(Sebuah catatan mengenai proses transformasi teks)
Oleh: Eko Santosa
Teater modern memiliki 4 (empat) aspek penting yang tidak
boleh diabaikan; teks (lakon), sutradara, aktor, dan penonton. Dalam kaitannya
dengan komunikasi maka ketiga aspek pertama merupakan penyampai komunikasi dan
penonton adalah komunikan. Bahan komunikasi berasal dari teks lakon. Seorang
seniman teater tidak mungkin menampilkan sebuah pertunjukan tanpa sebuah lakon.
Sesederhana apapun lakon itu sangat dibutuhkan, bahkan ketika ia hanya sebuah
ide atau sebaris kalimat, yang jelas lakon harus ada. Dengan berdasar pada
lakon ini pekerja teater mewujudkan kreasinya di atas panggung.
Proses perwujudan teks
(lakon) ke atas panggung membutuhkan kreatifitas dan teknik tersendiri. Metode
yang diterapkan bisa dan boleh saja berbeda tetapi tujuannya adalah sama;
menghadirkan teater (mengaktualisasikan cerita) di atas panggung.
Tahapan-tahapan transformasi ini dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu; teks,
aktor, dan sutradara. Ketiga aspek
tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan
dan tahapan proses transformasi teks yang akan dibahas di bawah ini pernah
dilakukan oleh Teater Pas Abang Yogyakarta dalam pementasan “Yitma Sucyaku”
(bahasa Jawa) terjemahan bebas dari naskah “Arwah-arwah” karya W.B. Yeats. Pentas tersebut diselenggarakan di Gedung
Panti Wiloso Muda-Mudi Purworejo Jawa Tengah, pada tanggal 22 Desember 2001.
Pendukung pementasan adalah; alih bahasa: Jaka Sarwana, sutradara: Puthut
Buchori dan Eko Ompong, pemain: Tafsir Huda dan Setya Prayoga.
KONSEP DASAR
Sebelum membahas lebih
jauh tentang proses pemindahan teks ke atas pentas, perlu kiranya ditentukan
konsep artistik pementasan
yang akan dilakukan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, sutradara atau
produser (yang memiliki ide pementasan) mempelajari keseluruhan isi naskah dan
kemudian menentukan interpretasi dasar
dari naskah. Interpretasi dasar (global) inilah yang selanjutnya
dijadikan patokan (guide line) dari
keseluruhan proses artsitik yang dikerjakan.
Dalam penggarapan “Yitma
Sucyaku”, sutradara tidak memiliki versi interpretasi lain selain dari apa yang
ada di dalam teks. Artinya, konsep dasar pementasan benar-benar bermula dari
teks yang digali secara tampak luar untuk menampilkan sisi persoalan dalam
cerita dan bukan mencari simbol makna atau keterkaitan makna dengan keadaan kekinian
(tekstual). Hal ini dimaksudkan untuk menampilkan cerita apa adanya dari awal
sampai akhir. Makna dari cerita atau inti pesan cerita diharapkan muncul atau
dimunculkan oleh aksi para aktor di atas pentas. Dengan demikian maka wilayah
artistik aktor yang ditekankan untuk diolah.
Guna mendukung tujuan
konsep dasar tersebut, tata artistik digarap secara minimalis. Latar cerita
“Yitma Sucyaku” yang menggambarkan rumah tingkat habis terbakar dan pohon yang
terbelah karena disambar petir dihadirkan secara suggestive. Artinya, keadaan tersebut ditampilkan di atas pentas dengan
sederhana tapi representatif. Intinya, para aktor harus menganggap bahwa bentuk
tata dekorasi yang ada adalah rumah tingkat terbakar dan pohon terbelah petir. Tata
lampu juga hanya tampil sebagai penerang agar permainan aktor dapat ditangkap
oleh mata penonton. Untuk meyakini keadaan ini para aktor harus menggunakan
kekuatan imajinasinya sehingga benar-benar merasa berada dalam situasi yang
dikehendaki oleh cerita. Kondisi ini dipertegas dengan tanpa hadirnya musik
ilustrasi yang biasanya digunakan untuk mendukung situasi cerita atau
menghadirkan efek-efek suara khusus sehingga cerita yang ditampilkan
seolah-olah benar-benar terjadi. Absennya tata musik juga merupakan tantangan
tersendiri bagi aktor untuk mengimajinasikan dan menghadirkan peristiwa lakon
di atas pentas. Tapi, inilah inti dari proses penggarapan lakon “Yitma
Sucyaku”. Jika seandainya di atas
panggung hanya ada aktor dan teks, apakah pertunjukan tidak jadi diadakan? Tentu
saja tidak.
Dalam pementasan teater,
aktorlah yang berhadapan langsung dengan penonton, ialah yang menyampaikan
cerita tersebut secara langsung, ialah yang menghadirkan cerita, menghadirkan
peristiwa di atas pentas. Atas dasar pikiran seperti inilah maka pentas lakon
“Yitma Sucyaku” lebih menitikberatkan pada seni peran. Sebagai dasar pijak
eksplorasi akting, gaya realisme dipilih
sebagai pendekatan. Realisme dipilih karena gaya ini mencoba menampilkan
potongan peristiwa kehidupan ketimbang menyajikan sebuah pertunjukan teater di
atas pentas. Dengan demikian kekuatan aktor benar-benar ditantang untuk menarik
empati, menyedot perhatian, dan membangun imajinasi penonton terhadap lakon yang disuguhkan. Untuk itu “the fourth wall” atau dinding keempat
yang ada dalam konvensi realisme harus benar-benar diciptakan (secara imajiner)
sehingga aktor benar-benar bisa main dengan dirinya sendiri dan lawan mainnya
tanpa mempedulikan adanya (keterlibatan/kehadiran) penonton. Realisme sengaja
membangun dinding keempat untuk memisahkan dunia penonton dan dunia pemain.
Selanjutnya proses penghadiran peristiwa di atas pentas terjadi di dalam dinding
keempat tersebut. Sebuah dunia (kehidupan) yang menjadi milik aktor secara
mutlak selama pertunjukan berlangsung.
TEKS
1. Teks dan Verbalisasi Teks
Tahap ini merupakan
tahap awal atau tahap pengenalan aktor kepada teks lakon. Pada pelaksanaan
tahap ini, latihan yang diselenggarakan lebih merupakan proses menghapal teks
dengan cara membaca teks sebagai teks dan mengabaikan (sementara) interpretasi.
Kata harus dianggap sebagai kata dan kalimat harus dianggap sebagai kalimat.
Kejelasan pelafalan dari setiap kata dan kalimat merupakan tugas yang harus
dilakukan dalam sesi latihan ini. Tujuan latihan tersebut adalah; aktor
menghapal setiap kata dan kalimat yang ada dalam teks. Dengan membaca teks
sebagai teks maka aktor tidak akan terjebak pada penentuan pola dramatik
dialog. Latihan membaca teks di atas – secara mendalam - lebih ditujukan
(selain untuk mengahapal dan pelafalan) untuk menangkap “apa” makna teks.
Pengenalan naskah kepada
para pemain biasanya dilakukan dengan cara membaca teks bersama sesuai dengan
perannya. Pada proses ini kebanyakan aktor membaca teks-teks dialog (sudah)
dengan nada atau berirama, yang diucapkan secara langsung, seolah-olah ia telah
mengerti apa maksud baris-baris teks dialog tersebut. Dan seperti yang biasa
terjadi, keadaan ini dimaklumi serta diteruskan (dilanjutkan) begitu adanya,
sehingga dalam tahap reading pertama
kali seolah-olah para pemain telah bermain dramatic
reading. Bagaimana seorang pemain dapat membaca naskah secara dramatik dan
bagaimana dramatika naskah dapat ditangkap sementara mereka baru pertama kali
menerima naskah tersebut? Ini kejadian aneh yang sering dialami selama proses
latihan peran. Herannya, sutradara justru membiarkan hal tersebut berlanjut. Dampaknya
ketika aktor sudah menghapal teksnya, ia juga telah menentukan dramatika
dialognya karena memang sejak awal ia membacanya seperti itu (biasanya hal ini
dimaklumi karena sedang dalam tahap menghapal). Ketika pada tahap latihan
berikut sang sutradara menemukan adanya kejanggalan dalam dramatika dialog
tersebut dan meminta sang aktor untuk mengubahnya (atau mencari bentuk lain)
maka sang aktor akan merasa kesulitan karena ia telah terbiasa dengan dramatika
dialognya yang telah dilakukan berulang-ulang sejak proses reading pertama kali.
Persoalan seperti tersebut
di atas hampir selalu dialami dalam setiap latihan teater yang berbasiskan teks.
Bagaimana hal itu terjadi? Aktor yang membaca naskah pertama kali tentu saja
belum mengetahui makna teks dialog yang dibacanya serta hubungan teks dialog
tersebut dengan teks-teks dialog yang lain. Dengan demikian dramatika dialog
belum tertemukan (tertentukan). Tetapi aktor sering bertanya “bagaimana saya akan mengucapkan dialog ini?” tanpa
lebih dulu mengerti “apa makna dialog tersebut”. Pertanyaan “bagaimana” inilah
yang mendorong aktor untuk melakukan pembacaan secara dramatik. Seringkali
juga, pencarian makna dialog dilakukan sambil mengerjakan proses
“reading”. Hal inilah yang sering
menjadi batu ganjalan proses pemahaman teks secara menyeluruh. Alangkah lebih
baiknya jika mengetahui dulu “apa” maknanya baru kemudian “bagaimana”
mengerjakannya. Untuk itu proses awal pembacaan teks adalah untuk mencari “apa”
makna teks tersebut baik secara global ataupun detil. Penemuan makna teks
menciptakan gambaran peristiwa lakon yang dapat menjadi petunjuk laku (aksi)
bagi aktor.
2. Teks dan Imajinasi Aktor
Setelah aktor hapal
setiap kalimat dalam teks, proses selanjutnya adalah penginterpretasian setiap
kalimat, kata, hubungan antarkata, dan antarkalimat dalam teks tersebut. Proses
latihan ini harus dilakukan pelan-pelan dan diskusi lebih sering dilakukan. Hal
ini bertujuan untuk menemukan interpretasi yang tepat sesuai dengan nada dasar
yang telah ditentukan oleh sutradara.
Untuk mendapatkan satu
interpretasi yang disepakati maka aktor harus menggunakan kemampuannya untuk
mengimajinasikan peristiwa dalam teks. Imajinasi yang dihasilkan aktor ini
kemudian didiskusikan bersama dan dicari korelasinya dengan makna keseluruhan
kalimat dan hubungan antarkalimat dalam teks. Aktor tidak boleh
mengimajinasikan peristiwa itu terjadi di atas panggung, akan tetapi ia harus
mengimajinasikan peristiwa itu sebagai sebuah peristiwa yang benar-benar
terjadi.
Proses imajinasi seperti
tersebut di atas memiliki tujuan agar aktor tidak terjebak untuk
mengimajinasikan blocking dan atau langkah (aksi) yang akan dilakukan di
atas panggung. Aktor harus mampu memahami dan menganggap bahwa cerita yang ada
dalam teks lakon tersebut merupakan cerita nyata. Anggapan ini akan membawa
pikiran dan perasaan aktor sebagai
pelaku peristiwa sesungguhnya. Pada sesi latihan ini juga setiap detil
informasi yang mendukung karakter dan peristiwa lakon dikumpulkan serta
dikonstruksikan oleh aktor melalui imajinasi kreatif.
Pertanyaan-pertannyaan
diajukan untuk membangun imajinasi kreatif ini, baik pertanyaan tentang
peristiwa lakon ataupun pertanyaan mengenai karakter tokoh. Semua pertanyaan
diungkapkan baik yang memiliki korelasi langsung dengan peristiwa seperti;
dimana peristiwa terjadi, mengapa terjadi, apa sebabnya, dan lain-lain sampai dengan yang tidak
memiliki korelasi langsung seperti; bagaimana kondisi masyarakat di sekitar
kejadian itu, waktu peristiwa terjadi apa pengaruhnya terhadap kehidupan
masyarakat, dan lain sebagainya. Pertanyaan seperti tersebut di atas juga
ditanyakan terhadap karakter tokoh yang diperankan. Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan informasi penting untuk direkonstruksi
oleh aktor baik secara fisik ataupun psikologis melalui imajinasinya dan
kemudian dialirkan ke dalam dirinya.
Dengan demikian, imajinasi
aktor - yang pada mulanya diinspirasikan dari teks lakon – berkembang
sedemikian rupa hingga menjelajah wilayah-wilayah terdalam dimana peristiwa
berlangsung dan bagaimana tokoh melakoni peristiwa tersebut. Imajinasi kreatif
yang dibangkitkan dalam pikiran aktor ini kemudian secara khusus ditujukan
untuk membangun karakter tokoh. Segala macam jawaban dari pertanyaan yang
diajukan mengenai karakter tokoh merupakan medium untuk merekonstruksi karakter
dalam wajah aktor. Wajah aktor adalah wajah sang tokoh, kondisi fisik aktor
adalah kondisi fisik sang tokoh, situasi kejiwaan sang aktor adalah situasi
kejiwaan sang tokoh. Dengan tujuan pencapaian semacam ini maka aktor harus
benar-benar memiliki imajinasi mendetil tentang karakter tokoh yang diperankan.
3. Aktualisasi Teks
Dalam tahap ini aktor
mulai bekerja dengan tubuhnya untuk menghadirkan cerita (nyata) di atas
panggung. Pemahaman yang didapatkan dalam dua tahap latihan sebelumnya
merupakan bahan dasar yang harus dicobakan oleh aktor dalam sesi latihan ini.
Karena aktor sudah memiliki imajinasi peristiwa dalam dirinya maka ia harus
mampu mengaktualisasikan imajinasi itu secara nyata.
Apa yang ada dalam
imajinasi dan kenyataan pastilah berbeda. Menemukan dan mengatasi perbedaan
antara imajinasi dan kenyataan merupakan tujuan inti dari latihan ini. Misalnya,
dalam sebuah adegan pembunuhan aktor memiliki imajinasi bahwa peristiwa itu
berjalan dengan sangat cepat. Ketika imajinasi ini di-nyata-kan, aktor akan
berhadapan dengan realita bahwa kecepatan yang ia bayangkan harus sesuai dengan
kecepatan yang mampu ia kerjakan. Hal ini mempengaruhi reaksi aktor yang
bertindak sebagai korban pembunuhan. Kecepatan aksi aktor yang melakukan tindak
pembunuhan akan mempengaruhi ekspresi
korban. Bentuk kematian yang dihasilkan pun akan bergantung pada hal
tersebut.
Contoh di atas menunjukkan
bahwa imaji aktor terhadap teks harus menyesuaikan keadaan sesungguhnya.
Meskipun latihan bisa dilakukan untuk mencapai hasil seperti dalam imajinasi
akan tetapi perlu dipertimbangkan kemampuan dan batas kekuatan yang dimiliki
oleh aktor untuk melakukan adegan tersebut secara riil. Dengan memperhatikan
aspek realita ini maka imajinasi aktor mendapat pantulan pengalaman.
Selanjutnya pantulan pengalaman ini akan menjadi arahan yang sangat berguna
dalam proses perwujudan imajinasi teks.
AKTOR
1. Wilayah Pribadi Aktor
Setiap aktor memiliki
wilayah pribadi. Artinya, dalam sebuah percakapan seseorang memiliki sendiri
latar atau background dari apa yang diucapkan tersebut. Hal inilah yang
disebut dengan wilayah pribadi aktor. Apa yang diucapkan atau diceritakan
sepenuhnya merupakan hak miliknya secara personal. Berikutnya adalah reaksi
aktor lain terhadap cerita (ucapan) yang
dilakukan lawan mainnya menjadi wilayah pribadinya.
Masing-masing wilayah
pribadi aktor itu selanjutnya akan mengalami proses persinggungan (crashing).
Misalnya; dua orang (A dan B) melakukan percakapan, maka wilayah pribadi kedua
orang tersebut akan mengalami persinggungan. Hasil dari persinggungan ini dapat
dipandang melalui kekuatan (power) yang dimiliki oleh masing-masing
pelaku.
Sebagai contoh; A
menceritakan masa kecilnya kepada B dan B memberikan reaksi pada cerita itu.
Hasil dari persinggungan tersebut ada 4 (macam) kadaan yang ditentukan bedasar
kekuatan yang dimiliki oleh A dan B. Pertama, A akan terlihat lebih kuat
daripada B jika B mempercayai kesungguhan cerita A. Kedua, kedudukan A dan B
akan sama kuat jika B menyangsikan cerita itu dan mengungkapkan alasannya.
Ketiga, B akan lebih kuat daripada A jika ia tidak mempedulikan cerita A.
Keempat, A dan B akan berada dalam satu wlayah jika B ikut memberikan tanggapan
dan kemudian membangun kelanjutan cerita A.
Dengan menyadari wilayah
pribadi masing-masing dan proses persinggungan tersebut aktor akan mendapatkan
semacam petunjuk laku aksi (acting guide). Petunjuk laku ini tidak bisa
menjadi landasan tunggal bagi aktor dalam berperan. Masih banyak hal-hal lain
yang harus diperhatikan, tetapi dengan memahami wilayah pribadi tersebut aktor
akan lebih mudah memberikan makna pada kalimat dan peran yang ia lakukan.
2. Spontanitas
Arti spontan dalam bahasan
ini adalah bergerak secara reflek. Untuk dapat mencapai gerak reflek seorang
aktor harus betul-betul merasa bahwa segala apa yang ada dalam cerita adalah
miliknya sendiri dan ia seolah-olah pernah mengalaminya secara pribadi. Gerak
reflek ini dapat dihasilkan – biasanya - dengan cara melakukan berulang-ulang
sebuah bentuk ekspresi selama proses latihan. Teknik seperti ini memiliki
kelemahan karena hasilnya sering tampak mekanis dan kaku serta monoton.
Untuk mencapai hasil yang
optimal, latihan spontanitas dapat dilakukan dengan cara mengeksplorasi gerak
ekspresi sehari-hari. Misalnya; seorang aktor dalam kehidupan sehari-hari selalu
menutup muka dengan tangan jika takut. Bentuk ekspresi menutup muka dengan
tangan ini dapat dikembangkan dalam berbagai macam variasi. Kemudian hasil dari
pengembangan bentuk ekspresi tadi disejajarkan dengan intensitas rasa takut
tadi. Apakah sedikit takut, setengah takut atau takut sekali. Setelah bentuk
ekspresi hasil eksplorasi dirasa cocok bagi si aktor maka bentuk inilah yang
akan dilakukan.
Sekilas teknik latihan ini
tampak sama dengan yang pertama tetapi jika dicermati memiliki perbedaan mendasar.
Dalam teknik latihan yang pertama, aktor hanya mengulang-ulang satu bentuk
ekspresi yang ditetapkan sedangkan dalam teknik yang kedua sebelum menetapkan
sebuah bentuk ekspresi aktor harus melakukan eksplorasi berdasarkan bentuk
ekspresi yang ia lakukan sehari-hari. Karena bentuk ekspresi berakar dari
bentuk ekspresi sehari-hari maka aktor akan lebih memiliki keyakinan dan
kepercayaan diri dalam melakukan ekspresi tersebut.
Jika latihan bentuk
ekspresi ini dilakukan berulang-ulang maka hasilnya akan nampak luwes
(fleksibel). Seandainya mengalami perubahan bentuk, aktor tidak akan merasa
kesulitan karena dasar bentuk diambil dari bentuk keseharian aktor yang
bersangkutan. Bentuk dalam hal ini tidak mempengaruhi intensitas emosi atau
motivasi. Pengulangan bentuk dalam latihan bertujuan hanya untuk melatih aktor
melakukan aksi secara reflek (spontan).
3. Bermain-main Dengan Serius
Teater pada
dasarnya adalah sebuah permainan, artinya, segala apa yang ada dan terjadi di
atas panggung tidaklah sungguh-sungguh. Dengan menggunakan pemahaman ini
seorang aktor dapat mengembangkan kreatifitas dengan bermain-main. Aktor dapat
bermain-main dengan suara, gerak, ekspresi dan segala apa yang dimilikinya
berdasar pada imajinasi. Hal yang perlu diperhatikan pada sesi ini adalah bahwa
bentuk bermain-main itu harus dilakukan dengan serius sehingga seperti tidak
sedang bermain-main.
Sebagai misal; biasanya
dalam latihan si aktor melakukan gerak tangan untuk menyatakan sebuah ekspresi.
Dalam waktu yang lain ia menambah gerak ekspresi tersebut dengan menghentakkan
kaki. Pada kali lain ia tidak melakukan gerak ekspresi melalui tangan dan kaki
tetapi dengan gerak bahu dan kepala. Semua ia coba mainkan hanya untuk
menyatakan satu macam ekspresi dan inilah yang disebut dengan bermain-main.
Jika bermain-main ini
dilakukan dengan serius maka yang tampak adalah; si aktor tersebut memang serius menyatakan sebuah ekspresi melalui
tubuhnya. Hal ini tentunya juga mempengaruhi aktor yang lain. Setiap perubahan
gerak yang dilakukan untuk menyatakan ekspresi akan lebih baik jika diikuti
perubahan gerak ekspresi oleh aktor lain sebagai reaksi atau respon spontan.
Kalau kedua aktor ini bisa saling bermain-main dan dalam melakukannya mereka
serius maka akting yang dihasilkan akan lebih hidup, alami, dan menarik.
4. Aksi – Reaksi
Akting adalah aksi dan reaksi. Para aktor sering
mendekati naskah dengan anggapan seolah-olah hanya mereka sendiri yang akan
memainkannya di atas panggung. Hasil dari pekerjaan itu tentu saja berdimensi
tunggal. Dimensi diri pribadi aktor yang bersangkutan. Kualitas kerja seperti
itu dapat dikatakan dengan “melakukan separoh (kewajiban) akting”. Kerja
lain yang tidak kalah penting setelah
aktor melakukan aksi (akting) adalah melakukan reaksi terhadap apa yang dikatakan
oleh lawan main. Mendengarkan dengan sungguh, melakukan reaksi secara wajar
adalah “separoh kerja” yang lain dari akting.
Penghapalan naskah secara cepat dan tepat akan sangat
membantu dalam langkah ini. Hapalan akan membuat aktor semakin yakin dimana
letak baris dialog yang harus diucapkan. Keyakinan aktor dalam mengucapkan
dialog akan memberikan ruang kebebasan berekpsresi. Aktor yang tidak hapal teks
dengan baik akan menemukan hambatan dan ekspresi yang dihasilkannya tidak
optimal. Dengan hapal teks maka aktor akan lebih rileks dan menikmati setiap
kalimat yang diucapkan oleh lawan main dan melakukan reaksi yang wajar tanpa
harus merasa takut dan berpikir, “Setelah ini saya harus berkata apa?” Hapal
teks bukan berarti hanya menghapal baris-baris dialog yang menjadi bagiannya
saja tetapi juga dianjurkan memahami keseluruhan teks dalam lakon termasuk
keterangan, narasi atau petunjuk laku lain yang termuat dalam naskah. Selain
sangat membantu untuk mendapat gambaran ekspresi, dengan memahami keseluruhan
naskah maka aktor akan merasa tenang dan yakin melakukan aksi – reaksi.
SUTRADARA
1. Sutradara Adalah Kawan Diskusi
Proses kesepakatan yang
baik dan adil bagi pihak yang bersepakat adalah dengan berbicara terbuka dan
saling menerima pendapat serta kritik. Pendapat yang paling logis adalah yang
menjadi sebuah keputusan. Jika keputusan yang terjadi adalah sepihak (meskipun
itu sah dilakukan dalam teknik penyutradaraan) tentu akan terasa berat dan
mengganjal bagi pelaku kesepakatan (aktor). Berdasarkan pemikiran tersebut maka
diskusi secara terbuka (mulai dari pengenalan naskah) dapat dilakukan oleh
seorang sutradara agar segala keputusan yang dihasilkan tidak saling
memberatkan tugas satu sama lain.
Dengan diskusi terbuka, aktor dan sutradara diharapkan saling
mengemukakan ide dan gagasan dalam setiap laku cerita yang hendak dimainkan.
Sebelum melakukan diskusi ini sang sutradara sudah menentukan lebih dulu garis
besar interpretasi lakon sehingga kesepakatan yang dihasilkan dalam diskusi ini
hanya detil (bagian) interpretasi. Sebagai contoh; dalam naskah lakon
disebutkan bahwa aktor (A dan B) mendengar sebuah suara. Garis besar
interpretasi telah ditentukan bahwa aktor (A) mencoba mempengaruhi (B) melalui
sebuah cerita sebelum suara itu terdengar. Selanjutnya, sutradara berpendapat
bahwa suara itu hanyalah alat atau sarana untuk mengubah arah pembicaraan.
Aktor (A) berpendapat suara itu memang terdengar karena ia merupakan bagian
imajinasi cerita sebelumnya. Aktor (B) berpendapat bahwa suara itu adalah simbol
ketakutan.
Ketiga pendapat ini kemudian dibicarakan dan dicari
pendapat siapa yang paling tepat dalam hubungannya dengan garis besar
interpretasi lakon. Pendapat yang paling tepat (logis) ini selanjutnya
disepakati untuk dimainkan. Tidak menutup kemungkinan bahwa pendapat yang ini
dapat berubah pada waktu lain jika terdapat alasan yang lebih logis dan alasan
tersebut tidak melanggar garis besar interpretasi. Pelaksanaan diskusi seperti
ini diadakan terutama pada bagian-bagian yang memang membutuhkan kesepakatan
antara sutradara dan aktor. Dapat juga dilakukan ketika seorang aktor mengalami
kesulitan mendasar atau merasakan beban dalam proses latihan sehingga
mengganjal laku peran yang harus ia kerjakan. Jika proses dapat berjalan lancar
dan menemukan kesepakatan sejak awal maka diskusi dapat berupa reviewing atau
evaluasi terhadap latihan yang telah dikerjakan.
2. Sutradara adalah Pengamat dan Kritikus
Sebagai seorang
pengamat sutradara mengamati proses latihan berdasar kepada keputusan-keputusan
yang telah ditentukan dalam diskusi sebelumnya. Sutradara dapat mengamati
segala aspek yang dimiliki oleh aktor dan bagaimana aktor menggunakan seluruh
aspek tersebut dalam melakukan peran. Hasil dari pengamatan (sesuai dengan point
of view yang dimiliki sutradara) ini selanjutnya digunakan sebagai bahan
kritik terhadap aktor.
Kritik sutradara kemudian
menjadi input dalam diskusi selanjutnya. Dalam sesi ini aktor boleh
(diharapkan) mengungkapkan segala macam persoalan atau kendala yang dihadapi
dalam laku peran yang ia mainkan. Kendala, hambatan atau masalah aktor ini
harus dapat ditemukan solusinya secara bersama. Sutradara dapat melakukan
pendekatan persuasif kepada aktor yang bersangkutan dan atau meninjau ulang
interpretasi yang telah ditentukan. Dengan langkah meninjau ulang ini
kemungkinan akan ditemui tiga macam dasar persoalan. Pertama, aktor memang
belum paham terhadap interpretasi lakon. Kedua, aktor paham interpretasi lakon
tapi mengalami kesulitan personal (psikologis – filosofis) dalam melakukannya. Ketiga,
interpretasi dirasa kurang sesuai sehingga membutuhkan sedikit perubahan dan
disesuaikan dengan imajinasi aktor.
Dalam menyelesaikan
persoalan pertama, sutradara perlu menjelaskan lagi interpretasi lakon yang
telah ditentukan. Aktor boleh menanyakan semua ketidakjelasannya pada
sutradara. Untuk mencapai hasil yang baik maka sutradara menjawab semua
pertanyaan aktor tersebut hingga sampai aktor betul-betul memahami interpretasi
lakon. Kepahaman terhadap interpretasi merupakan hal yang tidak boleh diabaikan
karena ia mempengaruhi keseluruhan laku lakon.
Untuk memecahkan masalah
kedua, sutradara perlu melakukan pendekatan pribadi terhadap aktor.
Membicarakan persoalan dari hati ke hati akan membuat aktor merasa diperhatikan
dan bersedia mengungkapkan kendala atau beban yang dihadapi. Latar belakang
terjadinya masalah yang dihadapi sangat dibutuhkan untuk menemukan jalan
keluar. Aktor dalam hal ini diharapkan berkata jujur sehingga sutradara akan
dapat memahami persoalan dasarnya yang selanjutnya bersama-sama dengan aktor
mencari jalan keluar termudah dan terbaik. Situasi seperti ini sering dihadapi
dalam sebuah poduksi. Dengan saling berbicara terbuka maka kesulitan yang
ditemui akan mendapatkan pemecahannya.
Penyelesaian persoalan
ketiga yang menyangkut interpretasi lakon memerlukan diskusi kusus antara aktor
dan sutradara. Sudut pandang aktor perlu mendapat perhatian. Sutradara dapat
mendengarkan alasan atau rasional yang diuraikan aktor terhadap interpretasi.
Selanjutnya latihan dicoba lagi seperti apa yang dikehendaki oleh aktor.
Selesai latihan sutradara mengungkapkan pandangan-pandangannya (kritik)
terhadap interpretasi yang divisualisasikan aktor. Jika seandainya dirasa
pantas maka interpretasi tersebut yang selanjutnya dipakai, jika tidak maka perlu
dibicarakan lagi dan dicari kemungkinan lain hingga terdapat kecocokan antara
aktor dan sutradara. Semua dilakukan untuk menemukan satu kesatuan bentuk yang
disepakati dan dapat dikerjakan secara enak oleh aktor serta dipandang sesuai
menurut kacamata sutradara.
3. Sutradara
Menjaga Nada Dasar
Meskipun konsep dasar pementasan lebih
menitikberatkan pada bidang keaktoran, tetapi sutradara tetap harus menjaga
nada dasar yang telah ditentukan. Sebebas apapun aktor bermain di atas pentas,
mereka tetap bermain atas arahan dan bimbingan sutradara. Dalam hal ini, gaya realisme menjadi patokan atau pijakan dasar
pengembangan kreatifitas aktor di atas pentas.
Segala bentuk business acting dapat
dan boleh saja diterapkan tetapi tetap dalam kerangka realisme. Untuk
itu sutradara harus jeli mengamati perkembangan proses permainan aktor.
Menjaga nada dasar
bukanlah hal yang mudah karena (biasanya) aktor yang dibebaskan (diberi
kebebasan) dapat dengan mudah terjebak secara emosional sehingga mengembangkan
permainan menuruti kemauan pribadinya. Keadaan ini tidak menguntungkan karena sang
aktor tidak bermain sendirian. Jika satu aktor terseret secara emosional maka
aktor yang lain akan mengikuti atau mengimbangi kondisi tersebut. Akibat lebih
jauh dari peristiwa ini adalah, aktor lepas karakter atau aktor memberi
penekanan pada bagian-bagian yang tidak perlu sehingga makna teks akan bergeser
atau berubah. Jika demikian maka dipastikan bahwa dinamika lakon menjadi
terpengaruh dan konsep dasar pementasan berubah.
Untuk menghindari
terjadinya inkonsistensi karakter, konsep serta tujuan dasar pementasan maka
sutradara harus tetap mengawal permainan aktor mengikuti garis yang telah
ditentukan. Selain beberapa konsep
pemeranan yang telah disebutkan di atas, penggunaan imajinasi peristiwa hidup
sesungguhnya merupakan salah satu cara untuk membangkitkan kesadaran aktor
bahwa ia tidak sedang bermain teater melainkan menyajikan satu lakon hidup
manusia. Analogi peristiwa dapat dijadikan gambaran atau arahan laku aktor
dalam bermain peran. Sutradara bertugas untuk selalu mengingatkan serta memberi
pemahaman kepada aktor dalam hal ini. Dalam setiap kesempatan (waktu latihan) ketika
aktor mulai melenceng dari tujuan awal, sutradara bisa memberikan arahan secara
langsung dan memberikan gambaran-gambaran peristiwa serta karakter yang ada
dalam diri aktor. Jika proses ini
dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh aktor maka nada dasar yang telah
ditentukan oleh sutradara akan terjaga dan aktor dapat berperan secara
konsisten.
-----
Proses transformasi di atas yang dipandang dari tiga aspek; teks, aktor,
dan sutradara hanyalah merupakan salah satu model. Banyak terdapat model, teori
atau metode untuk melakukan proses transformasi teks ke dalam pementasan
panggung. Setiap seniman (pelaku teater) memiliki tahapan dan cara pandang
tersendiri dalam proses perwujudan lakon. Uraian ini disampaikan sebagai
catatan sederhana yang dapat digunakan untuk
bahan “bagi pengalaman”. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi sekalian
pembaca.
(*)
Dimuat dalam majalah Artista No.2 Vol.8, Juli-Desember 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar