Oleh : Eko
Santosa
(tulisan ini pernah diunggah secara berkala di www.whanidproject.com)
Pemeran
atau aktor adalah elemen paling pokok dalam pertunjukan teater. Tanpanya
pertunjukan tidak akan bisa dilangsungkan karena tidak ada apapun yang akan
disaksikan oleh penonton. Aktor merupakan pewujud gagasan baik itu gagasan
penulis lakon, konseptor pertunjukan, sutradara, dan bahkan gagasannya sendiri
mengenai peran yang dimainkan. Kesanggupan dan kesungguhan aktor untuk
mewujudkan gagasan-gagasan tersebut adalah keniscayaan. Ia harus mau dan rela
berlatih keras, menjaga kebugaran, mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan
untuk memainkan peran sesuai dengan tuntutan. Aktor dengan demikian adalah
pekerja profesional. Ia tidak bisa sebagai sambilan atau hanya sekedar hobi.
Jika hanya untuk bermain teater semua orang pasti bisa asalkan sesuai porsi
kemampuan masing-masing, namun untuk menjadi aktor tidak semuanya bisa.
Perumpamaan ini persis seperti halnya dengan semua orang bisa saja bermain bulu
tangkis, namun sedikit orang yang bisa menjadi atlet bulutangkis. Sekali lagi,
aktor adalah pekerjaan profesional.
Sebagai
orang yang bergerak di bidang profesional, aktor akan menampilkan semua
kemampuannya secara optimum dalam berperan. Sebagai hasilnya, ia akan
mendapatkan applause penonton dan
diakui kepiawaiannya. Ia akan mempesona semua yang menyaksikan. Akan tetapi
karena pesona aktor yang begitu mengharu-biru, banyak orang menginginkan posisi
ini. Namun yang terjadi bukan kesanggupan dan kemampuan untuk bekerja secara
profesional melainkan jalan pintas untuk berperan di atas panggung. Banyak
orang mengira bahwa berperan itu perkara yang tidak terlalu sulit dan memperoleh
applause juga mudah didapatkan.
Banyak dari mereka yang hanya mengandalkan fisik atau belajar secara hafalan.
Memang pada akhirnya mereka bisa berperan namun jauh dari ukuran profesional.
Dari proses semacam ini banyak lahir pemain tipikal yang hanya bisa memerankan
tokoh dengan ciri tertentu. Apakah kemudian ia bukan merupakan aktor
profesional? Tentu saja tidak. Ia tetap bisa dianggap sebagai aktor profesional
selama memenuhi tuntutan pekerjaan yang diberikan padanya dengan baik. Namun,
ia tidak memiliki daya jelajah tinggi dan kesempatannya sempit untuk bermain
dalam gaya teater lain serta tokoh peran lain. Dalam kurun waktu tertentu di
budaya tertentu, aktor seperti ini memiliki pesona luar biasa. Akan tetapi
seiring berjalannya waktu dan ketika kompetisi semakin tinggi, para pelaku
teater meski meningkatkan daya kreativitasnya untuk tetap eksis. Dari kondisi
inilah kemudian lahir berbagai macam bentuk, gaya, dan konsep pementasan teater
yang kurang memberikan gerak leluasa bagi aktor tipikal.
Di sisi lain, aktor-aktor tipikal yang
biasanya berperan dalam teater konvensional ketika mau membuka pikiran, kemauan
dan kesanggupan untuk kembali belajar akan terlahir sebagai aktor baru. Dalam sejarahnya, banyak aktor modern yang
muncul dari proses ini. Mereka memiliki kekhasan karena sudah sejak lama
bergelut dengan teater konvensional. Mereka telah memiliki tradisi sendiri sehingga
ketika pikirannya terbuka dan mau menerima hal baru maka vokabulari seni
aktingnya pasti akan bertambah, demikian pula dengan pemahaman. Aktor teater
konvensional memiliki kedalaman perasaan yang ia dapatkan dari proses panjang
kerja pemeranan yang telah ia lakukan. Meski tokoh yang ia mainkan itu-itu saja
namun berbagai perasaan atau emosi tokoh itu telah ia ekspresikan. Akhirnya ia
memahami perasaan atau emosi tokoh bukan secara imanen namun melalui pengalaman
langsung. Ketika pada akhirnya ia mau membuka pikirannya untuk menerima hal-hal
baru termasuk yang bersifat kognitif, maka ia bisa menggunakan pengalamannya
sebagai analogi. Aktor-aktor yang lahir dari proses atau perjalanan karir
semacam ini biasanya memiliki kharisma, sesuatu yang sulit dijelaskan namun
bisa dirasakan. Atas dasar kharisma ini pula orang sering menganggap bahwa seni
peran (akting) tidak bisa dipelajari bagi orang yang tidak memiliki bakat. Satu
pemikiran yang keliru karena kharisma didapatkan dari pengalaman belajar yang
panjang dan intens tentang satu hal. Simpul-simpul pengalaman yang kemudian
menubuh inilah yang memancarkan kharisma. Jadi kata kuncinya adalah belajar
secara intens dan berterusan.
Proses
kelahiran seorang aktor modern dari teater konvensional ini juga tidak bisa
berlaku bagi semua aktor teater konvensional. Sebagian besar dari mereka sudah
merasa mapan dengan apa yang dijalani selama ini. Baginya, tokoh tipikal yang
ia perankan dalam kurun waktu lama telah menjadikannya sebagai ikon. Ia merasa
bahwa ikon tersebut harus dipertahankan sebagai bagian tanggung jawab pokok
seorang aktor profesional. Persis seperti seorang perupa yang mempertahankan
gayanya dalam berkarya. Ya memang benar, ia telah menjadi dan menjalani dirinya
sebagai aktor profesional. Namun, ia tidak luwes terlibat dalam produksi yang
berbeda gaya dari teater yang ia lakoni selama ini. Tentu saja hal ini
merupakan pilihan bagi aktor tersebut. Tetap bertahan dengan tokoh tipikal yang
itu-itu saja atau membuka pikiran untuk kembali belajar dan berusaha sehingga
bisa memiliki kesempatan lain yang lebih besar.