Oleh: Eko Santosa
(dimuat dalam Majalah Artista Edisi Desember Tahun 2018)
Satu waktu di masa lalu, seorang guru menjelaskan materi pembelajaran di dalam kelas.
Setelah serangkaian penjelasan dianggap cukup, guru bertanya kepada siswa,
“Siapa yang hendak bertanya?”, atau, “Ada pertanyaan?”. Kontan seluruh kelas
terdiam. Kelas menjadi sunyi justru ketika guru menawarkan pertanyaan kepada
siswa. Kelas menjadi sunyi justru ketika siswa diberi kebebasan untuk bertanya.
Jika kemudian guru mencoba memancing situasi agar kelas menjadi hidup dengan memberikan pertanyaan terkait materi yang telah
dijelaskan untuk dijawab, kelas justru semakin hening. Kalaupun ada siswa yang bisa menjawab, ia tak segera mengacungkan jari
melainkan menunggu ditunjuk. Kalaupun ditunjuk ia akan memberikan jawaban tidak
dengan yakin. Intinya, kelas benar-benar sunyi, berada dalam ketegangan. Hanya
bunyi bel istirahat atau pulanglah yang bisa mengembalikan kegembiraan mereka
sebagai manusia.
Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan situasi kelas di negara maju di
mana siswanya justru aktif bertanya sebelum guru memberikan kesempatan
bertanya. Siswa di kelas tersebut tidak merasakan beban, kelas terlihat hidup
dan pembelajaran berjalan menyenangkan. Guru seolah-olah mampu menyalakan api
dan siswa menyambut terang api itu dengan ragam ekspresi kegembiraan. Belajar
menjadi sesuatu yang didambakan. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah karena
siswa di negara maju itu merupakan siswa yang pintar dan berada di sekolah high standart, sementara ruang kelas
sunyi berisi siswa kurang pintar dan sekolahnya tak berstandar? Tentu saja
tidak.
Penyematan pintar dan kurang pintar terkadang hanyalah anggapan yang
terlanjur menjadi keyakinan dan bahkan ukuran. Termasuk di dalamnya penyematan
label sekolah terstandar dan tak terstandar. Christoper Phillips (2002)
membuktikan hal tersebut melalui serangkaian percobaan terkait proses pemahaman
filsafat. Salah satunya, ia bertanya perihal gelas yang diisi separuh air itu
sebagai separuh kosong atau separuh isi kepada siswa di sekolah terstandar
dengan siswa-siswa yang dianggap pandai dan kelas tak tersandar dengan
siswa-siswa yang dianggap nakal dan tentu saja tak pandai. Apa yang ia temui
adalah keajaiban di mana siswa-siswa pandai saling bersitegang dalam debat tak
kunjung usai antara kelompok yang menganggap gelas itu separuh isi dan kelompok
lawannya yang menganggap gelas itu separuh kosong, dengan berbagai alasan. Sementara
di kelas yang terdiri dari anak-anak yang dianggap nakal dan tak pandai,
jawaban justru sangat beragam. Ada yang menganggap separuh isi, ada yang
menganggap separuh kosong, ada yang menganggap penuh dengan partikel, serta ada
yang menganggap antara isi dan kosong tak perlu diperdebatkan karena terdapat
garis batas yang memisahkan air dan ruang hampa. Jika menilik hasil jawaban
atas pertanyaan yang diajukan, maka anggapan terhadap anak-anak nakal dan tak
pandai di kelas itu mesti dianulir.