Rabu, 26 Desember 2018

Menyalakan Api Di Ruang Kelas Yang Sunyi


Oleh: Eko Santosa

(dimuat dalam Majalah Artista Edisi Desember Tahun 2018)

Satu waktu di masa lalu, seorang guru menjelaskan materi pembelajaran di dalam kelas. Setelah serangkaian penjelasan dianggap cukup, guru bertanya kepada siswa, “Siapa yang hendak bertanya?”, atau, “Ada pertanyaan?”. Kontan seluruh kelas terdiam. Kelas menjadi sunyi justru ketika guru menawarkan pertanyaan kepada siswa. Kelas menjadi sunyi justru ketika siswa diberi kebebasan untuk bertanya. Jika kemudian guru mencoba memancing situasi agar kelas menjadi hidup dengan memberikan pertanyaan terkait materi yang telah dijelaskan untuk dijawab, kelas justru semakin hening. Kalaupun ada siswa yang bisa menjawab, ia tak segera mengacungkan jari melainkan menunggu ditunjuk. Kalaupun ditunjuk ia akan memberikan jawaban tidak dengan yakin. Intinya, kelas benar-benar sunyi, berada dalam ketegangan. Hanya bunyi bel istirahat atau pulanglah yang bisa mengembalikan kegembiraan mereka sebagai manusia.

Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan situasi kelas di negara maju di mana siswanya justru aktif bertanya sebelum guru memberikan kesempatan bertanya. Siswa di kelas tersebut tidak merasakan beban, kelas terlihat hidup dan pembelajaran berjalan menyenangkan. Guru seolah-olah mampu menyalakan api dan siswa menyambut terang api itu dengan ragam ekspresi kegembiraan. Belajar menjadi sesuatu yang didambakan. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah karena siswa di negara maju itu merupakan siswa yang pintar dan berada di sekolah high standart, sementara ruang kelas sunyi berisi siswa kurang pintar dan sekolahnya tak berstandar? Tentu saja tidak.

Penyematan pintar dan kurang pintar terkadang hanyalah anggapan yang terlanjur menjadi keyakinan dan bahkan ukuran. Termasuk di dalamnya penyematan label sekolah terstandar dan tak terstandar. Christoper Phillips (2002) membuktikan hal tersebut melalui serangkaian percobaan terkait proses pemahaman filsafat. Salah satunya, ia bertanya perihal gelas yang diisi separuh air itu sebagai separuh kosong atau separuh isi kepada siswa di sekolah terstandar dengan siswa-siswa yang dianggap pandai dan kelas tak tersandar dengan siswa-siswa yang dianggap nakal dan tentu saja tak pandai. Apa yang ia temui adalah keajaiban di mana siswa-siswa pandai saling bersitegang dalam debat tak kunjung usai antara kelompok yang menganggap gelas itu separuh isi dan kelompok lawannya yang menganggap gelas itu separuh kosong, dengan berbagai alasan. Sementara di kelas yang terdiri dari anak-anak yang dianggap nakal dan tak pandai, jawaban justru sangat beragam. Ada yang menganggap separuh isi, ada yang menganggap separuh kosong, ada yang menganggap penuh dengan partikel, serta ada yang menganggap antara isi dan kosong tak perlu diperdebatkan karena terdapat garis batas yang memisahkan air dan ruang hampa. Jika menilik hasil jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka anggapan terhadap anak-anak nakal dan tak pandai di kelas itu mesti dianulir.

Senin, 03 Desember 2018

Mengekspresikan Teks

Oleh: Eko Santosa

(tulisan ini pernah dimuat secara berkala di www.whanidproject.com)

Pementasan teater secara mendasar merupakan proses visualisasi teks ke dalam sebuah pertunjukan (tontonan). Teks diwujudkan dalam bentuk tata panggung, busana, rias, cahaya, suara, ilustrasi musik, dan terutama melalui akting para pemeran. Informasi terbaca diubah ke dalam media pandang dan dengar. Para pekerja teater memerlukan waktu khusus dan pemusatan pikiran dalam mengerjakannya. Teks sebagai bahan dasar ekspresi artistik dapat mewujud ke dalam bentuk pertunjukan yang menarik sehingga mampu memikat penonton karena seolah-olah pertunjukan itu hidup atau sebaliknya, tontonan tidak mampu menghidupkan teks.
Aktor sebagai media utama penghidup teks memikul beban yang paling berat. Ia harus mampu menghadirkan kenyataan dari sebuah tulisan. Kenyataan yang diwujudkan melalui seni pemeranan. Dengan demikian seni pemeranan ditantang untuk memberikan ruh pada setiap kata atau kalimat tertulis melalui lakuan. Keberhasilan menghidupkan teks ini kadang-kadang hanya bisa diukur melalui penerimaan rasa penonton atas apa yang tersaji di atas pentas. Teks bisa berubah menjadi tangis, marah, tawa atau sedih bagi penonton itu sangat bergantung dari bagaimana cara pemeran mengekspresikannya. Cara berekspresi atau proses menuju ekspresi inilah yang seringkali mengalami gangguan atau hambatan sehingga teks tak mampu hidup. Ketika hal ini terjadi, maka pertunjukan yang ada di atas panggung menjadi semacam hiasan dinding yang cukup selintas saja dilihat. Tulisan ini akan menguraikan gangguan atau hambatan dalam mengekspresikan teks secara umum dari sudut pandang pribadi.
1.   Mempelajari Teks
Proses awal sebelum latihan teknis dilakukan, aktor atau pemeran perlu mempelajari teks. Secara umum sesuai kebiasaan kerja kelompok teater yang ada, proses mempelajari teks yang sering disebut sebagai bedah naskah ini dilakukan. Dalam kegiatan ini, pesan lakon melalui karakter atau tokoh yang ada di dalamnya diungkap dan ditelisik. Dari kegiatan ini didapatkan gambaran makna lakon. Kerja pemeran berikutnya adalah menyampaikan makna ini melalui laku karakter yang harus dilakoninya. Waktu tersedia untuk bedah naskah berbeda antara produksi satu dengan yang lainnya. Namun umumnya, ketersediaan waktu ini kurang mencukupi bagi aktor untuk mempelajari teks dengan baik sesuai karakter yang harus ia perankan. Oleh karena itu, aktor memerlukan waktu mandiri untuk melakukan analisis karakter berdasarkan informasi awal dari kegiatan bedah naskah ini.