Selasa, 24 Januari 2023

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PEMERANAN TEATER DAERAH MELALUI KETOPRAK PADA PROGRAM KEAHLIAN SENI TEATER SMKN 1 KASIHAN BANTUL

 Eko Santosa


(Artikel dimuat di Jurnal Sendikraf, Vol. 2, No. 2 November 2021. Dalam unggahan ini abstrak tidak disertakan) 

PENDAHULUAN

Pendidikan teater di sekolah menengah kejuruan memberikan bekal kecakapan kepada peserta didik yang dapat digunakan untuk berkarya di dunia kerja. Oleh karena itu, hal-hal terkait keterampilan berteater diajarkan. Banyak bidang pekerjaan yang dapat digeluti secara profesional oleh seseorang yang ingin belajar berteater. Bidang-bidang tersebut di antaranya adalah pemeranan, tata artistik, penyutradaraan, penulisan naskah, dan manajemen produksi pementasan. Sekolah menengah kejuruan seni teater, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 06/D.D5/KK/2018 tentang Spektrum Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),  berada di bawah bidang keahlian seni pertunjukan. Berdasar aturan tersebut, seni teater merupakan program keahlian yang memiliki paket kompetensi keahlian berupa pemeranan dan tata artistik. Dengan demikian, sekolah menengah kejuruan seni teater dapat menyelenggarakan pendidikan untuk bidang pekerjaan pemeranan (akting) maupun tata artistik.

Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul melatihkan satu paket kompetensi keahlian yaitu, pemeranan. Berkait dengan visi sekolah yang berfokus pada pelestarian dan pengembangan budaya di bidang seni pertunjukan, maka pemeranan teater daerah dan teater modern diajarkan. Pemeranan teater daerah merupakan wujud pelestarian budaya, sementara teater modern sebagai wujud pengembangan budaya. Subjek teater daerah dan modern memiliki pengaruh kuat pada pembelajaran pemeranan karena gaya pemeranan bersesuaian dengan gaya pementasan yang ditentukan. Pementasan teater daerah disajikan melalui gaya pemeranan teater daerah, demikian pula sebaliknya teater modern.

Pilihan istilah teater daerah, dalam hal ini semakna dengan teater tradisional. Beberapa tokoh seni pertunjukan menggunakan istilah teater daerah untuk mewadahi seni pertunjukan khas satu daerah termasuk di dalamnya seni tradisional dan seni bentukan baru. Sedangkan tokoh lain lebih memilih istilah teater tradisional untuk menyebut teater yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu. Murgiyanto, Dkk. (1983), menjelaskan bahwa teater daerah merupakan seni pertunjukan teater yang berkembang dan memiliki ciri-ciri khas suatu daerah tertentu. Sementara itu, Achmad (2006), menjelaskan bahwa teater tradisional adalah teater dalam suatu masyarakat etnik tertentu yang mengikuti tata cara, tingkah laku dan cara berkesenian mengikuti tradisi, ajaran turun-temurun dari nenek moyangnya, sesuai dengan budaya lingkungan yang dianutnya. Dengan demikian, teater daerah dan teater tradisional dapat dimaknai sebagai teater yang berkembang dalam budaya masyarakat tertentu. Oleh karena SMKN 1 Kasihan Bantul berada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka teater daerah yang berkembang di masyarakat Yogyakartalah yang diajarkan. Dalam hal ini, ketoprak dipilih menjadi subjek pokok pembelajaran.

Ketoprak sebagai seni teater daerah memiliki perjalanan sejarah panjang. Pada awalnya, ketoprak lahir di Surakarta, namun justru berkembang pesat di Yogyakarta dan mendapat label Ketoprak Mataram (Murdiyastomo, 2019). Sampai saat ini eksistensi kesenian ketoprak di Yogyakarta masih terjaga. Hatley (2008), mencatat bahwa ketoprak yang sebenarnya berasal dari tontonan kampung, memiliki kekuatan tersendiri di dalam pertunjukannya. Kekuatan tersebut mampu memberikan perubahan budaya masyarakat di mana ketoprak tersebut tumbuh. Karena itulah, bukan merupakan hal yang aneh ketika pada satu masa, ketoprak menjadi milik masyarakat di mana hampir setiap kampung memiliki grup dan mementaskannya. Di dalam perkembangannya, banyak kelompok ketoprak dilahirkan dan menjadi acuan pada masanya mulai dari Ketoprak Wreksodiningrat (1908-1925), Ketoprak Wreksatama (1925-1927), Ketoprak Krida Madya Utama (1927-1930), Ketoprak Gardanela (1930-1955) hingga munculnya ketoprak modern, gaya baru, dan sampai ketoprak saat ini (Lisbijanto, 2013). Selain dari nama kelompok, ketoprak juga berkembang sesuai bentuk penyajiannya seperti ketoprak lesung, ketoprak dengan iringan kendang, seruling, dan rebana, serta ketoprak gamelan (Murdiyastomo, 2019). Pementasan ketoprak dapat diselenggarakan di panggung dalam bentuk pendapa, teater arena, lapangan, halaman rumah, atau prosenium.

Dalam hal pemeranan, ketoprak memiliki kekhususan terkait adat istiadat dan budaya. Seorang pemeran mesti memahami tingkatan bahasa Jawa dalam dialog dan bagaimana gerak dan sikap tubuh mesti dilakukan untuk situasi dan kondisi tertentu saat bermain peran dalam ketoprak. Selain itu, aspek lain terkait nilai budaya yang mendukung penghayatan peran sesuai dengan tokoh juga mesti dipahami. Hal ini dikarenakan, seorang pemeran diwajibkan untuk menghidupkan gambaran tokoh yang diperankannya seutuh mungkin melalui gerakan jasmani dan suaranya (Rendra, 2013). Gambaran utuh tokoh ini tidak bisa dihafalkan, dalam artian, penghayatan untuk tokoh satu berbeda dengan tokoh lain dan pemeran mesti bisa memainkan tokoh yang berbeda-beda tersebut. Di dalam ketoprak, perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain sangat dipengaruhi lingkungan budaya di mana tokoh tersebut tumbuh sehingga teknik penghayatan peran yang diajarkan bisa menjadi kompleks. Oleh karena itu, untuk mencapai kualitas pemeranan yang baik, upaya pengembangan pembelajaran pemeranan  ketoprak harus dilakukan.

Pengembangan pembelajaran di dalam pendidikan dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Pengembangan menurut Seels dan Richey merupakan proses penerjemahan atau menjabarkan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik (Setyosari, 2010). Oleh karena itu, proses kegiatan mesti dilakukan secara sistematis mulai dari tahap merancang hingga diwujudkan ke dalam bentuk fisik melalui prosedur tertentu sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna (Ninit, 2016).  Sementara itu, pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat siswa belajar, sehingga situasi tersebut merupakan sebuah peristiwa belajar atau usaha untuk terjadinya perubahan tingkah laku dari siswa (Sunhaji, 2014). Perubahan tingkah laku terjadi karena adanya interaksi dua arah dari pendidik dan peserta didik, di antara keduanya terjadi komunikasi yang terarah menuju kepada target yang telah ditetapkan (Pane & Dasopang, 2017). Dengan demikian, pengembangan pembelajaran merupakan cara sistematik untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi satu set bahan dan strategi belajar dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Reigeluth (1983), mengungkapkan bahwa pengembangan pembelajaran dilakukan melalui kegiatan perancangan, produksi, dan validasi (Suparman, 2012). Tiga kegiatan Riegeluth ini mesti dilakukan oleh Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul dalam upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah, ketoprak.

Menyalakan Api Di Ruang Kelas Yang Sunyi

(arikel ini dimuat di majalah Artista edisi Desember 2018)

 Oleh: Eko Santosa

Satu waktu di masa lalu, seorang guru menjelaskan materi pembelajaran di dalam kelas. Setelah serangkaian penjelasan dianggap cukup, guru bertanya kepada siswa, “Siapa yang hendak bertanya?”, atau, “Ada pertanyaan?”. Kontan seluruh kelas terdiam. Kelas menjadi sunyi justru ketika guru menawarkan pertanyaan kepada siswa. Kelas menjadi sunyi justru ketika siswa diberi kebebasan untuk bertanya. Jika kemudian guru mencoba memancing situasi agar kelas menjadi hidup dengan memberikan pertanyaan terkait materi yang telah dijelaskan untuk dijawab, kelas justru semakin hening. Kalaupun ada siswa yang bisa menjawab, ia tak segera mengacungkan jari melainkan menunggu ditunjuk. Kalaupun ditunjuk ia akan memberikan jawaban tidak dengan yakin. Intinya, kelas benar-benar sunyi, berada dalam ketegangan. Hanya bunyi bel istirahat atau pulanglah yang bisa mengembalikan kegembiraan mereka sebagai manusia.

Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan situasi kelas di negara maju di mana siswanya justru aktif bertanya sebelum guru memberikan kesempatan bertanya. Siswa di kelas tersebut tidak merasakan beban, kelas terlihat hidup dan pembelajaran berjalan menyenangkan. Guru seolah-olah mampu menyalakan api dan siswa menyambut terang api itu dengan ragam ekspresi kegembiraan. Belajar menjadi sesuatu yang didambakan. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah karena siswa di negara maju itu merupakan siswa yang pintar dan berada di sekolah high standard, sementara ruang kelas sunyi berisi siswa kurang pintar dan sekolahnya tak berstandar? Tentu saja tidak.

Penyematan pintar dan kurang pintar terkadang hanyalah anggapan yang terlanjur menjadi keyakinan dan bahkan ukuran. Termasuk di dalamnya penyematan label sekolah terstandar dan tak terstandar. Christoper Phillips (2002) membuktikan hal tersebut melalui serangkaian percobaan terkait proses pemahaman filsafat. Salah satunya, ia bertanya perihal gelas yang diisi separuh air itu sebagai separuh kosong atau separuh isi kepada siswa di sekolah terstandar dengan siswa-siswa yang dianggap pandai dan kelas tak tersandar dengan siswa-siswa yang dianggap nakal dan tentu saja tak pandai. Apa yang ia temui adalah keajaiban di mana siswa-siswa pandai saling bersitegang dalam debat tak kunjung usai antara kelompok yang menganggap gelas itu separuh isi dan kelompok lawannya yang menganggap gelas itu separuh kosong, dengan berbagai alasan. Sementara di kelas yang terdiri dari anak-anak yang dianggap nakal dan tak pandai, jawaban justru sangat beragam. Ada yang menganggap separuh isi, ada yang menganggap separuh kosong, ada yang menganggap penuh dengan partikel, serta ada yang menganggap antara isi dan kosong tak perlu diperdebatkan karena terdapat garis batas yang memisahkan air dan ruang hampa. Jika menilik hasil jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka anggapan terhadap anak-anak nakal dan tak pandai di kelas itu mesti dianulir.

TEATRIKALISME DALAM PEMENTASAN “PEMBERDAYAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA”

Eko Santosa

(artikel ini diterbitkan di Jurnal Sendikraf, Vol.3 No. 2, November 2022. Dalam situs ini diunggah tanpa abstrak)

 

PENDAHULUAN

Pementasan teater “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” dengan sutradara Nunung Deni Puspitasari dari Teater Amarta diselenggarakan pada tanggal 23 Oktober 2022 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta sebagai salah satu penyaji dalam Parade Teater Linimasa #5 Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Pementasan berdurasi sekitar 45 menit ini dimainkan oleh Siti Nikandaru Chairina, Iin Suminar, Rheninta Herta Riwungudewi, Sulistyarini, Ena Ressia, Kurnia Wuri Dewanti, Triana Budhi, Yanti, Suratini, Embun, Endang Ambar, Ragil Kuning VS., dan Doni Riyanto. Penata artistik pementasan adalah Feri Ludianto yang didukung oleh tim artistik, Andy Tuangke, Rizal E. Arrohman, Regina Gandes M. Alan Daru W., dan Fathur Ramadan sebagai pimpinan produksi.

Naskah lakon “Pemberdayaan Kesejah-teraan Keluarga” yang ditulis oleh Latief S. Nugraha (2022) bercerita tentang kepelikan dinamika kehidupan bermasyarakat ala ibu-ibu rumah tangga yang dipresentasikan melalui peristiwa rapat kerja Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Rapat dilakukan pascasuksesi rezim PKK lama yang digantikan kepengurusan PKK baru, namun dianggap tidak menghasilkan perubahan yang berarti bagi masyarakat. Suasana rapat juga dibumbui cerita seputar kehidupan domestik yang melekat dengan aktivitas keseharian ibu-ibu rumah tangga menjadi cerminan kedaulatan di lingkup keluarga. Namun, dalam rapat tersebut kemudian terjadi perbedaan pandangan seputar peran dan fungsi PKK. Mereka terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. Ada dua figur penting representasi golongan tua dan golongan muda yang tidak sejalan dalam menggerakkan PKK, dan ada pula golongan yang tak berpihak, representasi dari ibu-ibu modern yang realistis dan tidak peduli dengan politik. Reformasi PKK telah mengubah struktur pengurus dan kebijakan-kebijakan yang berlaku pada kepengurusan sebelumnya.

Teater Amarta, dalam pementasannya, berkolaborasi dengan Paguyuban PKK Kampung Siliran Yogyakartaibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki pengalaman bermain teater di atas panggung. Selain itu, konsep pementasan disusun dengan menampilkan drama, koreografi, koor, dan tayangan multimedia. Jalinan dari pilihan ragam ekspresi ini dimaksudkan untuk membuat tampilan teater yang berbeda. Sementara itu, pemain gabungan antara aktris teater dan ibu-ibu rumah tangga diharapkan dapat memberikan sesuatu yang lain pada pertunjukan dan segar secara tampilan. Sutradara, dalam booklet pertunjukan menandaskan bahwa peristiwa nyata rapat PKK dapat diadopsi ke atas panggung teater kontemporer Indonesia dengan tanpa kehilangan daya tariknya.

Pementasan teater kontemporer Indonesia menarik untuk dikaji, terutama dari unsur artistik yang melingkupinya. Yudiaryani (2010) menjelaskan bahwa teater kontemporer Indonesia dibentuk melalui perkembangan adaptatif dari teater daerah dan pengaruh kultur teater modern Barat. Catatan perjalanan teater kontemporer Indonesia, menurut Sahid (1999), dimulai dari Rendra yang mana selepas belajar di Amerika Serikat mementaskan teater berjudul “Bip Bop”, pada tahun 1968. Lalu pada tahun 1969 sejumlah karya baru kembali dilahirkan, di antaranya adalah “Piiiieeep” dan “Rambate-rate-rata”. Wujud ekspresi artistik dalam pementasannya berupa gerak-gerak pantomim, tari, suara dengan kata-kata yang minim (Sahid, 1999). Menurut Toda (dalam Sahid, 1999) apa yang disajikan Rendra membukakan wawasan bahwasanya aktor bukanlah budak kata-kata, melainkan pusat pertunjukan. Kemudian muncul beragam sematan nama bagi pertunjukan Rendra tersebut. Subagio Sastrowardoyo menyebut sebagai teater murni, Arifin C. Noer menyebutnya sebagai teater primitif, sedangkan Goenawan Mohamad memberikan nama teater mini kata yang penyematannya disetujui oleh Rendra (Sahid, 1999). Selepas Rendra, muncul berbagai bentuk sajian teater kontemporer yang mencoba menampilkan hal-hal baru baik itu digali dari teater daerah maupun atas pengaruh teater modern Barat.

Malna (1999), mencoba memetakan perkembangan teater Indonesia secara genetis melalui arus pendidikan formal dan arus sanggar. Dari kedua arus ini lahirlah kelompok teater yang menghiasi perkembangan pertunjukan teater kontemporer Indonesia yang semenjak tahun 1970-an berjalan signifikan. Banyak sanggar bermunculan yang diinisiasi oleh pelaku teater dari dua arus tersebut. Oleh Sumardjo (2004), tokoh-tokoh teater pada masa ini disebut sebagai perintis pembaruan. Pada tahun 1990-an, pembaruan teater mencapai puncaknya di mana ragam penampilan teater benar-benar dirayakan dengan berbagai istilah, seperti teater total, teater eksperimental, teater tubuh, dan teater kontemporer (Harun, Kurniasih, Susandro, 2021). Semuanya memiliki makna yang sama di mana pementasan teater mencoba mencari ekspresi baru dan keluar dari konvensi yang telah memublik.

Sementara itu di kultur teater modern Barat, istilah teater kontemporer yang penggunaannya mulai merebak pada tahun 1990 (Chkhartishvili, 2019), diawali dari lahir dan eksisnya realisme sebagai penanda era modernisme dalam teater (Sumardjo, 1993). Gerakan realisme muncul pada tahun 1850-an di Perancis yang mendapat pengaruh dari pemikian Charles Darwin dan Auguste Comte (Sumardjo, 1993). Selain itu, menurut Wickham (2000) kemunculan realisme dalam teater dipengaruhi oleh berkembangnya teknologi, terutama dengan ditemukannya kamera dan film. Hal ini mengubah pandangan pelaku teater dalam berkarya. Di dalam pementasannya, realisme mencoba menampilkan kenyataan hidup seobyektif mungkin (Sumardjo, 1993).

Pada masa kemunculan realisme ini, teater berkembang sangat pesat sehingga banyak lakon dengan latar pemikiran berbeda dituliskan (Hartnoll, 1998). Gaya realis terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada sub-genre naturalisme, yang mencoba mengoreksi realisme melalui penampilan teater yang benar-benar menyajikan potongan kehidupan (Wickham, 2000). Naturalisme menghendaki peristiwa di atas panggung adalah peristiwa kehidupan itu sendiri. Koreksi atas realisme ini mendorong lahirnya upaya seniman teater untuk memprotes (tidak sekedar mengoreksi) konsep realisme dengan menyajikan karya dari sudut pandang atau latar pemikiran berbeda atas kenyataan hidup. Upaya ini dilakukan oleh banyak seniman teater sehingga memunculkan beragam gaya pementasan yang oleh Cohen (1994), masa-masa itu disebut sebagai era isme dan kemudian dipertegas menjadi era teatrikal-isme (Cohen, 1994; Cohen & Sherman, 2017).

Menurut catatan, gerakan pertama yang benar-benar menentang realisme adalah simbolisme di mana simbol-simbol digunakan untuk menangkap kemungkinan abstrak dari sebuah drama (Cohen & Sherman, 2017) yang sumber ceritanya adalah kehidupan nyata. Simbolisme kemudian dikenal sebagai new stagecraft yang mencoba mensintesiskan semua aspek artistik pementasan demi menyampaikan pesan (kebenaran) lakon (McTigue, 1992). Namun demikian gerakan atau gaya simbolisme tidak lama bertahan, akan tetapi kepionirannya memicu lahirnya isme-isme baru dalam teater (Cohen & Sherman, 2017) di mana para pelaku teater memiliki ragam sudut pandang atas teater itu sendiri serta keterkaitannya dengan kehidupan dan kebenaran atasnya.

Beberapa pionir dalam masa lahirnya isme-isme ini di antaranya adalah Alfred Jarry, Vsevolod Meyerhold, Yevgeny Vakhtangov, dan Bertolt Brecht. Jarry mementaskan lakon berjudul “Ubu Roi” pada tahun 1896 dan mendapat reaksi luar biasa. Penonton selama pertunjukan saling berteriak, bersiul, dan bahkan bertengkar. Lakon yang merupakan sindiran atas kekuasaan itu kemudian menjadi salah satu pemicu lahirnya gerakan avant-garde selain pementasannya sendiri tergolong sebagai surealisme (Cohen & Sherman, 2017). Sementara itu, Meyerhold mengetengahkan konsep konstruktivisme yang mendorong pelaku seni sebagai seniman sekaligus insinyur. Dalam hal ini, aktor merupakan kombinasi dari seorang seniman yang memahami gagasan dan instruksi sutradara dan eksekutor atas konsep yang ia pahami dalam proses berperan. Tata panggung berupa konstruksi dihadirkan sehingga pemeran harus bisa menyesuaikan diri, melalui keterampilan tubuhnya, ketika memainkan peran (Braun, 2016).