Minggu, 04 September 2016

Mencipta Teater Sederhana Dengan Theater Games



Oleh: Eko Santosa


A.    Pendahuluan
Umumnya, proses penciptaan teater di sekolah menggunakan konsep teater dramatik berbasis naskah. Konsep ini mengharuskan semua yang terlibat untuk bekerja sesuai arahan lakon yang telah ditentukan. Sutradara merancang konsep laku lakon mulai dari para pemain hingga tata artistiknya. Para pemain diharuskan mampu mengelola tubuh, suara, dan jiwanya dalam memainkan sebuah peran sesuai dengan karakte. Para penata artistik pun demikian, mencoa mewujudkan seluruh elemen pendukung itu sesuai dengan arahan lakon. Proses perwujudan dari lakon ke dalam sebuah pertunjukan dengan demikian memerlukan waktu yang tidaklah sebentar.
Sementara itu di sisi lain, waktu yang tersedia bagi proses teater di sekolah biasanya sangatlah terbatas. Oleh karena itu diperlukan sebuah pendekatan lain yang dapat dikerjakan dengan cara yang lebih rileks namun mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam pembahasan ini pendekatan yang coba diungkapkan adalah theater game.
Theatre game pertama kali digunakan oleh Viola Spolin pada tahun 1946 untuk melatih para aktor muda di Hollywood. Model pelatihannya adalah teater improvisasi di mana pemain teater dilatih untuk melakukan potongan-potongan adegan secara improvisatoris dengan maksud dan tujuan tertentu. Theatre games secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran seni teater melalui permainan. Permainan yang diciptakan dapat digunakan untuk mempelajari bidang-bidang dalam teater baik secara mandiri atau terintegrasi. Theatre games mengajarkan sesuatu secara tidak langsung melalui sebuah permainan sehingga tanpa disadari, siswa sedang atau telah mempelajari sesuatu dalam permainan tersebut. Karena sifatnya yang tidak langsung pada tujuan maka game dapat mengajarkan hal-hal lain di sebalik teater (beyond the theater), yang mendukung proses berteater.
Metode yang ditawarkan oleh Spolin bukanlah satu-satunya metode pembelajaran teater di sekolah. Namun, keberadaan theatre games mampu menyegarkan pandangan akan bentuk dan model pelatihan teater. Bahkan John Caird (2010) menyarankan para sutradara untuk menggunakannya dalam sesi awal pelatihan teater profesional ketika para pemain baru pertama kali berkumpul dan butuh sosialisasi. Keluwesan model theatre games baik dari jenis permainan maupun pelaksanaannya memungkinkan untuk diaplikasikan di sekolah. Terlebih, ketika nilai-nilai pribadi, sosial, dan budaya dapat dengan mudah diimplementasikan di dalamnya.

Manajemen Produksi Pertunjukan - Studi Kasus: Pementasan



Oleh: Eko Santosa

Salah satu faktor pendukung yang sangat penting dalam proses penciptaan teater adalah manajemen. Dalam teater bahasan manajemen dibagi menjadi dua yaitu menejemen kelompok atau sanggar dan manajemen produksi. Akan tetapi dalam bahasan ini yang akan dibicarakan adalah manajemen pementasan yang merupakan bagian dari manajemen produksi. Manajemen pementasan dipilih sebagai batasan karena yang difokuskan dalam hal ini adalah persoalan pementasan teater.

Manajemen adalah pengelolaan atau kegiatan mengelola. Menurut Riantiarno (2003) manajemen teater adalah perencanaan sebuah produksi teater hingga sampai ke tangan konsumen (penonton). Tahapan kegiatan manajemen adalah perencanaan, produksi, pementasan, serta pemasaran. Dalam konteks ini manajemen pementasan adalah pengelolaan pementasan teater mulai dari persiapan pementasan, penonton datang ke gedung pertunjukan, menyaksikan jalannya pertunjukan hingga sampai pertunjukan usai dan penonton kembali pulang. Dalam manajemen pementasan ada 2 bidang utama pekerjaan yaitu pengelolaan gedung (house managing) dan pengelolaan panggung (stage managing).

Urgensi Peningkatan Kompetensi Pendidik Seni dan Pengembang Kesenian Sekolah

(Sebuah Opini)

Oleh: Eko Santosa

Kesenian merupakan aspek kebudayaan yang paling banyak dibicarakan dibanding aspek yang lain. Pada tataran tertentu penyebutan kebudayaan mengindikasikan kesenian di dalamya sebagai sesuatu yang pokok atau sebagai jantung dari kebudayaan itu sendiri. Bahkan secara salah kaprah istilah “kebudayaan” disejajarkan dengan “kesenian”. Hal ini terjadi karena poin dan visi utama dari kebudayaan seolah tercermin dalam keseniannya. Secara mendasar kesenian dipandang sebagai produk yang membawa jiwa satu bangsa karena di dalamnya terkandung banyak nilai. Dengan posisi yang penting ini kesenian menjadi salah satu aspek budaya yang perlu diturunkan pada generasi berikut dalam keberlangsungan hidup berbangsa. Seolah, tanpa kesenian sebuah bangsa kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu pengaliran pengetahuan dan praktik kesenian pada anak bangsa menjadi keniscayaan.
Bentuk pengaliran pengetahuan dan praktik kesenian yang paling modern adalah sekolah, karena memang hanya sekolah yang mampu menjangkau generasi dalam jumlah yang massive  dan juga mendapat dukungan penuh baik dari negara maupun masyarakat. Pembelajaran seni di sekolah mempertemukan pengetahuan dan praktik seni secara didaktik dan metodik sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Dalam konteks pendidikan yang menyasar ranah afektif, psikomotor, dan kognitif kesenian dianggap mampu memberikan keberimbangan. Dalam peta hemispheric brain, kesenian dianggap mampu lebih memberdayakan otak kanan dan membangkitkan kecerdasan dalam hal desain, cerita, simponi, permainan, empati, dan makna (periksa Pink, 2007). Kecerdasan ini memberikan dorongan daya cipta sehingga kualitas hidup manusia tidak terjebak hanya dalam hitung-hitungan kuantitatif. Kesenian memberikan ruang pada intuisi dan rasa untuk bertumbuh secara organik dalam makna pribadi dan sosial, internal dan eksternal. Titik capai pada hal-hal semacam ini adalah sikap dan sifat kerjasama, tenggang rasa, saling memahami, mau menerima, tepa sarira, introspeksi serta terbuka terhadap kritik dan perubahan yang semuanya terangkum dalam konsep norma kehalusan budi pekerti. Dengan demikian, kesenian dalam pendidikan memberikan andil yang besar untuk mencapai tujuan mulia pendidikan yaitu, memanusiakan manusia.


Sufisme Dalam Lakon "Dewa Ruci"

Oleh: Eko Santosa


1. Pengantar
            Gerakan sufi atau mistik Islam atau tasawuf muncul dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang tidak puas dengan perkembangan teologi Islam yang amat rasionalis dan pengembangan hukum Islam yang formalis dan legalis. Baik rasionalis ataupun kaitannya dengan legalisme dianggap mendangkalkan dan mengeringkan perasaan agama. Sebagai reaksinya golongan penganut mistik lebih mementingkan rasa dan penghayatan agama dengan dilonggarkannya ikatan-ikatan terhadap syariat. Pelopor sufisme ini antara lain; Ibrahim bin Adham dan Rabiah al Adawiyah yang mengenalkan pendekatan baru yaitu; cinta dan rindu kepada Tuhan sehingga membangkitkan rasa rindu untuk bertemu muka dan berasyik-masyuk dengan Dzat yang dicintainya.1
                Perkembangan sufi di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad XIII Masehi. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samodra Pasai. Secara historis, penyebaran agama Islam ini terbukukan dalam naskah-naskah Melayu dan Jawa Kuno yang ditulis sekitar abad XVI Masehi. Dari naskah-naskah ini dapat diketahui secara pasti bahwa semua Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam sufi.2
            Di Jawa, ajaran sufi atau mistik Islam ini mendapat sambutan yang hangat dikarenakan sebelum kedatangan agama Islam, tradisi Hindu-Budha juga didominasi oleh ajaran mistik. Perkembangan Islam di Jawa bersamaan dengan semakin merosotnya kekuasaan Majapahit. Hal ini sangat menguntungkan karena agama Islam di satu sisi bisa menjadi lambang perlawanan terhadap Majapahit dan di sisi lain menjadi alternatif pandangan hidup.3
            Kedatangan Islam di Jawa ini membawa pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian masyarakat Jawa. Berdirinya kerajaan Demak menandai hal tersebut dengan mengusung kesenian Wayang Beber ke Demak. Dikarenakan perwujudan Wayang Beber yang tidak sesuai dengan hukum Islam (fiqih) maka para Wali (Ulama Jawa) sedikit demi sedikit mengadakan perubahan terhadap bentuk wayang tersebut.4 Keterlibatan para Wali dalam perkembangan kesenian wayang tersebut sangat kuat karena pada masa itu kesenian wayang digunakan sebagai media dakwah.
            Guna mendukung dakwah penyebaran agama tersebut para Wali menyusun silsilah baru tokoh-tokoh wayang yang sama sekali berlainan dengan silsilah Hindu aslinya. Di samping itu mereka juga menyusun lakon-lakon yang bernafaskan Islam seperti; “Jimat Kalimasada” dan “Dewa Ruci”.5 Dalam lakon-lakon tersebut para Wali memasukkan ajaran mistik Islam, terutama dalam lakon “Dewa Ruci”. Lakon “Dewa Ruci” yang hendak dibahas di bawah ini adalah lakon versi Ki Anom Suroto yang tertuang dalam diktat Wayang Op De Radio (Jos Janssen, Ben Arps, Walter Slosse, Wayang Op De Radio, De Wandelende Tak, VPRO, Amsterdam, 1987) yang transkripsinya secara khusus dikerjakan oleh Ben Arps.

Sekilas Mengenai Butoh

(The Dance of the Darkness)


Butoh adalah tarian kontemporer yang berakar pada citarasa Jepang. Adalah Tatsumi Hijikata, seorang penari dan koreografer Jepang yang mempelajari tari modern secara tidak langsung dari Marry Wigman melalui Takaya Eguchi. Ia memulai karyanya ‘Kinjiki’ (warna terlarang) pada tahun 1959, berdasarkan novel Yukio Mishima. Pada tahun 1960 Hijikata memberi judul karyanya ‘Ankoku Buyo’ yang kemudian disebut dengan ‘Ankoku Butoh’ (The Dance of The Darkness / Tarian Kegelapan). Dari karyanya ini kemudian ‘Butoh’ lahir menjadi satu gaya tari kontemporer baru. Sekilas Butoh nampak sebagai antitesis dari pencarian kebebasan (dalam periode yang sama) yang dilakukan oleh tarian barat kontemporer. Bahkan dalam tema keduanya; ‘kekejaman, kematian, kegelapan, penyimpangan persebadanan’ – (juga dalam hal) kesamaan perlakuan terhadap tubuh sebagai ‘kekacauan dasar’ dan (keduanya) merupakan tarian penolakan.

Keraguan

            Akar filosofi Butoh lahir dari rahim keraguan. Bentuk-bentuk keraguan hadir melampaui masa kini dan masa depan. Ada banyak jenis keraguan dalam hidup ini yang dimiliki oleh setiap manusia dalam satu waktu tertentu. Dalam gerak atau ekspresi tarian, keraguan datang menghalangi. Hal ini membuat penari kehilangan kontak dengan dirinya sendiri. Mereka lebih banyak memperhatikan detail dan ketepatan gerak daripada memperhatikan tubuh dan jiwa mereka. Ini membelenggu. Membuat tidak bebas dan melahirkan kekakuan serta ketakutan.
            Seorang penari biasanya terjebak pada bentuk tampilan benar dan indah dari rangkaian gerakan. Jika mereka lepas dari hukum ini maka mereka dianggap melakukan kesalahan dan dengan demikian tarian yang ditampilkan menjadi tidak baik. Kondisi ini menciptakan keraguan yang pada akhirnya membatasi ruang gerak dan ekspresi. Apakah bergerak di luar hukum benar dan indah adalah salah? Tentu saja tidak. Mempelajari tari bukan mempelajari posisi lengan dan lain sebagainya, tidak selalu harus berjalan dengan metode tertentu atau kontrol gerakan tertentu. Mempelajari tari adalah belajar kontak dengan diri sendiri, tubuh, dan jiwa.

Teater Daerah Indonesia

(Sebuah Pengantar Ringkas)
Oleh: Eko Santosa

I. Pengertian Teater Daerah

            Secara etimologis teater berasal dari kata Yunani “theatron” yang berarti panggung atau tempat pertunjukan. Teater dapat didefiniskan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak misalnya; ludruk, kethoprak, wayang orang, sulapan, akrobatik dan lain sebagainya. Dalam arti sempit teater dapat dijelaskan sebagai kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak, menggunakan media; percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah tertulis (hasil seni sastera) dengan atau tanpa musik, nyanyian, dan tarian.[1]
            Menurut uraian di atas, pementasan teater harus berdasarkan pada naskah tertulis. Pengertian ini berlaku karena pengaruh dan perkembangan teater barat modern. Lalu apakah teater yang dipentaskan tidak berdasar pada naskah tertulis dan hanya berdasar pada penuangan (tutur) tidak bisa disebut teater? Tentu saja tidak. Naskah tertulis, dalam teater hanya digunakan sebagai penanda berawalnya teater modern. Teater tradisi atau daerah di Indonesia banyak yang menggunakan cerita dari mulut ke mulut sebagai sumber utama cerita dan bahan dasar ekspresi. Hal mendasar inilah yang membedakan antara teater daerah (tradisi) dan teater modern. Akan tetapi pada perkembangannya teater daerah juga mendapat pengaruh dari teater modern sehingga tidak jarang kita temui naskah-naskah cerita pertunjukan teater daerah. Oleh karena hal tersebut maka teater daerah diberi batasan sebagai seni pertunjukan yang memiliki ciri-ciri khas suatu daerah tertentu.[2]
            Selanjutnya untuk memetakan teater daerah berdasarkan kelahiran, perkembangan dan perubahannya teater daerah Indonesia dapat dibedakan menjadi teater tradisional dan  teater daerah baru. Teater tradisional adalah teater yang telah hidup, berkembang dan diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi (biasanya secara lisan) oleh masyarakat suatu daerah tertentu, misalnya; wayang kulit, wayang orang dan tontonan topeng baik di Jawa dan Bali. Teater tradisi ini sendiri dibagi menjadi dua yaitu yang berkembang di istana dan yang berkembang di luar tembok istana yang biasa disebut sebagai teater rakyat. Sedangkan teater daerah baru adalah teater yang sekalipun memiliki ciri-ciri kedaerahan tetapi relatif baru kelahirannya, seperti; drama gong dan sandiwara radio daerah.[3]

Konsep Karya


(Teater Sebagai Karya Seni dan Media Pembelajaran)

Oleh: Eko Santosa



Rasional
Karya seni teater dalam bentuk pementasan memiliki wujud yang beragam dan senantiasa berubah dari jaman ke jaman. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan manusia baik dari segi sosial, ekonomi, maupun teknologi. Karya seni teater realis seperti yang sering kita lihat di panggung teater modern mendapatkan makna yang sesungguhnya ketika lampu gas ditemukan dan digunakan sebagai lampu panggung pada awal abad ke 19 Keberadaan lampu ini mampu menghadirkan efek iluminasi cahaya bulan, matahari atau lampu praktikal lain sehingga menampilkan kesan cahaya nyata yang datang dari sumber aslinya (periksa, Mc Tigue, 1992). Keadaan ini membuat peristiwa di atas panggung seperti benar-benar terjadi sebagai satu kenyataan hidup. Sebagai konsekuensi logis dari kondisi ini adalah berkembang pesatnya teater realis di panggung-panggung teater dunia dengan tanpa mengesampingkan gaya teater lain yang lahir sebelumnya. Meskipun teater realis tidak saja hadir hanya karena kemunculan lampu gas akan tetapi, penemuan itu mampu mengubah pandangan seniman terhadap panggung pertunjukan dalam konteks tata artistik - pencahayaan.

Dalam perjalanannya banyak hal yang lahir dan mempengaruhi perkembangan teater di dunia ini. Seniman tidak henti-hentinya menemukan atau mengeksplorasi kemungkinan pertunjukan teater dari berbagai macam sisi dan visi. Keanekaragaman pemikiran ini melahirkan jenis tampilan seni teater yang kaya dan penuh warna. Meski terkadang pemikiran yang baru mencoba mengoposisi pemikiran yang lama namun hal ini justru menambah perbendaharaan gaya tampilan teater di atas panggung. Latar pemikiran yang sering disebut konsep ini berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan dinamika kehidupan masyarakat. Kemungkinan visual yang bisa dihadirkan di atas panggung atas bantuan teknologi menjadikan seniman memiliki sisi lain yang bisa dilihat, digali, dan dikembangkan.

Selain itu, dampak utama dari perkembangan teknologi adalah perubahan tatanan sosial dan pola pikir masyarakat. Ketika masyarakat berubah maka teater sebagai produk budaya masyarakat pun berubah. Sebagai misal lahirnya sound efect dalam seni musik mampu mempengaruhi tampilan sebuah karya teater dengan menghadirkan bunyi guntur menggelegar, deburan ombak laut atau ledakan bom yang dhasyat. Teknologi panggung hidrolik mampu memunculkan dan menghilangkan pemain teater dari atas panggung dengan cara yang artistik dan memukau penonton. Teknologi kabel atau kawat yang fleksible dan tidak memantulkan cahaya dapat digunakan untuk membuat pemain nampak terbang di awan. Bahkan foam yang biasa digunakan untuk membungkus peralatan elektronik dapat difungsikan dengan sangat kreatif dalam khasanah tata panggung. Dengan demikian alternatif tampilan visual menjadi lebih luas.

Dinamika kehidupan masyarakat sebagai akibat perkembangan pemikiran dan teknologi menciptakan pola pikir dan nilai-nilai baru. Hal ini pun tidak luput dari perhatian seniman untuk menggagas konsep dalam berteater.Nilai sederhana dalam masyarakat akibat munculnya handphone melahirkan satu pertanyaan mendasar terkait dengan kesopanan misalnya, “apakah lebih sopan mengirim sms atau telepon langsung?”, “Haruskah semua sms dibalas?”, “Jika iya, kapan selesainya atau bagaimana cara mengakhiri komunikasi dengan sms itu?”, ”Jika tidak semua sms dibalas, pahamkah orang yang mengirim sms terakhir?”, “Bagaimana jika handphone hanya bisa menulis huruf kapital saja, sopankah itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini bisa terjadi karena percakapan tidak langsung memiliki keterbatasan, terlebih percakapan dengan kalimat (sms) di mana rangkaian kalimat yang dikirim tidak akan pernah mampu mewakili makna sesungguhnya yang dinginkan. Bisa-bisa melahirkan kesalahpahaman.

Jumat, 02 September 2016

Mendongeng di Sekolah



Oleh: Eko Santosa

Keith Johnstone (1999) menjelaskan bahwa mendongeng atau bercerita (storytelling) merupakan produk seni budaya kuno. Hampir semua suku bangsa di dunia memiliki tradisi mendongeng. Mereka menggunakan dongeng untuk mengajarkan sejarah dan nilai-nilai kehidupan pada generasi yang lebih muda. Proses penyampaian dongeng ini dilakukan dengan cara yang khusus dan cenderung sakral di mana semua anggota suku duduk berkumpul bersama dan setelah melakukan satu ritus tertentu, dongeng disampaikan oleh tetua adat. Semua mendengarkan dengan penuh perhatian. Dongeng yang disampaikan biasanya berisi tentang asal-muasal suku tersebut serta nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu yang perlu dijunjung. Dongeng ini dianggap terjadi secara nyata  dan menjadi satu-satunya pelajaran hidup yang diteladani oleh semua anggota suku.

Seiring perkembangan zaman, dongeng tidak hanya sekedar sebagai media penutur sejarah dan nilai antargenerasi tapi juga dapat dijadikan media pembelajaran di sekolah bahkan ekspresi seni. Di Eropa dan Amerika storytelling (bercerita atau mendongeng) menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kehidupan manusia. Sejak kecil anak-anak diajar melalui dongeng yang diceritakan atau dibacakan oleh orang tua mereka sebelum tidur. Hal ini telah berlangsung lama dan membudaya sehingga dunia pendidikan pun perlu mengadaptasinya.

Dongeng di sekolah
Viola Spolin (1986) memasukkan storytelling sebagai media pembelajaran di kelas. Kekuatan cerita naratif ia gunakan untuk membina konsentrasi dan kerjasama antarpeserta didik. Dongeng di tangan Spolin tidak berdiri sendiri dan hanya sebagai dongeng yang sekedar untuk diceritakan tetapi juga dimainkan. Guru dan siswa berperan aktif dalam membangun cerita dan mereka main-mainkan secara bersama-sama.

Apa yang dikerjakan Spolin sebetulnya bisa dijadikan model untuk mengembangkan dongeng di sekolah. Meski ketika dongeng disampaikan secara lisan atau dibacakan sudah memiliki kekuatan imajinatif, namun jika penyajiannya dibuat variatif pasti akan lebih hidup. Dengan demikian, dongeng bisa merambah ke berbagai sisi atau bidang tidak hanya berkutat di sastra dan bahasa saja. Memang perlu tahapan sistematis untuk mengembangkan atau mengubah dongeng menjadi satu tontonan kreatif dan interaktif, tetapi jika hal itu mungkin dilakukan – terutama di sekolah – kenapa tidak?

Teks, Aktor, dan Sutradara


(Sebuah catatan mengenai proses transformasi teks)
Oleh: Eko Santosa



Teater modern memiliki 4 (empat) aspek penting yang tidak boleh diabaikan; teks (lakon), sutradara, aktor, dan penonton. Dalam kaitannya dengan komunikasi maka ketiga aspek pertama merupakan penyampai komunikasi dan penonton adalah komunikan. Bahan komunikasi berasal dari teks lakon. Seorang seniman teater tidak mungkin menampilkan sebuah pertunjukan tanpa sebuah lakon. Sesederhana apapun lakon itu sangat dibutuhkan, bahkan ketika ia hanya sebuah ide atau sebaris kalimat, yang jelas lakon harus ada. Dengan berdasar pada lakon ini pekerja teater mewujudkan kreasinya di atas panggung.
            Proses perwujudan teks (lakon) ke atas panggung membutuhkan kreatifitas dan teknik tersendiri. Metode yang diterapkan bisa dan boleh saja berbeda tetapi tujuannya adalah sama; menghadirkan teater (mengaktualisasikan cerita) di atas panggung. Tahapan-tahapan transformasi ini dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu; teks, aktor, dan sutradara.  Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan dan tahapan proses transformasi teks yang akan dibahas di bawah ini pernah dilakukan oleh Teater Pas Abang Yogyakarta dalam pementasan “Yitma Sucyaku” (bahasa Jawa) terjemahan bebas dari naskah “Arwah-arwah” karya W.B. Yeats.  Pentas tersebut diselenggarakan di Gedung Panti Wiloso Muda-Mudi Purworejo Jawa Tengah, pada tanggal 22 Desember 2001. Pendukung pementasan adalah; alih bahasa: Jaka Sarwana, sutradara: Puthut Buchori dan Eko Ompong, pemain: Tafsir Huda dan Setya Prayoga.

KONSEP DASAR
            Sebelum membahas lebih jauh tentang proses pemindahan teks ke atas pentas, perlu kiranya ditentukan konsep artistik pementasan yang akan dilakukan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, sutradara atau produser (yang memiliki ide pementasan) mempelajari keseluruhan isi naskah dan kemudian menentukan interpretasi dasar  dari naskah. Interpretasi dasar (global) inilah yang selanjutnya dijadikan patokan (guide line) dari keseluruhan proses artsitik yang dikerjakan.
            Dalam penggarapan “Yitma Sucyaku”, sutradara tidak memiliki versi interpretasi lain selain dari apa yang ada di dalam teks. Artinya, konsep dasar pementasan benar-benar bermula dari teks yang digali secara tampak luar untuk menampilkan sisi persoalan dalam cerita dan bukan mencari simbol makna atau keterkaitan makna dengan keadaan kekinian (tekstual). Hal ini dimaksudkan untuk menampilkan cerita apa adanya dari awal sampai akhir. Makna dari cerita atau inti pesan cerita diharapkan muncul atau dimunculkan oleh aksi para aktor di atas pentas. Dengan demikian maka wilayah artistik aktor yang ditekankan untuk diolah.

Kamis, 01 September 2016

Studi Naskah untuk Keperluan Tata Artistik (Rupa) Pentas


Oleh: Eko Santosa

I. Pendahuluan
          Naskah lakon merupakan salah satu elemen dasar teater modern. Dalam proses transformasi menuju pementasan, sutradara berasimilasi dengan naskah yang mengandung pesan pengarang untuk kemudian dialirkan kepada aktor serta diekspresikan di hadapan penonton (Meyerhold, 1969). Atas dasar naskah ini pula segala bentuk ekspresi artistik di atas pentas diwujudkan dalam satu kesatuan pesan komunikasi yang padu. Sebagai bahan komunikasi maka keseluruhan objek yang ada di atas pentas memiliki peran seimbang. Artinya, unsur aktor dan tata artistik pementasan saling mendukung satu sama lain, jika hal ini tidak terjadi maka komunikasi yang dihasilkan menjadi timpang dan penonton akan kesulitan menangkap makna pesan lakon.
          Kerjasama antara aktor dan penata artistik menjadi kunci utama sebuah pementasan teater. Hal ini terjadi karena yang benar-benar ada di atas pentas dan disaksikan oleh penonton secara langsung adalah aktor dan segala perabot tata artistik panggung. Fungsi tata artistik panggung dalam hal ini selain sebagai karya rupa juga memberikan gambaran suasana cerita, menguatkan karakter peran, dan mempertegas makna pesan (Padmodarmaya, 1988).
          Oleh karena itu, keterkaitan penata artistik dengan lakon dan sutradara tidak bisa dipisahkan. Konsep dasar atau interpretasi global yang digali dari sebuah lakon merupakan kerja awal yang membutuhkan penanganan serius. Pesan lakon dapat digali secara ideologis, analogis, dan historis. Tetapi sebuah lakon tidak hanya berisi itu, ia hadir secara kompleks dimana pesan-pesan harus digali secara mendalam dari baris-baris teks dialog peran (Kelsall, 1985). Meskipun demikian, kajian mendalam tentang sebuah lakon belum tentu menjamin karya pentas akan berjalan dengan baik, memuaskan dan mampu menyedot perhatian penonton. Sebuah produksi teater yang dipersiapkan secara hati-hati, serius, dan dalam waktu yang lama terkadang kalah hebat hasilnya dengan sebuah pentas teater yang dikerjakan dengan waktu latihan yang lebih singkat serta kajian lakon yang biasa-biasa saja (Brook, 1996). Hal demikian bisa terjadi karena kajian lakon yang terlalu mendalam justru menjebak dan mengikat proses pencarian ekspresi artistik sehingga ia berjalan kaku, terlalu penuh perhitungan, mekanis, dan tidak dinamis (flat).
          Bagaimanapun juga kerja kajian dan pementasan adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing memiliki bahasa dan karakternya sendiri. Kajian (lakon) memang sangat penting dan dibutuhkan akan tetapi keterbatasan bahasa ungkap kata tidak bisa menjelaskan secara gamblang bahasa ungkap gerak ataupun rupa. Dengan demikian kerja interpretasi lakon adalah kerja awal yang berfungsi sebagai titik pijak kreatif kerja berikutnya. Masing-masing unsur pembentuk pementasan kemudian bekerja menurut wilayah artistiknya masing-masing dengan berdasar titik tersebut. Sutradara mewujudkannya dalam konsep pemeranan dan pementasan, pemeran mewujudkannya dalam laku peran, dan penata artistik panggung mewujudkannya dalam karya rupa pemantasan.

Memberdayakan Seni Teater di Sekolah



Oleh: Eko Santosa


        Teater adalah salah satu cabang seni pertunjukan yang paling kompleks karena di dalamnya memuat beragam unsur seni yang dapat digunakan sebagai media ekspresi estetis dalam setiap karyanya. Dengan demikian secara alamiah teater membutuhkan proses kerjasama kolaboratif antaranasir yang terlibat di dalamnya. Karena begitu beragamnya unsur yang terlibat atau dapat dilibatkan, seni teater dapat ditinjau dan dipelajari dari bergaram sisi pula. Ada karya teater yang lebih mengedepankan unsur rupa, namun ada pula karya teater yang mengedepankan gerak, musik, kata-kata atau bahkan meramu semuanya ke dalam satu bentuk pertunjukan.
        Tingkat fleksibiltas yang tinggi dari seni teater ini memungkinkan seseorang untuk ikut terlibat dalam sebuah produksi teater bahkan tanpa perlu bisa bermain teater. Ia bisa bertugas sebagai pengisi ilustrasi musik, pembuat dekorasi, penata rias dan busana atau bahkan hanya dengan menjadi portir. Akan tetapi umumnya, seni teater hanya dipandang sebagai seni peran sehingga semua orang yang belajar teater berharap menjadi pemain teater lain tidak. Demikian pula dengan seni teater di sekolah utamanya dalam kegiatan ekstra kurikuler di mana pelatih lebih mengharapkan munculnya pemeran berkualitas baik daripada membangun proses kerja kolaboratif dalam berkarya. Keadaan ini merupakan cermin dari keberadaan seni teater yang hanya dipandang sebagai karya seni semata.
        Jika dipandang dari sisi pendidikan, seni teater sesungguhnya memiliki peran yang luar biasa utamanya dalam menanamkan nilai-nilai kepribadian. Jadi tidak hanya seni peran atau unsur seni lain tetapi mengelola kesemua unsur menjadi satu kesatuan itu membutuhkan kerjasama yang hebat di antara para pendukungnya. Dengan demikian bukan karya seni yang tersaji atau tergelar dengan baik dan estetis sesuai kaidah seni dan kesenimanan tetapi proses kerja bersama dalam menciptakan karya itulah yang penting dan perlu ditekankan dalam edukasi. Seni teater di sekolah sudah selayaknya dipandang sebagai seni teater pendidikan dan bukan semata pelatihan kemampuan berteater.

Teater Untuk Siapa Saja



(Proses Kreatif Perjalanan dari Drama ke Teater - Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta)

Oleh: Eko Santosa[*]


Teater mensyaratkan cerita sebagai titik tolak proses penciptaan tontonan. Cerita dalam khasanah teater sering disebut lakon (plays) yang dalam pemahaman modernnya bersepadan dengan drama. Semua lakon teater baik itu bertipe tragedi, komedi, tragi-komedi, atau satir disebut sebagai drama (lihat Bakdi Soemanto, 2001). Meskipun sesungguhnya drama hanyalah salah satu tipe lakon dalam teater yang sama kedudukannya dengan tipe lakon lain yang telah disebut di atas (lihat Mary McTigue, 1992). Memang masih banyak di kalangan awam yang menyepadankan teater dengan drama namun hakekat drama adalah cerita yang ditulis untuk kemudian dipentaskan atau dimainkan di atas panggung (Prince, Jackson, 2005:7). Jadi batasannya menjadi sangat jelas bahwa drama adalah cerita.
Sebagai cerita, drama berbeda dengan novel yang memiliki berbagai macam sudut pandang penceritaan. Dalam novel pembaca dapat diajak untuk mengimajinasikan cerita baik dari sudut pandang orang ketiga atau orang pertama melalui narasi yang lengkap. Hal ini sangat berbeda dengan drama di mana si pembaca adalah pelaku langsung cerita tersebut. Ia ada di dalam cerita yang setiap laku aksinya dapat ditandai dengan dialog yang ia ucapkan dengan tokoh lain, monolog, atau soliloki. Semua keterangan berada dalam baris-baris kalimat dialog atau wicara tersebut, tidak ada keterangan naratif seperti halnya novel atau cerpen. Dalam novel atau cerpen cerita menjadi nampak hidup karena kepiawaian penulis, namun dalam drama, aktorlah – dalam konteks ini adalah pembaca - yang menghidupkan cerita tersebut. Jika pembaca novel adalah penerima pasif maka pembaca drama – aktor - adalah pelaku aktif, karena hanya dengan dilakukan secara nyata dialog-dalog tokoh dalam cerita tersebut, maka gambaran keseluruhan cerita menemukan maknanya (periksa Rosemary Ingham, 1998).
Proses menghidupkan cerita di atas pentas hingga nampak benar-benar nyata inilah yang menjadi daya tarik utama drama. Terlebih ketika drama tersebut dipentaskan dengan pendekatan realis di mana penonton disuguhi sebuah kehidupan lebih daripada sekedar sebuah pertunjukan tentang kehidupan. Sejalan dengan visi artistik semacam itu maka, aktor dalam drama (realis) diharuskan mampu mewujudkan penggal kehidupan  nyata dan ia tidak lagi berperan sebagai tokoh cerita melainkan benar-benar menjadi pelaku cerita tersebut. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, aktor dituntut berlatih keras tidak hanya seputar teknik pemeranan tetapi juga menyangkut soal filosofi dan psikologi manusia. Oleh karena itu aktor harus belajar tidak hanya fisik tetapi juga keilmuan lain yang mendukung karakter peran. Artinya, dibutuhkan kerja keras dan waktu yang lama untuk menjadi aktor yang dapat bermain dalam drama secara berkualitas.