Selasa, 13 November 2018

EKSPRESI ARTISTIK DI ANTARA YANG MENETAP DAN MENCARI


Tinjauan Umum Gaya Pementasan Parade Teater Jawa Timur 2018

Oleh: Eko Santosa

(Artikel ini dimuat dengan judul, “Gaya Pementasan Parade Teater Jawa Timur 2018”, di Cak Durasim Majalah Seni Budaya Jawa Timur, Edisi 7 September 2018)

Parade Teater Jawa Timur diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur pada tanggal 23-25 Agustus 2018. Selama 3 malam digelar 9 pementasan dari sanggar, komunitas atau perkumpulan teater di Jawa Timur dan salah satunya dari Sulawesi Tenggara. Ragam ekspresi artistik ditampilkan dalam agenda ini dan mampu menyedot animo masyarakat penggemar teater. Hampir setiap malam venue dipenuhi oleh penonton. Setiap penyajian memiliki daya tarik tersendiri untuk diapresiasi dan tulisan singkat ini merupakan tinjauan umum terhadap gaya pementasan dari seluruh penyaji Parade Teater Jawa Timur 2018. Tinajuan gaya ini menggunakan pandangan McTigue (1992) yang membagi gaya teater menjadi 3 besaran yaitu presentasional, representasional, dan pasca realis. Pementasan teater selalu saja memiliki hal-hal menarik untuk dicermati terutama keterkaitannya dengan budaya di mana teater itu tumbuh berkembang. Lev-Aladgem (dalam Santosa, 2014) menyatakan bahwa teater tidak pernah memiliki persepsi yang tetap dan stabil. Definisi teater selalu hanya bisa dibatasi oleh sosio-budaya dan selalu terbuka secara konsisten terhadap tantangan. Oleh karena itu, pemaknaan gaya dalam tinjauan ini juga mempertimbangkan kemungkinan keterlibatan sosio-budaya di mana teater itu tumbuh.

1.  Presentasional
Gaya presentasional dapat disejajarkan dengan gaya teater konvensional atau klasik. Gaya ini biasanya digunakan oleh teater tradisional di mana ciri utamanya adalah pertunjukan memang dipersembahkan kepada penonton sehingga tidak perlu dibangun dinding imajiner. Ciri lainnya adalah penggunaan kalimat dialog puitik. Teater Tombo Ati (TTA) dari Jombang menampilkan gaya ini melalui lakon “Wiruncana Murca”, sutradara Fandi Ahmad. Tata panggung, busana, dan musik ilustrasi menandakan kemewahan dari gaya ini. TTA cukup bagus dalam menyajikan lakon penggalan cerita Panji terutama ilustrasi musik yang mengena. Setiap sisi konvensi itu coba ditampilkan. Adegan pembuka dengan sesaji dan dalang, tarian awal dan akhir, dagelan hingga ke akhir lakon tersaji mulus. Komposisi tari, penggunaan kalimat dialog puitis, dan dagelan yang mengalir menjadi penanda kuatnya teater konvensional. Namun kekuatan konvensi ini sekaligus melemahkannya. TTA kurang mempertimbangkan durasi sehingga banyak adegan yang ditampilkan kurang efektif. Dalang yang keluar-masuk di dalam adegan pokok sebenarnya tidak terlalu diperlukan jika karakter Bancak dan Doyok bisa dibatasi secara ketat durasinya. Selain itu karakter dagelan juga sering menyela pada saat adegan krusial. Tentu saja hal ini menjadi masalah dalam durasi pendek. Sementara adegan-adegan penting justru diperingkas, misalnya adegan perang gagal, Wiruncana berguru serta prosesi sayembara hingga terbukanya diri pribadi sang Panji. Mengingat laku cerita yang tidak terlalu dramatik, peringkasan adegan ini menghilangkan daya klimaks lakon.

Dari sisi keaktoran yang cenderung tipikal (khas teater presentasional) semua berjalan seperti arahan. Torso, gestur, gestikulasi menjadi penanda akan hal ini. Namun sayang, penentuan posisi
three-quarter para aktor saat adu tangkas memanah justru melemahkan adegan krusial tersebut. Lain halnya jika posisi arah hadap one-quarter yang diambil sehingga ekspresi wajah dan torso aktor ketika memanah dapat disaksikan penonton (mengenai efektivitas penentuan arah hadap pemain dapat dilihat dalam, Snyder dan Drumsta, 1986). Jika saja durasi diperpanjang kemungkinan ekspresi artistik gaya presentasional dari TTA ini bisa lebih maksimal. Namun perlu juga dipetik satu kebijaksanaan bahwa tampil dalam parade atau festival semestinya berbeda dengan tampil dalam produksi mandiri. Untuk itu diperlukan kecermatan penyusunan adegan.

2.  Representasional
Istilah lain untuk representasional dan umum diketahui adalah realisme. Di dalam gaya ini, dinding imajiner sengaja diciptakan untuk memisahkan dunia penonton dan panggung. Aktor saling bermain di antara mereka dan dialog menggunakan bahasa sehari-hari untuk menambah kesan nyata. Teater Ganda Gong (TGG) Sulawesi Tenggara dan Teater Racun Tikus (TRT) STKW Surabaya menampilkan gaya ini dan menarik untuk dicermati. TGG hadir dengan cerita “Orang Pinggiran”, sebuah cerita sederhana tentang pertemanan, cinta segit tiga, dan akhir yang memilukan, disutradarai oleh Al Galih. Lakon ini disajikan secara bersahaja dengan menempati area panggung depan tengah dan komposisi triangular di mana fokus permainan mudah diperoleh (lih., Groote, 1997) sehingga memudahkan pengarahan. Memang seperti itulah yang terjadi, cerita mengalir melalui dialog para tokoh dan pesannya mudah ditangkap. Jika saja dialog para pemeran tak terucap patah-patah (seperti masih sedang menghafal teks), konflik tak tunggal, dan penyelesaian sedikit mengambil jalan melingkar (tidak langsung diputuskan membunuh antagonis), maka estetika drama realis dapat menemukan maknanya.


Sementara itu TRT dengan lakon “Ayahku Pulang” karya Usmar Ismail, sutradara Nofi Arianto mencoba lebih menukik dengan mengambil salah satu cabang gaya realis yang benar-benar berusaha menyajikan kenyataan di atas pentas yaitu naturalisme. Set yang menggambarkan rumah pedagang besi rongsokan ditampilkan secara nyata dengan teknik instalasi (akan lebih dahsyat lagi ketika elemen-elemen set ini dibuat sendiri sehingga menyerupai besi-besi). Musik, mobil, motor dan semua situasi yang ada coba ditampilkan seperti kenyataan. Hal yang sungguh sangat menarik, terutama ketika dipertemukan dengan gaya akting realis yang matang. Sayang, pertemuan ini kurang bisa terjadi. Gaya bicara (nada, intonasi, dan ritme) tokoh ayah yang nampak sekali berasal dari tradisi pelatihan berbeda dengan pemeran lain menandaskan ketidakbertemuan ini.

Selain itu interpretasi dasar lakon yang diarahkan pada kehidupan pedagang besi rongsokan kurang padu dalam ekspresi wicara yang tetap mempertahankan gaya bahasa naskah aslinya. Hal yang paling berbahaya dari situasi ini adalah di saat emosi puncak pemeran kurang bisa mempertahankannya. Dan ini terjadi ketika pada saat marah akhirnya Gunarto mengeluarkan umpatan “cuk!” khas Jawa-Timuran seolah mengkhianati pilihan atas gaya bahasa lakon. Hal sepele ini menjadi penting artinya karena diekspresikan pada momen krusial di mana semestinya dramatik namun justru membuncahkan tawa. Lebih penting lagi, makian “cuk!” telah menghapus dinding imajiner antara pemeran dan penonton yang merupakan salah satu kunci estetika realisme. Mungkin hal sepele semacam ini dapat dimaklumi dalam kerangka sosio-budaya namun akan lebih baik jika konsistensi konsep dipertahankan.

3.  Pasca Realis
Pilihan gaya yang merupakan pembaruan dari presentasional dan realis ini banyak diambil oleh para penampil/pekarya. Ada yang memilih gaya pasca realis yang telah tetap seperti surealis dan teatrikal namun ada pula yang mencoba mencari bentuk ekspresi baru melalui jelajah artistik tersendiri. Surealisme diwakili oleh Teater Kanjuruan (TK) Malang dengan lakon “Kapai-kapai” karya Arifin C. Noer arahan sutradara Dila. Ciri khas dunia berlapis dalam surealisme Arifin dinampakkan melalui panggung bertingkat yang masing-masing tingkatan ditata secara triangular. Mistisime, asosiasi bebas, dan religiositas beradu silang dalam pengadeganan yang cukup menarik. Namun cerita perjalanan Abu mencari kebahagian yang mana secara psikologis harus menemui kehilangan sebagai akibatnya kurang terbina. Pengaburan terjadi ketika adegan banyolan harus tampil sebanyak 2 kali dan mengambil durasi lumayan panjang sehingga tragika Abu tenggelam di dalamnya. Meski demikian, secara keseluruhan sajian TK menarik untuk diapresiasi terutama aspek visualisasinya.

Sementara itu, gaya teatrikal diwakili oleh Teater Institut (TI) UNESA Surabaya melalui lakon “Pemiluan” sutradara M. Ainur Roofiqi. Teatrikalisme tidak sepenuhnya ditampilkan selain spirit bahwa apa yang disajikan penonton adalah pertunjukan teater dan bukan kenyataan hidup. Gaya ini umum ditemui dalam pementasan teater komunitas tahun 90-an. Karakter-karakter yang bergerak secara karikatural tidak dimaknakan sebagaimana mestinya yang satiris dan menyindir sementara karakter teatrikal yang bersifat simbolis (lihat El Saptaria, 2006) justru sering nampak verbal. Di sisi lain, kepiawaian pemeran selain keahlian seni peran sebagai salah satu ciri gaya teatrikal (McTigue 1992) tidak disajikan. Tenik repetisi dalam adegan yang semestinya dihadirkan di saat kondisi tertentu untuk menguatkan atau memberikan efek lain malah terlalu sering dimunculkan (menjadi pola) sehingga kurang memiliki kesan. Namun demikian, lakon yang menggambarkan suramnya kepemimpinan ini menyajikan grouping yang enak ditonton.
Jelajah pencarian ekspresi baru ditampilkan oleh Komunitas Masyarakat Lumpur (KML) Bangkalan dengan lalon “Perempuan dan Kapal yang Hilang” sutradara Nike D Febiyanti, Teater Komunitas Malang (TKM) dengan lakon “Panji Anggraeni” sutradara Mukhammad Sofyan, Teater Manunggal Pasuruan (TMP) dengan lakon “Malam ke 17” sutradara Dawud Tri Cahyono, dan Estho Theatre Surabaya (ETS) dengan lakon “Aljabar” naskah/sutradara Zak Sorga.

KML tampil melalui opening cukup menjanjikan dengan menampakkan problem silangan budaya yang terjadi di dalam masyarakat. Perpaduan antara story telling dengan visualisasi gerak, bayangan serta elemen visual lain hadir bagaikan benda-benda penarik minat yang bebas untuk dipilih. Cukup mengambil hati sampai ketika panggung berubah total menjadi teater kerakyatan dengan dialog-dialog verbal tak perlu, menjadikan upaya pembangunan artistik awal sia-sia. Selepas itu tawaran-tawaran ekspresi yang disajikan menjadi terlalu berlebih dan saling tumpang tindih sehingga pertunjukan kehilangan daya cengkeramnya. TKM pun demikian adanya bahkan jauh lebih kurang beruntung karena eksperimentasi yang dijanjikan tak pernah hadir.  Apa yang disajikan adalah replikasi dari produksi tahun sebelumnya di ajang yang sama tanpa ada pembaruan bahkan dalam makna ekspresi yang tak lebih baik. Pengulangan pengadeganan, teater tari, wicara puitik, sapu, lidi, dan penyanyi di akhir cerita seolah membakukan sesuatu yang sebenarnya masih memiliki daya jangkau lebih. Menitikkan kalimat yang semestinya mampu memproduksi tanya.

Pencarian berbeda dilakukan oleh TMP. Sajian pertunjukan yang berada di antara teatrikalisme dan simbolisme ini seolah-olah tidak menetapkan satu patokan ekspresi yang hendak ditampilkan. Gaya pemeranan antara realis bersilangan dengan gaya teatrikal, karikatural, dan bahkan konvensional. Simbol-simbol yang dipilih dalam teks dialog dan visual juga nampak gamang. Kegamangan ini menjadikan munculnya ekspresi ganda yang tidak perlu semisal adegan seks swalayan diekspresikan hanya untuk menjelaskan dialog perihal sang pemimpin sedang merasakan kenikmatan dalam tidurnya. Pun demikian ketika visualisasi sang pemimpin bangun hanya untuk buang hajat terlihat sangat verbal.

Dalam sajian yang lain, ETS menampilkan format pertunjukan yang telah dengan baik dilatihkan. Sebagian penonton diminta untuk menduduki kursi yang tersedia di atas panggung dan mereka berfungsi sebagai penonon yang berada di atas panggung (itu saja). Sekilas format ini mirip dengan Playback Theatre (PT) di mana penonton, pemeran, dan pemusik berada dalam satu area. Namun tentu saja berbeda karena PT bermain secara improvisasi dengan cerita dari narasi penonton sehingga mereka seolah-olah mempresentasi ulang kisah si penonton secara teatrikal (periksa Rowe, 2007). Sementara ETS tampil berdasar naskah. Penggal-penggal kisah manusia disajikan bagaikan sketsa, karikatur, ilustrasi atau lukisan. Wicara, dialog, gerak tubuh, ekspresi rupa disajikan sebagai pemakna penggal kisah yang ada. Satu sajian menarik dan nampak tertata dengan baik serta terjalin kolaborasi padu antara para pemeran dan pemusik. Satu hal yang patut dipertanyakan adalah kehadiran penonton di atas panggung yang hanya difungsikan sebagai penonton di atas panggung. Tak pelak, penonton ini menjadi tontonan bagi penonton yang duduk di auditorium. Efek artistik yang diserap antara penonton di atas panggung dan di auditorium pasti berbeda namun keberbedaan ini tidak memiliki peluang untuk dikomunikasikan. Selain itu, penggal-penggal kisah yang seolah saling silang sengkarut itu ternyata tak kuasa dibiarkan liar sehingga memerlukan simpulan. Satu simpulan yang diucapkan tokoh tentang tak tercukupinya waktu tersedia untuk memahami manusia. Satu simpulan yang bisa jadi sebagai penjelas namun bisa juga sebagai akibat ingin dipahaminya rentetan kisah (pikiran) yang (sebenarnya) tak terpahamkan.

Sembilan sajian pertunjukan dalam rangkaian Parade Teater Jawa Timur ini menunjukkan beragamnya ekspresi artistik seni teater. Problem yang selama ini menyelimuti jagat teater secara umum adalah keterkaitannya dengan drama yang seolah-olah tidak bisa dipisahkan. Teater yang secara umum dianggap sebagai sajian cerita melalui kata-kata mendapatkan tawaran lain. Tawaran tersebut bisa berupa gerak, puisi, musik, rupa atau gabungan di antaranya. Semuanya dapat dijadikan media untuk menyampaikan cerita yang dalam formulasi tertentu tak kalah baiknya dibanding teater kata-kata. Dalam konteks pertumbuhan seni, ajang temu karya teater semacam ini perlu dirayakan. Jika bisa dan ada kesempatan, temu antara para pekarya dapat dilangsungkan di sela-sela agenda pementasan. Proses kreatif antara para pekarya bisa saling dikomunikasikan sehingga budaya saling belajar juga bertumbuh. Selamat untuk para pekarya dan selamat untuk Taman Budaya Jawa Timur sebagai penyelenggara. (**)

Bacaan:
El Saptaria, Rikrik. 2006. Acting Handbook, Panduan Praktis Akting untuk Film & Teater. Bandung: Rekayasa Sains
Grote, David. 1997. Play Directing in the School, A Drama Director’s Survival Guide. Colorado: Meriwether Publishing LTD
McTigue, Mary. 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What, and the Way Things Really Work in the Theatre. Cincinnati, Ohio: Betterway Book
Rowe, Nick. 2007. Playing the Other, Dramatizing Personal Narratives in Playback Theatre. London: Jessica Kingsley Publishers
Santosa, Eko. 2014 “Teater dan Proses Hubungan Sosial” dalam Proceedings International Seminar Social Awareness in Arts Education. Yogyakarta: PPPPTK Seni dan Budaya
Snyder, Joan, Michael P. Drumsta. 1986. The Dynamics of Acting. Illinois: National Netbook Company



Tidak ada komentar:

Posting Komentar