Oleh: Eko Santosa
Fakta memperlihatkan bahwa kehidupan teater di kota-kota besar masih bergairah sampai saat ini. Hal ini ditandai dengan hadirnya kelompok-kelompok teater mahasiswa atau komunitas. Meskipun kebanyakan dari kelompok ini bukan merupakan kelompok profesional, namun antusiasme untuk selalu menghasilkan karya sangat tinggi. Dalam setiap tahun selalu saja ada pementasan teater yang digelar oleh masing-masing kelompok. Lepas dari soal kualitas atau profesionalitas, produksi teater yang dihasilkan memberikan kegembiraan yang luar biasa. Para pelaku teater kampus dan komunitas ini seolah mengabarkan bahwa apapun yang terjadi, teater akan tetap terus diproduksi dan alir generasi tidak akan mati.
Sesuai tradisi teater yang mengedepankan
dialektika, proses produksi dan pasca produksi selalu dihiasi diskusi-diskusi,
baik di antara mereka sendiri atau dengan mengundang orang lain secara terbuka.
Perbincangan dalam diskusi umumnya tidak hanya menyoal gagasan produksi,
visualisasi artistik, dan teknis pementasan, namun juga menyasar ke hal-hal
yang ada di seputar teater. Bahkan, apa yang di seputar teater seringkali
menjadi alasan beberapa orang untuk bergabung ke dalam teater komunitas.
Misalnya saja, teater menjadi pilihan untuk meningkatkan rasa percaya diri,
menjalin hubungan sosial, berorganisasi, dan melatih manajemen diri. Oleh
karena itu, diskusi teater bisa saja berjalan alot dan (sok) idealis, namun
perbincangan-perbincangan yang tercipta di sela-selanya bisa jadi sangat cair. Di
dalam perbincangan semacam ini, banyak pertanyaan atau keinginan terkait diri
dan teater yang hadir. Berikut adalah di antaranya.
1. Antara
aktor dan artis
Alasan umum seseorang
bergabung ke dalam komunitas teater adalah rasa inginnya untuk menjadi aktor
terkenal. Meskipun tidak semua orang memiliki alasan yang sama, namun pesona
aktor terkenal ini mampu menjadi daya tarik yang sangat kuat. Tidak mengherankan
karenanya, ketika banyak orang bergabung
ke teater memang untuk bermain teater dan bukan menjadi pekerja artistik atau
tim produksi. Namun demikian, tidak menunggu waktu lama, hasrat untuk menjadi
aktor terkenal tidak dapat menemukan jalannya. Alhasil banyak orang yang
kemudian meninggalkan komunitas teater berbarengan dengan orang baru yang ingin
bergabung dengan alasan sama. Siklus ini berjalan hampir setiap tahun di teater
kampus atau komunitas. Karena siklus ini pula, keberadaan teater kampus atau komunitas
yang selalu membuka keanggotaan baru terselamatkan.
Fenomena aktor terkenal yang merasuk dalam pikiran ke setiap orang sebenarnya
hanyalah tampilan muka saja. Artinya, orang-orang tersebut tidak paham
sepenuhnya profesi aktor. Bahkan kemungkinan besar yang mereka anggap aktor
sebenarnya hanyalah artis (selebriti) di dunia hiburan televisi berbasis
akting. Informasi tampilan muka para artis yang sebagian besar dibesarkan oleh
media menyajikan keindahan gambar atau gemerlap hidup yang menjadi impian banyak
orang. Gambaran tersebut benar-benar indah dan menyenangkan. Seolah tidak ada
kesedihan dalam diri para artis. Padahal kejadian belakang layar atau kehidupan
mereka sesungguhnya mungkin saja berbeda.
Dalam
banyak perbicangan ringan seputar pementasan, banyak sekali pemeran yang saling
bertanya antara satu dengan yang lain soal kualitas penampilan mereka di atas
panggung. Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya banal, karena di antara mereka seungguhnya
ingin mendapat sanjungan sehingga mimpi aktor yang artis itu bisa semakin
dekat. Padahal, bagi aktor profesional, sanjungan bisa jadi tidak perlu
dihiraukan karena itu bisa jadi justru menjebak diri mereka dan mungkin malah
menjadi hal yang tidak menguntungkan bagi karier. Namun demikian, para calon
aktor artis ini merasa bahwa sanjungan diperlukan untuk meneguhkan bahwa mereka
memang cocok menjadi aktor artis.
Mimpi
aktor artis ini merupakan mimpi ideal tertutama berkaitan dengan penghasilan
yang mana melalui berita-berita di media disajikan secara glamor kehidupan para
artis ini. Hampir tidak ada berita yang menginformasikan proses yang mesti
dialami untuk menjadi artis dan apa yang mesti dilakukan untuk bertahan dalam
posisi yang sedemikian. Nah, di dalam teater yang sesungguhnya, proses ini
sedikit-banyak diwujudkan secara nyata di mana seorang pemeran mesti berlatih
dengan keras dan belajar dengan suntuk. Oleh karena itu pulalah, banyak anggota
teater berguguran setelah satu atau dua produksi karena mereka merasa tidak
segera mendapat ketenaran meski telah bermain peran di atas panggung. Artinya,
mulai muncul kesadaran bahwa tangga menuju aktor artis itu tidak mudah untuk didaki dan teater
tidak bisa menyediakan jalan pintas untuk menuju puncak. Hal ini mengakibatkan
pupusnya keinginan yang telah pernah membuncah ketika pertama kali bergabung
dalam komunitas teater. Orang yang pupus keinginan itu kemudian pergi untuk
digantikan orang baru dengan keinginan sama yang membuncah, dan teater kembali menjalani
siklusnya.