Senin, 09 November 2020

Teater di Sekolah

 

Teater di Sekolah: Antara Pengalaman dan Pemahaman[1]

Oleh: Eko Santosa 

Pembelajaran teater di sekolah umumnya berjalan kurikuler di mana pengajar mesti memahami tujuan pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum. Akan tetapi di dalam pelaksanaannya seringkali terjadi irisan antara tujuan kurikuler dengan pengalaman berteater pengajar. Irisan ini menjadi problematika unik terutama ketika proses pembelajaran berlangsung di mana pengalaman (pemahaman) pengajar bertemu dengan keharusan materi (buku ajar) yang mesti diberikan. Pasti akan terjadi penyikapan (sintesis) di mana pengalaman berteater pengajar bertemu dengan materi ajar menghasilkan pemahaman (materi) baru yang diberikan kepada peserta didik. Materi baru ini kemudian diajarkan untuk memenuhi tujuan kurikuler dimaksud. Dari situasi dan kondisi inilah secara umum kelas teater dijalankan. Peran pengalaman berteater pengajar menjadi sesuatu hal yang penting dengan demikian. Namun demikian, pengalaman tidak pernah selamanya tetap. Artinya proses pembelajaran di kelas juga menjadi pengalaman baru yang pasti akan menghasilkan pengalaman baru, demikian seterusnya. Oleh karena itu pula, pemahaman pengajar juga akan berkembang baik menyangkut cara mengajar ataupun materi ajar yang didapatkan dari pengalaman yang senantiasa baru tersebut.

Di dalam diskusi atau pertemuan antarpengajar, pemahaman-pemahaman baru tentang teater atau penandasan atas kesepahaman dalam teater banyak terjadi. Antara pengajar satu dan lainnya berbagi pengalaman dan pengetahuan yang semuanya dapat disintesiskan menjadi materi ajar. Pertemuan dan diskusi menjadi penting dan merupakan pengalaman belajar yang tidak bisa dianggap sepele. Mengingat teater sebagai bagian dari kebudayaan yang selalu tumbuh bersama masyarakatnya, maka pemaknaan atasnya yang berbeda menjadi semacam keberlimpahan yang perlu disyukuri. Pemaknaan yang berbeda tidak mesti harus ditunggalkan namun juga tidak mesti menjadi ajang pertarungan mana yang lebih benar dibanding lainnya. Pemaknaan yang berbeda diperlukan justru untuk memberi keluasan pandangan akan teater itu sendiri. Bisa jadi memang, perbedaan makna mengerucut ke dalam ketunggalan namun atas dasar kesepahaman bersama yang ditemukan dalam sebuah pertemuan atau diskusi. Di samping itu, upaya mencari atau menuju ke pemaknaan tunggal atas asas kesepahaman bersama ini juga menarik untuk dicermati. Dalam beberapa pertemuan dan diskusi antarpengajar teater, beberapa hal berikut sangat seru diperbincangkan.

1.  Dramaturgi dan Formula Dramaturgi

Dramaturgi sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari keseluruhan proses pementasan drama. Hampir semua guru menyatakan bahwa tanpa dramaturgi sebuah pementasan teater tidak akan dapat berjalan dengan baik. Di dalam kelas teater, dramaturgi diterapkan dalam tahapan analisis naskah. Pada tahap ini, guru dan peserta didik mengulik naskah mulai dari tema, pesan, struktur, dan tokoh.  Catatan-catatan yang didapat pada tahapan ini kemudian diterapkan selama proses latihan hingga pementasan. Langkah kerja semacam ini rupanya sudah berlangsung lama dan menjadi anutan banyak guru teater. Jadi, pemahaman dramaturgi mendapatkan praktik nyatanya dalam aktivitas analisis atau bedah naskah.

Sama sekali tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun mematenkan atau menetapkan langkah dalam proses pementasan yang dilakukan bertahun-tahun  sebenarnya juga tidak terlalu bijaksana mengingat bahwa teater selalu membuka dirinya untuk ditelisik, direka-ulang, dibongkar, disikapi, dipandang dan dikreasi kembali. Artinya, teater secara alamiah memang tidak pernah ingin atau tidak mungkin ditetapkan. Sebagai karya seni ia butuh pengembangan termasuk dalam model dan metode penciptaannya. Tetapi mungkin dalam pandangan pendidikan yang dalam hal ini adalah persekolahan, penetapan langkah semacam ini memang diperlukan. Selain prosesnya tidak menyalahi kurikulum juga demi memudahkan kerja guru dalam mengajar atau memberi penjelasan.

Akan tetapi, kondisi tersebut menghasilkan akibat yang cukup besar di mana dramaturgi tereduksi ke dalam langkah-langkah analisis lakon dan karakter saja. Padahal dramaturgi sebenarnya berbicara lebih dari sekedar analisis lakon dan karakter. Asal-musal lakon, mengapa lakon ditulis, kapan ditulis, konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat lakon ditulis, dan kontekstualitas persoalan lakon dengan kondisi kekinian, pun juga menjadi bahasan dalam dramaturgi selain soal struktur dan hukum drama. Plus, kemungkinan perwujudan artistik di atas pentas berdasar teks lakon juga menjadi wilayah pembahasan dramaturgi. Dengan penyerderhanaan proses dramaturgi menjadi analisis lakon dan karakter, maka hal-hal selain itu seolah diabaikan dan dramaturgi kemudian memang dipahami hanya sebagai analisis lakon dan karakter.

Kerumitan kerja dramaturg (ahli drama) sebenarnya secara sederhana digambarkan dalam formula dramaturgi oleh RMA. Harymawan dii mana proses dasar penciptaan teater/drama itu melalui langkah atau tahapan yang disebut sebagai 4M yaitu menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan. Namun sayangnya, terkadang formula ini kurang terpahami dengan baik. Menghayalkan yang merupakan proses pencarian gagasan hingga ke penentuan ide pokok penciptaan seringkali dihayati sebagai proses berimajinasi seperti halnya dalam latihan pemeranan. Tentunya tahap menghayalkan ini mesti mengalami adaptasi (analogi) ketika hendak diterapkan dalam proses penulisan lakon, penyutradaan, dan bahkan pemeranan. Akan tetapi, adaptasi jarang sekali terjadi sehingga menghayalkan hanyalah menghayalkan. Demikian juga dengan tahapan lainnya, semua berhenti dalam pemaknaan banal atas kata-kata yang terkandung dalam 4M. Akibatnya, formula dramaturgi yang dapat digunakan untuk menjelasakan kerja dramaturg, penulis lakon, sutradara, aktor, dan seluruh elemen artistik pementasan hanya berhenti pada arti kata saja. Hasil akhir dari kondisi ini melahirkan pikiran bahwasanya tahap “Menuliskan” adalah tugas penulis lakon sehingga pentas teater “seolah-olah” selalu berdasar naskah lakon tertulis dan tidak bisa secara improvisasi.