti itulah yang
terjadi, cerita mengalir melalui dialog para tokoh dan pesannya mudah
ditangkap. Jika saja dialog para pemeran tak terucap patah-patah (seperti masih
sedang menghafal teks), konflik tak tunggal, dan penyelesaian sedikit mengambil
jalan melingkar (tidak langsung diputuskan membunuh antagonis), maka estetika
drama realis dapat menemukan maknanya.