Kamis, 11 Februari 2021

Berbeda dan Sama

 Oleh: Eko Santosa

Perbedaan adalah keniscayaan. Umat manusia semestinya merayakan perbedaan ini. Tidak perlu paksaan atau pemaksaan untuk mempersamakan, karena memang perbedaan itu nyata dan mesti diterima. Manusia yang tinggal di gunung berbeda budaya dengan yang tinggal di pesisir dan yang tinggal di kota berbeda gaya hidup dengan yang tinggal di desa. Sementara di sisi lain, semua orang harus pula menerima pandangan bahwa semua manusia adalah sama, sama-sama makhluk yang tinggal di dunia. Jadi, pada satu sisi perbedaan adalah keniscayaan dan di sisi lain seluruh manusia adalah sama. Satu kondisi yang cukup membingungkan.

Rupa-rupanya keberbedaan dan kebersamaan ini dapat diulik melalui mazhab pemikiran evolusionis dan difusionis dalam antropologi. Ryzard Kapuscinski (2012) menjelaskan bahwa dua hal yang saling bertentangan tersebut sejatinya tetap eksis hingga hari ini meskipun dengan nama atau penyebutan yang berbeda-beda. Selanjutnya, Kapuscinski menjelaskan bahwa kaum evolusionis berkeyakinan bahwa perjalanan hidup semua manusia akan mengarah pada kemajuan. Manusia akan berkembang mulai dari tingkat paling primitif hingga sampai tingkat tertinggi dan beradab. Atas dasar pendapat ini, maka semua manusia akan mengalami perkembangan kemajuan yang sama. Hanya soal waktu yang membedakan, namun pada akhrinya yang tertinggal akan mengikuti jejak yang sudah maju. Kaum evolusionis juga meyakini adanya kesatuan psikologis umat manusia. Oleh karenanya, kesatuan dan perpaduan umat manusia adalah niscaya sebagaimana halnya sebuah keluarga. Semuanya adalah warga dunia sehingga setiap orang adalah sama. Secara gamblang, kaum evolusionis merupakan globalis (Kapuscinski, 2012: 39).

Sementara itu, kaum difusionis berpendapat bahwa berbagai macam peradaban dan budaya telah ada dan akan tetap ada di dunia ini. Perkembangan ragam budaya ini bergantung pada tempat dan waktu yang mana pada saatnya saling berkontak sehingga terjadilah peleburan, penggabungan, dan pertukaran satu sama lain. Kaum difusionis menghargai keberbedaan budaya dan perkembangannya yang lahir atas peristiwa saling kontak semacam ini. Secara gamblang, kaum difusionis merupakan anti-globalis karena mereka memandang orang lain (the other) bukan sebagai masyarakat manusia yang homogen dan identik. Oleh karena itu, manusia sebagai masyarakat dunia memiliki keberbedaan, multi-warna, multi-bahasa, dan masing-masing kelompok hidup terpisah dan menentukan jalan perkembangannya sendiri-sendiri (Kapuscinski, 2012:40).

Eksistensi dua mazhab ini, jika diamati memang mengitari kehidupan manusia dewasa ini. Satu sisi keberbedaan memiliki nilai tinggi yang mesti dijunjung, namun di sisi lain kemajuan global mesti pula diamini. Analogi paling gampang untuk kondisi ini adalah; suku bangsa yang berbeda, bahasa yang berbeda, norma budaya yang berbeda namun menggunakan satu perangkat komunikasi yang sama yaitu smartphone. Dalam pandangan manusia modern hingga hari ini, jika ada masyarakat yang belum mengenal dan menggunakan smartphone, maka akan disebut masyarakat tertinggal dan pada waktunya (dengan rayuan teknologi, psikologi, dan ekonomi) pasti akan menggunakan perangkat komunikasi yang sama.

Penyamaan atas nama kemajuan hidup dalam bidang apapun selalu terjadi di tengah keberbedaan yang mesti dipelihara. Namun dalam bidang sains, penyamaan ini tak terhindarkan, bahkan cenderung dipaksakan. Ilmu pengetahuan yang tak bisa diukur secara sains modern dianggap tak sah dan oleh karenanya mesti ditinggalkan. Apapun keyakinan dan kepercayaan manusia dewasa ini, pandangan tentang bumi datar yang dilingkupi kubah langit mesti dkubur karena sains modern menyatakan bahwa bumi bulat. Fritjof Capra, dalam Kearifan Tak Biasa (2002) mencoba mengkritisi hal ini dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berdasar pengalaman nyata yang dilakukan bertahun-tahun lebih sahih daripada ilmu pengetahuan yang diperoleh di laboratorium. Ia menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai tanda-tanda alam tentang arah dan cuaca yang dimiliki oleh nelayan lebih berharga daripada stasiun cuaca. Namun toh hal ini tetap saja tidak berlaku karena masyarakat secara luas telah dibiasakan untuk lebih percaya kepada stasiun cuaca, meskipun prediksinya sering meleset.

Hal yang sama dikeluhkan oleh Benjamin Franklin (dalam Naomi, 1998) mengenai pendidikan modern di mana ilmu pengetahuan yang diberikan di kelas hanya memiliki satu pandangan dan mengesampingkan ilmu pengetahuan lokal seberguna apapun ilmu lokal itu. Dalam tuturannya, Franklin menjelaskan bahwa anak-anak Indian, pada abad 18, yang dikirim untuk bersekolah di kota dengan pendidikan model Barat setelah kembali pulang ke desanya justru semakin bodoh karena mereka sama sekali tidak bisa berlari, menahan dingin, bertahan dari serangan musuh, menarikan tarian pemikat perempuan dan tidak bisa berburu. Artinya, anak-anak tersebut tak bisa lagi bertahan dan melanjutkan hidup dengan cara Indian. Atas kejadian tersebut, para kepala suku meminta pemerintah gantian mengirimkan anak-anak kota untuk dididik cara hidup Indian. Namun tentu saja permintaan tersebut tidak dikabulkan.

Dari keluh kesah Capra dan Franklin tersebut dapat sedikit ditarik pelajaran bahwa memang ada gelombang globalisasi yang menempatkan manusia dalam satu ikatan psikologis yang menyajikan perkembangan untuk mengarah pada kemajuan yang sama. Tentu saja masih banyak contoh-contoh lain mengenai hal ini. Namun intinya adalah, di antara keberbedaan yang mesti dihargai dalam hidup ini, ada terdapat gelombang besar yang mengarahkan manusia pada satu kemajuan yang sama. Pada akhirnya, sangat tergantung dari posisi individu atau sekelompok manusia untuk berdifusi atau berevolusi atau mungkin ada kesepakatan dan kesempatan tak terduga di mana keduanya dapat berjalan bersama-sama.(**)

WFH/O, 110221

 

Bacaan:

Capra, Fritjof. 2002. Kearifan Tak Biasa Percakapan Dengan Orang-orang Luar Biasa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Kapusciski, Ryszard. 2012. The Other. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Naomi, Omi Intan, Ed. 1998. Menggugat Pendidikan Fundamentalisme Konservatisme Liberal Anarkis Paulo Freire Ival Illich Erich From Dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.