Sebuah Refleksi Pementasan “Monotheatre”
Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
Oleh: Eko Santosa
Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta memproduksi pementasan teater bertajuk “Monotheatre” yang merupakan pementasan teater dengan seorang pemeran melakonkan cerita seorang diri. Pementasan yang merupakan rangkaian nomor pertunjukan monolog, monogerak, dan duo monolog ini diselenggarakan pada tanggal 24 April di SMK 17 Magelang, 26 April di Labkar UNY, 28 April di Gedung Blackbox ISI Surakarta, dan 30 April di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya. Galang Berti melakonkan “Penangsang”, Danial Lee dengan “Suwarno Suwarni”, dan Natasha Rafizi membawakan lakon “Suwarni Suwarno”, semua teks lakon karya Whani Darmawan. Sementara Bagus Rizky menyajikan monogerak “Falling Leaf & The Drunken Swordsman” karyanya sendiri. Produksi pementasan ini dimaksudkan sebagai pembelajaran seni peran kepada para pemeran. Secara khusus, pembelajaran tersebut menyangkut pemeran, dirinya, dan teks/gagasan serta pola atau formula pelatihan dan pengarahan. Dalam kekhususan ini, pemain musti mengadaptasi kultur berlatih dan bermain di bawah pengarahan serta pendekatan yang selama ini dilakukan dalam proses pemeranan.
Dari ketiga jenis pementasan yang diproduksi ada catatan khusus mengenai monogerak dan duo monolog. Secara umum, monogerak merupakan pertunjukan teater gerak yang dilakukan oleh seorang pemeran. Namun dalam produksi ini teater gerak diberi batasan antara tari dan mime sehingga pemeran tidak diperkenankan menari atau melakukan gerak seperti halnya mime klasik seperti umum ketahui. Hal ini dimaksudkan agar pemeran mau membangkitkan nalar kreatif dalam dirinya – untuk mengobservasi dan mengeksplorasi gerak - dan kemudian menubuhkan sekaligus menampilkan kreasi tersebut dalam rangkaian gerak bercerita. Sementara tampilan duo monolog adalah sajian monolog dua orang pemeran dalam satu ruang dan waktu (panggung). Antara pemeran satu dengan yang lain tidak memiliki kaitan langsung dalam bentuk komunikasi verbal ataupun fisik melainkan sekedar keterhubungan cerita. Artinya, dua orang pemeran berada di satu panggung tersebut tidak melakukan dialog, meski baris-baris kalimat wicaranya terkoneksi dengan pola sebab-akibat. Jadi dalam konsep ini cerita yang disajikan adalah sama namun tokoh yang diperankan berbeda dan masing-masing menyampaikannya dalam bentuk monolog. Berikut, adalah catatan reflektif selama proses produksi berjalan.
1. Kultur Latihan
Setiap orang membawa serta masa lalunya dalam menjalani hidup, termasuk pemeran. Ia akan senantiasa membawa serta kenangan-kenangan pelatihan yang telah pernah dilalui. Ada kenangan yang tergurat tipis dalam pikiran namun ada pula yang telah menubuh. Dari semua memori pelatihan yang pernah dilakoni, yang paling terasa efeknya adalah konsep fixed acting atau akting yang telah tertentu (tetap). Di dalam konsep ini, pencarian ekspresi pemeran atas emosi tokoh yang dilakonkan ditetapkan ketika dinyatakan telah sesuai oleh pelatih atau pengarah. Selanjutnya, pemeran menjalani ketetapan itu sehingga sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Dalam skala hitungan, ekspresi menjadi matematis seperti, “di dalam peristiwa ini, tokoh bicara seperti ini dengan intensi emosi seperti ini, serta gestur dan gestikulasi yang semacam ini”. Tugas pemeran kemudian adalah mempertahankan ukuran-ukuran ekspresi tersebut.
Semua pemeran yang terlibat dalam “Monotheatre” memiliki kultur latihan semacam itu. Bahkan, Bagus yang tidak memiliki latar belakang kepemeranan pun membawa kultur tersebut. Kultur latihan fixed acting Bagus didapatkan dari latihan samurai dan capoera yang ia suntuki. Tentu saja dalam latihan bela diri semacam ini, ukuran-ukuran gerakan harus tetap dan pasti sebab jika salah akan menghasilkan cidera. Sementara Galang, Daniel, dan Natasha yang berlatar belakang teater dramatik jelas sekali membawa kultur fixed acting ini. Tidak menjadi masalah sebenarnya ketika produksi “Monotheatre” juga menerapkan konsep tersebut, namun menjadi masalah besar karena “Monotheatre” mencoba menerapkan analisis aktif dengan mengedepankan spontanitas dalam akting.
Analisis aktif atas karakter yang dimainkan mensyaratkan adanya perubahan atau perkembangan yang senantiasa dalam prosesnya dan setiap perubahan ini mesti dilakukan secara spontan. Artinya, karakter tidak pernah bisa memiliki ekspresi tetap (matematis) karena tergantung dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pemeran pada saat ia memainkan karakter tersebut. Situasi dan kondisi ini memerlukan kerja analisis yang cepat (otomatis) sehingga menghasilkan ekspresi spontan (seolah-olah tanpa dipikir). Persis seperti ketika seseorang digigit nyamuk, maka ia akan segera memukul bagian tubuh yang digigit nyamuk tersebut. Tindakan memukul tersebut merupakan hasil analisis yang cepat (otomatis) bahwa ia sedang digigit nyamuk (bisa jadi hewan lain namun pikiran dan tubuh telah menganalisis bahwa itu nyamuk) dan spontan memukulnya (tanpa perlu berpikir teknik dan sudut pandang dalam memukul)**. Dalam konteks ini, akting adalah ekspresi (pikiran, perasaan, dan tindakan) yang seolah-olah tidak direncanakan. Capaian tertinggi dari konsep ini adalah akting yang natural (terlihat seperti benar-benar terjadi).
Pondasi dasar untuk menuju akting seperti ini adalah pemahaman bahwa akting sesungguhnya adalah reaksi bukan aksi. Artinya, aksi yang dilakukan merupakan reaksi (konsep dasar dari motivasi). Akan tetapi kultur fixed acting tanpa disadari membawa konsekuensi pemahaman bahwa akting adalah aksi. Secara sederhana, teks lakon yang dimainkan adalah penggal dari kisah kehidupan. Karena ia hanyalah penggalan, maka dipastikan ada cerita sebelum dan sesudah lakon tersebut. Jika sudah demikian, maka segala apa yang dilakukan dalam lakon tersebut hanyalah reaksi dari cerita sebelum lakon dituliskan dan akhir cerita dari lakon adalah awal dari cerita setelah lakon. Dengan pemahaman ini, pemeran akan memahami bahwa yang ia lakukan hanyalah reaksi. Karena reaksi, maka sangat tergantung dengan aksi sebelumnya. Lalu dari manakah aksi sebelumnya ini didapatkan? Tentu saja dari cerita sebelum lakon dituliskan. Pemahaman inilah yang kemudian dijadikan pisau bedah untuk membangun histori tokoh yang akan dimainkan. Setelah tokoh berhasil dibangun, apa yang tokoh tersebut lakukan merupakan reaksi kehidupan yang melatarinya. Sementara dalam fixed acting umumnya adalah; apa yang mesti dilakukan oleh tokoh tersebut berkaitan dengan latar belakang cerita yang dimiliki. Jelas di sini penekanannya adalah “aksi”.