Jumat, 31 Mei 2019

Estetika dan Pembelajaran Dasar Seni


Catatan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
di Central Conservatory of Music Beijing

Oleh: Eko Santosa

(tulisan ini dimuat di dalam Majalah ARTISTA Edisi Mei 2019) 

Program Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan ke Luar Negeri diselenggarakan oleh PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta berlangsung selama 3 minggu mulai dari tanggal 11 sampai dengan 31 Maret 2019 di Central Conservatory of Music (CCOM) Beijing, China. Peserta pelatihan adalah Guru Seni Budaya SMP, SMA, SMK dan Widyaiswara PPPPTK Seni dan Budaya. Karena latar belakang peserta itulah, maka pihak CCOM melalui Departemen Musikologi dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Beijing sebagai pengelola program bekerjasama dengan Akademi Seni Murni dan Desain Tsinghua University dan The China Soong Ching Ling Science and Culture Center for Young People sehingga materi pelatihan tidak hanya berkaitan dengan seni musik. Namun demikian, catatan ini tidak akan menguraikan materi pelatihan per aspek seni melainkan khusus membahas tentang estetika yang menjadi landasan pembelajaran dasar seni.

1.   Estetika
Konsepsi mengenai estetika pertama kali diuraikan oleh Prof. Zhou Haihong dalam salah satu pertemuan kelas dengan mengemukakan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya mendengarkan musik dan apa fungsi dari seni? Cara seseorang mendengarkan musik adalah prinsip dasar dari estetika tentang musik itu sendiri. Demikian pula cara penikmatan karya seni yang lain. Oleh karena itu perlu dipahami hakikat dari aspek seni yang akan diajarkan. Di dalam seni musik, terdapat 3 (tiga) prinsip utama estetika yaitu; 1) musik adalah seni dengaran dan renjana, 2) pemahaman tentang musik selalu subyektif, multi-solusi, samar-samar, dan tidak pasti, dan 3) sinestesia atau pengalaman indera yang mewujud menjadi visi, emosi, dan konsep merupakan jembatan penghubung antara musik dan obyek ekspresi. Pengalaman estetik dalam dengaran dan renjana (emosi) murni adalah cara paling penting untuk mengapresiasi seni musik. Dengan demikian bukan soal interpretasi “benar-salah” atas apa yang didengar melainkan renjana yang ditimbulkan atas dengaran. Karena itulah penikmatan musik bersifat subyektif sebab dibatasi oleh mekanisme penyajian karya musik dan pengetahuan dasar instrumen (sumber bunyi) dan jenis musik dari pendengar. Untuk itu, upaya peningkatan apresiasi seni musik mesti dibarengi dengan kecukupan informasi. Batasan yang muncul dalam apresiasi dapat diperantarai oleh sinestesia yang mana tingkatan akurasi pemahaman sebuah karya tergantung pada kejernihan dan stabilitas sinestesia penikmat. Berdasar pada 3 (tiga) prinsip ini, pengajaran seni, dalam konteks ini musik, tidak bisa dipaksakan. Pengajar mesti memahami tingkat apresiasi dan cara mengembangkannya melalui rangkaian pengalaman estetik dengan memberikan pengayaan vokabulari dengaran.

Proses pengajaran musik mengacu pada prinsip utama estetika memiliki 3 (tiga) prinsip. Pertama adalah vokabulari dengaran (audiology), ritme dan renjana sebagai inti pengajaran. Kedua, dalam mengalirkan imajinasi dan interpretasi karya musik pengajar tidak diperkenankan memberikan batasan-batasan asosiasi yang pasti dalam mendorong dan mengapresiasi setiap imajinasi yang dimiliki siswa. Ketiga, interpretasi atas musik mesti berdasar pada korespondensi sinestesia untuk menguatkan pengalaman. Ketiga prinsip pengajaran ini sangat penting untuk menghindari proses “benar-salah” dalam belajar mengajar di tingkat dasar. Ketunggalan interpretasi yang biasanya diberikan guru kepada siswa atas musik yang diperdengarkan justru akan menghasilkan kesalahpahaman estetika. Seni musik yang tidak diwujudkan secara visual atau semantik tidak akan pernah menghasilkan citra dan konsep pemikiran yang tunggal. Panduan komprehensif dan interpretasi musik merupakan hal berbeda dan terpisah jauh dari hukum ekspresi estetik seni musik. Musik adalah ekspresi dan ekspresi berkait dengan renjana dan renjana muncul karena adanya korespondensi antara karya musik dan pendengar. Hal inilah yang semestinya lebih diperhatikan. Keberagaman pemahaman atas penikmatan karya musik perlu dihargai. Pemahaman tunggal yang dipaksakan akan memupus imajinasi. Oleh karena itulah penguasaan audiology sangat penting bagi pengajar.