Senin, 03 Juni 2019

Pemeranan: Antara Kultur, Konsep, Artistik, dan Ruang Pertunjukan

Sebuah Refleksi Pementasan “Monotheatre”
Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta

Oleh: Eko Santosa

Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta memproduksi pementasan teater bertajuk “Monotheatre” yang merupakan pementasan teater dengan seorang pemeran melakonkan cerita seorang diri. Pementasan yang merupakan rangkaian nomor pertunjukan monolog, monogerak, dan duo monolog ini diselenggarakan pada tanggal 24 April di SMK 17 Magelang, 26 April di Labkar UNY, 28 April di Gedung Blackbox ISI Surakarta, dan 30 April di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya. Galang Berti melakonkan “Penangsang”, Danial Lee dengan “Suwarno Suwarni”, dan Natasha Rafizi membawakan lakon “Suwarni Suwarno”, semua teks lakon karya Whani Darmawan. Sementara Bagus Rizky menyajikan monogerak “Falling Leaf & The Drunken Swordsman” karyanya sendiri. Produksi pementasan ini dimaksudkan sebagai pembelajaran seni peran kepada para pemeran. Secara khusus, pembelajaran tersebut menyangkut pemeran, dirinya, dan teks/gagasan serta pola atau formula pelatihan dan pengarahan. Dalam kekhususan ini, pemain musti mengadaptasi kultur berlatih dan bermain di bawah pengarahan serta pendekatan yang selama ini dilakukan dalam proses pemeranan.

Dari ketiga jenis pementasan yang diproduksi ada catatan khusus mengenai monogerak dan duo monolog. Secara umum, monogerak merupakan pertunjukan teater gerak yang dilakukan oleh seorang pemeran. Namun dalam produksi ini teater gerak diberi batasan antara tari dan mime sehingga pemeran tidak diperkenankan menari atau melakukan gerak seperti halnya mime klasik seperti umum ketahui. Hal ini dimaksudkan agar pemeran mau membangkitkan nalar kreatif dalam dirinya – untuk mengobservasi dan mengeksplorasi gerak - dan kemudian menubuhkan sekaligus menampilkan kreasi tersebut dalam rangkaian gerak bercerita. Sementara tampilan duo monolog adalah sajian monolog dua orang pemeran dalam satu ruang dan waktu (panggung). Antara pemeran satu dengan yang lain tidak memiliki kaitan langsung dalam bentuk komunikasi verbal ataupun fisik melainkan sekedar keterhubungan cerita. Artinya, dua orang pemeran berada di satu panggung tersebut tidak melakukan dialog, meski baris-baris kalimat wicaranya terkoneksi dengan pola sebab-akibat. Jadi dalam konsep ini cerita yang disajikan adalah sama namun tokoh yang diperankan berbeda dan masing-masing menyampaikannya dalam bentuk monolog. Berikut, adalah catatan reflektif selama proses produksi berjalan.

1. Kultur Latihan
Setiap orang membawa serta masa lalunya dalam menjalani hidup, termasuk pemeran. Ia akan senantiasa membawa serta kenangan-kenangan pelatihan yang telah pernah dilalui. Ada kenangan yang tergurat tipis dalam pikiran namun ada pula yang telah menubuh. Dari semua memori pelatihan yang pernah dilakoni, yang paling terasa efeknya adalah konsep fixed acting atau akting yang telah tertentu (tetap). Di dalam konsep ini, pencarian ekspresi pemeran atas emosi tokoh yang dilakonkan ditetapkan ketika dinyatakan telah sesuai oleh pelatih atau pengarah. Selanjutnya, pemeran menjalani ketetapan itu sehingga sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Dalam skala hitungan, ekspresi menjadi matematis seperti, di dalam peristiwa ini, tokoh bicara seperti ini dengan intensi emosi seperti ini, serta gestur dan gestikulasi yang semacam ini. Tugas pemeran kemudian adalah mempertahankan ukuran-ukuran ekspresi tersebut.

Semua pemeran yang terlibat dalam “Monotheatre” memiliki kultur latihan semacam itu. Bahkan, Bagus yang tidak memiliki latar belakang kepemeranan pun membawa kultur tersebut. Kultur latihan fixed acting Bagus didapatkan dari latihan samurai dan capoera yang ia suntuki. Tentu saja dalam latihan bela diri semacam ini, ukuran-ukuran gerakan harus tetap dan pasti sebab jika salah akan menghasilkan cidera. Sementara Galang, Daniel, dan Natasha yang berlatar belakang teater dramatik jelas sekali membawa kultur fixed acting ini. Tidak menjadi masalah sebenarnya ketika produksi “Monotheatre” juga menerapkan konsep tersebut, namun menjadi masalah besar karena “Monotheatre” mencoba menerapkan analisis aktif dengan mengedepankan spontanitas dalam akting.

Analisis aktif atas karakter yang dimainkan mensyaratkan adanya perubahan atau perkembangan yang senantiasa dalam prosesnya dan setiap perubahan ini mesti dilakukan secara spontan. Artinya, karakter tidak pernah bisa memiliki ekspresi tetap (matematis) karena tergantung dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pemeran pada saat ia memainkan karakter tersebut. Situasi dan kondisi ini memerlukan kerja analisis yang cepat (otomatis) sehingga menghasilkan ekspresi spontan (seolah-olah tanpa dipikir). Persis seperti ketika seseorang digigit nyamuk, maka ia akan segera memukul bagian tubuh yang digigit nyamuk tersebut. Tindakan memukul tersebut merupakan hasil analisis yang cepat (otomatis) bahwa ia sedang digigit nyamuk (bisa jadi hewan lain namun pikiran dan tubuh telah menganalisis bahwa itu nyamuk) dan spontan memukulnya (tanpa perlu berpikir teknik dan sudut pandang dalam memukul)**. Dalam konteks ini, akting adalah ekspresi (pikiran, perasaan, dan tindakan) yang seolah-olah tidak direncanakan. Capaian tertinggi dari konsep ini adalah akting yang natural (terlihat seperti benar-benar terjadi).   

Pondasi dasar untuk menuju akting seperti ini adalah pemahaman bahwa akting sesungguhnya adalah reaksi bukan aksi. Artinya, aksi yang dilakukan merupakan reaksi (konsep dasar dari motivasi). Akan tetapi kultur fixed acting tanpa disadari membawa konsekuensi pemahaman bahwa akting adalah aksi. Secara sederhana, teks lakon yang dimainkan adalah penggal dari kisah kehidupan. Karena ia hanyalah penggalan, maka dipastikan ada cerita sebelum dan sesudah lakon tersebut. Jika sudah demikian, maka segala apa yang dilakukan dalam lakon tersebut hanyalah reaksi dari cerita sebelum lakon dituliskan dan akhir cerita dari lakon adalah awal dari cerita setelah lakon. Dengan pemahaman ini, pemeran akan memahami bahwa yang ia lakukan hanyalah reaksi. Karena reaksi, maka sangat tergantung dengan aksi sebelumnya. Lalu dari manakah aksi sebelumnya ini didapatkan? Tentu saja dari cerita sebelum lakon dituliskan. Pemahaman inilah yang kemudian dijadikan pisau bedah untuk membangun histori tokoh yang akan dimainkan. Setelah tokoh berhasil dibangun, apa yang tokoh tersebut lakukan merupakan reaksi kehidupan yang melatarinya. Sementara dalam fixed acting umumnya adalah; apa yang mesti dilakukan oleh tokoh tersebut berkaitan dengan latar belakang cerita yang dimiliki. Jelas di sini penekanannya adalah “aksi”.

Sabtu, 01 Juni 2019

Catatan Tentang Pelatihan Teater dan Aktor

Oleh: Eko Santosa

(tulisan ini pernah dimuat secara berkala di, www.whanidproject.com)

Proses penciptaan teater memerlukan banyak tahapan. Salah satu yang paling utama adalah pelatihan. Pada tahap ini, para pekerja artistik utamanya sutradara dan pemeran terlibat dalam kegiatan latihan. Mulai dari soal naskah yang akan dipentaskan, arahan laku, komposisi atau blocking pemain, emosi, psikologi peran, sampai latihan bersama dengan menggunakan elemen tata artistik dilakukan. Sebuah proses yang tidak bisa dikatakan ringan namun mesti dilalui untuk mencapai perwujudan riil dari konsep produksi yang telah ditentukan. Bahkan dalam produksi pementasan amatir, pelatihan tidak bisa tidak dilakukan. Sutradara atau produser tidak bisa hanya membagi naskah kepada pemeran dan kemudian meminta mereka berlatih sendiri-sendiri dan pada saat yang ditentukan tinggal kumpul bersama lalu pementasan digelar. Di dalam proses penciptaan teater, tahapan latihan ini selalu menarik untuk dibicarakan karena beragam metode dan pendekatan dilakukan baik oleh kelompok teater dengan anggota tetapnya atau gabungan pemeran dalam sebuah produksi lepas. Kekayaan metode pelatihan dalam teater terkait dengan pementasan dan keaktoran ini dapat dijadikan sebagai bahan saling belajar ketika tertuang dalam catatan-catatan. Keberbagaian yang menjadi fondasi pelatihan atau wujud nyata teknik latihan dapat memantikkan imajinasi dan gagasan untuk dijelmakan sebagai materi latihan kala lain, bahkan ketika cara-cara yang dilakukan masih dalam tahap pra-teknik atau materi dan metodenya telah menetap.

1.  Latihan Dalam Proses Produksi
Banyak kelompok teater yang menyelenggarakan pelatihan (hanya) ketika hendak berproduksi. Bahkan sepertinya hal ini telah menjadi budaya. Tidak ada proses produksi, maka tidak ada latihan. Sementara untuk menyelenggarakan produksi diperlukan banyak persiapan (modal). Segala persiapan ini seolah-olah mesti ada terlebih dahulu baru kemudian produksi bisa dijalankan. Rencana atau desain produksi kemudian sangat tergantung dari modal awal yang dimiliki. Di dalam banyak peristiwa, modal awal ini bahkan hanya berupa jadwal pementasan dengan fasilitas pementasan tertentu yang disediakan oleh instansi tertentu dalam rangka perayaan tertentu. Selebihnya, modal itu harus dicari sendiri. Namun dengan adanya kepastian pentas ini, kerja produksi bisa dimulai sehingga latihan pun bisa diselenggarakan.

Rupa-rupanya budaya semacam ini tidak hanya menjangkiti kelompok teater amatir tetapi juga kelompok teater (yang mengaku) profesional yang selalu menerapkan tiket dalam setiap pementasannya. Latihan yang diselenggarakan dalam atau jika ada proses produksi ini kemudian ditengarai memiliki model atau pola yang sama. Pelatihan peran dimulai dari mempelajari (bedah) naskah, membagi peran, menghafal naskah sesuai peran, latihan lepas naskah dan blocking, latihan dengan elemen tata artistik, gladi bersih dan berakhir dengan pementasan. Pola ini dilakukan oleh banyak sekali kelompok sehingga langkah-langkah atau tahapan prosesnya seolah-olah menjadi standar. Artinya, proses latihan teater yang memang harus seperti itu tahapannya.

Dengan sumber utama pelatihan adalah teks lakon (naskah), maka materi pelatihan tidak akan jauh dari hal tersebut. Dalam hal ini, pelatihan di luar konteks naskah lakon seperti dasar olah tubuh dan suara menjadi tak signifikan dengan tokoh yang akan dimainkan. Latihan-latihan dasar yang biasanya memiliki materi standar ini menjadi semacam pemanasan sebelum latihan memerankan tokoh dilakukan. Proses latihan yang dimulai dari pemanasan (tubuh, suara, konsentrasi) kemudian berlanjut dengan penokohan (berbasis teks lakon) menjadi semacam formula universal. Padahal dalam latihan semacam ini, kelenturan tubuh, keterampilan ragawi, dan fleksibilitas suara yang selalu dilatihkan dalam pemanasan tidak terkait langsung dengan keperluan peran. Jadi, pemanasan dilakukan untuk kemudian dilupakan. Jika ada keperluan khusus yang membutuhkan kepiawaian berolah tubuh dan suara, maka latihan untuk keperluan ini akan diselenggarakan pada sesi tertentu. Misalnya, ketika pementasan memerlukan komposisi gerak dan lagu, maka sesi latihan khusus ini diselenggarakan. Sekilas terbaca bahwa materi latihan dalam pemanasan selalu tidak terkait dengan watak tokoh yang akan diperankan karena fokus utamanya ada pada teks lakon.

Secara mendalam, pola latihan dasar yang dilakukan untuk menuju langsung pada materi penokohan sangat jarang dilakukan. Tugas utama pemeran adalah menghafal teks lakon dan menyajikan teks tersebut dalam pemeranan. Ukuran-ukuran yang ada kemudian tidak lepas dari teks tertulis yang akan diubah ke dalam teks terlihat dan terdengar. Model latihan semacam ini mensyaratkan kematangan dan pengalaman pemeran karena memang pemeran dituntut untuk siap secara fisik dan kejiwaan dalam memerankan tokoh sesuai naskah lakon. Selain itu, latihan untuk mendalami watak tokoh memang tidak diselenggarakan. Pemeran harus mengobservasi dan mengeksplorasi kedalaman watak peran secara mandiri dan kemudian mempresentasikannya di hadapan sutradara pada saat latihan bersama.