Kamis, 01 September 2016

Teater Untuk Siapa Saja



(Proses Kreatif Perjalanan dari Drama ke Teater - Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta)

Oleh: Eko Santosa[*]


Teater mensyaratkan cerita sebagai titik tolak proses penciptaan tontonan. Cerita dalam khasanah teater sering disebut lakon (plays) yang dalam pemahaman modernnya bersepadan dengan drama. Semua lakon teater baik itu bertipe tragedi, komedi, tragi-komedi, atau satir disebut sebagai drama (lihat Bakdi Soemanto, 2001). Meskipun sesungguhnya drama hanyalah salah satu tipe lakon dalam teater yang sama kedudukannya dengan tipe lakon lain yang telah disebut di atas (lihat Mary McTigue, 1992). Memang masih banyak di kalangan awam yang menyepadankan teater dengan drama namun hakekat drama adalah cerita yang ditulis untuk kemudian dipentaskan atau dimainkan di atas panggung (Prince, Jackson, 2005:7). Jadi batasannya menjadi sangat jelas bahwa drama adalah cerita.
Sebagai cerita, drama berbeda dengan novel yang memiliki berbagai macam sudut pandang penceritaan. Dalam novel pembaca dapat diajak untuk mengimajinasikan cerita baik dari sudut pandang orang ketiga atau orang pertama melalui narasi yang lengkap. Hal ini sangat berbeda dengan drama di mana si pembaca adalah pelaku langsung cerita tersebut. Ia ada di dalam cerita yang setiap laku aksinya dapat ditandai dengan dialog yang ia ucapkan dengan tokoh lain, monolog, atau soliloki. Semua keterangan berada dalam baris-baris kalimat dialog atau wicara tersebut, tidak ada keterangan naratif seperti halnya novel atau cerpen. Dalam novel atau cerpen cerita menjadi nampak hidup karena kepiawaian penulis, namun dalam drama, aktorlah – dalam konteks ini adalah pembaca - yang menghidupkan cerita tersebut. Jika pembaca novel adalah penerima pasif maka pembaca drama – aktor - adalah pelaku aktif, karena hanya dengan dilakukan secara nyata dialog-dalog tokoh dalam cerita tersebut, maka gambaran keseluruhan cerita menemukan maknanya (periksa Rosemary Ingham, 1998).
Proses menghidupkan cerita di atas pentas hingga nampak benar-benar nyata inilah yang menjadi daya tarik utama drama. Terlebih ketika drama tersebut dipentaskan dengan pendekatan realis di mana penonton disuguhi sebuah kehidupan lebih daripada sekedar sebuah pertunjukan tentang kehidupan. Sejalan dengan visi artistik semacam itu maka, aktor dalam drama (realis) diharuskan mampu mewujudkan penggal kehidupan  nyata dan ia tidak lagi berperan sebagai tokoh cerita melainkan benar-benar menjadi pelaku cerita tersebut. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, aktor dituntut berlatih keras tidak hanya seputar teknik pemeranan tetapi juga menyangkut soal filosofi dan psikologi manusia. Oleh karena itu aktor harus belajar tidak hanya fisik tetapi juga keilmuan lain yang mendukung karakter peran. Artinya, dibutuhkan kerja keras dan waktu yang lama untuk menjadi aktor yang dapat bermain dalam drama secara berkualitas.


Problematika Drama dan Ketersediaan Sumber Daya Manusia
            Pesona drama yang mampu menyuguhkan penggal kehidupan begitu hingar-bingar hingga semua orang tersedot perhatiannya ke dalam drama. Dalam beberapa dekade drama menjadi primadona teater, utamanya ketika Stanislavsky menemukan metode berlatih peran yang tentu saja berada dalam koridor teater dramatik. Metode peran lain yang lahir belakangan sering berupa pengembangan sistem Stanislavskian ini. Bahkan ketika Brecht mengungkapkan metode lain yang sama sekali berlawanan toh ia harus mempelajari lebih dulu metode Stanislavsky sebelum menemukan pola oposisinya (periksa, Alison Hodge, Ed., 2010). Meyerhold pun juga sama, ketertarikannya pada simbolisme Maeterlink tidak serta merta membuatnya berpaling dari Stanislavsky. Ia terlebih dulu suntuk bergumul dengan metode Stanislavsky baru kemudian mencoba menemukan visi baru stylised theater dengan pendekatan pelatihan fisik yang ia sebut sebagai biomechanic (periksa, Huxley and Witts, Ed., 1996:264-275). Intinya, semua jenis pelatihan aktor yang disebut di atas dalam konteks teater dramatik membutuhkan kesungguhan, kedisiplinan, dan waktu yang relatif lama. Hal ini tidaklah menjadi masalah ketika pola-pola tersebut diajarkan di sekolah khusus akting yang memang luarannya adalah aktor profesional. Pendekatan dramatik melahirkan serangkaian problem ketika diajarkan pada teater komunitas di mana anggotanya datang dan pergi.
            Yang disebut teater komunitas di sini tidak melulu pada komunitas teater bentukan tetapi juga pada sekolah umum yang mengajarkan seni teater dalam kegiatan ekstra atau intra kurikuler. Perbedaan mendasar adalah, dalam teater komunitas tidak semuanya ingin menjadi aktor atau pelaku teater porfesional. Terkadang para anggota atau siswa hanya mengikuti kegiatan teater sebagai hobby atau bentuk penyaluran ekspresi semata. Di samping itu mereka tidak selamanya menjadi anggota komunitas tersebut atau tidak selamanya mereka akan menjadi anggota teater sekolah tertentu. Juga, jumlah anggota dengan demikian menjadi tidak tetap. Setiap tahun ada saja anggota baru yang menggantikan anggota lama yang telah lulus (teater sekolah) atau menggantikan anggota lama yang telah mendapat pekerjaan atau memiliki keluarga atau pindah tempat tinggal atau berbagai alasan lain (teater komunitas). Dengan kondisi semacam ini, pelatihan teater dengan pendekatan drama seperti telah diurai di atas menjadi kurang tepat.
            Proses pelatihan akting drama yang membutuhkan waktu lama serta kesungguhan tidaklah bisa dipenuihi oleh segenap anggota. Di sekolah umum, selain kegiatan teater, siswa diharuskan mengikuti pelajaran pokok lain yang menentukan kelulusan mereka. Di komunitas, anggota sering disibukkan oleh urusan domestik yang sama sekali tidak berkaitan dengan teater. Sebagai contoh Studio Teater PPPPTK[†] Seni dan Budaya yang membuka proses pelatihan teater bagi siapa saja memiliki anggota tidak tetap yang beragam. Ada yang dari kalangan siswa SMA, SMK, mahasiswa, pelaku teater, orang awam, dan pekerja free lance. Perbedaan status anggota ini sudah merupakan masalah tersendiri. Ketika pendekatan pelatihan akting dramatik dicobakan maka yang terjadi adalah kebingungan yang melahirkan ekpresi banal dan justru menjauh dari tujuan drama itu sendiri.
            Proses pemahaman drama tidak hanya sekedar teks yang harus disuarakan tetapi juga sub teks atau makna teks sesungguhnya serta bangunan imajinasi sebelum teks itu disuarakan. Ketika karakter dalam satu drama berkata , “Wah, cuaca hari ini sangat cerah” maka, aktor harus mampu mengimajinasikan peristiwa sebelum karakter mengucapkan dialog tersebut, makna sesungguhnya dari kalimat tersebut, kapan kalimat itu diucapkan dan dalam situasi serta lingkungan seperti apa serta bagaimana nantinya reaksi karakter lain terhadap kalimat itu? Calon aktor yang tidak sungguh-sungguh belajar atau tidak memiliki cukup waktu untuk belajar akan gagal dalam mengucapkan kalimat sederhana tersebut. Ekspresinya bisa dipastikan banal dan tidak natural. Karena dalam kalimat sederhana tersebut mengandung rangkaian peristiwa imajinatif yang perlu dibangkitkan atau dihadirkan oleh si aktor. Untuk dapat membangkitkan daya imajinasi dibutuhkan latihan tertentu yang tidak berkaitan secara langsung dengan kalimat yang akan diucapkan tersebut melainkan dengan kehidupan yang melingkupi kalimat itu. Nah, bagi calon aktor dalam teater komunitas yang sifat keanggotaannya tidak tetap pola latihan dramatik semacam ini pasti akan menemui banyak kendala terutama menyangkut waktu dan parameter ketercapaian.
Jika dalam situasi seperti ini pendekatan dramatik dipaksakan maka, pertunjukan yang dihasilkanpun akan nampak pura-pura dan dibuat-buat agar nampak indah dan kelihatan enak ditonton. Tapi sesungguhnya sama sekali jauh dari kesan enak dilihat dan bahkan bagi pelakunya sendiri bisa jadi pertunjukan tersebut adalah beban kesialan yang harus ia tanggung dan tumpahkan di atas panggung dengan penuh canggung. Drama dengan demikian hanya sekedar menjadi ekspresi kata-kata tanpa makna karena memang para aktornya tidak bisa memaknai kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Drama hanya menjadi rangkaian kegiatan menghapal baris-baris dialog dan selesai ketika baris-baris tersebut dihapal dan mampu diucapkan dengan lengkap di atas pentas. Atas keadaan ini sang sutradara dengan bangga dan bodohnya menjabat tangan para pemain selepas pentas dan mengatakan, “Pertunjukan kita selamat, kalian bagus hapal semua dialognya”. Tentu tidak enak rasanya melakukan proses latihan dalam kurun waktu yang tidak sebentar hanya ingin mencapai pertunjukan yang “selamat”.

Alternatif Bentuk Tontonan Teater
            Berdasar uraian permasalahan di atas, Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya berusaha tidak mengunakan pendekatan drama dalam setiap produksinya. Proses latihan rutin yang diadakan hanya sekali seminggu serta keberagaman status dan latar belakang anggota adalah pertimbangan utama. Teks yang terdapat dalam drama dan membutuhkan pemahaman luar teks bukan menjadi satu hal yang utama dalam setiap produksi. Teks terkadang memang hanya sebagai teks yang bisa diucapkan oleh siapa saja dengan tanpa ekspresi (non-dramatik) sekalipun karena teks dalam kontkes ini hanyalah bagian kecil dari seluruh pertunjukan yang dilangsungkan. Dengan cara sederhana, Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta memandang teater sebagai sebuah pertunjukan dan bukan (hanya) cerita tentang kehidupan nyata yang harus dihadirkan di atas pentas.
            Dalam konteks pertunjukan, teater bisa hadir melalui beragam bentuk ekpresi. Ada teater boneka, teater gerak, teater musikal, teatrikalisasi puisi dan teater dramatik. Selain itu bentuk pendekatan prosesnya pun bisa bermacam-macam (selain dari pendekatan dramatik tentunya). Ada yang bermula dari gerak, dari lagu, dari bait-bait puisi atau bahkan dari situasi ketika latihan berlangsung. Semua bisa ditata sedemikia rupa menjadi sebuah pertunjukan yang sederhana dan bisa ditampilkan pada saat sesi latihan. Inilah kemudian yang menjadi semangat produksi Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta untuk menemukan alternatif bentuk tontonan teater yang tidak terikat pada problem dramatik.


Theater Game
            Tradisi drama yang melekat kuat pada individu yang ada di Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya awal melahirkan beberapa karya dramatik seperti; Soroh, Brewu, Nyanyian Angsa (2003), Luka-luka yang Terluka (2004). Namun seiring perjalanannya, staf tetap Studio tidak bisa lagi memproduksi karya drama yang membutuhkan waktu latihan lama karena kesibukan pekerjaan. Atas dasar ini maka dibukalah semacam audisi atau penawaran bagi pelaku teater untuk bergabung dalam satu produksi Studio. Proyek kerja produksi pertama bagi program ini adalah pementasan AUU… (2005) yang dipentaskan di Surabaya, Yogyakarta, dan Purworejo. Dalam prosesnya, AUU.. masih menggunakan pendekatan dramatik karena memang para pemainnya berasal dari sekolah khusus akting yaitu ISI Yogyakarta dan SMKN 1 Kasihan Jurusan Teater. Namun demikian pada saat ini pula beberapa unsur permainan sudah mulai dicobakan, terutama pada adegan yang melibatkan banyak gerak. Permainan yang bermula lahir secara spontan sebagai bentuk ekspresi ini kemudian dikembangkan dalam sesi latihan.
            Secara khusus diperlukan referensi untuk mengembangkan permainan yang terkait dengan teater. Adalah Keith Johnstone dalam buku Impro for Storytellers (1999) yang pertama kali menjadi referensi. Beberapa permainan yang ada dalam daftar buku tersebut terutama yang ringan-ringan dan bersifat kelompok dicobakan. Menarik. Semua peserta latihan merasa senang dan bergairah. Tidak semua permainan dalam buku tersebut semua dilakukan karena beberapa permainan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena berkaitan dengan karakter, status, dan penghayatan peran tingkat lanjut. Sementara, semangat Studio adalah mencobakan pola latihan yang menyenangkan sehingga semua orang bisa terlibat di dalamnya. Hal ini juga berkaitan dengan  gagasan menciptakan satu pertunjukan yang dimulai dari permainan teater atau yang disebut theater game. Pola latihannya adalah sangat sederhana, bermain-main dan mencatat permainan yang menarik untuk kemudian diberi sentuhan cerita dan lalu dipentaskan. Dari hasil cobaan ini lahirlah HRR! (2007) yang kemudian dipentaskan di Jogja, Purwokerto, Madiun, dan Puoworejo.
            Kegemaran berlatih dengan bermain-main ini kemudian menjadi pola latihan yang disepakati. Selain membentuk kebersamaan, theater game mampu melatihkan dengan baik imajinasi, konsentrasi, kebersamaan, dan kreatifitas pertunjukan. Dalam sebuah permainan, tanpa disadari semua peserta telah melakukan latihan dasar teater seperti olah tubuh, suara, dan penghayatan. Ragam permainan pun berkembang serta ferensi bertambah dan kali ini langsung dari tokoh theater game  Viola Spolin dalam bukunya Improvisation for the Theatre (1999) yang mengajarkan berbagai macam permainan karakater dan improvisasi baik secara tunggal dan kelompok. Proses latihan theater game berjalan dengan jumlah anggota yang lumayan besar dan semakin beragam.
            Dengan pendekatan permainan ini, semua orang bisa ikut bergabung. Media ekspresinya tidak hanya terbatas pada kata tetapi juga pada gerak. Gerak juga tidak harus diciptakan oleh koreografer profesional tetapi bisa oleh siapa saja yang ikut berlatih. Inti dari workshop theater game adalah problem solving, fokus, evaluasi, pengarahan, presentasi masalah baik individu atau kelompok. Presentasi dan pengatasan masalah perlu dilalui karena persoalan dalam teater biasanya berasal di luar teater itu sendiri. Aktor yang tidak bisa bergerak dengan baik atau luwes bisa jadi bukan karena badannya kaku, mungkin karena ia malu. Oleh karena itu diperlukan sesi latihan bersama yang mampu meminimalisasi perasaan malu sang aktor tersebut. Dengan pendekatan dan penyelesaian masalah yang tidak langsung ini theater game mampu menarik minat bagi seseorang untuk berteater. Dari pendekatan ini, Studio Teater melahirkan karya KLAK! (2008) dan produksi ulang HRR! (2008).
  
Acrosport
            Sebagai akibat langsung dari pola theater game yang diterapkan, acrosport menjadi rujukan lanjutan. Acrosport yang merupakan kependekan dari Acrobaticsport (olah raga yang bersifat akrobat) ini lahir ketika proses produksi HRR! (2007) berjalan. Komposisi gerak para pemain memerlukan kelenturan tubuh dan gerak-gerak akrobatik. Pelaksanaan proses acrosport ini tentunya melalui berbagai tahap dan dikhususkan bagi calon aktor yang memang sungguh-sungguh belajar teater tubuh. Tidak mudah mengerjakannya karena dibutuhkan kesiapan fisik para pelaku.
            Sebagai referensi, beberapa latihan acropsort didapatkan dari hasil unduhan di youtube atau melalui video pertunjukan sirkus teatrikal. Selebihnya dikembangkan atau disesuaikan dengan kemampuan para pelaku. Tidak bisa dipaksakan karena tanpa pengetahuan seluk-beluk tubuh yang baik, acrosport dapat berakhir fatal. Oleh karena itu pula pola latihan di Studio kemudian dibagi menjadi dua jadwal simultan, 2 jam pertama adalah theater game dan selebihnya digunakan untuk acrosport. Hal yang paling mudah dilatihkan dalam acrosport adalah tandem atau latihan susun bentuk manusia seperti halnya cheerleader. Untuk tahap ini siapa saja bisa mengikuti. Susun bentuk yang dianggap menarik selanjutnya direcord untuk kemudian dimodifikasi ke dalam satu bentuk tontonan. Pola perpindahan dari bentuk satu ke bentuk lain inilah yang menarik untuk dicermati. Dengan memberikan rangkaian cerita yang diwujudkan dalam gerak dan alunan musik maka pola susun bentuk menjadi satu pertunjukan. Pendekatan game dan acrosport  ini melahirkan karya KLAK! (2008), KRIUK, AHH.. (2009), serta Langit Hitam (2010) hasil kerjasama dengan Rumahperan Yogyakarta.

Teater Untuk Siapa Saja
            Semua proses yang dikerjakan oleh Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta di atas dibakar dengan semangat teater untuk siapa saja. Tidak hanya calon aktor yang bersekolah khsusus akting atau para aktor profesional saja yang boleh berteater, semua orang boleh dan bisa berteater. Banyak terjadi kasus menurunnya minat teater di sekolah atau komunitas tertentu karena tidak semua anggotanya bisa dan atau diperbolehkan untuk tampil di atas pentas. Jika semua dilandasi kesadaran kerja profesional tentu saja hal ini bisa berjalan dengan baik karena seseorang akan mau menyadari wahya kreatifnya sendiri-sendiri sehingga tidak semua anggota teater harus bermain tetapi ada juga yang mengelola busana, tata panggung, cahaya, rias atau suara. Namun demikian dalam teater non profesional, keinginan orang untuk bergabung dalam kelompok teater adalah untuk tampil bermain di atas panggung dan ditonton oleh khalayak.
            Pendekatan drama secara dramatic personae sering tidak memungkinkan semua orang untuk bermain. Meski ada drama yang bersifat kolosal tapi tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit mengingat bahwa visi artistik drama adalah menampilkan kenyataan kehidupan di atas pentas. Jika dalam setiap pertunjukan pemain yang dipilih hanya itu-itu saja (biasanya pemain yang dianggap cakap bermain oleh sutradara) maka, bisa dipastikan jumlah anggota teater tersebut akan susut. Dan jika para pemain yang dianggap cakap bermain tadi sudah tidak bisa lagi bermain karena meneruskan sekolah atau pindah kerja atau alasan domestik lain maka, sutradara akan kebingungan mencari penggantinya. Akhirnya, alasan klise dimunculkan dengan, “Bagaimana mungkin teater sekolah akan menjadi baik, jika pemain yang berbakat dan bisa bermain baik telah lulus sementara pemain yang ada tidak cukup bakat dan kurang cakap dalam bermain?”
            Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta tidak mau terjebak dalam situasi semacam itu. Menyalahkan sumber daya manusia yang ada adalah sangat tidak bijaksana. Kerja seni adalah kerja kreatif dan kerja kreatif adalah kerja mencipta tanpa henti. Ekspresi keatif tidak bisa dibatasi hanya dengan teks yang tertulis dalam naskah drama. Tidak juga pada latihan-latihan ketat yang mengharuskan seseorang meninggalkan tugas lain dalam kehidupannya. Teater bisa didekati dengan berbagai macam cara. Jika hanya orang yang bisa berbicara lantang dan melodius saja yang boleh bermain teater lantas bagaimana dengan orang tuna wicara yang ingin main teater? Jika hanya orang yang berpsotur sempurna saja yang bisa main teater, lantas bagaimana dengan yang tuna daksa? Teater sesungguhnya memililki ragam bentuk ekspresi yang kaya dan bisa saja dilepaskan dari kungkungan kata dan barisan kalimat yang mengunci imajinasi dan persitiwa. Jika memang demikian halnya maka, banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mencipta tontonan teater bagi siapa saja dan oleh siapa saja. Cukup dengan kemauan, semangat, dan keiklasan teater bisa hadir di atas pentas secara sederhana dan mempesona. Bukan bermain teater dengan indah dan piawai tujuannya melainkan bermain teater sebagai proses pembelajaran kehidupan yang terbentang luas di sebalik teater yang justru sering tidak nampak dalam teater itu sendiri. Temukan apa yang ada di sebalik teater itu, tambahilah dengan semangat dan ketulusan, maka kau bisa memainkannya. Itulah semangatnya. (*)


Bacaan:
Bakdi Soemanto, 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media Presindo
Hodge, Alison, Ed., 2010. An Actor Training. London: Routledge.
Huxley, Michael, Noel Witts, Ed., 1996. The Twentieth Century Performance Reader. London: Routledge
Ingham, Rosemary. 2007. From Page to Stage. Portsmouth: Heinemann.
Johnstone, Keith. 1999. Impro for Storytellers. London: Faber and Faber.
McTigue, Mary, 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What and The Way Things Really Work in the Theater. Ohio: Better Way Books.
Prince, Nancy, Jeanie Jackson, 2005. Exploring Theatre. Ohio: McGraw Hill.
Spolin, Viola. 1999. Improvisation for the Theater. Illinois: Northwestern University Press.


[*] Disampaikan di SMKN 1 Kasihan, 19 Juli 2010
[†] Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar