Teater di Sekolah: Antara Pengalaman dan
Pemahaman[1]
Oleh:
Eko Santosa
Pembelajaran
teater di sekolah umumnya berjalan kurikuler di mana pengajar mesti memahami
tujuan pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum. Akan tetapi di dalam
pelaksanaannya seringkali terjadi irisan antara tujuan kurikuler dengan
pengalaman berteater pengajar. Irisan ini menjadi problematika unik terutama ketika
proses pembelajaran berlangsung di mana pengalaman (pemahaman) pengajar bertemu
dengan keharusan materi (buku ajar) yang mesti diberikan. Pasti akan terjadi
penyikapan (sintesis) di mana pengalaman berteater pengajar bertemu dengan
materi ajar menghasilkan pemahaman (materi) baru yang diberikan kepada peserta
didik. Materi baru ini kemudian diajarkan untuk memenuhi tujuan kurikuler
dimaksud. Dari situasi dan kondisi inilah secara umum kelas teater dijalankan.
Peran pengalaman berteater pengajar menjadi sesuatu hal yang penting dengan
demikian. Namun demikian, pengalaman tidak pernah selamanya tetap. Artinya
proses pembelajaran di kelas juga menjadi pengalaman baru yang pasti akan
menghasilkan pengalaman baru, demikian seterusnya. Oleh karena itu pula,
pemahaman pengajar juga akan berkembang baik menyangkut cara mengajar ataupun
materi ajar yang didapatkan dari pengalaman yang senantiasa baru tersebut.
Di
dalam diskusi atau pertemuan antarpengajar, pemahaman-pemahaman baru tentang
teater atau penandasan atas kesepahaman dalam teater banyak terjadi. Antara
pengajar satu dan lainnya berbagi pengalaman dan pengetahuan yang semuanya
dapat disintesiskan menjadi materi ajar. Pertemuan dan diskusi menjadi penting
dan merupakan pengalaman belajar yang tidak bisa dianggap sepele. Mengingat
teater sebagai bagian dari kebudayaan yang selalu tumbuh bersama masyarakatnya,
maka pemaknaan atasnya yang berbeda menjadi semacam keberlimpahan yang perlu
disyukuri. Pemaknaan yang berbeda tidak mesti harus ditunggalkan namun juga
tidak mesti menjadi ajang pertarungan mana yang lebih benar dibanding lainnya.
Pemaknaan yang berbeda diperlukan justru untuk memberi keluasan pandangan akan
teater itu sendiri. Bisa jadi memang, perbedaan makna mengerucut ke dalam
ketunggalan namun atas dasar kesepahaman bersama yang ditemukan dalam sebuah
pertemuan atau diskusi. Di samping itu, upaya mencari atau menuju ke pemaknaan
tunggal atas asas kesepahaman bersama ini juga menarik untuk dicermati. Dalam
beberapa pertemuan dan diskusi antarpengajar teater, beberapa hal berikut
sangat seru diperbincangkan.
1. Dramaturgi dan Formula Dramaturgi
Dramaturgi
sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari keseluruhan proses pementasan
drama. Hampir semua guru menyatakan bahwa tanpa dramaturgi sebuah pementasan
teater tidak akan dapat berjalan dengan baik. Di dalam kelas teater, dramaturgi
diterapkan dalam tahapan analisis naskah. Pada tahap ini, guru dan peserta
didik mengulik naskah mulai dari tema, pesan, struktur, dan tokoh. Catatan-catatan yang didapat pada tahapan ini
kemudian diterapkan selama proses latihan hingga pementasan. Langkah kerja
semacam ini rupanya sudah berlangsung lama dan menjadi anutan banyak guru
teater. Jadi, pemahaman dramaturgi mendapatkan praktik nyatanya dalam aktivitas
analisis atau bedah naskah.
Sama
sekali tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun mematenkan atau
menetapkan langkah dalam proses pementasan yang dilakukan bertahun-tahun sebenarnya juga tidak terlalu bijaksana
mengingat bahwa teater selalu membuka dirinya untuk ditelisik, direka-ulang,
dibongkar, disikapi, dipandang dan dikreasi kembali. Artinya, teater secara
alamiah memang tidak pernah ingin atau tidak mungkin ditetapkan. Sebagai karya
seni ia butuh pengembangan termasuk dalam model dan metode penciptaannya.
Tetapi mungkin dalam pandangan pendidikan yang dalam hal ini adalah
persekolahan, penetapan langkah semacam ini memang diperlukan. Selain prosesnya
tidak menyalahi kurikulum juga demi memudahkan kerja guru dalam mengajar atau
memberi penjelasan.
Akan
tetapi, kondisi tersebut menghasilkan akibat yang cukup besar di mana
dramaturgi tereduksi ke dalam langkah-langkah analisis lakon dan karakter saja.
Padahal dramaturgi sebenarnya berbicara lebih dari sekedar analisis lakon dan
karakter. Asal-musal lakon, mengapa lakon ditulis, kapan ditulis, konteks
sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat lakon ditulis, dan
kontekstualitas persoalan lakon dengan kondisi kekinian, pun juga menjadi
bahasan dalam dramaturgi selain soal struktur dan hukum drama. Plus,
kemungkinan perwujudan artistik di atas pentas berdasar teks lakon juga menjadi
wilayah pembahasan dramaturgi. Dengan penyerderhanaan proses dramaturgi menjadi
analisis lakon dan karakter, maka hal-hal selain itu seolah diabaikan dan
dramaturgi kemudian memang dipahami hanya sebagai analisis lakon dan karakter.
Kerumitan
kerja dramaturg (ahli drama) sebenarnya secara sederhana digambarkan dalam
formula dramaturgi oleh RMA. Harymawan dii mana proses dasar penciptaan
teater/drama itu melalui langkah atau tahapan yang disebut sebagai 4M yaitu
menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan. Namun sayangnya, terkadang
formula ini kurang terpahami dengan baik. Menghayalkan yang merupakan proses
pencarian gagasan hingga ke penentuan ide pokok penciptaan seringkali dihayati
sebagai proses berimajinasi seperti halnya dalam latihan pemeranan. Tentunya
tahap menghayalkan ini mesti mengalami adaptasi (analogi) ketika hendak
diterapkan dalam proses penulisan lakon, penyutradaan, dan bahkan pemeranan.
Akan tetapi, adaptasi jarang sekali terjadi sehingga menghayalkan hanyalah
menghayalkan. Demikian juga dengan tahapan lainnya, semua berhenti dalam
pemaknaan banal atas kata-kata yang terkandung dalam 4M. Akibatnya, formula
dramaturgi yang dapat digunakan untuk menjelasakan kerja dramaturg, penulis
lakon, sutradara, aktor, dan seluruh elemen artistik pementasan hanya berhenti
pada arti kata saja. Hasil akhir dari kondisi ini melahirkan pikiran bahwasanya
tahap “Menuliskan” adalah tugas penulis lakon sehingga pentas teater
“seolah-olah” selalu berdasar naskah lakon tertulis dan tidak bisa secara
improvisasi.