Selasa, 26 Juni 2018

Pikiran-pikiran Tentang Pemeranan

Oleh : Eko Santosa

(tulisan ini pernah diunggah secara berkala di www.whanidproject.com)



Pemeran atau aktor adalah elemen paling pokok dalam pertunjukan teater. Tanpanya pertunjukan tidak akan bisa dilangsungkan karena tidak ada apapun yang akan disaksikan oleh penonton. Aktor merupakan pewujud gagasan baik itu gagasan penulis lakon, konseptor pertunjukan, sutradara, dan bahkan gagasannya sendiri mengenai peran yang dimainkan. Kesanggupan dan kesungguhan aktor untuk mewujudkan gagasan-gagasan tersebut adalah keniscayaan. Ia harus mau dan rela berlatih keras, menjaga kebugaran, mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan untuk memainkan peran sesuai dengan tuntutan. Aktor dengan demikian adalah pekerja profesional. Ia tidak bisa sebagai sambilan atau hanya sekedar hobi. Jika hanya untuk bermain teater semua orang pasti bisa asalkan sesuai porsi kemampuan masing-masing, namun untuk menjadi aktor tidak semuanya bisa. Perumpamaan ini persis seperti halnya dengan semua orang bisa saja bermain bulu tangkis, namun sedikit orang yang bisa menjadi atlet bulutangkis. Sekali lagi, aktor adalah pekerjaan profesional.

Sebagai orang yang bergerak di bidang profesional, aktor akan menampilkan semua kemampuannya secara optimum dalam berperan. Sebagai hasilnya, ia akan mendapatkan applause penonton dan diakui kepiawaiannya. Ia akan mempesona semua yang menyaksikan. Akan tetapi karena pesona aktor yang begitu mengharu-biru, banyak orang menginginkan posisi ini. Namun yang terjadi bukan kesanggupan dan kemampuan untuk bekerja secara profesional melainkan jalan pintas untuk berperan di atas panggung. Banyak orang mengira bahwa berperan itu perkara yang tidak terlalu sulit dan memperoleh applause juga mudah didapatkan. Banyak dari mereka yang hanya mengandalkan fisik atau belajar secara hafalan. Memang pada akhirnya mereka bisa berperan namun jauh dari ukuran profesional. Dari proses semacam ini banyak lahir pemain tipikal yang hanya bisa memerankan tokoh dengan ciri tertentu. Apakah kemudian ia bukan merupakan aktor profesional? Tentu saja tidak. Ia tetap bisa dianggap sebagai aktor profesional selama memenuhi tuntutan pekerjaan yang diberikan padanya dengan baik. Namun, ia tidak memiliki daya jelajah tinggi dan kesempatannya sempit untuk bermain dalam gaya teater lain serta tokoh peran lain. Dalam kurun waktu tertentu di budaya tertentu, aktor seperti ini memiliki pesona luar biasa. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan ketika kompetisi semakin tinggi, para pelaku teater meski meningkatkan daya kreativitasnya untuk tetap eksis. Dari kondisi inilah kemudian lahir berbagai macam bentuk, gaya, dan konsep pementasan teater yang kurang memberikan gerak leluasa bagi aktor tipikal.

 Di sisi lain, aktor-aktor tipikal yang biasanya berperan dalam teater konvensional ketika mau membuka pikiran, kemauan dan kesanggupan untuk kembali belajar akan terlahir sebagai aktor baru.  Dalam sejarahnya, banyak aktor modern yang muncul dari proses ini. Mereka memiliki kekhasan karena sudah sejak lama bergelut dengan teater konvensional. Mereka telah memiliki tradisi sendiri sehingga ketika pikirannya terbuka dan mau menerima hal baru maka vokabulari seni aktingnya pasti akan bertambah, demikian pula dengan pemahaman. Aktor teater konvensional memiliki kedalaman perasaan yang ia dapatkan dari proses panjang kerja pemeranan yang telah ia lakukan. Meski tokoh yang ia mainkan itu-itu saja namun berbagai perasaan atau emosi tokoh itu telah ia ekspresikan. Akhirnya ia memahami perasaan atau emosi tokoh bukan secara imanen namun melalui pengalaman langsung. Ketika pada akhirnya ia mau membuka pikirannya untuk menerima hal-hal baru termasuk yang bersifat kognitif, maka ia bisa menggunakan pengalamannya sebagai analogi. Aktor-aktor yang lahir dari proses atau perjalanan karir semacam ini biasanya memiliki kharisma, sesuatu yang sulit dijelaskan namun bisa dirasakan. Atas dasar kharisma ini pula orang sering menganggap bahwa seni peran (akting) tidak bisa dipelajari bagi orang yang tidak memiliki bakat. Satu pemikiran yang keliru karena kharisma didapatkan dari pengalaman belajar yang panjang dan intens tentang satu hal. Simpul-simpul pengalaman yang kemudian menubuh inilah yang memancarkan kharisma. Jadi kata kuncinya adalah belajar secara intens dan berterusan.

Proses kelahiran seorang aktor modern dari teater konvensional ini juga tidak bisa berlaku bagi semua aktor teater konvensional. Sebagian besar dari mereka sudah merasa mapan dengan apa yang dijalani selama ini. Baginya, tokoh tipikal yang ia perankan dalam kurun waktu lama telah menjadikannya sebagai ikon. Ia merasa bahwa ikon tersebut harus dipertahankan sebagai bagian tanggung jawab pokok seorang aktor profesional. Persis seperti seorang perupa yang mempertahankan gayanya dalam berkarya. Ya memang benar, ia telah menjadi dan menjalani dirinya sebagai aktor profesional. Namun, ia tidak luwes terlibat dalam produksi yang berbeda gaya dari teater yang ia lakoni selama ini. Tentu saja hal ini merupakan pilihan bagi aktor tersebut. Tetap bertahan dengan tokoh tipikal yang itu-itu saja atau membuka pikiran untuk kembali belajar dan berusaha sehingga bisa memiliki kesempatan lain yang lebih besar.



Mengingat bahwa roda waktu tak bisa dihentikan dan kemunculan alternatif model pertunjukan teater bersifat niscaya, maka konsep, model latihan, dan pendekatan peran pun akan selalu melahirkan kebaruan. Dalam laku sejarah pemeranan aktor yang banyak menggunakan kata-kata dalam pementasannnya sempat berjaya dalam kurun waktu lama. Suara menjadi andalan karena cerita disajikan melalui dialog-dialog tokoh yang disuarakan. Pada sisi inilah, Stansilavsky menyatakan bahwa poin utama yang bersifat eksternal dan perlu diperhatikan para calon aktor adalah suara. Teater tidak akan bisa menyampaikan apapun jika tidak ada suara. Cerita akan menjadi bisu tanpa suara dialog tokoh-tokohnya. Dalam dunia teater nan dramatik ini memang suara seolah menjadi segalanya. Dari situlah muncul istilah suara aktor mesti “bulat” dan tidak boleh “terpecah” atau “cempreng”. Seolah dengan suara “bulat” itu, aktor menyampaikan inner voice dari sang tokoh. Mungkin atas logika ini pula muncul berbagai larangan jenis-jenis makanan tertentu bagi para aktor. Jika mereka melanggarnya, maka akan berakibat buruk pada kualitas suaranya.

Keketatan latihan suara yang biasanya didasari dengan pernafasan kemudian menjadi perihal utama yang harus dilakukan para aktor. Namun dewasa ini, suara tidaklah harus “bulat” seperti yang dahulu dipujakan. Basis suara aktor bisa natural atau alamiah seperti kondisi dan kualitas yang dimiliki. Seorang aktor tidak perlu memproduksi suara yang dibuat-buat agar terkesan dalam. Ia bisa tampil dengan jenis suara yang dimilikinya. Apalagi tekhnologi pengeras suara nan canggih untuk panggung telah ditemukan. Aktor tidak perlu bersuara keras atau lantang dalam menyampaikan kalimat dialognya. Bahkan dalam produksi tertentu seperti teater boneka atau film animasi, aktor pengisi suara (voice actor) ditantang untuk bisa memproduksi berbagai macam jenis suara. Ia boleh memproduksi suara yang kecil melengking, serak, cempreng, atau lantang dan kasar. Semua demi kepentingan untuk membedakan warna suara dari tokoh satu dengan tokoh lainnya. Dari sisi ini tidaklah lagi diharuskan bagi seorang aktor untuk bersuara “bulat”. Dari sisi ini pula dapat dilihat bahwa kebutuhan akan kualitas suara aktor pun mengalami perubahan, tidak itu-itu saja. Perubahan-perubahan itu menarik untuk diamati, dicatat, dan dipelajari. Termasuk di dalamnya gagasan-gagasan yang belum mapan namun layak untuk dicobakan.

a.   Pemahaman
Kerja pemeranan sesungguhnya adalah kerja pemahaman. Seorang aktor harus mampu memahami dengan baik watak tokoh yang akan ia perankan. Untuk itu ia harus melakukan analisis lakon dan karakter. Ia tidak bisa serta merta memerankan karakter tersebut tanpa menganalisis elemennya dengan pelan-pelan dan bersungguh-sungguh. Pemahaman ini kemudian ia cobakan atau latihkan sehingga kemudian benar-benar terinternalisasi dalam dirinya. Tidak semua aktor bisa bersabar dalam proses pemahaman ini. Bahkan para profesional mengatakan bahwa proses ini merupakan tahapan terberat bagi seorang aktor.

Ketelitian dalam pemahaman sangat dibutuhkan sehingga detil karakter bisa diwujudkan secara natural. Guna memahami watak tokoh, Stanislavsky mengemukakan tentang tujuan utama tokoh yang disebut sebagai super objective. Tujuan utama ini dapat ditelisik dari lakon secara menyeluruh. Kemudian tujuan tokoh itu diuraikan ke dalam tujuan per babak, per adegan hingga sampai unit terkecil yang disebut sebagai bit atau sering pula ditulis dengan beat (lihat Stanislavsky, 2014). Dimulai dari super objective, pemeran harus mendapatkan gambaran tokoh yang akan diperankan secara utuh. Secara umum sering dibagi ke dalam 3 dimensi yaitu fisik, kejiwaan, dan sosial. Bahkan Uta Hagen menguraikan dimensi-dimensi tokoh ini menjadi sekitar 9 pertanyaan. Kesembilan pertanyaan ini akan memberikan jawaban dasar atas penampilan fisik tokoh, watak dasar, posisi sosial, kondisi yang diberikan penulis, watu kejadian, tujuan utamanya dan siapa saja yang menghalangi ia meraih tujuan tersebut, dan bagaimana ia mengatasi rintangan itu untuk mencapai tujuan (lihat Hagen, 2008). Jika tidak hati-hati dalam menelaah lakon, aktor tidak akan mendapatkan gambaran yang detil dan akibatnya ia akan memperkirakan aksi sang tokoh. Perkiraan yang dilakukan bukan sebagai bagian dari proses interpretasi melainkan karena ketidaktelitian sehingga tidak tahu gambaran tepat aksi yang mesti dilakukan.

Lebih jauh, pemahaman aktor akan tokoh yang diperankan digunakan sebagai modal untuk interpretasi. Proses ini jelas mengkait diri pribadi aktor dengan diri tokoh peran. Oleh karena itu pemahaman komprehensif sangat diperlukan. Dalam interpretasi ini Stanislavsky mengemukakan apa yang disebut dengan “if magic” atau keajaiban pengandaian. Di dalam penalaran ini, aktor harus mengandaikan jika tokoh yang diperankan tersebut adalah dirinya sendiri. Apa yang mesti ia lakukan jika berada dalam situasi dan kondisi tokoh? Jadi bukan bagaimana tokoh yang diperankan itu masuk ke dalam diri melainkan aktorlah yang selalu berusaha menjangkau tokoh. Dengan demikian, aktor selalu menjaga jarak dengan tokoh. Dari proses interpretasi ini didapatkan gambaran bahwa tokoh lakon pasti akan berbeda penampilan, laku, dan aksinya jika diperankan oleh aktor yang berbeda.

Pemahaman menjadi sangat penting karena aktor diharuskan menampilkan sisi psikologis peran yang dimainkan. Bagaimana sisi psikologis ini bisa muncul jika aktor tidak benar-benar mempelajari tokoh secara mendalam? Banyak upaya dilakukan para pelaku teater untuk menggali keadaan psikologis tokoh ini. Stanislavsky hampir sepanjang karirnya berusaha menyingkap sisi psikologis ini agar bisa ditampilkan oleh aktor ketika berperan. Ia merumuskan metode pelatihan peran yang dimulai pertama kali dari laku fisik. Emosi seseorang dapat dilihat pertama kali dari laku fisik atau ciri-ciri fisiknya. Orang yang bersedih berbeda ciri kerut wajahnya dengan orang yang sedang bergembira. Cara berjalan orang yang sedang marah dengan orang yang sedang tertimpa masalah berat pastilah berbeda.

Ciri fisik ini sudah sejak lama menjadi formula gaya berperan dalam teater konvensional. Laku aksi seorang raja jelas akan berbeda dengan rakyat jelata. Bahkan ciri ini sering diperlihatkan atau dieksplorasi secara berlebihan atau ditegaskan untuk memberi gambaran yang jelas sosok sang tokoh. Lebih jauh, setiap ekspresi tokoh memiliki gambaran fisiknya melalui gestur dan gestikulasi. Pada akhirnya metode ini tergeneralisasi dalam pola gestur dan gestikulasi untuk menyatakan emosi atau ekspresi tertentu. Setiap orang berpikir pasti akan mengarahkan telunjuknya ke pelipis. Setiap orang yang berasa lapar selalu menyentuhkan tangannya ke perut.  Pola ini kemudian menjadi baku sehingga laku atau ciri fisik benar-benar menandakan bahwa memang itu fisik. Di sinilah titik tolak Stanislavsky untuk mengubah pandangan tentang laku fisik tersebut. Karena emosi yang ingin disampaikan, maka laku fisik hanyalah pintu masuk. Karena hanya pintu masuk maka penonton akan dituntun untuk melihat ruang yang sesungguhnya yaitu emosi. Dengan konsep ini, maka pemahaman akan emosi karakter menjadi sangat penting. Pemahaman ini akan mengarahkan pemain kepada ruang berpintu di mana ruang adalah emosi dan pintunya laku fisik. Pemahaman ini juga akan mengarahkan pemeran untuk tidak berlaku fisik secara berlebih karena intinya adalah emosi karakter.

Untuk mengusung pemahaman ini secara mendalam banyak langkah dalam metode Stanislavksy tersebut terutama dalam soal emosi. Satu yang menjadi perdebatan lumayan panjang adalah “memori afektif”. Satu cara memasuki emosi peran dengan me-recall emosi yang pernah dialami secara pribadi oleh pemeran dalam kehidupan nyata yang mirip dengan emosi peran yang aka dimainkan. Dalam perkembangannya cara ini efektif untuk orang tertentu namun kurang bisa berlaku bagi orang lain. Untuk mengantisipasi hal ini, Stanislavsky mengemukakan cara lain yaitu imajinasi yang dapat didukung dengan kegiatan observasi. Banyak hal yang dikemukakan Stanislavsky di dalam metode pemeranannya sebagai usaha untuk memahami peran.

Apa yang dilakukan Stanislvasky dalam upaya mendekati peran ini memberikan gambaran betapa pentingnya memahami “perasaan dalam” tokoh yang akan diperankan. Upaya analisis karakter dalam lakon seperti yang disarankan oleh Hagen akan memberikan gambaran detil secara fisik dan kondisi perasaan tokoh dalam mencapai tujuannya. Dari semua gambaran tertulis ini kemudian aktor mencobakannya dalam latihan seperti yang disarankan oleh Stanislavsky. Semakin detil uraian mengenai tokoh dalam analisis karakter ini semakin detil pula kondisi emosi karakter dalam setiap peristiwa yang ia lalui sepanjang lakon. Artinya, pemahaman akan tokoh (karakter) yang akan diperankan ini sangatlah penting artinya bagi aktor. Ia tidak boleh mengerjakan analisis karakter sambil lalu. Meskipun  teater tidak hanya dihadirkan dengan basis drama namun apa yang dilakukan Stanislavsky memberikan modal kuat bagi aktor dalam memahami peran secara psikologis.

b.  Kemauan dan Kesanggupan
Kerja aktor memerlukan kemauan dan kesanggupan. Menjadi aktor tidak hanya bisa dibayangkan. Inilah perihal keliru yang sering menggelayuti diri seseorang yang hendak memasuki dunia akting. Bayangan akan nama besar aktor idola sering menjadi pemacu namun berujung pada mimpi hari-hari tak kunjung usai. Banyak kisah terdapati mengenai perkara ini. Seorang calon aktor terjebak pada pola hidup bukan tokoh idola namun pada peran yang dengan baik dimainkan tokoh idolanya. Persis seperti penggemar bintang rock yang meniru gaya busana, ucapan, pesta dan segala tetek-bengek idolanya dari berita panggung pertunjukan dan berita media sensasional lainnya. Mereka tak memliki kacamata tembus pandang yang mampu melihat kehidupan sang pujaan dalam keseharian. Bagaimana jadwal padat mereka, tuntutan untuk melahirkan karya, jam-jam latihan setiap hari, kebugaran yang harus diperhatikan sehingga stamina pemanggungan terjaga. Belum lagi soal rasa frustasi sang bintang yang bisa dikatakan hampir tak punya kehidupan privasi nan adem-ayem karena segalanya penuh aturan dan tekanan dalam konteks bisnis. Para penggemar tak mampu membedakan yang mana citra dan yang mana nyata.

Aktor, apapun dan bagaimanapun adalah nyata. Citra aktor  - jika ternampak -  hanyalah sebagai akibat. Karena ia nyata maka kemauan dan kesanggupan yang diperlukan pun nyata adanya. Aktor di dalam hidupnya harus senantiasa belajar tentang apa pun yang dapat mendukung pekerjaannya. Ia haruslah menjadi seorang literat dalam konteks nan multi. Karena tugas utamanya memainkan beragam watak manusia, maka tidak dimungkinkan baginya memiliki ukuran dan formula baku tentang proses menginternalisasi watak. Pencarian senantiasa dilakukan. Ketika lakon-lakon baru yang menghadirkan watak-watak baru muncul, aktor tidak bisa memakai ukuran dan formula terdahulu secara persis. Perkembangan dan penyesuaian itu selalu ada dan untuk itulah aktor wajib selalu belajar.

Seni akting, sebagai sebuah produk budaya manusia menghendaki penyesuaian terkait dengan bidang budaya lain. Pertumbuhan teater, ragam bentuk dan gayanya, beriringan dengan pertumbuhan pemikiran dan hasil pikiran manusia. Apa yang dahulu belum pernah terpikirkan atau masih merupakan gagasan – seperti produk pengetahuan terapan misalnya – sekarang bisa diwujudkan dalam jumlah yang banyak dan menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari. Konsekuensi logisnya menyangkut langsung pada pola hubungan, tuntutan, gesekan, eksistensi dan psikologi sosial yang dengan sendirinya mengalami penyesuaian. Aktor tidak bisa tidak harus beradaptasi dengan hal-hal ini.

Proses adaptasi meniscayakan kemauan dan kesanggupan. Proses adaptasi menerangkan bahwa akting bukanlah status quo. Aktor yang dulu hebat karena suaranya lembut mendayu, mungkin akan terburamkan pancaran sinar kharismanya dengan aktor laga di tengah budaya super hero yang sedang bergerak naik. Aktor yang dahulu terkenal dengan gerakan lincah silatnya, mungkin akan terbenamkan namanya dengan aktor yang lincah menggunakan senjata api dalam setiap duel dan perkelahiannya. Hal semacam itulah yang terjadi. Pun demikian sebaliknya. Fakta perjalanan karir baik itu aktor panggung maupun film menjadi bukti akan hal ini. Orang mungkin hanya bisa bilang bahwa, “tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini selain perubahan”. Namun bagi aktor kalimat tersebut tidak hanya untuk diucapkan melainkan dilakukan. Di sinilah letak soal dasarnya. Mau dan sanggupkan seorang calon aktor senantiasa melakukan perubahan?

Di dalam dunia seni peran dikenal istilah totalitas untuk menggambarkan kemauan dan kesanggupan seorang aktor dalam bermain peran. Segala daya dan upaya ia tempuh untuk mewujudkan peran itu. Semua ia lakukan agar penonton terpuaskan dengan penampilan tokoh yang diperankan di atas panggung atau layar lebar. Diri aktor lesap ke dalam peran. Diri aktor terbuka penuh barau setelah pertunjukan selesai. Persoalan yang selintas mudah namun membutuhkan keikhlasan maha dahsyat untuk melesapkan diri (eksistensi) ke dalam tokoh yang diperankan. Jadi, usaha-usaha aktor untuk mencapai peran itu menyangkut pikiran, fisik, dan kejiwaan. Ketiga hal tersebut hanya bisa dioptimalkan dengan keikhlasan.

Mengikhlaskan diri untuk senantiasa berusaha inilah faktor tersulit ketika hendak mendalami seni peran. Karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa keikhlasan ini dintuntut tanpa henti. Keikhlasan ini lah yang mendorong kemauan dan kesanggupan seorang aktor untuk terus berusaha menjadi yang terbaik dalam setiap produksi yang didikutinya. Kemauan dan kesanggupan untuk terus belajar dan berlatih bahkan ketika di hari-hari tiada jadwal produksi. Kemauan dan kesanggupan untuk selalu mengasah kepekaan panca indera dan rasa meski tidak sedang memerankan tokoh tertentu. Kemauan dan kesanggupan untuk senantiasa melakukan observasi dan mencatat pengalaman hidup atas diri dan yang diamati dalam lemari pikiran meski tidak terkait dengan proses peran yang sedang dijalani. Kemauan dan kesanggupan ini wajib dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi aktor. Tidak mudah memang namun itulah yang senyatanya diperlukan.  

Dalam kenyaaan hidupnya, aktor mengemban beban tidak ringan untuk mempertahankan karirnya. Ia tidak bisa menggantungkan diri bahkan dengan nama besar yang telah dimiliki. Ia tidak bisa merasa selesai dengan semuanya dan cukup tinggal diam menunggu job datang. Aktor harus senantiasa hidup dan berada dalam kekinian. Untuk itu diperlukan konsentrasi, energi, dan intensi. Atas dasar fakta inilah, maka belum tentu semua orang bisa menjadi dan memilih karir sebagai aktor. Atas dasar ini pulalah aktor tidak bisa dipandang hanya citraannya saja. Jika dorongan menjadi aktor hanyalah karena citraan peran yang dimainkan aktor idola dalam produksi tertentu yang begitu mengharu-biru perasaan dan pikiran hingga membayang terus menerus dalam ingatan bahkan laku hidup, maka lupakanlah. Aktor bukanlah zombie.

c.   Kebugaran dan Transformasi Tubuh
Seorang aktor wajib menjaga kebugarannya. Aktor bukanlah pekerjaan yang ringan. Proses produksi teater ataupun film seringkali memakan waktu panjang. Serangkaian laithan harus dilalui dan hal ini membutuhkan kesiagaan tubuh dan pikiran. Tidak jarang pula dalam produksi tertentu aktor harus melakukan adegan laga, akrobat, menari atau hal lain yang memerlukan stamina. Karena tuntutan seperti itulah banyak aktor profesional yang memberikan saran dalam hal menjaga kebugaran. Kondisi tubuh yang prima akan membantu aktor dalam menghadapi pekerjaannya. Kesiapan tubuh membawa pengaruh besar pada pikiran dan fokus. Kesiagaan tubuh ini tidak bisa dilatihkan aktor hanya ketika hendak atau pada saat terlibat dalam produksi saja. Kesiagaan tubuh harus dibudayakan.

Kebugaran atau kesiagaan tubuh tidak bisa dilakukan serta merta. Tidak ada seorang pun yang berlari pagi setiap hari hanya selama seminggu kemudian menjadi sehat seterusnya. Tidak mungkin pula seseorang yang sudah lama tidak melakukan kegiatan lari jauh kemudian tiba-tiba sanggup melakukannya dengan hanya persiapan sehari saja. Tidak ada kebugaran tubuh yang didapatkan secara tiba-tiba. Logika sederhana tersebut menjadikan kebugaran tubuh sebagai bagian dari budaya hidup aktor.

Kesiagaan tubuh ini dapat digambarkan secara sederhana dalam satu rangkaian latihan olah tubuh yang selalu diawali dengan pemanasan. Artinya, sebelum melakukan latihan inti dengan memanfaatkan tubuh secara optimal, otot-otot perlu dipersiapkan, diregangkan, dan dikendurkan. Rangkaian latihan ini memberikan gambaran bahwa penggunaan tubuh secara tiba-tiba dengan beban yang berat tidak akan membawa hasil yang baik. Otot yang tidak dalam keadaan sipa namun dipaksa bisa mengakibatkan cidera. Pola rangkaian latihan tubuh ini dapat dijadikan aktor untuk membudayakan kebugaran tubuhnya. Artinya, latihan tubuh dapat dilakukan rutin atau terjadwal di dalam dan luar produksi. Dengan kebiasaan melatih kebugaran, aktor akan berada dalam kondisi siap menerima peran yang akan dimainkan. 

Perkara tubuh ini tidak hanya sekedar kebugaran, namun juga transformasi. Tubuh sebagai alat ungkap estetik pemeran dalam kerjanya tidak bisa hanya dijaga kebugarannya. Tubuh seacara artistik harus enak dipandang dalam artian proporsional dengan peran. Proses transformasi tubuh tidak hanya soal kegunaan atau plastisitas namun juga soal bentuk. Seorang pemeran yang dalam casting-nya mendapatkan peran pedansa atau penari meski melatih tubuhnya secara khusus agar bisa bertransformasi sebagai tubuh penari. Usaha transformasi ini tentu saja tidak ringan. Latihan-latihan dan pola hidup tertentu mesti dijalani untuk menubuhkan peran itu. Bahkan dalam sejarah layar lebar, banyak aktor yang mentransformasi ukuran tubuhnya melalui pola makan, olah raga dan kegiatan lain yang mendukung. Agar tidak terjadi satu masalah terkait perubahan bentuk ini, dokter pun dihadirkan. Beberapa aktor layar lebar yang mengubah ukuran tubuhnya menyesuaikan proporsi peran yang dimainkan antara lain; Sylvester Stallone harus berlatih dan menjaga pola makan ketat untuk mengubah tubuhnya menjadi seorang petinju dalam Rocky (1976), Robert De Niro memperbesar ukuran tubuhnya agar cocok dengan peran Al Capone dalam The Untouchables (1987), Christian Bale dalam The Machinist (2005) dengan ukuran tubuh sangat kurus dan berubah menjadi kekar berotot di tahun yang sama pada film Batman Begins lalu menjadi sosok gembrot dalam American Hustle (2014), dan Jared Leto dengan sosok trans woman serta Matthew McConaughey sebagai pengidap AIDS bertubuh super kurus dalam Dallas Buyers Club (2013). Apa yang dilakukan para aktor ini membutuhkan komitmen. Sebuah tanggung jawab profesi yang mesti diemban ketika bersedia menerima peran yang akan dimainkan.

Penuh alasan dan logika kiranya ketika Michael Caine menyebutkan bahwa tanggung jawab aktor itu sangat berat dalam pekerjaannya. Tubuh dan pikiran harus terbiasa dengan jadwal padat yang berafiliasi dengan jarak tempuh, kebiasaan sehari-hari yang dihadapkan dengan tuntutan profesi serta proses pengambilan gambar (latihan) yang berulang-ulang. Bahkan, makan pun terkadang harus sedikit diabaikan ketika semua set dalam keadaan siap meski syuting belum juga dimulai (periksa Caine, 1990; 2000). Menjadi aktor bukanlah sebuah impian yang mudah diraih, demikian kira-kira penjelasan Caine. Kebugaran atau kesiagaan tubuh adalah faktor utama. Tubuh yang lelah akan mempengaruhi konsentrasi. Tubuh yang lelah akan kehilangan nilai artistiknya. Tubuh yang lelah tidak akan mampu mengekspresikan tubuh peran secara proporsional. Aktor, untuk itu, perlu membudayakan kebugaran tubuhnya. Ia mesti tahu kapan ketika terjadi ketegangan otot dan bagaimana cara mengendurkannya. Ia mesti tahu kapan mesti beristirahat dan dalam waktu berapa lama. Ia juga mesti mengerti capaian apa yang mungkin diraih oleh tubuhnya dalam berperan serta bagaimana cara meraih capaian tersebut. Kenyataan bahwa tubuh harus selalu berada dalam kondisi siaga dalam menjalankan pekerjaannya ini mensyaratkan seorang aktor untuk membudayakan kebugaran tubuhnya melalui latihan rutin.

d.  Gaya-gaya dan Pengaruhnya
Sejarah pementasan teater telah terbentang lama. Bentangan ini memberikan catatan mengenai rupa-rupa pementasan dalam berbagai konsep dan budaya. Ada yang mengalir seiring budaya masyarakat dan ada pula yang mencoba menawarkan budaya baru. Ada yang bertahan seiring budaya masyarakat, ada yang mesti berontak sebagai akibat dari kejenuhan atas hegemoni budaya, dan ada pula yang hidup tumbuh di antaranya. Pementasan teater memberikan banyak pilihan pada para seniman untuk mengungkapkan konsep artistik yang dimilikinya. Tentu saja konsep tersebut ada yang dapat diterima dan ada yang tidak, ada yang bertahan dan ada yang terlupakan. Sejarah film pun kurang lebih sama kiranya.

Konsep-konsep yang telah mewujud dalam bentuk karya pementasan ini disikapi sebagai sebuah gaya. Di dalam proses kelahiran, persebaran, dan kebertahanan gaya ini, pemeran memiliki andil yang besar. Tanpanya, gaya itu tidak akan bisa ditawarkan kepada khalayak. Dari sisi ini, kepiawaian aktor dalam mempresentasikan gaya menjadi tolok ukur. Dari sisi ini pula dapat ditelisik tingkat adaptasi aktor terhadap berbagai gaya. Berkaitan dengan industri dan daya penerimaan masyarakat, aktor-aktor mendapat label tertentu sesuai gaya yang dipersembahkan. Dalam seni panggung, ada aktor yang piawai berolah peran dalam teater tradisional, ada aktor yang sesuai dengan mazhab realisme, ada yang handal dalam olah tubuh namun kurang dalam retorika dan sebaliknya, dan ada pula aktor yang bisa mungkin beradaptasi  dalam beragam gaya yang biasa disebut sebagai aktor serba bisa. Di film pun juga sama, ada aktor komedi, aktor drama, aktor laga, dan pemeran watak. Label ini bahkan diberikan untuk wilayah yang lebih sempit semacam aktor antagonis, hero (role), dagelan, atau label lain yang terkait dengan karakter yang diperankan dan mendapatkan sanjungan dalam penampilannya. Penerimaan masyarakat sering mempengaruhi industri sehingga membuat mereka mempekerjakan aktor sesuai label yang telah umum diberikan. Namun juga sering melecutkan tantangan produksi untuk menampilkan aktor dalam peran dan konsep lain di luar label yang telah diberikan.

Tantangan baru ini menyebabkan lahir dan berkembangnya pola baru latihan peran sesuai dengan tuntutan konsep pementasan. Sebagai upaya menyadarkan penonton misalnya, Brecht terlebih dulu memberi kesadaran dan pendekatan latihan baru kepada para aktor. Untuk membongkar ketundukan terhadap pola latihan realisme sekaligus menuju konsep teater epik, Brecht mengetengahkan pendekatan latihan yang membuat aktor mengalami efek pengisolasian diri (keterasingan). Efek ini hanya bisa diciptakan jika aktor mampu menerabas dinding keempat sehingga penonton bukanlah orang yang tak terlihat dalam gedung pertunjukan. Aktor dapat berbicara langsung atau bahkan bersentuhan dengan penonton. Untuk membangkitkan kesadaran penonton agar mengobervasi pertunjukan, aktor dalam berperan harus senantiasa mengobservasi dirinya. Untuk mencapai pengisolasian diri (keterasingan) ini, aktor harus berjarak dengan dirinya sendiri dan karakter yang dimainkan. Dalam salah satu usahanya, Brecht melakukan latihan dengan melakukan pergantian peran di tengah proses. Aktor dengan demikian tidak hanya menghayati satu peran saja meski pada akhrinya ia memainkan satu peran dalam pementasan. Latihan dengan mengganti-ganti peran ini dimaksudkan agar aktor benar-benar berjarak baik dengan dirinya sendiri maupun dengan peran yang akhirnya dimainkan. Meski sampai saat ini apa yang dikemukakan oleh Brecht masih menjadi kontroversi, namun pola latihan yang ia terapkan menjadi tantangan sekaligus pengalaman estetik lain bagi aktor[1].

Berikutnya, Meyerhold mengemukakan model latihan yang disebut dengan biomechanics di tengah jayanya realisme sosial di Rusia. Model ini lebih mengedepankan gerak (motion) daripada penggunaan bahasa atau ilusi artistik. Tujuan utama dari model ini adalah terciptanya aktor yang hadir secara kuat dan berisi meski tanpa embel-embel dukungan artistik di atas panggung. Biomechanics memperluas potensi emosional teater dalam mengungkapkan gagasan dan ekspresinya yang tidak mungkin secara mudah dituangkan dalam teater naturalis pada saat itu. Model ini juga merupakan sanggahan atas pola latihan Stanislavsky yang bagi Meyerhold terlalu terkungkung oleh penjiwaan dan segala hal tentang psikologi peran. Oleh karena itulah, biomechanics menyodorkan teknik eksternal (ekspresi fisik) kepada aktor. Sebagai wujud nyata dari model latihan ini, Meyerhold menciptakan konsep teater konstruktivisme. Di dalam teater ini, ekspresi dan gerak fisik aktor sangat diandalkan. Tata panggung berupa konstruksi harus diadaptasi oleh aktor dalam penampilanya. Tata busana dibuat sederhana dan menjadi bagian integral teknik sehingga penerapan bimechanics dapat berjalan tanpa kendala. Latihan berupa rangkaian-rangkaian gerak berseri sebagai ekspresi fisik dalam biomechanics ini menghantarkan sukses bagi Meyerhold sehingga model ini diterapkan dalam latihan fisik aktor di sekolah-sekolah seni peran di Rusia[2].

Konsepsi baru pertunjukan teater secara otomatis mempengaruhi pola latihan dan gaya permainan aktor di atas pentas. Apa yang dikerjakan oleh Brecht maupun Meyerhold tidak akan pernah bisa dihentikan. Konsepsi baru akan senantiasa muncul dan aktor niscaya mengadaptasinya. Growtowsky misalnya, ia melakukan riset yang begitu menggelora hingga menusuk jantung filosofi peran. Tujuan utamanya adalah total act, di mana pertunjukan teater (hanya terdiri dari) adalah aktor dan penonton dan komunikasi di antara mereka sehingga tidak diperlukan perantara lain. Tujuan ini dapat dicapai melalui metode via negativa dan conjunctio oppositorum[3]. Tiga hal bangunan dasar konsep Growtowsky ini sangat berpengaruh terhadap pemeranan mulai dari pencarian, pemahaman, pelatihan hingga sampai pementasan. Tidak bisa seorang aktor turut serta dalam produksi Growtowsky tanpa mengikuti filosofi dan metode latihan perannya.

Penggambaran di atas memberi kepastian bahwa sifat satu produksi berbeda dengan produksi lain, gaya pementasan satu berbeda dengan pementasan lain, dan semua itu membutuhkan pemahaman serta latihan yang berbeda pula. Tidak bisa dengan hanya belajar satu metode pelatihan kemudian bisa digunakan untuk semua jenis produksi. Tidak mungkin seorang aktor piawai beretorika namun cacat nada akan mengambil peran utama dalam drama musikal. Tidak mungkin pula ketuntasan latihan model realis telah dianggap cukup untuk berperan dalam teater tubuh (teater gerak). Gaya atau konsep pementasan pasti akan membawa pengaruh pada pemeranan dan aktor tidak boleh tinggal diam dan merasa cukup dengan kesejarahan latihan peran yang telah dilalui.

e.   Kemandirian dan Relasi-relasi
Pemahaman artistik dalam teater menempatkan aktor sebagai salah satu pekarya. Keberhasilan sebuah pertunjukan selalu menyertakan aktor di dalamnya. Sutradara bukanlah pekarya tunggal. Masing-masing dengan demikian memilki andil dalam satu sajian. Andil di sini dalam arti menampilkan karya seni masing-masing. Pemahaman ini mempengaruhi aktor dalam proses pengembangan karirnya. Bahkan muncul jargon dahsyat dalam teater yaitu, “sutradara boleh saja tidak ada tapi aktor tidak”. Seorang aktor bisa menjadi pekerja mandiri. Ia bisa menampilkan karyanya tanpa perlu penyutradaraan. Keyakinan ini yang menggugah aktor untuk tampil gagah dalam menjalani kehidupannya. Keyakinan yang membutuhkan kesanggupan dan pengorbanan.

Tidak sedikit atau mungkin bahkan hampir semua aktor menginginkan mendapatkan peran dalam produksi besar dan ternama. Sebagian besar berkehendak meraih sukses dalam relasi produksi di mana semua elemen bekerja sama membentuk satu sajian.  Aktor tidak bisa cukup dengan dirinya sendiri. Kemampuan pribadi yang dimiliki dipertemukan dengan bidang-bidang lain dalam bentuk relasi-relasi. Pada sisi ini kepribadian aktor juga menentukan keberlangsungan relasi tersebut. Tidak jarang kita dengar, aktor yang sangat piawai bermain peran namun sulit mendapatkan job atau tawaran peran lagi karena masalah kepribadian yang pada akhirnya terkuak. Tidak semua produser mau mengajaknya karena persoalan di luar produksi seringkali datang sebagai akibat pembangunan relasi kerja yang buruk karena kepribadian aktor yang selfish dan mau selalu diutamakan misalnya. Bahkan dalam pengerjaan miniseri, seringkali aktor dimatikan (ditiadakan) karakternya sehingga tidak muncul lagi di episode selanjutnya karena soal kepribadian yang berakitbat rusaknya relasi kerja antarbidang.

Terlibat dalam sebuah produksi dengan demikian memerlukan kepiawaian tersendiri selain akting. Aktor perlu membangun relasi dengan banyak pihak mulai dari audisi hingga selesainya proses produksi. Relasi-relasi ini sifatnya beragam, ada yang sudah tertentukan secara prosedural, ada yang normatif, dan ada pula yang mengait budaya. Pemahaman yang baik terhadap relasi kerja ini akan menempatkan aktor sebagai orang yang disukai (disegani) dalam bekerja dan diapresiasi dalam karya. Untuk mencapai hal ini aktor memang perlu belajar dan mengadaptasi diri dalam lingkungan nyata dunia produksi. Aktor muda yang merasa telah mendapatkan cukup ilmu baik di sekolah maupun produksi sebelumnya sering lupa bahwa lingkungan kerja baru membutuhkan adaptasi dengan kultur kerja yang baru pula. Mungkin ia selalu diistemawakan dalam produksi semasa sekolah, namun tidak bisa sikap ini ia bawa ke dalam produksi baru dengan rekan-rekan kerja yang baru pula. Kesaradaran semacam ini harus senantiasa dijaga. Aktor bisa tampil karena ia didukung sepenuhnya oleh seluruh tim produksi.

Tidak ada orang atau bidang pekerjaan yang tidak penting di dalam produksi teater atau film. Semua orang berperan secara maksimal sesuai bidang kerjanya. Di sinilah sisi sosial aktor menjadi pertaruhan. Sisi yang diperlukan untuk memahami bahwa tidak ada satu rencana dan atau pekerjaan satupun di dunia ini yang sempurna tanpa cacat. Sisi ini yang diperlukan bagi aktor untuk membangun kerendahan hati, membangun empati dan simpati. Meski posisi aktor lebih tinggi dari driver atau tukang saji makanan dan gajinya jelas lebih tinggi, namun ia tidak bisa sembarang menghardik atau marah-marah sebagai akibat dari satu hal dalam satu pekerjaan. Ia pun tidak bisa menerapkan perfeksi yang ada dalam dirinya secara kaku ke dalam situasi kerja produksi. Harus ada fleksibilitas dalam hal ini. Meski secara profesional semua sudah dituliskan di dalam kontrak namun perlu dipahami bahwa kontrak adalah benda mati sehingga yang butuh senantiasa dijaga adalah keselarasan relasi para pelaku kontrak tersebut. Hal inilah yang akan menentukan apakah aktor tersebut akan mendapat kontrak dari produser yang sama di kemudian hari, selain tentu saja karya aktingnya. Prosedur operasi standar sebuah produksi dapat dipelajari di sekolah, sanggar belajar ataupun melalui buku. Bagaimana membangun relasi dengan sutradara, keuangan, tim artistik, tim teknis dan staf perorangan lain secara umum bisa dipelajari. Namun semua akan lebih mudah dijalani dengan keterbukaan diri aktor dalam menerima dan mengadaptasi lingkungan kerjanya.

Sayangnya, banyak orang yang berkehendak menjadi aktor kurang memahami relasi kerja ini. Seolah hanya dengan kemampaun akting saja cukup. Kalaupun ada terjalin relasi itu hanya dianggap cukup dengan sutradara saja. Relasi ini pun dimaknai sebagai pengarah dan orang yang diarahkan, sebagai penyuruh dan orang yang disuruh saja. Relasi ini tidak dibangun berdasarkan pemahaman kerja sama antara pekarya pemanggungan dengan pekarya pemeranan. Aktor sendiri juga sering menempatkan posisi diri di bawah sutradara sehingga semua apa yang diarahkan oleh sutradara ia turuti bahkan untuk hal yang bersifat interpretasi terhadap detil laku karakter yang ia perankan dan semestinya menjadi wilayah kerjanya. Aktor tidak mempunyai nilai tawar dan kebebasan berekspresi sesuai pencariannya, ia telah berubah menjadi pengrajin, orang yang rajin mengerjakan arahan sutradara. Kenaturalan ekspresinya ditentukan oleh sutradara. Relasi hirarkis inilah yang seringkali menjebak aktor untuk menjadi seorang pekerja bukan pekarya. Akan tetapi hal sebaliknya pun bisa saja terjadi, di mana aktor merasa kedudukannya lebih tinggi daripada sutradara hanya soal senioritas ataupun faktor akademik. Pun bisa pula karena kebebasan ekspresi yang diberikan oleh sutradara kepada aktor justru membuat aktor tidak respek pada sutradara. Ia menganggap sutradara kurang mampu mengarahkan sehingga pura-pura memberikan kebebasan. Ia kemudian cenderung akan membantah setiap arahan yang diberikan. Ia lebih memandang siapa berbicara daripada apa yang dibicarakan. Relasi semacam ini jelaslah tidak sehat dalam sebuah proses produksi. Kemandirian aktor yang terlalu berlebih dan inferioritas aktor dalam hubungan hirarkis sama buruknya. Kemandirian aktor dalam berkarya memang wajib dipertahankan namun juga perlu menjaga kualitas relasi yang dibangun antara dirinya dengan seluruh pekerja artistik dalam satu produksi. Semua yang bekerja di dalam produksi adalah manusia, bukan mesin-mesin.

Proses pelaksanaan sebuah produksi teater atau film memang ribet. Sebuah proses kerja yang ketat yang melibatkan banyak unsur di dalamnya. Ukuran-ukuran atau nilai kerja terkadang sudah bisa ditentukan namun banyak pula yang muncul sebagai tindakan konformitas atas satu dan lain aspek yang kemudian menjadi persoalan dalam proses produksi. Selain itu, sifat sebuah produksi selalu menimbang antara konsep (idealisme) dengan faktor pendanaan dan penerimaan masyarakat. Tidak semua aktor atau orang yang berkehendak menjadi aktor dapat terlibat sepenuhnya dalam dunia produksi dengan relasi bertingkat dan proses njlimet. Apalagi ketika aktor tersebut belum sepenuhnya selesai dengan dirinya sendiri. Alih-alih akan memberdayakan, justru produksi bisa menenggelamkan karyanya dan hanya menghasilkan  pengalaman, “pernah terlibat dalam sebuah produksi”. Selain soal diri, banyak soal lain yang membuat seorang aktor enggan terlibat dalam sebuah produksi (profesional) seperti misalnya soal keribetan proses, pendanaan serta dampak eksistensi atau tanggapan masyarakat penikmat karya. Mengenai hal-hal semacam ini, seni teater memberikan peluang terbuka bagi aktor untuk bekerja mandiri maupun dalam kelompok kecil atau kelompok non-profit. Tentu saja produk, cara penyajian, dan feedback yang didapatkan berbeda.

Di dunia ini banyak pemeran tunggal yang tidak hanya tampil di atas pentas namun juga dalam format street performer. Pemeran tunggal ini ketika tampil di atas pentas dalam sebuah festival misalnya ia tetap harus bekerja dengan orang dari bidang lain namun tidak sebanyak dan serumit ketika bekerja dalam sebuah produksi besar. Paling utama yang membedakan adalah kemerdekaan dalam berkarya. Pemeran tunggal atau solo performer di sini mengerjakan banyak hal yang biasanya dikerjakan oleh tim artistik. Ia benar-benar bebas dalam mengekspresikan gagasannya. Relasi kerja yang ia butuhkan lebih sedikit, paling hanya dengan panitia, bagian buka tutup layar, lampu, dan sound untuk tampil di panggung festival. Meski bebas ia memiliki pekerjaan yang sangat berat mengingat tugas pekerja artistik lain ditanggungnya sendiri, terlebih ketika ia melakukan gelar karya dalam format street performance.  Selain itu, hal lain yang patut diperhatikan adalah dampak eksistensi (anggapan masyarakat) yang ditimbulkan. Sangat mungkin, terutama terkait dengan kegiatan street performance, ia oleh masyarakat tidak disebut sebagai aktor meskipun pekerjaannya bermain teater dan memang bermain teater dalam arti sesungguhnya. Lepas dari itu semua, apa yang didapatkan dari aktor solo semacam ini adalah kepuasan dalam berkarya, kepuasan dalam mengekspresikan gagasan melalui seni yang ia jalani bersamaan dengan hidupnya. Profit, tentu saja sangat relatif demikian pula dengan ketercukupan materi dalam menyelenggarakan kehidupannya.

Sifat non-profit atau (mau) berada dalam posisi di luar makna “profesional” tidak hanya menjadi milik solo performer saja. Kelompok teater, utamanya teater terapan seringkali mengambil posisi ini. Apakah kemudian para aktor yang terlibat di dalamnya tidak memiliki eksistensi? Tentu saja tidak. Mereka bisa menjadi aktor yang sekaligus pemateri workshop atau pengisi seminar. Bahkan, banyak kelompok teater terapan non-profit memiliki nama menjulang tinggi sekaligus membawa kebanggaan sebagai pejuang, misalnya saja para pelaku teater sosial dan politik. Kelompok-kelompok ini mampu mencuatkan aktor sekaligus konseptor hebat. Kondisi ini menandaskan bahwa aktor bisa lahir dari proses pembentukan berdasar konsep, sifat dan kultur kerja yang berbeda-beda. Semua itu tidak menghalangi eksistensi sang aktor selama ia teguh dan tekun menjalani apa yang ia yakini dalam menghasilkan karya. Posisi, tingkatan, ketercukupan (penghasilan) dan keterkenalan adalah soal lain yang relatif dan aktor berkarya tentu saja (semestinya) bukan untuk itu (semata).

f.    Gagasan-gagasan
Pengakuan terhadap karya aktor secara mandiri dan bisa dipisahkan dari unsur penyutradaraan membuka kemungkinan luas bagi aktor untuk melahirkan gagasan-gagasan baru. Pengakuan ini sedikit banyak memberikan gambar lintas sejarah di mana pada masa lalu sutradara adalah aktor yang paling berpengalaman di antara aktor lainnya. Seni teater utamanya bisa hadir hanya melalui gagasan sang aktor. Ketika struktur cerita telah lumer dan tak melulu terikat secara dramatik, dan sajian teater juga tak terkungkung bentuk (norma) tertentu, aktor dapat dengan tenang melemparkan gagasannya untuk ditampilkan baik secara tunggal maupun kelompok. Seni teater bisa muncul dan diakui sebagai seni pertunjukan yang luwes mengadaptasi segala hal. Bahkan seorang performer yang hanya menampilkan satu tema tertentu dengan hanya bergerak-gerak namun menyuarakan sebuah pesan saja bisa disebut sebagai teater.

Keluwesan teater sebagai seni pertunjukan ini semestinya dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para aktor untuk mencoba keluar dari zona nyamannya. Keluwesan ini di dalam banyak grup teter profesional disikapi dengan menggali sumber daya lain pada saat tertentu di mana grup tidak sedang berada dalam masa produksi. Mereka mengirimkan anggota-anggotanya untuk belajar ke berbagai daerah, kota bahkan lain negara untuk mempelajari seni tertentu di luar koridor teater konvensional. Hasil dari pembelajaran ini tentu saja adalah internalisasi pengalaman estetik, soal kemudian apakah hasil ini akan diterapkan, diadopsi atau diadaptasi oleh grup ke dalam produksi baru itu lain soal. Proses internalisasi ini sangat penting bagi aktor di mana tubuh, pikiran, dan jiwa mendapatkan asupan di luar dari yang biasanya didapatkan. Pastinya akan terjadi penyesuaian sebagai akibat dari penerimaan ataupun keterpaksaan berterima atas apa yang telah dilakukan. Pengalaman estetik tidak mesti dipelajari sebagaimana membaca buku dan memahami poin-poin penting untuk dicatat dalam pikiran. Tubuh yang bergerak dan digerakkan menganut teknik tertentu dengan irama dan rangkaian gerak tertentu pun dapat mencatat pengalaman-pengalaman itu. Tanpa ada paksaan, pada saat tubuh digerakkan itu pikiran telah ikut serta bekerja.

Hal-hal lain berupa alternatif pola, teknik, dan prosedur latihan di luar yang biasanya dilakukan menimbulkan gairah tersendiri untuk diaplikasikan dalam bentuk lain. Apa yang dikerjakan di luar kebiasaan dan jika itu menarik serta diikuti penuh minat akan melahirkan gagasan-gagasan. Apakah gagasan itu terkait langsung dengan yang baru saja dipelajari atau diadaptasi dan dikombinasi dengan apa yang telah dimiliki sebelumnya tentu saja menjadi hal yang sangat menarik. Di dalam grup profesional tersebut biasanya anggota diminta untuk membagi pengalaman dari apa yang telah dipelajari dan seringkali kegiatan ini benjadi bengkel kecil. Di bengkel inilah gagasan-gagasan itu muncul dan tidak menutup kemungkinan setelah program bengkel selesai diadakan show case. Melalui sampel-sampel pertunjukan kecil hasil dari kerja bengkel ini pula teknik dalam latihan atau gaya penampilan bisa dikembangkan.

Tidak hanya itu, aktor sebagai pekarya juga bisa melahirkan gagasan dari aktivitas atau kejadian sehari-hari yang dialaminya. Apa yang dilakukan Meyerhold di atas dengan bio mechanics adalah upaya menjawab sistem pelatihan Stanislavsky yang ia anggap terlalu psikologis. Bahkan dalam pertunjukan, Meyerhold menawarkan konsep pelumeran antara elemen realisme dengan simbolisme yang begitu menarik minatnya sejak lama. Meski gagasan-gagasan ini tak sempat merekah mendunia menjadi semacam gerakan besar namun apa yang menjadi cobaan Meyerhold mempengaruhi pemikiran aktor-aktor lainnya. Ambil contoh, Vakhtangov yang begitu terpesona dengan apa yang dikerjakan oleh Meyerhold hingga ia menelurkan gagasan fantastis realisme dalam karyanya. Konsep ini menggali faktor ekspresi aktor dan kemungkinan model pemanggungannya (lihat, Andrei Malaev-Babel, Ed., 2011). Meski usaha ini tak pernah final karena Vakhtangov meninggal dalam usia muda, namun gagasannya tentang fantastis realisme patut dicatat sebagai satu upaya melebar-kembangkan jelajah seni pemeranan.

Banyak tokoh-tokoh atau konseptor teater di dunia ini yang semula adalah aktor. Proyeksi pengalaman bermain peran dari satu produksi ke produksi lain, dari konsep satu ke konsep lain, mengguratkan berbagai garis tebal kenangan estetik yang suatu saat bisa disatukan ke dalam atau membentuk garis lain. Tentu saja suatu saat itu bisa terjadi ketika hati dan pikiran terbuka. Artinya, keaktoran menjadi dedikasi dan bukan sekedar bidang pekerjaan untuk menghasilkan uang. Penyatuan garis-garis pengalaman menjadi garis baru ini bisa ditelisik dari Yoshi Oida misalnya. Kultur teater konvensional Jepang yang telah ia tekuni tak serta-merta hilang ketika ia harus bergabung dalam studio pelatihan Peter Brook. Bahkan dalam banyak workshopnya ia berhasil memadukan keduanya. Intensitas dan repetisi untuk mencapai kedalaman selalu ia gaungkan ditengah gempita model latihan yang seolah ingin merengkuh dunia. Brook menyampaikan bahwa formulasi latihan Oida menghadirkan ketakterpisahan antara seni peran dengan pengalaman batin sehari-hari. Hanya dengan penyatuan itulah segala kesulitan tidak akan pernah menampakkan dirinya. Semua tantangan dan tugas-tugas seni peran menjadi mudah, sederhana namun kena maknanya (lihat, Oida and Marshall, 1997). Apa yang dilakukan oleh Oida juga Meyerhold dan Vakhtangov sekiranya adalah wujud dedikasi terhadap seni peran.

Dedikasi menjadi kata kunci dalam pelahiran gagasan seni peran. Dedikasi selalu saja akan menggugat kenyamanan yang telah diperoleh. Ia tidak akan mau singgah dalam watu lama untuk sesuatu yang menetap. Seni peran masih meninggalkan banyak misteri untuk diungkap, terutama keterkaitannya dengan penyampaian pesan dalam kehidupan. Tidak pernah ada yang cukup selain dianggap cukup. Persoalan hidup yang mana menghasilkan perkembangan budaya manusia tidak akan pernah bisa berhenti selama manusia ada. Kira-kira semangat semacam inilah yang mesti dibenamkan dalam pikiran dan perasaan sehingga pintu gagasan seni peran tidak akan pernah terutup. Selalu menunggu untuk dilewati. (**)

Daftar Bacaan:

Malev-Babel, Andrei Ed. 2011. The Vakhtangov Sourcebook. London: Routledge

Caine, Michael. 2000. Acting in Film: An Actor's Take on Movie Making. New York: Applause

Hagen, Uta, Haskel Frankel. 2008. Respect for Acting. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Oida, Yoshi, Lorna Marshall. 1997. The Invisible Actor. London: Methuen Drama
Stanislavski, Constantin. 2014. An Actor Prepares. London : Bloomsbury

Tidak ada komentar:

Posting Komentar