Senin, 03 Desember 2018

Mengekspresikan Teks

Oleh: Eko Santosa

(tulisan ini pernah dimuat secara berkala di www.whanidproject.com)

Pementasan teater secara mendasar merupakan proses visualisasi teks ke dalam sebuah pertunjukan (tontonan). Teks diwujudkan dalam bentuk tata panggung, busana, rias, cahaya, suara, ilustrasi musik, dan terutama melalui akting para pemeran. Informasi terbaca diubah ke dalam media pandang dan dengar. Para pekerja teater memerlukan waktu khusus dan pemusatan pikiran dalam mengerjakannya. Teks sebagai bahan dasar ekspresi artistik dapat mewujud ke dalam bentuk pertunjukan yang menarik sehingga mampu memikat penonton karena seolah-olah pertunjukan itu hidup atau sebaliknya, tontonan tidak mampu menghidupkan teks.
Aktor sebagai media utama penghidup teks memikul beban yang paling berat. Ia harus mampu menghadirkan kenyataan dari sebuah tulisan. Kenyataan yang diwujudkan melalui seni pemeranan. Dengan demikian seni pemeranan ditantang untuk memberikan ruh pada setiap kata atau kalimat tertulis melalui lakuan. Keberhasilan menghidupkan teks ini kadang-kadang hanya bisa diukur melalui penerimaan rasa penonton atas apa yang tersaji di atas pentas. Teks bisa berubah menjadi tangis, marah, tawa atau sedih bagi penonton itu sangat bergantung dari bagaimana cara pemeran mengekspresikannya. Cara berekspresi atau proses menuju ekspresi inilah yang seringkali mengalami gangguan atau hambatan sehingga teks tak mampu hidup. Ketika hal ini terjadi, maka pertunjukan yang ada di atas panggung menjadi semacam hiasan dinding yang cukup selintas saja dilihat. Tulisan ini akan menguraikan gangguan atau hambatan dalam mengekspresikan teks secara umum dari sudut pandang pribadi.
1.   Mempelajari Teks
Proses awal sebelum latihan teknis dilakukan, aktor atau pemeran perlu mempelajari teks. Secara umum sesuai kebiasaan kerja kelompok teater yang ada, proses mempelajari teks yang sering disebut sebagai bedah naskah ini dilakukan. Dalam kegiatan ini, pesan lakon melalui karakter atau tokoh yang ada di dalamnya diungkap dan ditelisik. Dari kegiatan ini didapatkan gambaran makna lakon. Kerja pemeran berikutnya adalah menyampaikan makna ini melalui laku karakter yang harus dilakoninya. Waktu tersedia untuk bedah naskah berbeda antara produksi satu dengan yang lainnya. Namun umumnya, ketersediaan waktu ini kurang mencukupi bagi aktor untuk mempelajari teks dengan baik sesuai karakter yang harus ia perankan. Oleh karena itu, aktor memerlukan waktu mandiri untuk melakukan analisis karakter berdasarkan informasi awal dari kegiatan bedah naskah ini.


Namun yang seringkali terjadi, aktor merasa sudah cukup dengan bedah naskah saja dan selanjutnya ia menyerahkan dirinya pada sutradara. Dengan demikian ia hanya memiliki perwatakan dasar karakter yang akan ia perankan dalam tujuan akhir menyampaikan makna lakon. Ia tidak lagi mau mempelajari secara mendalam karakter yang akan ia perankan. Biasanya, selepas kegiatan bedah naskah ini, kerja aktor berikutnya adalah menghafal teks dialog yang menjadi bagiannya. Karena ia merasa sudah cukup dengan perwatakan dasar yang diberikan, maka apa yang ia kerjakan jauh dari proses interpretasi karakter. Ia tidak menggali potensi karakter yang ada di dalam lakon tersebut untuk ia hidupkan secara meyakinkan. Ia telah menyerahkan laku karakter tersebut kepada sutradara.

Problem ini terjadi hampir secara merata dan melanda kebanyakan aktor, terutama yang amatir. Lakon tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari. Lakon tidak lagi menjadi sumber utama ekspresi. Ia telah sibuk dengan teks-teks dialog yang sebenarnya hanya merupakan bagian kecil dari ekspresi lakon secara keseluruhan. Dalam kondisi semacam ini aktor tidak akan lagi mau mempelajari hal-hal kecil yang terjadi dalam lakon yang dapat mempengaruhi ekspresi karakter yang ia perankan. Interpretasi karakter yang ada berupa besaran dan umumnya hanya terkait dengan motivasi dan dimensi karakter saja. Hal-hal yang bersifat psikologis atau moralitas karakter menjadi tidak diperhatikan.

Sementara itu, dalam setiap wicara atau dialog karakter (tokoh) terkandung makna yang mana makna tersebut harus terekspresikan dengan baik. Artinya, bukan hanya sekedar wicara dan dialog yang diucapkan lantang. Untuk memahami makna ini, aktor harus benar-benar masuk ke dalam lakon melalui karakter yang akan ia perankan. Setiap kata atau kalimat yang diucapkan pasti mengandung satu pesan dan pesan ini harus sampai. Setiap keterangan yang mendukung ekspresi harus dibaca dan dipahami dengan baik. Keterangan tertulis dalam lakon dapat berupa keterangan lokasi kejadian, latar peristiwa, waktu atau bahkan arahan laku. Semua yang ada dan tertulis di dalam lakon mesti dipelajari untuk menemukan perwatakan sebenarnya dari karakter yang akan diperankan.

Proses mempelajari teks lakon jika hanya berkutat pada karakter yang akan diperankan saja dapat dipastikan tidak akan memberikan gambaran perwatakan secara utuh. Di dalam lakon, perwatakan tokoh tidak dilahirkan dan dibangun secara tunggal, melainkan terhubung dengan tokoh-tokoh lain. Pola hubungan antara tokoh satu dengan yang lain dapat berjalan secara langsung ataupun tidak. Hubungan secara langsung dapat dilihat dari adegan di mana para tokoh saling bertemu. Sementara hubungan tidak langsung didapatkan dari teks dialog tokoh lain atau keterangan yang menggambarkan keterkaitan peristiwa antara tokoh satu dengan yang lain. Pola hubungan ini bisa menggambarkan berbagai macam sifat seperti saling setuju, bertenangan, mendukung, apatis atau sifat-sifat lain antara tokoh satu dengan yang lain terkait satu peristiwa. Dari pola hubungan tokoh-tokoh lakon ini, keutuhan perwatakan bisa diungkap.

Atas dasar telisik pola hubungan ini pula gambaran ekspresi tokoh bisa didapatkan. Di samping itu, kerja analisis karakter memiliki tujuan utama interpretasi karakter. Dalam hal ini, aktor harus benar-benar menghadirkan karakter tersebut secara utuh. Keutuhan karakter tidak bisa didapatkan hanya dari aksi tokoh di dalam lakon namun juga kondisi karakter sebelum ia hadir dalam lakon tersebut. Oleh karena itu, aktor harus benar-benar mempelajari teks secara teliti sehingga ia bisa membangun karakter sejak karakter tersebut belum muncul di dalam lakon hingga setelahnya, dalam arti lain adalah latar belakang kehidupan dan tujuan hidup karakter. Latar belakang dan tujuan inilah dapat dijadikan motivasi aksi dari setiap kesatuan gagasan yang dimilikinya. Ungkapan ekspresi bedasar satu kesatuan gagasan hanya bisa didapatkan melalui telaah mendetail setiap laku, kata, desah nafas dan hal-hal ekpresif lain yang harus dilakukan tokoh lakon. Untuk mencapai hal ini tidak ada kata lain, aktor harus mempelajari teks secara mendalam.

2.   Problem Hafalan
Hafalan merupakan langkah utama dalam proses mengekspresikan teks. Di dalam teater berbasis naskah, semua dilaog atau wicara tokoh wajib untuk dihafalkan. Proses menghafal ini umumnya dilakukan selepas latihan membaca dan menjadi tanggung jawab pribadi pemeran bersangkutan. Namun demikian, latihan menghafal sering diadakan untuk membantu para pemeran. Jika tidak, maka pemeran harus mencari partner untuk menghafalkan. Sampai pada tahap ini tidak ada persoalan yang muncul terkait ekspresi teks. Semua berjalan biasa atau dianggap berjalan sebagaimana mestinya. Para pemeran berkumpul saling menghafal teks dan jika terjadi kesalahan antara pemeran saling mengingatkan.

Proses menghafal seperti yang umum dilakukan sebenarnya tanpa disadari telah menanamkan benih persoalan awal untuk ekspresi teks. Terkait dengan pemahaman teks yang mesti dilakukan secara mendalam bagian demi bagian, proses menghafal pun semestinya demikian. Artinya, kalimat dialog atau wicara bisa diekspresikan sesuai kehenedak naskah ketika semua teks telah dihafalkan dengan baik. Dengan demikian, proses menghafal sebenarnya hanyalah menghafal saja. Namun yang terjadi, senyampang menghafal, para pemeran juga sudah mengekspresikan teks tersebut dalam bentuk ekspresi suara, bahkan diikuti gestikulasi. Mereka mulai mencoba menggunakan intonasi, nada, bahkan emosi. Jadi dalam proses menghafal teks ini para pemeran telah memberikan ekspresi pada setiap kalimat dialog atau wicara yang harus diucapkan. Ketika hal ini dilakukan berulang-ulang, maka yang terjadi adalah ekspresi kalimat dialog dan wicara dalam latihan hafalan tersebutlah yang akan terus digunakan. Pada saat latihan yang sesungguhnya dilakukan di mana semua pemeran sudah saling hafal teks, maka proses membenahi ekspresi kalimat sesuai dengan situasi, kondisi, dan emosi lakon akan sulit dilakukan. Pemeran sudah terlanjur memiliki ukuran yang ditentukan pada saat proses menghafal.

Pertanyaan pokok yang mesti diutarakan terkait proses menghafal seperti tersebut adalah, “Apakah pemeran sudah benar-benar memahami emosi, situasi, dan kondisi di mana kalimat itu diucapkan terkait makna cerita secara menyeluruh?”. Tentu saja jawaban dari pertanyaan ini adalah, “tidak”. Hal ini dikarenakan pada saat itu pemeran sedang menghafalkan dialog atau wicara. Ekspresi yang dilakukan sesungguhnya hanya dijadikan patokan untuk kerja hafalan. Namun akhirnya, ekspresi itu benar-benar terpatok dan ketika harus diubah, maka justru akan menghambat hafalan. Hasil paling akhir dari proses ini adalah, pemeran tidak akan mau atau sulit mengubah ekspresi karena itu akan mengganggu hafalan. Lingkaran setan seperti ini sulit diputus.

Kondisi yang telah membiasa dalam proses menghafal ini tanpa disadari menjadi titik lemah ekspresi teks pemeran. Anehnya, hal seperti itu terus menerus dilakukan tanpa ada upaya untuk menelaah sisi lemahnya. Atau mungkin, pola pelatihan hafalan teks yang semacam itu justru dianggap memudahkan bagi sutradara dan pemeran dalam mewujudkan teks di atas pentas. Jika ini yan terjadi, maka ukuran yang sudah ditentukan sejak dalam latihan menghafal dianggap telah final dan oleh karena itu wajib dipertahankan. Anggapan semacam ini menjadi aneh sebenarnya ketika dikaitkan dengan ekspresi teater bergaya realis. Dengan terpatoknya ukuran ekspresi sejak saat menghafal, maka kewajaran pemeranan pada saat pementasan dapat diragukan. Gaya realis mengusung kekinian dalam arti pemeranan adalah saat ini, bukan kemarin atau besok. Artinya, menjadi saat ini ialah akting harus dilakukan secara spontan/natural. Akting spontan tidak akan mungkin didapatkan ketika ekspresi teks yang akan diucapkan telah ditentukan sebelumnya. Spontanitas atau kenaturalan akting menandakan bahwa ekspresi sebuah teks sangat tergantung dari situasi, kondisi, dan emosi yang melingkupinya, dan hal tersebut bisa jadi berbeda-beda dari hari ke hari semasa latihan hingga sampai pada saat pementasan.

Kerja menghafal teks sekaligus dengan ekspresi artistik mungkin dilakukan jika ukuran seni akting telah ditentukan. Penentuan ekspresi ini dengan sendirinya akan menjadi model yang mesti ditirukan oleh pemeran. Dalam teater tradisional yang memiliki konvensi ketat, hal semacam ini dapat terjadi di mana nada, intonasi, emosi karakter melalui kalimat dialog yang diucapkan sudah terukur sedemikian rupa. Bahkan di beberapa daerah tertentu pemeran teater tradisional harus persis menirukan ekspresi dari pelatih. Namun umumnya, teater-teater semacam itu telah memiliki teks baku sehingga kalimat-kalimat dialog yang mesti diucapkan sudah tersandarisasi dan lakon yang ditampilkan tidak memiliki banyak variasi. Atau mungkin bahkan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita termasuk ekspresinya juga telah dibakukan.

Pola latihan menghafal teks semacam itu tentu saja tidak bisa diterapkan untuk teater secara menyeluruh. Dalam realisme misalnya, hafalan teks dengan telah menentukan ekspresi akan melahirkan akting tetap. Akting yang seolah-olah sudah tidak bisa lagi diubah apapun situasi dan kondisinya. Memang tidak semua pemeran terjebak dalam pembatuan ekspresi teks dengan pola latihan menghafal semacam ini, namun itu hanya berlaku untuk sebagian kecil pemeran saja. Yang banyak terjadi justru kekeliruan dalam proses ini adalah tidak saja berkait ekspresi tertentukan, namun juga terjadinya tindakan saling menyalah-benarkan antara pemeran satu dengan lain. Seolah-olah para pemeran itu saling memiliki kewenangan untuk menentukan tepat tidaknya ekspresi teks dari pemeran lain. Padahal tugas tersebut semestinya ada pada sutradara. Problem hafalan teks dengan telah menentukan ekspresi atas teks yang dibaca ini semestinya bisa dihindari jika pemeran menyadari bahwa kerja atau proses menghafal teks tujuannya adalah menghafal teks bukan untuk mengekpresikannya sekaligus. Tujuan ekspresi teks wicara dan dialog tokoh ada dalam latihan berikutnya. Latihan yang dilakukan ketika para pemeran telah menghafal teks dengan baik.

3.   Ekspresi Suara dan Gerak
Gerak juga menjadi salah satu problem dalam mengekspresikan teks. Gerak baik berupa berjalan kaki mondar-mandir serta gerakan tangan (gestikulasi) seringkali dimunculkan sejak latihan membaca dengan tujuan hafal naskah (kalimat dialog yang mesti diucapkan). Ekspresi gerak ini muncul sebagai akibat dari ekspresi suara yang perlu mendapatkan penekanan. Sumber ekspresi suara dan gerak ini adalah imajinasi pemeran yang otomatis muncul ketika membaca kalimat dialog. Imajinasi spontan ini seolah-olah menjadi patokan atas ekspresi suara dan gerak yang dilakukan. Padahal dalam tahap ini pemeran hanya didorong (distimulasi) oleh kalimat dialog yang dibacanya. Artinya, dalam pembacaan ini ia hanya fokus pada tokoh yang diperankan. Fokus ini tanpa disadari menyeret semua emosi ke dalam nilai emosi tokoh yang ia perankan. Akibat sederhana namun fatal dan terus menerus terjadi adalah si pemeran merasa menjadi pusat dari adegan sehingga reaksi lawan mainpun telah ia bentuk dalam imajinasinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika si pemeran sering merasa kecewa sendiri atas reaksi yang dilakukan lawan main yang tidak sesuai dengan ukuran yang ia miliki meskipun itu terjadi pada saat proses membaca dalam rangka menghafal. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika semua pemeran melakukan hal semacam ini.

Saling menyalahkan dan atau membenarkan lawan main menjadi hal yang umum terjadi. Apalagi ketika dalam ansambel tersebut ada seorang pemeran senior. Semua akan menurut apa yang diomongkannya. Ia hadir seolah menjadi panutan dalam berperan. Tidak tanggung-tanggung bahkan pemeran senior ini pun dengan suka rela mengajarkan bagaimana berakting kepada yuniornya berdasarkan kalimat dialog yang ada di dalam naskah yang pada saat itu sedang untuk dihafalkan. Sementara pada saat yang sama dirinya juga sedang menghafal bagiannya. Suasana semacam ini seringkali didukung dengan permakluman (untuk menyebut ketidaktahuan atau ketidakmampuan) sutradara. Jadi proses penyutradaraan yang dilakukan oleh pemain telah dibiarkan terjadi sejak proses membaca naskah. Ekspresi suara dan gerak telah ditentukan, bahkan bukan oleh sutradara.

Tentu saja tidak semua kelompok teater dan pemeran melalukan hal semacam itu. Namun kondisi seperti ini masih sering dijumpai dalam banyak proses latihan. Penentuan ekspresi gerak dan suara sebelum makna keseluruhan lakon dipahami bukannya membuat ekspresi teks menjadi tepat melainkan artifisial. Kenaturalan ekspresi hapus dengan sendirinya karena teks tak lagi otentik saat diucapkan.

Proses hafalan yang semestinya berujuan hanya untuk mengahafalkan teks dialog menjadi satu paket lengkap dengan ekspresi suara dan geraknya. Paket ini seolah-olah telah paten. Bahkan secara lebih jauh jika praktik semacam ini terus dijalankan, maka paket latihan akan menjadi komplit termasul blocking pemain di mana pada saat itu fokus pemain sedang menghafalkan teks dialog. Pekerjaan yang sesungguhnya sangat berat bagi pemain karena harus membagi perhatian antara hafalan teks, gerak, suara, dan blocking. Namun toh, semua itu berjalan begitu saja dalam kurun waktu lama dan bisa jadi telah membudaya. Kebiasaan ini akan sulit untuk diubah ketika di antara para pelaku produksi teater yang sedang berproses tidak menyadari kelemahan ini. Satu paket akting yang telah terbentuk senyampang teks sedang dihafalkan tanpa disadari telah menjadi model untuk banyak kelompok teater.

Ekspresi teks dialog secaya menyeluruh sesungguhnya dapat dilakukan hanya jika pemahaman tercapai. Bahkan, dalam tahap ini pun ekspresi tidak bisa dibakukan. Akting atau pemeranan adalah kerja yang bersifat mengalir. Ia akan mengikuti situasi, kondisi, dan emosi di setiap adegan, bahkan dalam satu kesatuan gagasan terkecil (bit/beat). Setiap pergerakan kecil dari si pemeran dengan atau tanpa dialog merupakan eja wantah dari pemahaman atas peristiwa yang terjadi dalam waktu selintas – waktu kini pada saat itu. Artinya, akting pemeran itu tidak bisa direncanakan. Semua sangat tergantung pada psikologi peristiwa yang melingkupi.  Naskah memang sebuah perencanaan dan pemujudan naskah ke atas pentas juga membutuhkan perencaaan, akan tetapi akting selalu saja bernilai “saat ini”. Jadi, meski rencana atau peta dasar permainan tersebut telah dibuat tetap saja akan bergantung pada responsi antar-pemain terhadap persitiwa yang terjadi. Oleh karena itulah membakukan ekspresi suara dan gerak, apalagi pada saat proses menghafal kurang bisa dibenarkan.

4.   Fokus Pada Aksi
Kebiasaan yang mungkin telah membudaya pada diri pemain teater secara umum adalah terlalu fokus pada aksi. Artinya, sejak awal menerima naskah dan membacanya, ia hanya berfokus pada apa yang mesti dilakukan oleh tokoh yang diperankan. Dari sudut pandang jelas terlihat bahwa kepentingan utama dalam proses mengekspresikan teks adalah ekspresi tokoh yang diperankan. Seolah-olah tokoh lain tidak akan memberikan andil dalam perubahan atau penyesuaian ekspresi tokoh yang dimainkan. Dari sini pulalah penentuan ekspresi itu bermula. Pemain yang hanya mempedulikan aktingnya tentu saja menentukan ekspresi berdasar pemahamannya. Apakah pemahaman ini sesuai dengan tuntutan lakon masih menjadi sebuah pertanyaan.

Proses mengekspresikan teks dengan kebiasaan semacam ini akan menyeret pementasan ke dalam ajang kompetisi akting di antara para pemain. Karena setiap orang fokus pada peran yang dimainkan, maka tentu saja segala awal nilai keindahan dalam berekspresi juga berasal dari dirinya sendiri. Bahkan dalam proses latihan peran seringkali sutradara tanpa sadar dampaknya justru meminta pemain untuk fokus pada peran yang akan dimainkan. Hal ini tentu saja tidak salah jika dipahami sebagai saran untuk menjaga fokus dalam proses pemeranan. Namun seringkali fokus ini justru mengarah pada aksi yang perlu dilakukan oleh pemeran dalam memerankan tokoh.

Kondisi ini jika berlangsung dalam wakatu lama menghasilkan kemahfuman bahwa kata kunci akting adalah aksi. Oleh karena itu semua pemain perlu fokus pada aksi ini jika ingin bermain dengan baik. Karakter yang akan diperankan tidak boleh lepas sedikitpun dari perhatian pemeran. Memang benar bahwa hal ini sangat perlu dilakukan namun bukan berarti hanya fokus pada aksi karakter. Fokus hanya pada aksi karakter menghasilkan ekspresi tertentu yang sulit disesuaikan ketika berada dalam atmosfer berbeda. Eskpresi karakter kemudian menjadi tidak lengkap, tidak komplit. Hal ini terjadi karena terlalu fokus pada aksi dengan sendirinya menghilangkan fokus atas reaksi. Terlalu fokus pada aksi dengan sendirinya mengandung nilai bahwa karakter lain harus memahami aksi yang dilakukan oleh pemeran tersebut. Dengan demikian, ukuran-ukuran ekspresi itu menjadi “aku” dan bukan “kita”. Jelasnya, si pemeran seolah-olah akan berkata kapada lawan main, “Lihatlah aksiku (ekspresi) dan kau mesti tahu bagaimana bereaksi atas aksiku”.  Nah, jika semua pemain memiliki prinsip seperti ini, maka bisa dibayangkan betapa mereka bekerja bersama namun soliter dalam berekspresi.

Akibat dari kondisi ini adalah masing-masing pemain akan menganggap aksinya sebagai pusat sehingga yang lain mesti menyesuaikan. Hal ini pulalah yang seringkali menjadikan antara pemain satu dengan yang lain saling menyalahkan atau tidak mau kalah. Di dalam pertunjukan teater amatir seringkali terlihat satu atau beberapa pemain yang dianggap mencuri fokus penonton di saat lawan mainnya sedang beraksi. Artinya ketika pemain lain beraksi ia pun juga melakukan aksi dan bahkan aksi yang ia lakukan lebih besar atau menonjol sehingga perhatian penonton mengarah padanya. Tindakan semacam ini bukannya dilakukan dengan tanpa sadar, namun memang disadari sepenuhnya karena semangat, “look at me!”, begitu menggelora. Semangat ini secara ekstrim sering melahirkan tindakan mematikan lawan main. Tindakan ini berupa tidak memberikan respon yang sesuai atau justru melakukan aksi berlawanan untuk menegasi aksi yang dilakukan lawan main. Akibatnya lawan main akan kelihatan tidak berdaya pada saat itu. Tujuan dasar dari tindakan ini adalah; orang lain tidak boleh tampil lebih baik.

Fokus pada aksi yang berterusan juga akan melahirkan aksi di atas panggung yang cenderung melecehkan lawan main. Aksi ini terjadi ketika seorang pemain pada satu peristiwa merasa mendapatkan peran yang bisa menguasai peran lain. Ia akan menggunakan kesempatan itu untuk “ngerjain” lawan main. Misalnya saja seorang pemain pada satu kesempatan mendapatkan peran untuk menendang lawan main. Di dalam latihan, proses menendang ini dilakukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan gerak yang tidak merugikan lawan main. Namun ketika tampil di atas panggung, sang pemain benar-benar menendang lawan main hingga terjengkang. Tentu saja hal ini sangat menjengkelkan dan sama sekali tidak artistik dan akan melahirkan tindakan balasan dari sang lawan main pada kesempatan lain. Jika tidak terkendali, kekesalan yang terjadi di atas panggung dapat terus di bawa sampai dalam kehidupan sehari-hari di mana antara satu pemain dengan pemain lain saling membenci. Hal ini terlihat konyol, namun situasi psikologis semacam ini seringkali menyelimuti kelompok teater amatir yang membenarkan fokus (hanya) pada aksi dilakukan oleh para pemainnya.

Sementara secara riil, pola komunikasi normal selalu mengait aksi dan reaksi atau aksi dan responsi. Aksi balikan sangat tergantung dari reaksi yang diberikan. Demikian seterusnya. Aktor ketika memainkan peran di atas panggung sebenarnya dalam awalan permainan melakukan reaki dan bukan aksi. Hal ini terjadi karena, cerita dalam lakon atau naskah itu selalu berupa penggalan kehidupan. Artinya, awal sebelum peristiwa dalam lakon itu tidaklah diceritakan. Oleh karena itulah, aksi awal seseorang di atas panggung sejatinya adalah reaksi atas cerita sebelumnya yang tidak tertuliskan di dalam lakon. Pemahaman akan reaksi inilah yang menuntun proses analsisi lakon dan analisis karakter. Di dalam proses inilah para pemain harus memahami secara utuh peran yang mesti dimainkan. Pemahaman peran secara utuh tidak mungkin didapakan hanya dari membaca lakon yang berupa penggalan kehidupan itu. Seorang pemain mesti mereka kisah peran sebelum peran tersebut muncul dalam lakon. Secara sederhana, kondisi sebelum inilah yang melahirkan motivasi dalam bertindak. Karena itu pulalah akting seorang pemeran di atas panggung sejatinya adalah reaksi dari kisah sebelumnya.

Motivasi yang lahir atas cerita sebelumnya menandaskan pentingnya kerja reaksi dalam pemeranan. Jika kata “reaksi” yang diambil sebagai pendoman dalam bertindak (sebab mengandung motivasi di dalamnya), maka semua pemeran akan memperhatikan lawan main karena dari sanalah tindakan (aksi) sebagai perwujudan reaksi ini muncul. Dengan pemahaman yang demikian seorang pemeran akan selalu mengapresiasi lawan main dalam bermain peran. Ia akan memperhatikan aksi lawan main sebelum ia sendiri bereaksi. Jadi ketika lawan main sedang berbicara misalnya, maka pemeran yang baik akan mendengarkan dan meresapi makna yang dibicarakan lawan main  bukannya sibuk melakukan aksi tandingan. Aksi tandingan ketika seorang pemeran sedang beraksi ini seolah ingin menegaskan apa yang diucapkan lawan main, namun hasilnya justru artifisial dan tak normal karena aksi tidak bertemu dengan reaksi. Pentingnya reaksi ini menjadi keniscayaan karena seorang pemeran lebih baik diam sebelum benar-benar tahu apa yang harus dilakukan.


5.   Status
Hal yang paling sering diabaikan dalam proses ekspresi teks lakon adalah status. Umum diketahui bahwa status karakter ditelisik dari sisi atau dimensi sosial karakter. Sisi ini akan memberikan pandangan mengenai kedudukan sosial serta keterlibatan karakter dalam kehidupan sosial lakon. Secara mendasar, telisik dimensi karakter ini hanya mengungkapkan data-data mati terkait fisik, kejiwaan, dan sosial karakter. Tugas pemeran adalah menghidupkan data-data mati tersebut ke dalam laku aksi karakter sehingga kemungkinan data berubah menjadi terbuka luas. Namun demikian, yang umum terjadi adalah bahwasanya data mati itu terlanjur dijadikan patokan. Data itu telah menjadi elemen pengukur ekspresi karakter. Teks-teks yang disuarakan oleh karakter mengikurti data-data ini.

Ekspresi teks atas data hasil analisis ini dapat dengan mudah ditemui dalam pementasan teater amatir di mana ekspresi fisik karakter dari awal sampai akhir tidak berubah. Tokoh raja sepanjang pertunjukan akan menjadi raja dan semua rakyat patuh padanya. Tokoh bos sepanjang pertunjukan tetap menjadi bos meski dalam satu peristiwa tokoh tersebut pernah berada dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan dirinya bertindak sebagai bos. Ekspresi teks berbasis data mati ini tidak menguntungkan bagi pertunjukan dan juga pemeran karena menyajikan watak peran yang tidak mengalir. Kalaupun terjadi perubahan pasti perubahan besar sehingga dimensi karakter tersebutpun ikut berubah. Misalnya, tokoh Bos berubah wataknya karena ia bangkrut dan menjadi rayat jelata. Dalam kasus ini tentu saja dimensi karakter Bos menjadi berubah sehingga ia seolah-olah adalah 2 orang yang berbeda dalam satu cerita. Data dimensi karakter Bos akan berubah terutama menyangkut status sosial.

Pemahaman status yang hanya mengait dimensi karakter ini kurang bisa membuat ekspresi teks menjadi natural. Selain karena ukurannya adalah data mati, perubahan ekspresi baru terjadi ketika salah satu sisi pembentuk karakter juga mengalami perubahan. Perubahan watak tokoh tidak bisa mengalir sebagaimana seseorang menjalani kehidupan sesungguhnya di mana kata demi kata yang ia ucapkan dalam dialog sehari-hari mengalami dinamika tergantung situasi dan kondisi yang melingkupinya. Di dalam keseharian, 2 orang yang saling berbicara akan memproduksi banyak ekspresi baik sebagai penanda jati diri, keterhubungan dengan orang lain maupun keterlibatan dalam lingkung sosio kultural yang lebih besar. Dinamika ini terjadi karena dalam setiap komunikasi 2 arah selalu terjadi pertukaran status. Bukan status dalam konteks dimensi karakter melainkan status fisik dan psikologis dalam kegiatan berkomunikasi.

Status dalam komunikasi secara natural terbentuk di mana satu orang memiliki status lebih tinggi dari yang lainnya pada saat saling berbicara. Status ini tidaklah statis karena tergantung dari konteks pembicaraan yang dilangsungkan. Misalnya, seorang kaya menyakaan rumah temannya kepada seseorang di pingir jalan, maka pada saat itu status orang yang berada di pinggir jalan berada lebih tinggi dari si orang kaya. Hal ini terjadi karena pada saat bertanya orang kaya tersebut memerlukan jawaban yang membantu pencariannya. Atas keadaan ini, orang yang berada di pinggir jalan memiliki kuasa penuh – meskipun ia orang miskin - terhadap jawaban yang hendak diberikan. Ia bisa saja jujur berkata atau berpura-pura tidak tahu dan bahkan menyesatkan si penanya. Ketika orang di pinggir jalan ini berusaha menyesatkannya, misalnya, dan kemudian orang kaya mengeluarkan lembaran uang, maka status bisa berubah. Orang di pingir jalan tersebut merendahkan statusnya demi lembaran uang yang akan ia peroleh jika ia memberikan jawaban jujur. Status orang kaya dan miskin di atas di batasi oleh konteks dan kesalingbutuhan antara satu dengan yang lain.

Berdasar cermatan soal status dalam komunikasi kehidupan sehari-hari, maka teks dialog lakon semestinya juga memuat status ini. Karakter satu dan yang lain niscaya saling bertukar status dalam setiap konteks pembicaraan yang dilakukan. Studi atas kasus ini dengan gencar dilakukan oleh Keith Johnstone dan diterapkannya dalam latihan peran improvisasi (lihat, Johnstone:1989). Setiap dialog yang dilakukan di dalamnya terkandung status tinggi dan rendah dan kondisi ini natural di dalam kehidupan manusia. Orang bertanya yang memerlukan jawaban statusnya lebih rendah daripada orang yang memberikan jawaban. Oleh karena itulah dalam film-film aksi spionase, sang hero yang tertangkap tetap kelihatan gagah karena ia tidak mau membuka mulutnya atas segala pertanyaan intimidasi yang diarahkan padanya. Status hero ini akan lebih kuat ketika ia tetap menutup mulutnya bahkan ketika mengalami serangkaian siksaan. Status di sini dengan demikian lebih mengait pada soal kejiwaan. Kondisi jiwa di saat dialog itu dilakukan.

Status sebagai bagian pokok ekspresi teks lakon tidak bisa dilewatkan. Ia mesti dicermati secara kontekstual yang mana kejiwaan karakter terlibat secara langsung ketika mengucapkan kalimat dialognya. Jika dikaitkan dengan metode Stanislavsky, maka status ini mesti dipelajari di dalam setiap bit/beat. Dengan benar-benar memperhatikan status wicara masing-masing tokoh, maka kenaturalan dialog dapat diwujudkan. Ekspresi teks menjadi benar-benar hidup dan dinamika ucapan muncul dengan sendirinya. Karakter tidak akan tampil datar dan terbelenggu oleh data-data mati yang didapat dari hasil analisis karakter. Pemeran dengan demikian mesti menilisik setiap kalimat yang harus diucapkan dan memahami status ucapan tesebut sebelum benar-benar mengekspresikannya. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar