(Proses Kreatif Perjalanan dari Drama ke Teater - Studio
Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta)
Oleh: Eko Santosa[*]
Teater
mensyaratkan cerita sebagai titik tolak proses penciptaan tontonan. Cerita
dalam khasanah teater sering disebut lakon (plays)
yang dalam pemahaman modernnya bersepadan dengan drama. Semua lakon teater baik
itu bertipe tragedi, komedi, tragi-komedi, atau satir disebut sebagai drama
(lihat Bakdi Soemanto, 2001). Meskipun sesungguhnya drama hanyalah salah satu
tipe lakon dalam teater yang sama kedudukannya dengan tipe lakon lain yang
telah disebut di atas (lihat Mary McTigue, 1992). Memang masih banyak di
kalangan awam yang menyepadankan teater dengan drama namun hakekat drama adalah
cerita yang ditulis untuk kemudian dipentaskan atau dimainkan di atas panggung
(Prince, Jackson, 2005:7). Jadi batasannya menjadi sangat jelas bahwa drama
adalah cerita.
Sebagai
cerita, drama berbeda dengan novel yang memiliki berbagai macam sudut pandang
penceritaan. Dalam novel pembaca dapat diajak untuk mengimajinasikan cerita
baik dari sudut pandang orang ketiga atau orang pertama melalui narasi yang
lengkap. Hal ini sangat berbeda dengan drama di mana si pembaca adalah pelaku
langsung cerita tersebut. Ia ada di dalam cerita yang setiap laku aksinya dapat
ditandai dengan dialog yang ia ucapkan dengan tokoh lain, monolog, atau
soliloki. Semua keterangan berada dalam baris-baris kalimat dialog atau wicara
tersebut, tidak ada keterangan naratif seperti halnya novel atau cerpen. Dalam
novel atau cerpen cerita menjadi nampak hidup karena kepiawaian penulis, namun
dalam drama, aktorlah – dalam konteks ini adalah pembaca - yang menghidupkan
cerita tersebut. Jika pembaca novel adalah penerima pasif maka pembaca drama –
aktor - adalah pelaku aktif, karena hanya dengan dilakukan secara nyata
dialog-dalog tokoh dalam cerita tersebut, maka gambaran keseluruhan cerita menemukan
maknanya (periksa Rosemary Ingham, 1998).
Proses
menghidupkan cerita di atas pentas hingga nampak benar-benar nyata inilah yang
menjadi daya tarik utama drama. Terlebih ketika drama tersebut dipentaskan
dengan pendekatan realis di mana penonton disuguhi sebuah kehidupan lebih
daripada sekedar sebuah pertunjukan tentang kehidupan. Sejalan dengan visi artistik
semacam itu maka, aktor dalam drama (realis) diharuskan mampu mewujudkan penggal
kehidupan nyata dan ia tidak lagi
berperan sebagai tokoh cerita melainkan benar-benar menjadi pelaku cerita
tersebut. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, aktor dituntut berlatih keras
tidak hanya seputar teknik pemeranan tetapi juga menyangkut soal filosofi dan
psikologi manusia. Oleh karena itu aktor harus belajar tidak hanya fisik tetapi
juga keilmuan lain yang mendukung karakter peran. Artinya, dibutuhkan kerja keras
dan waktu yang lama untuk menjadi aktor yang dapat bermain dalam drama secara
berkualitas.
Problematika Drama dan Ketersediaan Sumber Daya
Manusia
Pesona drama yang mampu menyuguhkan
penggal kehidupan begitu hingar-bingar hingga semua orang tersedot perhatiannya
ke dalam drama. Dalam beberapa dekade drama menjadi primadona teater, utamanya
ketika Stanislavsky menemukan metode berlatih peran yang tentu saja berada
dalam koridor teater dramatik. Metode peran lain yang lahir belakangan sering
berupa pengembangan sistem Stanislavskian ini. Bahkan ketika Brecht
mengungkapkan metode lain yang sama sekali berlawanan toh ia harus mempelajari
lebih dulu metode Stanislavsky sebelum menemukan pola oposisinya (periksa,
Alison Hodge, Ed., 2010). Meyerhold pun juga sama, ketertarikannya pada
simbolisme Maeterlink tidak serta merta membuatnya berpaling dari Stanislavsky.
Ia terlebih dulu suntuk bergumul dengan metode Stanislavsky baru kemudian mencoba
menemukan visi baru stylised theater dengan
pendekatan pelatihan fisik yang ia sebut sebagai biomechanic (periksa, Huxley and Witts, Ed., 1996:264-275).
Intinya, semua jenis pelatihan aktor yang disebut di atas dalam konteks teater
dramatik membutuhkan kesungguhan, kedisiplinan, dan waktu yang relatif lama.
Hal ini tidaklah menjadi masalah ketika pola-pola tersebut diajarkan di sekolah
khusus akting yang memang luarannya adalah aktor profesional. Pendekatan
dramatik melahirkan serangkaian problem ketika diajarkan pada teater komunitas
di mana anggotanya datang dan pergi.
Yang disebut teater komunitas di
sini tidak melulu pada komunitas teater bentukan tetapi juga pada sekolah umum
yang mengajarkan seni teater dalam kegiatan ekstra atau intra kurikuler.
Perbedaan mendasar adalah, dalam teater komunitas tidak semuanya ingin menjadi
aktor atau pelaku teater porfesional. Terkadang para anggota atau siswa hanya
mengikuti kegiatan teater sebagai hobby atau bentuk penyaluran ekspresi semata.
Di samping itu mereka tidak selamanya menjadi anggota komunitas tersebut atau
tidak selamanya mereka akan menjadi anggota teater sekolah tertentu. Juga,
jumlah anggota dengan demikian menjadi tidak tetap. Setiap tahun ada saja
anggota baru yang menggantikan anggota lama yang telah lulus (teater sekolah)
atau menggantikan anggota lama yang telah mendapat pekerjaan atau memiliki
keluarga atau pindah tempat tinggal atau berbagai alasan lain (teater
komunitas). Dengan kondisi semacam ini, pelatihan teater dengan pendekatan
drama seperti telah diurai di atas menjadi kurang tepat.
Proses pelatihan akting drama yang membutuhkan
waktu lama serta kesungguhan tidaklah bisa dipenuihi oleh segenap anggota. Di
sekolah umum, selain kegiatan teater, siswa diharuskan mengikuti pelajaran
pokok lain yang menentukan kelulusan mereka. Di komunitas, anggota sering
disibukkan oleh urusan domestik yang sama sekali tidak berkaitan dengan teater.
Sebagai contoh Studio Teater PPPPTK[†] Seni dan
Budaya yang membuka proses pelatihan teater bagi siapa saja memiliki anggota
tidak tetap yang beragam. Ada yang dari kalangan siswa SMA, SMK, mahasiswa,
pelaku teater, orang awam, dan pekerja free
lance. Perbedaan status anggota ini sudah merupakan masalah tersendiri. Ketika
pendekatan pelatihan akting dramatik dicobakan maka yang terjadi adalah
kebingungan yang melahirkan ekpresi banal dan justru menjauh dari tujuan drama
itu sendiri.
Proses pemahaman drama tidak hanya
sekedar teks yang harus disuarakan tetapi juga sub teks atau makna teks
sesungguhnya serta bangunan imajinasi sebelum teks itu disuarakan. Ketika
karakter dalam satu drama berkata , “Wah, cuaca hari ini sangat cerah” maka,
aktor harus mampu mengimajinasikan peristiwa sebelum karakter mengucapkan
dialog tersebut, makna sesungguhnya dari kalimat tersebut, kapan kalimat itu
diucapkan dan dalam situasi serta lingkungan seperti apa serta bagaimana
nantinya reaksi karakter lain terhadap kalimat itu? Calon aktor yang tidak
sungguh-sungguh belajar atau tidak memiliki cukup waktu untuk belajar akan
gagal dalam mengucapkan kalimat sederhana tersebut. Ekspresinya bisa dipastikan
banal dan tidak natural. Karena dalam kalimat sederhana tersebut mengandung
rangkaian peristiwa imajinatif yang perlu dibangkitkan atau dihadirkan oleh si
aktor. Untuk dapat membangkitkan daya imajinasi dibutuhkan latihan tertentu
yang tidak berkaitan secara langsung dengan kalimat yang akan diucapkan
tersebut melainkan dengan kehidupan yang melingkupi kalimat itu. Nah, bagi
calon aktor dalam teater komunitas yang sifat keanggotaannya tidak tetap pola
latihan dramatik semacam ini pasti akan menemui banyak kendala terutama
menyangkut waktu dan parameter ketercapaian.
Jika
dalam situasi seperti ini pendekatan dramatik dipaksakan maka, pertunjukan yang
dihasilkanpun akan nampak pura-pura dan dibuat-buat agar nampak indah dan
kelihatan enak ditonton. Tapi sesungguhnya sama sekali jauh dari kesan enak
dilihat dan bahkan bagi pelakunya sendiri bisa jadi pertunjukan tersebut adalah
beban kesialan yang harus ia tanggung dan tumpahkan di atas panggung dengan
penuh canggung. Drama dengan demikian hanya sekedar menjadi ekspresi kata-kata
tanpa makna karena memang para aktornya tidak bisa memaknai kata-kata yang
terlontar dari mulutnya. Drama hanya menjadi rangkaian kegiatan menghapal
baris-baris dialog dan selesai ketika baris-baris tersebut dihapal dan mampu
diucapkan dengan lengkap di atas pentas. Atas keadaan ini sang sutradara dengan
bangga dan bodohnya menjabat tangan para pemain selepas pentas dan mengatakan,
“Pertunjukan kita selamat, kalian bagus hapal semua dialognya”. Tentu tidak
enak rasanya melakukan proses latihan dalam kurun waktu yang tidak sebentar
hanya ingin mencapai pertunjukan yang “selamat”.
Alternatif Bentuk Tontonan Teater
Berdasar uraian permasalahan di
atas, Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya berusaha tidak mengunakan pendekatan
drama dalam setiap produksinya. Proses latihan rutin yang diadakan hanya sekali
seminggu serta keberagaman status dan latar belakang anggota adalah
pertimbangan utama. Teks yang terdapat dalam drama dan membutuhkan pemahaman
luar teks bukan menjadi satu hal yang utama dalam setiap produksi. Teks
terkadang memang hanya sebagai teks yang bisa diucapkan oleh siapa saja dengan
tanpa ekspresi (non-dramatik) sekalipun karena teks dalam kontkes ini hanyalah
bagian kecil dari seluruh pertunjukan yang dilangsungkan. Dengan cara
sederhana, Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta memandang teater
sebagai sebuah pertunjukan dan bukan (hanya) cerita tentang kehidupan nyata
yang harus dihadirkan di atas pentas.
Dalam konteks pertunjukan, teater
bisa hadir melalui beragam bentuk ekpresi. Ada teater boneka, teater gerak,
teater musikal, teatrikalisasi puisi dan teater dramatik. Selain itu bentuk
pendekatan prosesnya pun bisa bermacam-macam (selain dari pendekatan dramatik
tentunya). Ada yang bermula dari gerak, dari lagu, dari bait-bait puisi atau
bahkan dari situasi ketika latihan berlangsung. Semua bisa ditata sedemikia
rupa menjadi sebuah pertunjukan yang sederhana dan bisa ditampilkan pada saat
sesi latihan. Inilah kemudian yang menjadi semangat produksi Studio Teater
PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta untuk menemukan alternatif bentuk tontonan
teater yang tidak terikat pada problem dramatik.
Theater Game
Tradisi drama yang melekat kuat pada
individu yang ada di Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya awal melahirkan
beberapa karya dramatik seperti; Soroh,
Brewu, Nyanyian Angsa (2003), Luka-luka
yang Terluka (2004). Namun seiring perjalanannya, staf tetap Studio tidak
bisa lagi memproduksi karya drama yang membutuhkan waktu latihan lama karena
kesibukan pekerjaan. Atas dasar ini maka dibukalah semacam audisi atau
penawaran bagi pelaku teater untuk bergabung dalam satu produksi Studio. Proyek
kerja produksi pertama bagi program ini adalah pementasan AUU… (2005) yang dipentaskan di Surabaya, Yogyakarta, dan
Purworejo. Dalam prosesnya, AUU.. masih
menggunakan pendekatan dramatik karena memang para pemainnya berasal dari sekolah
khusus akting yaitu ISI Yogyakarta dan SMKN 1 Kasihan Jurusan Teater. Namun
demikian pada saat ini pula beberapa unsur permainan sudah mulai dicobakan,
terutama pada adegan yang melibatkan banyak gerak. Permainan yang bermula lahir
secara spontan sebagai bentuk ekspresi ini kemudian dikembangkan dalam sesi
latihan.
Secara khusus diperlukan referensi
untuk mengembangkan permainan yang terkait dengan teater. Adalah Keith
Johnstone dalam buku Impro for
Storytellers (1999) yang pertama kali menjadi referensi. Beberapa permainan
yang ada dalam daftar buku tersebut terutama yang ringan-ringan dan bersifat
kelompok dicobakan. Menarik. Semua peserta latihan merasa senang dan bergairah.
Tidak semua permainan dalam buku tersebut semua dilakukan karena beberapa
permainan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena berkaitan dengan
karakter, status, dan penghayatan peran tingkat lanjut. Sementara, semangat
Studio adalah mencobakan pola latihan yang menyenangkan sehingga semua orang
bisa terlibat di dalamnya. Hal ini juga berkaitan dengan gagasan menciptakan satu pertunjukan yang
dimulai dari permainan teater atau yang disebut theater game. Pola latihannya adalah sangat sederhana, bermain-main
dan mencatat permainan yang menarik untuk kemudian diberi sentuhan cerita dan
lalu dipentaskan. Dari hasil cobaan ini lahirlah HRR! (2007) yang kemudian dipentaskan di Jogja, Purwokerto, Madiun,
dan Puoworejo.
Kegemaran berlatih dengan
bermain-main ini kemudian menjadi pola latihan yang disepakati. Selain
membentuk kebersamaan, theater game
mampu melatihkan dengan baik imajinasi, konsentrasi, kebersamaan, dan
kreatifitas pertunjukan. Dalam sebuah permainan, tanpa disadari semua peserta telah
melakukan latihan dasar teater seperti olah tubuh, suara, dan penghayatan.
Ragam permainan pun berkembang serta ferensi bertambah dan kali ini langsung
dari tokoh theater game Viola Spolin dalam bukunya Improvisation for the Theatre (1999)
yang mengajarkan berbagai macam permainan karakater dan improvisasi baik secara
tunggal dan kelompok. Proses latihan theater
game berjalan dengan jumlah anggota yang lumayan besar dan semakin beragam.
Dengan pendekatan permainan ini,
semua orang bisa ikut bergabung. Media ekspresinya tidak hanya terbatas pada
kata tetapi juga pada gerak. Gerak juga tidak harus diciptakan oleh koreografer
profesional tetapi bisa oleh siapa saja yang ikut berlatih. Inti dari workshop theater game adalah problem solving, fokus, evaluasi, pengarahan, presentasi masalah
baik individu atau kelompok. Presentasi dan pengatasan masalah perlu dilalui
karena persoalan dalam teater biasanya berasal di luar teater itu sendiri.
Aktor yang tidak bisa bergerak dengan baik atau luwes bisa jadi bukan karena
badannya kaku, mungkin karena ia malu. Oleh karena itu diperlukan sesi latihan
bersama yang mampu meminimalisasi perasaan malu sang aktor tersebut. Dengan
pendekatan dan penyelesaian masalah yang tidak langsung ini theater game mampu menarik minat bagi
seseorang untuk berteater. Dari pendekatan ini, Studio Teater melahirkan karya KLAK! (2008) dan produksi ulang HRR! (2008).
Acrosport
Sebagai akibat langsung dari pola theater game yang diterapkan, acrosport
menjadi rujukan lanjutan. Acrosport yang
merupakan kependekan dari Acrobaticsport (olah
raga yang bersifat akrobat) ini lahir ketika proses produksi HRR! (2007) berjalan. Komposisi gerak
para pemain memerlukan kelenturan tubuh dan gerak-gerak akrobatik. Pelaksanaan
proses acrosport ini tentunya melalui
berbagai tahap dan dikhususkan bagi calon aktor yang memang sungguh-sungguh
belajar teater tubuh. Tidak mudah mengerjakannya karena dibutuhkan kesiapan
fisik para pelaku.
Sebagai referensi, beberapa latihan acropsort didapatkan dari hasil unduhan
di youtube atau melalui video
pertunjukan sirkus teatrikal. Selebihnya dikembangkan atau disesuaikan dengan
kemampuan para pelaku. Tidak bisa dipaksakan karena tanpa pengetahuan
seluk-beluk tubuh yang baik, acrosport dapat
berakhir fatal. Oleh karena itu pula pola latihan di Studio kemudian dibagi
menjadi dua jadwal simultan, 2 jam pertama adalah theater game dan selebihnya digunakan untuk acrosport. Hal yang paling mudah dilatihkan dalam acrosport adalah tandem atau latihan susun
bentuk manusia seperti halnya cheerleader.
Untuk tahap ini siapa saja bisa mengikuti. Susun bentuk yang dianggap
menarik selanjutnya direcord untuk kemudian dimodifikasi ke dalam satu bentuk
tontonan. Pola perpindahan dari bentuk satu ke bentuk lain inilah yang menarik
untuk dicermati. Dengan memberikan rangkaian cerita yang diwujudkan dalam gerak
dan alunan musik maka pola susun bentuk menjadi satu pertunjukan. Pendekatan game dan acrosport ini melahirkan
karya KLAK! (2008), KRIUK, AHH.. (2009), serta Langit Hitam (2010) hasil kerjasama
dengan Rumahperan Yogyakarta.
Teater Untuk Siapa Saja
Semua proses yang dikerjakan oleh
Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta di atas dibakar dengan semangat
teater untuk siapa saja. Tidak hanya
calon aktor yang bersekolah khsusus akting atau para aktor profesional saja
yang boleh berteater, semua orang boleh dan bisa berteater. Banyak terjadi
kasus menurunnya minat teater di sekolah atau komunitas tertentu karena tidak
semua anggotanya bisa dan atau diperbolehkan untuk tampil di atas pentas. Jika
semua dilandasi kesadaran kerja profesional tentu saja hal ini bisa berjalan
dengan baik karena seseorang akan mau menyadari wahya kreatifnya
sendiri-sendiri sehingga tidak semua anggota teater harus bermain tetapi ada
juga yang mengelola busana, tata panggung, cahaya, rias atau suara. Namun
demikian dalam teater non profesional, keinginan orang untuk bergabung dalam
kelompok teater adalah untuk tampil bermain di atas panggung dan ditonton oleh
khalayak.
Pendekatan drama secara dramatic personae sering tidak
memungkinkan semua orang untuk bermain. Meski ada drama yang bersifat kolosal
tapi tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit mengingat bahwa visi
artistik drama adalah menampilkan kenyataan kehidupan di atas pentas. Jika
dalam setiap pertunjukan pemain yang dipilih hanya itu-itu saja (biasanya
pemain yang dianggap cakap bermain oleh sutradara) maka, bisa dipastikan jumlah
anggota teater tersebut akan susut. Dan jika para pemain yang dianggap cakap
bermain tadi sudah tidak bisa lagi bermain karena meneruskan sekolah atau
pindah kerja atau alasan domestik lain maka, sutradara akan kebingungan mencari
penggantinya. Akhirnya, alasan klise dimunculkan dengan, “Bagaimana mungkin
teater sekolah akan menjadi baik, jika pemain yang berbakat dan bisa bermain
baik telah lulus sementara pemain yang ada tidak cukup bakat dan kurang cakap
dalam bermain?”
Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya
Yogyakarta tidak mau terjebak dalam situasi semacam itu. Menyalahkan sumber
daya manusia yang ada adalah sangat tidak bijaksana. Kerja seni adalah kerja
kreatif dan kerja kreatif adalah kerja mencipta tanpa henti. Ekspresi keatif
tidak bisa dibatasi hanya dengan teks yang tertulis dalam naskah drama. Tidak
juga pada latihan-latihan ketat yang mengharuskan seseorang meninggalkan tugas
lain dalam kehidupannya. Teater bisa didekati dengan berbagai macam cara. Jika
hanya orang yang bisa berbicara lantang dan melodius saja yang boleh bermain
teater lantas bagaimana dengan orang tuna wicara yang ingin main teater? Jika
hanya orang yang berpsotur sempurna saja yang bisa main teater, lantas bagaimana
dengan yang tuna daksa? Teater sesungguhnya memililki ragam bentuk ekspresi yang
kaya dan bisa saja dilepaskan dari kungkungan kata dan barisan kalimat yang
mengunci imajinasi dan persitiwa. Jika memang demikian halnya maka, banyak
jalan yang bisa ditempuh untuk mencipta tontonan teater bagi siapa saja dan
oleh siapa saja. Cukup dengan kemauan, semangat, dan keiklasan teater bisa
hadir di atas pentas secara sederhana dan mempesona. Bukan bermain teater
dengan indah dan piawai tujuannya melainkan bermain teater sebagai proses
pembelajaran kehidupan yang terbentang luas di sebalik teater yang justru
sering tidak nampak dalam teater itu sendiri. Temukan apa yang ada di sebalik
teater itu, tambahilah dengan semangat dan ketulusan, maka kau bisa
memainkannya. Itulah semangatnya. (*)
Bacaan:
Bakdi Soemanto, 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media Presindo
Hodge, Alison, Ed., 2010. An Actor Training. London: Routledge.
Huxley, Michael, Noel Witts, Ed., 1996. The Twentieth Century Performance Reader.
London: Routledge
Ingham, Rosemary. 2007. From Page to Stage. Portsmouth: Heinemann.
Johnstone, Keith. 1999. Impro for Storytellers. London: Faber and Faber.
McTigue, Mary, 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What and The Way Things Really
Work in the Theater. Ohio: Better Way Books.
Prince, Nancy, Jeanie Jackson, 2005. Exploring Theatre. Ohio: McGraw Hill.
Spolin, Viola. 1999. Improvisation for the Theater. Illinois: Northwestern University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar