Oleh : Eko
Santosa
(tulisan ini pernah diunggah secara berkala di www.whanidproject.com)
Pemeran
atau aktor adalah elemen paling pokok dalam pertunjukan teater. Tanpanya
pertunjukan tidak akan bisa dilangsungkan karena tidak ada apapun yang akan
disaksikan oleh penonton. Aktor merupakan pewujud gagasan baik itu gagasan
penulis lakon, konseptor pertunjukan, sutradara, dan bahkan gagasannya sendiri
mengenai peran yang dimainkan. Kesanggupan dan kesungguhan aktor untuk
mewujudkan gagasan-gagasan tersebut adalah keniscayaan. Ia harus mau dan rela
berlatih keras, menjaga kebugaran, mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan
untuk memainkan peran sesuai dengan tuntutan. Aktor dengan demikian adalah
pekerja profesional. Ia tidak bisa sebagai sambilan atau hanya sekedar hobi.
Jika hanya untuk bermain teater semua orang pasti bisa asalkan sesuai porsi
kemampuan masing-masing, namun untuk menjadi aktor tidak semuanya bisa.
Perumpamaan ini persis seperti halnya dengan semua orang bisa saja bermain bulu
tangkis, namun sedikit orang yang bisa menjadi atlet bulutangkis. Sekali lagi,
aktor adalah pekerjaan profesional.
Sebagai
orang yang bergerak di bidang profesional, aktor akan menampilkan semua
kemampuannya secara optimum dalam berperan. Sebagai hasilnya, ia akan
mendapatkan applause penonton dan
diakui kepiawaiannya. Ia akan mempesona semua yang menyaksikan. Akan tetapi
karena pesona aktor yang begitu mengharu-biru, banyak orang menginginkan posisi
ini. Namun yang terjadi bukan kesanggupan dan kemampuan untuk bekerja secara
profesional melainkan jalan pintas untuk berperan di atas panggung. Banyak
orang mengira bahwa berperan itu perkara yang tidak terlalu sulit dan memperoleh
applause juga mudah didapatkan.
Banyak dari mereka yang hanya mengandalkan fisik atau belajar secara hafalan.
Memang pada akhirnya mereka bisa berperan namun jauh dari ukuran profesional.
Dari proses semacam ini banyak lahir pemain tipikal yang hanya bisa memerankan
tokoh dengan ciri tertentu. Apakah kemudian ia bukan merupakan aktor
profesional? Tentu saja tidak. Ia tetap bisa dianggap sebagai aktor profesional
selama memenuhi tuntutan pekerjaan yang diberikan padanya dengan baik. Namun,
ia tidak memiliki daya jelajah tinggi dan kesempatannya sempit untuk bermain
dalam gaya teater lain serta tokoh peran lain. Dalam kurun waktu tertentu di
budaya tertentu, aktor seperti ini memiliki pesona luar biasa. Akan tetapi
seiring berjalannya waktu dan ketika kompetisi semakin tinggi, para pelaku
teater meski meningkatkan daya kreativitasnya untuk tetap eksis. Dari kondisi
inilah kemudian lahir berbagai macam bentuk, gaya, dan konsep pementasan teater
yang kurang memberikan gerak leluasa bagi aktor tipikal.
Di sisi lain, aktor-aktor tipikal yang
biasanya berperan dalam teater konvensional ketika mau membuka pikiran, kemauan
dan kesanggupan untuk kembali belajar akan terlahir sebagai aktor baru. Dalam sejarahnya, banyak aktor modern yang
muncul dari proses ini. Mereka memiliki kekhasan karena sudah sejak lama
bergelut dengan teater konvensional. Mereka telah memiliki tradisi sendiri sehingga
ketika pikirannya terbuka dan mau menerima hal baru maka vokabulari seni
aktingnya pasti akan bertambah, demikian pula dengan pemahaman. Aktor teater
konvensional memiliki kedalaman perasaan yang ia dapatkan dari proses panjang
kerja pemeranan yang telah ia lakukan. Meski tokoh yang ia mainkan itu-itu saja
namun berbagai perasaan atau emosi tokoh itu telah ia ekspresikan. Akhirnya ia
memahami perasaan atau emosi tokoh bukan secara imanen namun melalui pengalaman
langsung. Ketika pada akhirnya ia mau membuka pikirannya untuk menerima hal-hal
baru termasuk yang bersifat kognitif, maka ia bisa menggunakan pengalamannya
sebagai analogi. Aktor-aktor yang lahir dari proses atau perjalanan karir
semacam ini biasanya memiliki kharisma, sesuatu yang sulit dijelaskan namun
bisa dirasakan. Atas dasar kharisma ini pula orang sering menganggap bahwa seni
peran (akting) tidak bisa dipelajari bagi orang yang tidak memiliki bakat. Satu
pemikiran yang keliru karena kharisma didapatkan dari pengalaman belajar yang
panjang dan intens tentang satu hal. Simpul-simpul pengalaman yang kemudian
menubuh inilah yang memancarkan kharisma. Jadi kata kuncinya adalah belajar
secara intens dan berterusan.
Proses
kelahiran seorang aktor modern dari teater konvensional ini juga tidak bisa
berlaku bagi semua aktor teater konvensional. Sebagian besar dari mereka sudah
merasa mapan dengan apa yang dijalani selama ini. Baginya, tokoh tipikal yang
ia perankan dalam kurun waktu lama telah menjadikannya sebagai ikon. Ia merasa
bahwa ikon tersebut harus dipertahankan sebagai bagian tanggung jawab pokok
seorang aktor profesional. Persis seperti seorang perupa yang mempertahankan
gayanya dalam berkarya. Ya memang benar, ia telah menjadi dan menjalani dirinya
sebagai aktor profesional. Namun, ia tidak luwes terlibat dalam produksi yang
berbeda gaya dari teater yang ia lakoni selama ini. Tentu saja hal ini
merupakan pilihan bagi aktor tersebut. Tetap bertahan dengan tokoh tipikal yang
itu-itu saja atau membuka pikiran untuk kembali belajar dan berusaha sehingga
bisa memiliki kesempatan lain yang lebih besar.
Mengingat
bahwa roda waktu tak bisa dihentikan dan kemunculan alternatif model
pertunjukan teater bersifat niscaya, maka konsep, model latihan, dan pendekatan
peran pun akan selalu melahirkan kebaruan. Dalam laku sejarah pemeranan aktor
yang banyak menggunakan kata-kata dalam pementasannnya sempat berjaya dalam
kurun waktu lama. Suara menjadi andalan karena cerita disajikan melalui
dialog-dialog tokoh yang disuarakan. Pada sisi inilah, Stansilavsky menyatakan
bahwa poin utama yang bersifat eksternal dan perlu diperhatikan para calon
aktor adalah suara. Teater tidak akan bisa menyampaikan apapun jika tidak ada
suara. Cerita akan menjadi bisu tanpa suara dialog tokoh-tokohnya. Dalam dunia
teater nan dramatik ini memang suara seolah menjadi segalanya. Dari situlah
muncul istilah suara aktor mesti “bulat” dan tidak boleh “terpecah” atau
“cempreng”. Seolah dengan suara “bulat” itu, aktor menyampaikan inner voice dari sang tokoh. Mungkin
atas logika ini pula muncul berbagai larangan jenis-jenis makanan tertentu bagi
para aktor. Jika mereka melanggarnya, maka akan berakibat buruk pada kualitas
suaranya.
Keketatan
latihan suara yang biasanya didasari dengan pernafasan kemudian menjadi perihal
utama yang harus dilakukan para aktor. Namun dewasa ini, suara tidaklah harus
“bulat” seperti yang dahulu dipujakan. Basis suara aktor bisa natural atau
alamiah seperti kondisi dan kualitas yang dimiliki. Seorang aktor tidak perlu
memproduksi suara yang dibuat-buat agar terkesan dalam. Ia bisa tampil dengan
jenis suara yang dimilikinya. Apalagi tekhnologi pengeras suara nan canggih
untuk panggung telah ditemukan. Aktor tidak perlu bersuara keras atau lantang
dalam menyampaikan kalimat dialognya. Bahkan dalam produksi tertentu seperti
teater boneka atau film animasi, aktor pengisi suara (voice actor) ditantang untuk bisa memproduksi berbagai macam jenis
suara. Ia boleh memproduksi suara yang kecil melengking, serak, cempreng, atau lantang
dan kasar. Semua demi kepentingan untuk membedakan warna suara dari tokoh satu
dengan tokoh lainnya. Dari sisi ini tidaklah lagi diharuskan bagi seorang aktor
untuk bersuara “bulat”. Dari sisi ini pula dapat dilihat bahwa kebutuhan akan
kualitas suara aktor pun mengalami perubahan, tidak itu-itu saja.
Perubahan-perubahan itu menarik untuk diamati, dicatat, dan dipelajari.
Termasuk di dalamnya gagasan-gagasan yang belum mapan namun layak untuk
dicobakan.
a. Pemahaman
Kerja
pemeranan sesungguhnya adalah kerja pemahaman. Seorang aktor harus mampu
memahami dengan baik watak tokoh yang akan ia perankan. Untuk itu ia harus
melakukan analisis lakon dan karakter. Ia tidak bisa serta merta memerankan
karakter tersebut tanpa menganalisis elemennya dengan pelan-pelan dan
bersungguh-sungguh. Pemahaman ini kemudian ia cobakan atau latihkan sehingga
kemudian benar-benar terinternalisasi dalam dirinya. Tidak semua aktor bisa
bersabar dalam proses pemahaman ini. Bahkan para profesional mengatakan bahwa proses
ini merupakan tahapan terberat bagi seorang aktor.
Ketelitian
dalam pemahaman sangat dibutuhkan sehingga detil karakter bisa diwujudkan
secara natural. Guna memahami watak tokoh, Stanislavsky mengemukakan tentang
tujuan utama tokoh yang disebut sebagai super
objective. Tujuan utama ini dapat ditelisik dari lakon secara menyeluruh.
Kemudian tujuan tokoh itu diuraikan ke dalam tujuan per babak, per adegan
hingga sampai unit terkecil yang disebut sebagai bit atau sering pula ditulis dengan beat (lihat Stanislavsky, 2014). Dimulai dari super objective, pemeran harus mendapatkan gambaran tokoh yang akan
diperankan secara utuh. Secara umum sering dibagi ke dalam 3 dimensi yaitu
fisik, kejiwaan, dan sosial. Bahkan Uta Hagen menguraikan dimensi-dimensi tokoh
ini menjadi sekitar 9 pertanyaan. Kesembilan pertanyaan ini akan memberikan
jawaban dasar atas penampilan fisik tokoh, watak dasar, posisi sosial, kondisi
yang diberikan penulis, watu kejadian, tujuan utamanya dan siapa saja yang
menghalangi ia meraih tujuan tersebut, dan bagaimana ia mengatasi rintangan itu
untuk mencapai tujuan (lihat Hagen, 2008). Jika tidak hati-hati dalam menelaah
lakon, aktor tidak akan mendapatkan gambaran yang detil dan akibatnya ia akan
memperkirakan aksi sang tokoh. Perkiraan yang dilakukan bukan sebagai bagian
dari proses interpretasi melainkan karena ketidaktelitian sehingga tidak tahu
gambaran tepat aksi yang mesti dilakukan.
Lebih jauh,
pemahaman aktor akan tokoh yang diperankan digunakan sebagai modal untuk
interpretasi. Proses ini jelas mengkait diri pribadi aktor dengan diri tokoh
peran. Oleh karena itu pemahaman komprehensif sangat diperlukan. Dalam
interpretasi ini Stanislavsky mengemukakan apa yang disebut dengan “if magic” atau keajaiban pengandaian. Di
dalam penalaran ini, aktor harus mengandaikan jika tokoh yang diperankan
tersebut adalah dirinya sendiri. Apa yang mesti ia lakukan jika berada dalam
situasi dan kondisi tokoh? Jadi bukan bagaimana tokoh yang diperankan itu masuk
ke dalam diri melainkan aktorlah yang selalu berusaha menjangkau tokoh. Dengan
demikian, aktor selalu menjaga jarak dengan tokoh. Dari proses interpretasi ini
didapatkan gambaran bahwa tokoh lakon pasti akan berbeda penampilan, laku, dan
aksinya jika diperankan oleh aktor yang berbeda.
Pemahaman
menjadi sangat penting karena aktor diharuskan menampilkan sisi psikologis
peran yang dimainkan. Bagaimana sisi psikologis ini bisa muncul jika aktor
tidak benar-benar mempelajari tokoh secara mendalam? Banyak upaya dilakukan
para pelaku teater untuk menggali keadaan psikologis tokoh ini. Stanislavsky
hampir sepanjang karirnya berusaha menyingkap sisi psikologis ini agar bisa
ditampilkan oleh aktor ketika berperan. Ia merumuskan metode pelatihan peran
yang dimulai pertama kali dari laku fisik. Emosi seseorang dapat dilihat
pertama kali dari laku fisik atau ciri-ciri fisiknya. Orang yang bersedih
berbeda ciri kerut wajahnya dengan orang yang sedang bergembira. Cara berjalan
orang yang sedang marah dengan orang yang sedang tertimpa masalah berat pastilah
berbeda.
Ciri fisik
ini sudah sejak lama menjadi formula gaya berperan dalam teater konvensional.
Laku aksi seorang raja jelas akan berbeda dengan rakyat jelata. Bahkan ciri ini
sering diperlihatkan atau dieksplorasi secara berlebihan atau ditegaskan untuk
memberi gambaran yang jelas sosok sang tokoh. Lebih jauh, setiap ekspresi tokoh
memiliki gambaran fisiknya melalui gestur dan gestikulasi. Pada akhirnya metode
ini tergeneralisasi dalam pola gestur dan gestikulasi untuk menyatakan emosi
atau ekspresi tertentu. Setiap orang berpikir pasti akan mengarahkan
telunjuknya ke pelipis. Setiap orang yang berasa lapar selalu menyentuhkan
tangannya ke perut. Pola ini kemudian
menjadi baku sehingga laku atau ciri fisik benar-benar menandakan bahwa memang
itu fisik. Di sinilah titik tolak Stanislavsky untuk mengubah pandangan tentang
laku fisik tersebut. Karena emosi yang ingin disampaikan, maka laku fisik
hanyalah pintu masuk. Karena hanya pintu masuk maka penonton akan dituntun
untuk melihat ruang yang sesungguhnya yaitu emosi. Dengan konsep ini, maka
pemahaman akan emosi karakter menjadi sangat penting. Pemahaman ini akan
mengarahkan pemain kepada ruang berpintu di mana ruang adalah emosi dan
pintunya laku fisik. Pemahaman ini juga akan mengarahkan pemeran untuk tidak
berlaku fisik secara berlebih karena intinya adalah emosi karakter.
Untuk
mengusung pemahaman ini secara mendalam banyak langkah dalam metode
Stanislavksy tersebut terutama dalam soal emosi. Satu yang menjadi perdebatan
lumayan panjang adalah “memori afektif”. Satu cara memasuki emosi peran dengan
me-recall emosi yang pernah dialami secara pribadi oleh pemeran dalam kehidupan
nyata yang mirip dengan emosi peran yang aka dimainkan. Dalam perkembangannya
cara ini efektif untuk orang tertentu namun kurang bisa berlaku bagi orang
lain. Untuk mengantisipasi hal ini, Stanislavsky mengemukakan cara lain yaitu
imajinasi yang dapat didukung dengan kegiatan observasi. Banyak hal yang
dikemukakan Stanislavsky di dalam metode pemeranannya sebagai usaha untuk memahami
peran.
Apa yang
dilakukan Stanislvasky dalam upaya mendekati peran ini memberikan gambaran
betapa pentingnya memahami “perasaan dalam” tokoh yang akan diperankan. Upaya
analisis karakter dalam lakon seperti yang disarankan oleh Hagen akan
memberikan gambaran detil secara fisik dan kondisi perasaan tokoh dalam
mencapai tujuannya. Dari semua gambaran tertulis ini kemudian aktor
mencobakannya dalam latihan seperti yang disarankan oleh Stanislavsky. Semakin
detil uraian mengenai tokoh dalam analisis karakter ini semakin detil pula
kondisi emosi karakter dalam setiap peristiwa yang ia lalui sepanjang lakon. Artinya,
pemahaman akan tokoh (karakter) yang akan diperankan ini sangatlah penting
artinya bagi aktor. Ia tidak boleh mengerjakan analisis karakter sambil lalu. Meskipun
teater tidak hanya dihadirkan dengan
basis drama namun apa yang dilakukan Stanislavsky memberikan modal kuat bagi
aktor dalam memahami peran secara psikologis.
b. Kemauan dan Kesanggupan
Kerja aktor
memerlukan kemauan dan kesanggupan. Menjadi aktor tidak hanya bisa dibayangkan.
Inilah perihal keliru yang sering menggelayuti diri seseorang yang hendak
memasuki dunia akting. Bayangan akan nama besar aktor idola sering menjadi
pemacu namun berujung pada mimpi hari-hari tak kunjung usai. Banyak kisah
terdapati mengenai perkara ini. Seorang calon aktor terjebak pada pola hidup
bukan tokoh idola namun pada peran yang dengan baik dimainkan tokoh idolanya.
Persis seperti penggemar bintang rock yang meniru gaya busana, ucapan, pesta
dan segala tetek-bengek idolanya dari berita panggung pertunjukan dan berita
media sensasional lainnya. Mereka tak memliki kacamata tembus pandang yang
mampu melihat kehidupan sang pujaan dalam keseharian. Bagaimana jadwal padat
mereka, tuntutan untuk melahirkan karya, jam-jam latihan setiap hari, kebugaran
yang harus diperhatikan sehingga stamina pemanggungan terjaga. Belum lagi soal
rasa frustasi sang bintang yang bisa dikatakan hampir tak punya kehidupan
privasi nan adem-ayem karena segalanya
penuh aturan dan tekanan dalam konteks bisnis. Para penggemar tak mampu
membedakan yang mana citra dan yang mana nyata.
Aktor,
apapun dan bagaimanapun adalah nyata. Citra aktor - jika ternampak - hanyalah sebagai akibat. Karena ia nyata maka
kemauan dan kesanggupan yang diperlukan pun nyata adanya. Aktor di dalam
hidupnya harus senantiasa belajar tentang apa pun yang dapat mendukung
pekerjaannya. Ia haruslah menjadi seorang literat dalam konteks nan multi. Karena
tugas utamanya memainkan beragam watak manusia, maka tidak dimungkinkan baginya
memiliki ukuran dan formula baku tentang proses menginternalisasi watak.
Pencarian senantiasa dilakukan. Ketika lakon-lakon baru yang menghadirkan
watak-watak baru muncul, aktor tidak bisa memakai ukuran dan formula terdahulu
secara persis. Perkembangan dan penyesuaian itu selalu ada dan untuk itulah
aktor wajib selalu belajar.
Seni akting,
sebagai sebuah produk budaya manusia menghendaki penyesuaian terkait dengan
bidang budaya lain. Pertumbuhan teater, ragam bentuk dan gayanya, beriringan
dengan pertumbuhan pemikiran dan hasil pikiran manusia. Apa yang dahulu belum
pernah terpikirkan atau masih merupakan gagasan – seperti produk pengetahuan
terapan misalnya – sekarang bisa diwujudkan dalam jumlah yang banyak dan
menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari. Konsekuensi logisnya menyangkut
langsung pada pola hubungan, tuntutan, gesekan, eksistensi dan psikologi sosial
yang dengan sendirinya mengalami penyesuaian. Aktor tidak bisa tidak harus beradaptasi
dengan hal-hal ini.
Proses
adaptasi meniscayakan kemauan dan kesanggupan. Proses adaptasi menerangkan
bahwa akting bukanlah status quo. Aktor yang dulu hebat karena suaranya lembut
mendayu, mungkin akan terburamkan pancaran sinar kharismanya dengan aktor laga
di tengah budaya super hero yang sedang bergerak naik. Aktor yang dahulu
terkenal dengan gerakan lincah silatnya, mungkin akan terbenamkan namanya
dengan aktor yang lincah menggunakan senjata api dalam setiap duel dan
perkelahiannya. Hal semacam itulah yang terjadi. Pun demikian sebaliknya. Fakta
perjalanan karir baik itu aktor panggung maupun film menjadi bukti akan hal
ini. Orang mungkin hanya bisa bilang bahwa, “tidak ada sesuatu yang abadi di
dunia ini selain perubahan”. Namun bagi aktor kalimat tersebut tidak hanya untuk
diucapkan melainkan dilakukan. Di sinilah letak soal dasarnya. Mau dan
sanggupkan seorang calon aktor senantiasa melakukan perubahan?
Di dalam
dunia seni peran dikenal istilah totalitas untuk menggambarkan kemauan dan
kesanggupan seorang aktor dalam bermain peran. Segala daya dan upaya ia tempuh
untuk mewujudkan peran itu. Semua ia lakukan agar penonton terpuaskan dengan
penampilan tokoh yang diperankan di atas panggung atau layar lebar. Diri aktor
lesap ke dalam peran. Diri aktor terbuka penuh barau setelah pertunjukan
selesai. Persoalan yang selintas mudah namun membutuhkan keikhlasan maha
dahsyat untuk melesapkan diri (eksistensi) ke dalam tokoh yang diperankan.
Jadi, usaha-usaha aktor untuk mencapai peran itu menyangkut pikiran, fisik, dan
kejiwaan. Ketiga hal tersebut hanya bisa dioptimalkan dengan keikhlasan.
Mengikhlaskan
diri untuk senantiasa berusaha inilah faktor tersulit ketika hendak mendalami
seni peran. Karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa keikhlasan ini
dintuntut tanpa henti. Keikhlasan ini lah yang mendorong kemauan dan
kesanggupan seorang aktor untuk terus berusaha menjadi yang terbaik dalam
setiap produksi yang didikutinya. Kemauan dan kesanggupan untuk terus belajar
dan berlatih bahkan ketika di hari-hari tiada jadwal produksi. Kemauan dan
kesanggupan untuk selalu mengasah kepekaan panca indera dan rasa meski tidak
sedang memerankan tokoh tertentu. Kemauan dan kesanggupan untuk senantiasa
melakukan observasi dan mencatat pengalaman hidup atas diri dan yang diamati
dalam lemari pikiran meski tidak terkait dengan proses peran yang sedang
dijalani. Kemauan dan kesanggupan ini wajib dimiliki oleh seseorang yang ingin
menjadi aktor. Tidak mudah memang namun itulah yang senyatanya diperlukan.
Dalam
kenyaaan hidupnya, aktor mengemban beban tidak ringan untuk mempertahankan
karirnya. Ia tidak bisa menggantungkan diri bahkan dengan nama besar yang telah
dimiliki. Ia tidak bisa merasa selesai dengan semuanya dan cukup tinggal diam
menunggu job datang. Aktor harus
senantiasa hidup dan berada dalam kekinian. Untuk itu diperlukan konsentrasi,
energi, dan intensi. Atas dasar fakta inilah, maka belum tentu semua orang bisa
menjadi dan memilih karir sebagai aktor. Atas dasar ini pulalah aktor tidak
bisa dipandang hanya citraannya saja. Jika dorongan menjadi aktor hanyalah
karena citraan peran yang dimainkan aktor idola dalam produksi tertentu yang
begitu mengharu-biru perasaan dan pikiran hingga membayang terus menerus dalam
ingatan bahkan laku hidup, maka lupakanlah. Aktor bukanlah zombie.
c. Kebugaran dan Transformasi Tubuh
Seorang aktor wajib menjaga
kebugarannya. Aktor bukanlah pekerjaan yang ringan. Proses produksi teater
ataupun film seringkali memakan waktu panjang. Serangkaian laithan harus
dilalui dan hal ini membutuhkan kesiagaan tubuh dan pikiran. Tidak jarang pula
dalam produksi tertentu aktor harus melakukan adegan laga, akrobat, menari atau
hal lain yang memerlukan stamina. Karena tuntutan seperti itulah banyak aktor
profesional yang memberikan saran dalam hal menjaga kebugaran. Kondisi tubuh
yang prima akan membantu aktor dalam menghadapi pekerjaannya. Kesiapan tubuh
membawa pengaruh besar pada pikiran dan fokus. Kesiagaan tubuh ini tidak bisa
dilatihkan aktor hanya ketika hendak atau pada saat terlibat dalam produksi
saja. Kesiagaan tubuh harus dibudayakan.
Kebugaran atau kesiagaan tubuh tidak
bisa dilakukan serta merta. Tidak ada seorang pun yang berlari pagi setiap hari
hanya selama seminggu kemudian menjadi sehat seterusnya. Tidak mungkin pula
seseorang yang sudah lama tidak melakukan kegiatan lari jauh kemudian tiba-tiba
sanggup melakukannya dengan hanya persiapan sehari saja. Tidak ada kebugaran
tubuh yang didapatkan secara tiba-tiba. Logika sederhana tersebut menjadikan
kebugaran tubuh sebagai bagian dari budaya hidup aktor.
Kesiagaan tubuh ini dapat digambarkan
secara sederhana dalam satu rangkaian latihan olah tubuh yang selalu diawali
dengan pemanasan. Artinya, sebelum melakukan latihan inti dengan memanfaatkan
tubuh secara optimal, otot-otot perlu dipersiapkan, diregangkan, dan
dikendurkan. Rangkaian latihan ini memberikan gambaran bahwa penggunaan tubuh
secara tiba-tiba dengan beban yang berat tidak akan membawa hasil yang baik.
Otot yang tidak dalam keadaan sipa namun dipaksa bisa mengakibatkan cidera.
Pola rangkaian latihan tubuh ini dapat dijadikan aktor untuk membudayakan
kebugaran tubuhnya. Artinya, latihan tubuh dapat dilakukan rutin atau terjadwal
di dalam dan luar produksi. Dengan kebiasaan melatih kebugaran, aktor akan
berada dalam kondisi siap menerima peran yang akan dimainkan.
Perkara
tubuh ini tidak hanya sekedar kebugaran, namun juga transformasi. Tubuh sebagai
alat ungkap estetik pemeran dalam kerjanya tidak bisa hanya dijaga
kebugarannya. Tubuh seacara artistik harus enak dipandang dalam artian
proporsional dengan peran. Proses transformasi tubuh tidak hanya soal kegunaan
atau plastisitas namun juga soal bentuk. Seorang pemeran yang dalam casting-nya mendapatkan peran pedansa
atau penari meski melatih tubuhnya secara khusus agar bisa bertransformasi
sebagai tubuh penari. Usaha transformasi ini tentu saja tidak ringan.
Latihan-latihan dan pola hidup tertentu mesti dijalani untuk menubuhkan peran
itu. Bahkan dalam sejarah layar lebar, banyak aktor yang mentransformasi ukuran
tubuhnya melalui pola makan, olah raga dan kegiatan lain yang mendukung. Agar
tidak terjadi satu masalah terkait perubahan bentuk ini, dokter pun dihadirkan.
Beberapa aktor layar lebar yang mengubah ukuran tubuhnya menyesuaikan proporsi
peran yang dimainkan antara lain; Sylvester Stallone harus berlatih dan menjaga
pola makan ketat untuk mengubah tubuhnya menjadi seorang petinju dalam Rocky (1976), Robert De Niro memperbesar
ukuran tubuhnya agar cocok dengan peran Al Capone dalam The Untouchables (1987), Christian Bale dalam The Machinist (2005) dengan ukuran tubuh sangat kurus dan berubah
menjadi kekar berotot di tahun yang sama pada film Batman Begins lalu menjadi sosok gembrot dalam American Hustle (2014), dan Jared Leto dengan sosok trans woman serta Matthew McConaughey
sebagai pengidap AIDS bertubuh super kurus dalam Dallas Buyers Club (2013). Apa yang dilakukan para aktor ini
membutuhkan komitmen. Sebuah tanggung jawab profesi yang mesti diemban ketika
bersedia menerima peran yang akan dimainkan.
Penuh
alasan dan logika kiranya ketika Michael Caine menyebutkan bahwa tanggung jawab
aktor itu sangat berat dalam pekerjaannya. Tubuh dan pikiran harus terbiasa
dengan jadwal padat yang berafiliasi dengan jarak tempuh, kebiasaan sehari-hari
yang dihadapkan dengan tuntutan profesi serta proses pengambilan gambar
(latihan) yang berulang-ulang. Bahkan, makan pun terkadang harus sedikit
diabaikan ketika semua set dalam keadaan siap meski syuting belum juga dimulai
(periksa Caine, 1990; 2000). Menjadi aktor bukanlah sebuah impian yang mudah
diraih, demikian kira-kira penjelasan Caine. Kebugaran atau kesiagaan tubuh
adalah faktor utama. Tubuh yang lelah akan mempengaruhi konsentrasi. Tubuh yang
lelah akan kehilangan nilai artistiknya. Tubuh yang lelah tidak akan mampu
mengekspresikan tubuh peran secara proporsional. Aktor, untuk itu, perlu
membudayakan kebugaran tubuhnya. Ia mesti tahu kapan ketika terjadi ketegangan
otot dan bagaimana cara mengendurkannya. Ia mesti tahu kapan mesti beristirahat
dan dalam waktu berapa lama. Ia juga mesti mengerti capaian apa yang mungkin
diraih oleh tubuhnya dalam berperan serta bagaimana cara meraih capaian
tersebut. Kenyataan bahwa tubuh harus selalu berada dalam kondisi siaga dalam
menjalankan pekerjaannya ini mensyaratkan seorang aktor untuk membudayakan
kebugaran tubuhnya melalui latihan rutin.
d. Gaya-gaya dan Pengaruhnya
Sejarah pementasan teater telah
terbentang lama. Bentangan ini memberikan catatan mengenai rupa-rupa pementasan
dalam berbagai konsep dan budaya. Ada yang mengalir seiring budaya masyarakat
dan ada pula yang mencoba menawarkan budaya baru. Ada yang bertahan seiring
budaya masyarakat, ada yang mesti berontak sebagai akibat dari kejenuhan atas
hegemoni budaya, dan ada pula yang hidup tumbuh di antaranya. Pementasan teater
memberikan banyak pilihan pada para seniman untuk mengungkapkan konsep artistik
yang dimilikinya. Tentu saja konsep tersebut ada yang dapat diterima dan ada
yang tidak, ada yang bertahan dan ada yang terlupakan. Sejarah film pun kurang
lebih sama kiranya.
Konsep-konsep yang telah mewujud dalam
bentuk karya pementasan ini disikapi sebagai sebuah gaya. Di dalam proses
kelahiran, persebaran, dan kebertahanan gaya ini, pemeran memiliki andil yang
besar. Tanpanya, gaya itu tidak akan bisa ditawarkan kepada khalayak. Dari sisi
ini, kepiawaian aktor dalam mempresentasikan gaya menjadi tolok ukur. Dari sisi
ini pula dapat ditelisik tingkat adaptasi aktor terhadap berbagai gaya.
Berkaitan dengan industri dan daya penerimaan masyarakat, aktor-aktor mendapat
label tertentu sesuai gaya yang dipersembahkan. Dalam seni panggung, ada aktor
yang piawai berolah peran dalam teater tradisional, ada aktor yang sesuai
dengan mazhab realisme, ada yang handal dalam olah tubuh namun kurang dalam
retorika dan sebaliknya, dan ada pula aktor yang bisa mungkin beradaptasi dalam beragam gaya yang biasa disebut sebagai
aktor serba bisa. Di film pun juga sama, ada aktor komedi, aktor drama, aktor
laga, dan pemeran watak. Label ini bahkan diberikan untuk wilayah yang lebih
sempit semacam aktor antagonis, hero
(role), dagelan, atau label lain yang terkait dengan karakter yang
diperankan dan mendapatkan sanjungan dalam penampilannya. Penerimaan masyarakat
sering mempengaruhi industri sehingga membuat mereka mempekerjakan aktor sesuai label yang
telah umum diberikan. Namun juga sering melecutkan tantangan produksi untuk
menampilkan aktor dalam peran dan konsep lain di luar label yang telah
diberikan.
Tantangan
baru ini menyebabkan lahir dan berkembangnya pola baru latihan peran sesuai
dengan tuntutan konsep pementasan. Sebagai upaya menyadarkan penonton misalnya,
Brecht terlebih dulu memberi kesadaran dan pendekatan latihan
baru kepada para aktor. Untuk membongkar ketundukan terhadap pola latihan
realisme sekaligus menuju konsep teater epik, Brecht mengetengahkan pendekatan
latihan yang membuat aktor mengalami efek pengisolasian diri (keterasingan).
Efek ini hanya bisa diciptakan jika aktor mampu menerabas dinding keempat
sehingga penonton bukanlah orang yang tak terlihat dalam gedung pertunjukan.
Aktor dapat berbicara langsung atau bahkan bersentuhan dengan penonton. Untuk
membangkitkan kesadaran penonton agar mengobervasi pertunjukan, aktor dalam
berperan harus senantiasa mengobservasi dirinya. Untuk mencapai pengisolasian
diri (keterasingan) ini, aktor harus berjarak dengan dirinya sendiri dan
karakter yang dimainkan. Dalam salah satu usahanya, Brecht melakukan latihan
dengan melakukan pergantian peran di tengah proses. Aktor dengan demikian tidak
hanya menghayati satu peran saja meski pada akhrinya ia memainkan satu peran
dalam pementasan. Latihan dengan mengganti-ganti peran ini dimaksudkan agar
aktor benar-benar berjarak baik dengan dirinya sendiri maupun dengan peran yang
akhirnya dimainkan. Meski sampai saat ini apa yang dikemukakan oleh Brecht
masih menjadi kontroversi, namun pola latihan yang ia terapkan menjadi
tantangan sekaligus pengalaman estetik lain bagi aktor[1].
Berikutnya,
Meyerhold mengemukakan model latihan yang disebut dengan biomechanics di tengah jayanya realisme sosial di Rusia. Model ini
lebih mengedepankan gerak (motion)
daripada penggunaan bahasa atau ilusi artistik. Tujuan utama dari model ini
adalah terciptanya aktor yang hadir secara kuat dan berisi meski tanpa
embel-embel dukungan artistik di atas panggung. Biomechanics memperluas potensi emosional teater dalam mengungkapkan
gagasan dan ekspresinya yang tidak mungkin secara mudah dituangkan dalam teater
naturalis pada saat itu. Model ini juga merupakan sanggahan atas pola latihan
Stanislavsky yang bagi Meyerhold terlalu terkungkung oleh penjiwaan dan segala
hal tentang psikologi peran. Oleh karena itulah, biomechanics menyodorkan teknik eksternal (ekspresi fisik) kepada
aktor. Sebagai wujud nyata dari model latihan ini, Meyerhold menciptakan konsep
teater konstruktivisme. Di dalam teater ini, ekspresi dan gerak fisik aktor
sangat diandalkan. Tata panggung berupa konstruksi harus diadaptasi oleh aktor
dalam penampilanya. Tata busana dibuat sederhana dan menjadi bagian integral
teknik sehingga penerapan bimechanics
dapat berjalan tanpa kendala. Latihan berupa rangkaian-rangkaian gerak berseri sebagai
ekspresi fisik dalam biomechanics ini
menghantarkan sukses bagi Meyerhold sehingga model ini diterapkan dalam latihan
fisik aktor di sekolah-sekolah seni peran di Rusia[2].
Konsepsi
baru pertunjukan teater secara otomatis mempengaruhi pola latihan dan gaya
permainan aktor di atas pentas. Apa yang dikerjakan oleh Brecht maupun
Meyerhold tidak akan pernah bisa dihentikan. Konsepsi baru akan senantiasa
muncul dan aktor niscaya mengadaptasinya. Growtowsky
misalnya, ia melakukan riset yang begitu menggelora hingga menusuk jantung
filosofi peran. Tujuan utamanya adalah total
act, di mana pertunjukan teater (hanya terdiri dari) adalah aktor dan
penonton dan komunikasi di antara mereka sehingga tidak diperlukan perantara
lain. Tujuan ini dapat dicapai melalui metode via negativa dan conjunctio
oppositorum[3].
Tiga hal bangunan dasar konsep Growtowsky ini sangat berpengaruh terhadap
pemeranan mulai dari pencarian, pemahaman, pelatihan hingga sampai pementasan.
Tidak bisa seorang aktor turut serta dalam produksi Growtowsky tanpa mengikuti
filosofi dan metode latihan perannya.
Penggambaran
di atas memberi kepastian bahwa sifat satu produksi berbeda dengan produksi
lain, gaya pementasan satu berbeda dengan pementasan lain, dan semua itu membutuhkan
pemahaman serta latihan yang berbeda pula. Tidak bisa dengan hanya belajar satu
metode pelatihan kemudian bisa digunakan untuk semua jenis produksi. Tidak mungkin seorang aktor piawai
beretorika namun cacat nada akan mengambil peran utama dalam drama musikal. Tidak mungkin
pula ketuntasan latihan model realis telah dianggap cukup untuk berperan dalam
teater tubuh (teater gerak). Gaya atau konsep pementasan pasti akan membawa
pengaruh pada pemeranan dan
aktor tidak boleh tinggal diam dan merasa cukup dengan kesejarahan latihan peran
yang telah dilalui.
e. Kemandirian dan Relasi-relasi
Pemahaman
artistik dalam teater menempatkan aktor sebagai salah satu pekarya.
Keberhasilan sebuah pertunjukan selalu menyertakan aktor di dalamnya. Sutradara
bukanlah pekarya tunggal. Masing-masing dengan demikian memilki andil dalam
satu sajian. Andil di sini dalam arti menampilkan karya seni masing-masing.
Pemahaman ini mempengaruhi aktor dalam proses pengembangan karirnya. Bahkan
muncul jargon dahsyat dalam teater yaitu, “sutradara boleh saja tidak ada tapi
aktor tidak”. Seorang aktor bisa menjadi pekerja mandiri. Ia bisa menampilkan
karyanya tanpa perlu penyutradaraan. Keyakinan ini yang menggugah aktor untuk
tampil gagah dalam menjalani kehidupannya. Keyakinan yang membutuhkan
kesanggupan dan pengorbanan.
Tidak
sedikit atau mungkin bahkan hampir semua aktor menginginkan mendapatkan peran
dalam produksi besar dan ternama. Sebagian besar berkehendak meraih sukses
dalam relasi produksi di mana semua elemen bekerja sama membentuk satu sajian. Aktor tidak bisa cukup dengan dirinya sendiri.
Kemampuan pribadi yang dimiliki dipertemukan dengan bidang-bidang lain dalam
bentuk relasi-relasi. Pada sisi ini kepribadian aktor juga menentukan
keberlangsungan relasi tersebut. Tidak jarang kita dengar, aktor yang sangat
piawai bermain peran namun sulit mendapatkan job atau tawaran peran lagi karena masalah kepribadian yang pada
akhirnya terkuak. Tidak semua produser mau mengajaknya karena persoalan di luar
produksi seringkali datang sebagai akibat pembangunan relasi kerja yang buruk
karena kepribadian aktor yang selfish
dan mau selalu diutamakan misalnya. Bahkan dalam pengerjaan miniseri,
seringkali aktor dimatikan (ditiadakan) karakternya sehingga tidak muncul lagi
di episode selanjutnya karena soal kepribadian yang berakitbat rusaknya relasi
kerja antarbidang.
Terlibat
dalam sebuah produksi dengan demikian memerlukan kepiawaian tersendiri selain
akting. Aktor perlu membangun relasi dengan banyak pihak mulai dari audisi
hingga selesainya proses produksi. Relasi-relasi ini sifatnya beragam, ada yang
sudah tertentukan secara prosedural, ada yang normatif, dan ada pula yang
mengait budaya. Pemahaman yang baik terhadap relasi kerja ini akan menempatkan
aktor sebagai orang yang disukai (disegani) dalam bekerja dan diapresiasi dalam
karya. Untuk mencapai hal ini aktor memang perlu belajar dan mengadaptasi diri
dalam lingkungan nyata dunia produksi. Aktor muda yang merasa telah mendapatkan
cukup ilmu baik di sekolah maupun produksi sebelumnya sering lupa bahwa
lingkungan kerja baru membutuhkan adaptasi dengan kultur kerja yang baru pula.
Mungkin ia selalu diistemawakan dalam produksi semasa sekolah, namun tidak bisa
sikap ini ia bawa ke dalam produksi baru dengan rekan-rekan kerja yang baru
pula. Kesaradaran semacam ini harus senantiasa dijaga. Aktor bisa tampil karena
ia didukung sepenuhnya oleh seluruh tim produksi.
Tidak ada
orang atau bidang pekerjaan yang tidak penting di dalam produksi teater atau
film. Semua orang berperan secara maksimal sesuai bidang kerjanya. Di sinilah
sisi sosial aktor menjadi pertaruhan. Sisi yang diperlukan untuk memahami bahwa
tidak ada satu rencana dan atau pekerjaan satupun di dunia ini yang sempurna
tanpa cacat. Sisi ini yang diperlukan bagi aktor untuk membangun kerendahan
hati, membangun empati dan simpati. Meski posisi aktor lebih tinggi dari driver atau tukang saji makanan dan
gajinya jelas lebih tinggi, namun ia tidak bisa sembarang menghardik atau
marah-marah sebagai akibat dari satu hal dalam satu pekerjaan. Ia pun tidak
bisa menerapkan perfeksi yang ada dalam dirinya secara kaku ke dalam situasi
kerja produksi. Harus ada fleksibilitas dalam hal ini. Meski secara profesional
semua sudah dituliskan di dalam kontrak namun perlu dipahami bahwa kontrak
adalah benda mati sehingga yang butuh senantiasa dijaga adalah keselarasan relasi
para pelaku kontrak tersebut. Hal inilah yang akan menentukan apakah aktor
tersebut akan mendapat kontrak dari produser yang sama di kemudian hari, selain
tentu saja karya aktingnya. Prosedur operasi standar sebuah produksi dapat
dipelajari di sekolah, sanggar belajar ataupun melalui buku. Bagaimana
membangun relasi dengan sutradara, keuangan, tim artistik, tim teknis dan staf
perorangan lain secara umum bisa dipelajari. Namun semua akan lebih mudah
dijalani dengan keterbukaan diri aktor dalam menerima dan mengadaptasi
lingkungan kerjanya.
Sayangnya,
banyak orang yang berkehendak menjadi aktor kurang memahami relasi kerja ini.
Seolah hanya dengan kemampaun akting saja cukup. Kalaupun ada terjalin relasi
itu hanya dianggap cukup dengan sutradara saja. Relasi ini pun dimaknai sebagai
pengarah dan orang yang diarahkan, sebagai penyuruh dan orang yang disuruh
saja. Relasi ini tidak dibangun berdasarkan pemahaman kerja sama antara pekarya
pemanggungan dengan pekarya pemeranan. Aktor sendiri juga sering menempatkan posisi
diri di bawah sutradara sehingga semua apa yang diarahkan oleh sutradara ia
turuti bahkan untuk hal yang bersifat interpretasi terhadap detil laku karakter
yang ia perankan dan semestinya menjadi wilayah kerjanya. Aktor tidak mempunyai
nilai tawar dan kebebasan berekspresi sesuai pencariannya, ia telah berubah
menjadi pengrajin, orang yang rajin mengerjakan arahan sutradara. Kenaturalan
ekspresinya ditentukan oleh sutradara. Relasi hirarkis inilah yang seringkali
menjebak aktor untuk menjadi seorang pekerja bukan pekarya. Akan tetapi hal
sebaliknya pun bisa saja terjadi, di mana aktor merasa kedudukannya lebih
tinggi daripada sutradara hanya soal senioritas ataupun faktor akademik. Pun
bisa pula karena kebebasan ekspresi yang diberikan oleh sutradara kepada aktor
justru membuat aktor tidak respek pada sutradara. Ia menganggap sutradara kurang
mampu mengarahkan sehingga pura-pura memberikan kebebasan. Ia kemudian cenderung
akan membantah setiap arahan yang diberikan. Ia lebih memandang siapa berbicara
daripada apa yang dibicarakan. Relasi semacam ini jelaslah tidak sehat dalam
sebuah proses produksi. Kemandirian aktor yang terlalu berlebih dan inferioritas
aktor dalam hubungan hirarkis sama buruknya. Kemandirian aktor dalam berkarya
memang wajib dipertahankan namun juga perlu menjaga kualitas relasi yang
dibangun antara dirinya dengan seluruh pekerja artistik dalam satu produksi.
Semua yang bekerja di dalam produksi adalah manusia, bukan mesin-mesin.
Proses
pelaksanaan sebuah produksi teater atau film memang ribet. Sebuah proses kerja yang ketat yang melibatkan banyak unsur
di dalamnya. Ukuran-ukuran atau nilai kerja terkadang sudah bisa ditentukan
namun banyak pula yang muncul sebagai tindakan konformitas atas satu dan lain
aspek yang kemudian menjadi persoalan dalam proses produksi. Selain itu, sifat
sebuah produksi selalu menimbang antara konsep (idealisme) dengan faktor
pendanaan dan penerimaan masyarakat. Tidak semua aktor atau orang yang
berkehendak menjadi aktor dapat terlibat sepenuhnya dalam dunia produksi dengan
relasi bertingkat dan proses njlimet.
Apalagi ketika aktor tersebut belum sepenuhnya selesai dengan dirinya sendiri.
Alih-alih akan memberdayakan, justru produksi bisa menenggelamkan karyanya dan
hanya menghasilkan pengalaman, “pernah
terlibat dalam sebuah produksi”. Selain soal diri, banyak soal lain yang
membuat seorang aktor enggan terlibat dalam sebuah produksi (profesional)
seperti misalnya soal keribetan
proses, pendanaan serta dampak eksistensi atau tanggapan masyarakat penikmat
karya. Mengenai hal-hal semacam ini, seni teater memberikan peluang terbuka
bagi aktor untuk bekerja mandiri maupun dalam kelompok kecil atau kelompok
non-profit. Tentu saja produk, cara penyajian, dan feedback yang didapatkan berbeda.
Di dunia
ini banyak pemeran tunggal yang tidak hanya tampil di atas pentas namun juga
dalam format street performer.
Pemeran tunggal ini ketika tampil di atas pentas dalam sebuah festival misalnya
ia tetap harus bekerja dengan orang dari bidang lain namun tidak sebanyak dan
serumit ketika bekerja dalam sebuah produksi besar. Paling utama yang
membedakan adalah kemerdekaan dalam berkarya. Pemeran tunggal atau solo performer di sini mengerjakan
banyak hal yang biasanya dikerjakan oleh tim artistik. Ia benar-benar bebas
dalam mengekspresikan gagasannya. Relasi kerja yang ia butuhkan lebih sedikit,
paling hanya dengan panitia, bagian buka tutup layar, lampu, dan sound untuk tampil di panggung festival.
Meski bebas ia memiliki pekerjaan yang sangat berat mengingat tugas pekerja
artistik lain ditanggungnya sendiri, terlebih ketika ia melakukan gelar karya
dalam format street performance. Selain itu, hal lain yang patut diperhatikan
adalah dampak eksistensi (anggapan masyarakat) yang ditimbulkan. Sangat
mungkin, terutama terkait dengan kegiatan street
performance, ia oleh masyarakat tidak disebut sebagai aktor meskipun
pekerjaannya bermain teater dan memang bermain teater dalam arti sesungguhnya.
Lepas dari itu semua, apa yang didapatkan dari aktor solo semacam ini adalah
kepuasan dalam berkarya, kepuasan dalam mengekspresikan gagasan melalui seni
yang ia jalani bersamaan dengan hidupnya. Profit, tentu saja sangat relatif
demikian pula dengan ketercukupan materi dalam menyelenggarakan kehidupannya.
Sifat non-profit
atau (mau) berada dalam posisi di luar makna “profesional” tidak hanya menjadi
milik solo performer saja. Kelompok teater, utamanya teater terapan seringkali
mengambil posisi ini. Apakah kemudian para aktor yang terlibat di dalamnya
tidak memiliki eksistensi? Tentu saja tidak. Mereka bisa menjadi aktor yang
sekaligus pemateri workshop atau pengisi seminar. Bahkan, banyak kelompok
teater terapan non-profit memiliki nama menjulang tinggi sekaligus membawa
kebanggaan sebagai pejuang, misalnya saja para pelaku teater sosial dan politik.
Kelompok-kelompok ini mampu mencuatkan aktor sekaligus konseptor hebat. Kondisi
ini menandaskan bahwa aktor bisa lahir dari proses pembentukan berdasar konsep,
sifat dan kultur kerja yang berbeda-beda. Semua itu tidak menghalangi
eksistensi sang aktor selama ia teguh dan tekun menjalani apa yang ia yakini
dalam menghasilkan karya. Posisi, tingkatan, ketercukupan (penghasilan) dan
keterkenalan adalah soal lain yang relatif dan aktor berkarya tentu saja (semestinya)
bukan untuk itu (semata).
f. Gagasan-gagasan
Pengakuan
terhadap karya aktor secara mandiri dan bisa dipisahkan dari unsur
penyutradaraan membuka kemungkinan luas bagi aktor untuk melahirkan
gagasan-gagasan baru. Pengakuan ini sedikit banyak memberikan gambar lintas
sejarah di mana pada masa lalu sutradara adalah aktor yang paling berpengalaman
di antara aktor lainnya. Seni teater utamanya bisa hadir hanya melalui gagasan
sang aktor. Ketika struktur cerita telah lumer dan tak melulu terikat secara
dramatik, dan sajian teater juga tak terkungkung bentuk (norma) tertentu, aktor
dapat dengan tenang melemparkan gagasannya untuk ditampilkan baik secara
tunggal maupun kelompok. Seni teater bisa muncul dan diakui sebagai seni
pertunjukan yang luwes mengadaptasi segala hal. Bahkan seorang performer yang hanya
menampilkan satu tema tertentu dengan hanya bergerak-gerak namun menyuarakan
sebuah pesan saja bisa disebut sebagai teater.
Keluwesan
teater sebagai seni pertunjukan ini semestinya dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh para aktor untuk mencoba keluar dari zona nyamannya. Keluwesan ini di
dalam banyak grup teter profesional disikapi dengan menggali sumber daya lain
pada saat tertentu di mana grup tidak sedang berada dalam masa produksi. Mereka
mengirimkan anggota-anggotanya untuk belajar ke berbagai daerah, kota bahkan
lain negara untuk mempelajari seni tertentu di luar koridor teater
konvensional. Hasil dari pembelajaran ini tentu saja adalah internalisasi
pengalaman estetik, soal kemudian apakah hasil ini akan diterapkan, diadopsi
atau diadaptasi oleh grup ke dalam produksi baru itu lain soal. Proses
internalisasi ini sangat penting bagi aktor di mana tubuh, pikiran, dan jiwa mendapatkan
asupan di luar dari yang biasanya didapatkan. Pastinya akan terjadi penyesuaian
sebagai akibat dari penerimaan ataupun keterpaksaan berterima atas apa yang
telah dilakukan. Pengalaman estetik tidak mesti dipelajari sebagaimana membaca
buku dan memahami poin-poin penting untuk dicatat dalam pikiran. Tubuh yang
bergerak dan digerakkan menganut teknik tertentu dengan irama dan rangkaian
gerak tertentu pun dapat mencatat pengalaman-pengalaman itu. Tanpa ada paksaan,
pada saat tubuh digerakkan itu pikiran telah ikut serta bekerja.
Hal-hal
lain berupa alternatif pola, teknik, dan prosedur latihan di luar yang biasanya
dilakukan menimbulkan gairah tersendiri untuk diaplikasikan dalam bentuk lain.
Apa yang dikerjakan di luar kebiasaan dan jika itu menarik serta diikuti penuh
minat akan melahirkan gagasan-gagasan. Apakah gagasan itu terkait langsung
dengan yang baru saja dipelajari atau diadaptasi dan dikombinasi dengan apa
yang telah dimiliki sebelumnya tentu saja menjadi hal yang sangat menarik. Di dalam
grup profesional tersebut biasanya anggota diminta untuk membagi pengalaman
dari apa yang telah dipelajari dan seringkali kegiatan ini benjadi bengkel
kecil. Di bengkel inilah gagasan-gagasan itu muncul dan tidak menutup
kemungkinan setelah program bengkel selesai diadakan show case. Melalui sampel-sampel pertunjukan kecil hasil dari kerja
bengkel ini pula teknik dalam latihan atau gaya penampilan bisa dikembangkan.
Tidak hanya
itu, aktor sebagai pekarya juga bisa melahirkan gagasan dari aktivitas atau
kejadian sehari-hari yang dialaminya. Apa yang dilakukan Meyerhold di atas
dengan bio mechanics adalah upaya
menjawab sistem pelatihan Stanislavsky yang ia anggap terlalu psikologis.
Bahkan dalam pertunjukan, Meyerhold menawarkan konsep pelumeran antara elemen
realisme dengan simbolisme yang begitu menarik minatnya sejak lama. Meski
gagasan-gagasan ini tak sempat merekah mendunia menjadi semacam gerakan besar namun
apa yang menjadi cobaan Meyerhold mempengaruhi pemikiran aktor-aktor lainnya.
Ambil contoh, Vakhtangov yang begitu terpesona dengan apa yang dikerjakan oleh
Meyerhold hingga ia menelurkan gagasan fantastis realisme dalam karyanya. Konsep
ini menggali faktor ekspresi aktor dan kemungkinan model pemanggungannya
(lihat, Andrei Malaev-Babel, Ed., 2011). Meski usaha ini tak pernah final
karena Vakhtangov meninggal dalam usia muda, namun gagasannya tentang fantastis
realisme patut dicatat sebagai satu upaya melebar-kembangkan jelajah seni
pemeranan.
Banyak
tokoh-tokoh atau konseptor teater di dunia ini yang semula adalah aktor.
Proyeksi pengalaman bermain peran dari satu produksi ke produksi lain, dari
konsep satu ke konsep lain, mengguratkan berbagai garis tebal kenangan estetik
yang suatu saat bisa disatukan ke dalam atau membentuk garis lain. Tentu saja suatu
saat itu bisa terjadi ketika hati dan pikiran terbuka. Artinya, keaktoran
menjadi dedikasi dan bukan sekedar bidang pekerjaan untuk menghasilkan uang.
Penyatuan garis-garis pengalaman menjadi garis baru ini bisa ditelisik dari
Yoshi Oida misalnya. Kultur teater konvensional Jepang yang telah ia tekuni tak
serta-merta hilang ketika ia harus bergabung dalam studio pelatihan Peter
Brook. Bahkan dalam banyak workshopnya ia berhasil memadukan keduanya.
Intensitas dan repetisi untuk mencapai kedalaman selalu ia gaungkan ditengah
gempita model latihan yang seolah ingin merengkuh dunia. Brook menyampaikan
bahwa formulasi latihan Oida menghadirkan ketakterpisahan antara seni peran
dengan pengalaman batin sehari-hari. Hanya dengan penyatuan itulah segala
kesulitan tidak akan pernah menampakkan dirinya. Semua tantangan dan
tugas-tugas seni peran menjadi mudah, sederhana namun kena maknanya (lihat,
Oida and Marshall, 1997). Apa yang dilakukan oleh Oida juga Meyerhold dan
Vakhtangov sekiranya adalah wujud dedikasi terhadap seni peran.
Dedikasi
menjadi kata kunci dalam pelahiran gagasan seni peran. Dedikasi selalu saja
akan menggugat kenyamanan yang telah diperoleh. Ia tidak akan mau singgah dalam
watu lama untuk sesuatu yang menetap. Seni peran masih meninggalkan banyak
misteri untuk diungkap, terutama keterkaitannya dengan penyampaian pesan dalam
kehidupan. Tidak pernah ada yang cukup selain dianggap cukup. Persoalan hidup
yang mana menghasilkan perkembangan budaya manusia tidak akan pernah bisa
berhenti selama manusia ada. Kira-kira semangat semacam inilah yang mesti
dibenamkan dalam pikiran dan perasaan sehingga pintu gagasan seni peran tidak
akan pernah terutup. Selalu menunggu untuk dilewati. (**)
Daftar
Bacaan:
Malev-Babel,
Andrei Ed. 2011. The Vakhtangov
Sourcebook. London: Routledge
Caine,
Michael. 2000. Acting in Film: An
Actor's Take on Movie Making. New York: Applause
Hagen, Uta, Haskel Frankel. 2008. Respect for Acting. New Jersey: John
Wiley & Sons, Inc.
https://www.scribd.com/document/20263655/Theoretical-Foundations-of-Grotowski-s-Total-Act-Via-Negativa-and-Conjunctio-Oppositorum , diunduh 2 Juni 2018
https://en.wikipedia.org/wiki/Biomechanics_(Meyerhold) , diunduh 2 Juni 2018
https://en.wikipedia.org/wiki/Distancing_effect , diunduh, 2 Juni 2018
Oida, Yoshi, Lorna Marshall. 1997. The Invisible Actor. London: Methuen Drama
Stanislavski, Constantin. 2014. An Actor Prepares. London : Bloomsbury
[1]
https://en.wikipedia.org/wiki/Distancing_effect (diunduh, 2 Juni 2018)
[2]
https://en.wikipedia.org/wiki/Biomechanics_(Meyerhold) (diunduh 2 Juni 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar