Oleh: Eko
Santosa
(tulisan ini pernah dimuat secara berkala di www.whanidproject.com)
(tulisan ini pernah dimuat secara berkala di www.whanidproject.com)
Pementasan teater
secara mendasar merupakan proses visualisasi teks ke dalam sebuah pertunjukan
(tontonan). Teks diwujudkan dalam bentuk tata panggung, busana, rias, cahaya,
suara, ilustrasi musik, dan terutama melalui akting para pemeran. Informasi
terbaca diubah ke dalam media pandang dan dengar. Para pekerja
teater memerlukan waktu khusus dan pemusatan pikiran dalam mengerjakannya. Teks
sebagai bahan dasar ekspresi artistik dapat mewujud ke dalam bentuk pertunjukan
yang menarik sehingga mampu memikat penonton karena seolah-olah pertunjukan itu
hidup atau sebaliknya, tontonan tidak mampu menghidupkan teks.
Aktor sebagai media utama penghidup teks memikul beban yang paling berat.
Ia harus mampu menghadirkan kenyataan dari sebuah tulisan. Kenyataan yang
diwujudkan melalui seni pemeranan. Dengan demikian seni pemeranan ditantang
untuk memberikan ruh pada setiap kata atau kalimat tertulis melalui lakuan.
Keberhasilan menghidupkan teks ini kadang-kadang hanya bisa diukur melalui
penerimaan rasa penonton atas apa yang tersaji di atas pentas. Teks bisa
berubah menjadi tangis, marah, tawa atau sedih bagi penonton itu sangat
bergantung dari bagaimana cara pemeran mengekspresikannya. Cara berekspresi
atau proses menuju ekspresi inilah yang seringkali mengalami gangguan atau
hambatan sehingga teks tak mampu hidup. Ketika hal ini terjadi, maka
pertunjukan yang ada di atas panggung menjadi semacam hiasan dinding yang cukup
selintas saja dilihat. Tulisan ini akan menguraikan gangguan atau hambatan
dalam mengekspresikan teks secara umum dari sudut pandang pribadi.
1.
Mempelajari Teks
Proses awal sebelum latihan teknis
dilakukan, aktor atau pemeran perlu mempelajari teks. Secara umum sesuai
kebiasaan kerja kelompok teater yang ada, proses mempelajari teks yang sering
disebut sebagai bedah naskah ini dilakukan. Dalam kegiatan ini, pesan lakon
melalui karakter atau tokoh yang ada di dalamnya diungkap dan ditelisik. Dari
kegiatan ini didapatkan gambaran makna lakon. Kerja pemeran berikutnya adalah
menyampaikan makna ini melalui laku karakter yang harus dilakoninya. Waktu
tersedia untuk bedah naskah berbeda antara produksi satu dengan yang lainnya.
Namun umumnya, ketersediaan waktu ini kurang mencukupi bagi aktor untuk mempelajari
teks dengan baik sesuai karakter yang harus ia perankan. Oleh karena itu, aktor
memerlukan waktu mandiri untuk melakukan analisis karakter berdasarkan
informasi awal dari kegiatan bedah naskah ini.
Namun yang seringkali terjadi, aktor
merasa sudah cukup dengan bedah naskah saja dan selanjutnya ia menyerahkan
dirinya pada sutradara. Dengan demikian ia hanya memiliki perwatakan dasar
karakter yang akan ia perankan dalam tujuan akhir menyampaikan makna lakon. Ia
tidak lagi mau mempelajari secara mendalam karakter yang akan ia perankan.
Biasanya, selepas kegiatan bedah naskah ini, kerja aktor berikutnya adalah
menghafal teks dialog yang menjadi bagiannya. Karena ia merasa sudah cukup
dengan perwatakan dasar yang diberikan, maka apa yang ia kerjakan jauh dari
proses interpretasi karakter. Ia tidak menggali potensi karakter yang ada di
dalam lakon tersebut untuk ia hidupkan secara meyakinkan. Ia telah menyerahkan
laku karakter tersebut kepada sutradara.
Problem ini terjadi hampir secara
merata dan melanda kebanyakan aktor, terutama yang amatir. Lakon tidak lagi
menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari. Lakon tidak lagi menjadi sumber
utama ekspresi. Ia telah sibuk dengan teks-teks dialog yang sebenarnya hanya
merupakan bagian kecil dari ekspresi lakon secara keseluruhan. Dalam kondisi
semacam ini aktor tidak akan lagi mau mempelajari hal-hal kecil yang terjadi
dalam lakon yang dapat mempengaruhi ekspresi karakter yang ia perankan.
Interpretasi karakter yang ada berupa besaran dan umumnya hanya terkait dengan
motivasi dan dimensi karakter saja. Hal-hal yang bersifat psikologis atau
moralitas karakter menjadi tidak diperhatikan.
Sementara itu, dalam setiap wicara
atau dialog karakter (tokoh) terkandung makna yang mana makna tersebut harus
terekspresikan dengan baik. Artinya, bukan hanya sekedar wicara dan dialog yang
diucapkan lantang. Untuk memahami makna ini, aktor harus benar-benar masuk ke
dalam lakon melalui karakter yang akan ia perankan. Setiap kata atau kalimat
yang diucapkan pasti mengandung satu pesan dan pesan ini harus sampai. Setiap
keterangan yang mendukung ekspresi harus dibaca dan dipahami dengan baik.
Keterangan tertulis dalam lakon dapat berupa keterangan lokasi kejadian, latar
peristiwa, waktu atau bahkan arahan laku. Semua yang ada dan tertulis di dalam
lakon mesti dipelajari untuk menemukan perwatakan sebenarnya dari karakter yang
akan diperankan.
Proses mempelajari teks lakon jika
hanya berkutat pada karakter yang akan diperankan saja dapat dipastikan tidak
akan memberikan gambaran perwatakan secara utuh. Di dalam lakon, perwatakan
tokoh tidak dilahirkan dan dibangun secara tunggal, melainkan terhubung dengan
tokoh-tokoh lain. Pola hubungan antara tokoh satu dengan yang lain dapat
berjalan secara langsung ataupun tidak. Hubungan secara langsung dapat dilihat
dari adegan di mana para tokoh saling bertemu. Sementara hubungan tidak
langsung didapatkan dari teks dialog tokoh lain atau keterangan yang
menggambarkan keterkaitan peristiwa antara tokoh satu dengan yang lain. Pola
hubungan ini bisa menggambarkan berbagai macam sifat seperti saling setuju,
bertenangan, mendukung, apatis atau sifat-sifat lain antara tokoh satu dengan
yang lain terkait satu peristiwa. Dari pola hubungan tokoh-tokoh lakon ini, keutuhan
perwatakan bisa diungkap.
Atas dasar telisik pola hubungan ini
pula gambaran ekspresi tokoh bisa didapatkan. Di samping itu, kerja analisis
karakter memiliki tujuan utama interpretasi karakter. Dalam hal ini, aktor
harus benar-benar menghadirkan karakter tersebut secara utuh. Keutuhan karakter
tidak bisa didapatkan hanya dari aksi tokoh di dalam lakon namun juga kondisi
karakter sebelum ia hadir dalam lakon tersebut. Oleh karena itu, aktor harus
benar-benar mempelajari teks secara teliti sehingga ia bisa membangun karakter
sejak karakter tersebut belum muncul di dalam lakon hingga setelahnya, dalam
arti lain adalah latar belakang kehidupan dan tujuan hidup karakter. Latar
belakang dan tujuan inilah dapat dijadikan motivasi aksi dari setiap kesatuan
gagasan yang dimilikinya. Ungkapan ekspresi bedasar satu kesatuan gagasan hanya
bisa didapatkan melalui telaah mendetail setiap laku, kata, desah nafas dan
hal-hal ekpresif lain yang harus dilakukan tokoh lakon. Untuk mencapai hal ini
tidak ada kata lain, aktor harus mempelajari teks secara mendalam.
2.
Problem Hafalan
Hafalan merupakan langkah utama dalam
proses mengekspresikan teks. Di dalam teater berbasis naskah, semua dilaog atau
wicara tokoh wajib untuk dihafalkan. Proses menghafal ini umumnya dilakukan
selepas latihan membaca dan menjadi tanggung jawab pribadi pemeran
bersangkutan. Namun demikian, latihan menghafal sering diadakan untuk membantu
para pemeran. Jika tidak, maka pemeran harus mencari partner untuk
menghafalkan. Sampai pada tahap ini tidak ada persoalan yang muncul terkait
ekspresi teks. Semua berjalan biasa atau dianggap berjalan sebagaimana
mestinya. Para pemeran berkumpul saling menghafal teks dan jika terjadi
kesalahan antara pemeran saling mengingatkan.
Proses menghafal seperti yang umum
dilakukan sebenarnya tanpa disadari telah menanamkan benih persoalan awal untuk
ekspresi teks. Terkait dengan pemahaman teks yang mesti dilakukan secara
mendalam bagian demi bagian, proses menghafal pun semestinya demikian. Artinya,
kalimat dialog atau wicara bisa diekspresikan sesuai kehenedak naskah ketika
semua teks telah dihafalkan dengan baik. Dengan demikian, proses menghafal
sebenarnya hanyalah menghafal saja. Namun yang terjadi, senyampang menghafal,
para pemeran juga sudah mengekspresikan teks tersebut dalam bentuk ekspresi
suara, bahkan diikuti gestikulasi. Mereka mulai mencoba menggunakan intonasi,
nada, bahkan emosi. Jadi dalam proses menghafal teks ini para pemeran telah
memberikan ekspresi pada setiap kalimat dialog atau wicara yang harus
diucapkan. Ketika hal ini dilakukan berulang-ulang, maka yang terjadi adalah
ekspresi kalimat dialog dan wicara dalam latihan hafalan tersebutlah yang akan
terus digunakan. Pada saat latihan yang sesungguhnya dilakukan di mana semua
pemeran sudah saling hafal teks, maka proses membenahi ekspresi kalimat sesuai
dengan situasi, kondisi, dan emosi lakon akan sulit dilakukan. Pemeran sudah
terlanjur memiliki ukuran yang ditentukan pada saat proses menghafal.
Pertanyaan pokok yang mesti
diutarakan terkait proses menghafal seperti tersebut adalah, “Apakah pemeran
sudah benar-benar memahami emosi, situasi, dan kondisi di mana kalimat itu
diucapkan terkait makna cerita secara menyeluruh?”. Tentu saja jawaban dari
pertanyaan ini adalah, “tidak”. Hal ini dikarenakan pada saat itu pemeran
sedang menghafalkan dialog atau wicara. Ekspresi yang dilakukan sesungguhnya
hanya dijadikan patokan untuk kerja hafalan. Namun akhirnya, ekspresi itu benar-benar
terpatok dan ketika harus diubah, maka justru akan menghambat hafalan. Hasil
paling akhir dari proses ini adalah, pemeran tidak akan mau atau sulit mengubah
ekspresi karena itu akan mengganggu hafalan. Lingkaran setan seperti ini sulit
diputus.
Kondisi yang telah membiasa dalam
proses menghafal ini tanpa disadari menjadi titik lemah ekspresi teks pemeran.
Anehnya, hal seperti itu terus menerus dilakukan tanpa ada upaya untuk menelaah
sisi lemahnya. Atau mungkin, pola pelatihan hafalan teks yang semacam itu
justru dianggap memudahkan bagi sutradara dan pemeran dalam mewujudkan teks di
atas pentas. Jika ini yan terjadi, maka ukuran yang sudah ditentukan sejak
dalam latihan menghafal dianggap telah final dan oleh karena itu wajib
dipertahankan. Anggapan semacam ini menjadi aneh sebenarnya ketika dikaitkan
dengan ekspresi teater bergaya realis. Dengan terpatoknya ukuran ekspresi sejak
saat menghafal, maka kewajaran pemeranan pada saat pementasan dapat diragukan. Gaya
realis mengusung kekinian dalam arti pemeranan adalah saat ini, bukan kemarin
atau besok. Artinya, menjadi saat ini ialah akting harus dilakukan secara
spontan/natural. Akting spontan tidak akan mungkin didapatkan ketika ekspresi
teks yang akan diucapkan telah ditentukan sebelumnya. Spontanitas atau
kenaturalan akting menandakan bahwa ekspresi sebuah teks sangat tergantung dari
situasi, kondisi, dan emosi yang melingkupinya, dan hal tersebut bisa jadi
berbeda-beda dari hari ke hari semasa latihan hingga sampai pada saat
pementasan.
Kerja menghafal teks sekaligus dengan
ekspresi artistik mungkin dilakukan jika ukuran seni akting telah ditentukan.
Penentuan ekspresi ini dengan sendirinya akan menjadi model yang mesti
ditirukan oleh pemeran. Dalam teater tradisional yang memiliki konvensi ketat,
hal semacam ini dapat terjadi di mana nada, intonasi, emosi karakter melalui
kalimat dialog yang diucapkan sudah terukur sedemikian rupa. Bahkan di beberapa
daerah tertentu pemeran teater tradisional harus persis menirukan ekspresi dari
pelatih. Namun umumnya, teater-teater semacam itu telah memiliki teks baku
sehingga kalimat-kalimat dialog yang mesti diucapkan sudah tersandarisasi dan
lakon yang ditampilkan tidak memiliki banyak variasi. Atau mungkin bahkan
tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita termasuk ekspresinya juga telah dibakukan.
Pola latihan menghafal teks semacam
itu tentu saja tidak bisa diterapkan untuk teater secara menyeluruh. Dalam
realisme misalnya, hafalan teks dengan telah menentukan ekspresi akan
melahirkan akting tetap. Akting yang seolah-olah sudah tidak bisa lagi diubah
apapun situasi dan kondisinya. Memang tidak semua pemeran terjebak dalam
pembatuan ekspresi teks dengan pola latihan menghafal semacam ini, namun itu
hanya berlaku untuk sebagian kecil pemeran saja. Yang banyak terjadi justru
kekeliruan dalam proses ini adalah tidak saja berkait ekspresi tertentukan,
namun juga terjadinya tindakan saling menyalah-benarkan antara pemeran satu
dengan lain. Seolah-olah para pemeran itu saling memiliki kewenangan untuk
menentukan tepat tidaknya ekspresi teks dari pemeran lain. Padahal tugas
tersebut semestinya ada pada sutradara. Problem hafalan teks dengan telah
menentukan ekspresi atas teks yang dibaca ini semestinya bisa dihindari jika
pemeran menyadari bahwa kerja atau proses menghafal teks tujuannya adalah
menghafal teks bukan untuk mengekpresikannya sekaligus. Tujuan ekspresi teks
wicara dan dialog tokoh ada dalam latihan berikutnya. Latihan yang dilakukan
ketika para pemeran telah menghafal teks dengan baik.
3.
Ekspresi Suara dan Gerak
Gerak juga menjadi salah satu problem
dalam mengekspresikan teks. Gerak baik berupa berjalan kaki mondar-mandir serta
gerakan tangan (gestikulasi) seringkali dimunculkan sejak latihan membaca
dengan tujuan hafal naskah (kalimat dialog yang mesti diucapkan). Ekspresi
gerak ini muncul sebagai akibat dari ekspresi suara yang perlu mendapatkan
penekanan. Sumber ekspresi suara dan gerak ini adalah imajinasi pemeran yang
otomatis muncul ketika membaca kalimat dialog. Imajinasi spontan ini
seolah-olah menjadi patokan atas ekspresi suara dan gerak yang dilakukan.
Padahal dalam tahap ini pemeran hanya didorong (distimulasi) oleh kalimat
dialog yang dibacanya. Artinya, dalam pembacaan ini ia hanya fokus pada tokoh
yang diperankan. Fokus ini tanpa disadari menyeret semua emosi ke dalam nilai emosi
tokoh yang ia perankan. Akibat sederhana namun fatal dan terus menerus terjadi
adalah si pemeran merasa menjadi pusat dari adegan sehingga reaksi lawan
mainpun telah ia bentuk dalam imajinasinya. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika si pemeran sering merasa kecewa sendiri atas reaksi yang
dilakukan lawan main yang tidak sesuai dengan ukuran yang ia miliki meskipun
itu terjadi pada saat proses membaca dalam rangka menghafal. Dapat dibayangkan
apa yang terjadi jika semua pemeran melakukan hal semacam ini.
Saling menyalahkan dan atau
membenarkan lawan main menjadi hal yang umum terjadi. Apalagi ketika dalam
ansambel tersebut ada seorang pemeran senior. Semua akan menurut apa yang
diomongkannya. Ia hadir seolah menjadi panutan dalam berperan. Tidak
tanggung-tanggung bahkan pemeran senior ini pun dengan suka rela mengajarkan
bagaimana berakting kepada yuniornya berdasarkan kalimat dialog yang ada di
dalam naskah yang pada saat itu sedang untuk dihafalkan. Sementara pada saat
yang sama dirinya juga sedang menghafal bagiannya. Suasana semacam ini
seringkali didukung dengan permakluman (untuk menyebut ketidaktahuan atau
ketidakmampuan) sutradara. Jadi proses penyutradaraan yang dilakukan oleh pemain
telah dibiarkan terjadi sejak proses membaca naskah. Ekspresi suara dan gerak
telah ditentukan, bahkan bukan oleh sutradara.
Tentu saja tidak semua kelompok
teater dan pemeran melalukan hal semacam itu. Namun kondisi seperti ini masih
sering dijumpai dalam banyak proses latihan. Penentuan ekspresi gerak dan suara
sebelum makna keseluruhan lakon dipahami bukannya membuat ekspresi teks menjadi
tepat melainkan artifisial. Kenaturalan ekspresi hapus dengan sendirinya karena
teks tak lagi otentik saat diucapkan.
Proses hafalan yang semestinya
berujuan hanya untuk mengahafalkan teks dialog menjadi satu paket lengkap
dengan ekspresi suara dan geraknya. Paket ini seolah-olah telah paten. Bahkan
secara lebih jauh jika praktik semacam ini terus dijalankan, maka paket latihan
akan menjadi komplit termasul blocking pemain di mana pada saat itu fokus
pemain sedang menghafalkan teks dialog. Pekerjaan yang sesungguhnya sangat
berat bagi pemain karena harus membagi perhatian antara hafalan teks, gerak,
suara, dan blocking. Namun toh, semua itu berjalan begitu saja dalam kurun
waktu lama dan bisa jadi telah membudaya. Kebiasaan ini akan sulit untuk diubah
ketika di antara para pelaku produksi teater yang sedang berproses tidak
menyadari kelemahan ini. Satu paket akting yang telah terbentuk senyampang teks
sedang dihafalkan tanpa disadari telah menjadi model untuk banyak kelompok
teater.
Ekspresi teks dialog secaya
menyeluruh sesungguhnya dapat dilakukan hanya jika pemahaman tercapai. Bahkan,
dalam tahap ini pun ekspresi tidak bisa dibakukan. Akting atau pemeranan adalah
kerja yang bersifat mengalir. Ia akan mengikuti situasi, kondisi, dan emosi di
setiap adegan, bahkan dalam satu kesatuan gagasan terkecil (bit/beat). Setiap pergerakan kecil dari
si pemeran dengan atau tanpa dialog merupakan eja wantah dari pemahaman atas
peristiwa yang terjadi dalam waktu selintas – waktu kini pada saat itu.
Artinya, akting pemeran itu tidak bisa direncanakan. Semua sangat tergantung
pada psikologi peristiwa yang melingkupi. Naskah memang sebuah perencanaan dan pemujudan
naskah ke atas pentas juga membutuhkan perencaaan, akan tetapi akting selalu
saja bernilai “saat ini”. Jadi, meski rencana atau peta dasar permainan
tersebut telah dibuat tetap saja akan bergantung pada responsi antar-pemain terhadap
persitiwa yang terjadi. Oleh karena itulah membakukan ekspresi suara dan gerak,
apalagi pada saat proses menghafal kurang bisa dibenarkan.
4.
Fokus Pada Aksi
Kebiasaan yang mungkin telah
membudaya pada diri pemain teater secara umum adalah terlalu fokus pada aksi.
Artinya, sejak awal menerima naskah dan membacanya, ia hanya berfokus pada apa
yang mesti dilakukan oleh tokoh yang diperankan. Dari sudut pandang jelas
terlihat bahwa kepentingan utama dalam proses mengekspresikan teks adalah
ekspresi tokoh yang diperankan. Seolah-olah tokoh lain tidak akan memberikan
andil dalam perubahan atau penyesuaian ekspresi tokoh yang dimainkan. Dari sini
pulalah penentuan ekspresi itu bermula. Pemain yang hanya mempedulikan
aktingnya tentu saja menentukan ekspresi berdasar pemahamannya. Apakah
pemahaman ini sesuai dengan tuntutan lakon masih menjadi sebuah pertanyaan.
Proses mengekspresikan teks dengan
kebiasaan semacam ini akan menyeret pementasan ke dalam ajang kompetisi akting
di antara para pemain. Karena setiap orang fokus pada peran yang dimainkan,
maka tentu saja segala awal nilai keindahan dalam berekspresi juga berasal dari
dirinya sendiri. Bahkan dalam proses latihan peran seringkali sutradara tanpa
sadar dampaknya justru meminta pemain untuk fokus pada peran yang akan
dimainkan. Hal ini tentu saja tidak salah jika dipahami sebagai saran untuk
menjaga fokus dalam proses pemeranan. Namun seringkali fokus ini justru mengarah
pada aksi yang perlu dilakukan oleh pemeran dalam memerankan tokoh.
Kondisi ini jika berlangsung dalam
wakatu lama menghasilkan kemahfuman bahwa kata kunci akting adalah aksi. Oleh
karena itu semua pemain perlu fokus pada aksi ini jika ingin bermain dengan
baik. Karakter yang akan diperankan tidak boleh lepas sedikitpun dari perhatian
pemeran. Memang benar bahwa hal ini sangat perlu dilakukan namun bukan berarti
hanya fokus pada aksi karakter. Fokus hanya pada aksi karakter menghasilkan
ekspresi tertentu yang sulit disesuaikan ketika berada dalam atmosfer berbeda.
Eskpresi karakter kemudian menjadi tidak lengkap, tidak komplit. Hal ini
terjadi karena terlalu fokus pada aksi dengan sendirinya menghilangkan fokus
atas reaksi. Terlalu fokus pada aksi dengan sendirinya mengandung nilai bahwa
karakter lain harus memahami aksi yang dilakukan oleh pemeran tersebut. Dengan
demikian, ukuran-ukuran ekspresi itu menjadi “aku” dan bukan “kita”. Jelasnya,
si pemeran seolah-olah akan berkata kapada lawan main, “Lihatlah aksiku (ekspresi)
dan kau mesti tahu bagaimana bereaksi atas aksiku”. Nah, jika semua pemain memiliki prinsip
seperti ini, maka bisa dibayangkan betapa mereka bekerja bersama namun soliter
dalam berekspresi.
Akibat dari kondisi ini adalah
masing-masing pemain akan menganggap aksinya sebagai pusat sehingga yang lain
mesti menyesuaikan. Hal ini pulalah yang seringkali menjadikan antara pemain
satu dengan yang lain saling menyalahkan atau tidak mau kalah. Di dalam
pertunjukan teater amatir seringkali terlihat satu atau beberapa pemain yang
dianggap mencuri fokus penonton di saat lawan mainnya sedang beraksi. Artinya
ketika pemain lain beraksi ia pun juga melakukan aksi dan bahkan aksi yang ia
lakukan lebih besar atau menonjol sehingga perhatian penonton mengarah padanya.
Tindakan semacam ini bukannya dilakukan dengan tanpa sadar, namun memang
disadari sepenuhnya karena semangat, “look at me!”, begitu menggelora. Semangat
ini secara ekstrim sering melahirkan tindakan mematikan lawan main. Tindakan
ini berupa tidak memberikan respon yang sesuai atau justru melakukan aksi
berlawanan untuk menegasi aksi yang dilakukan lawan main. Akibatnya lawan main
akan kelihatan tidak berdaya pada saat itu. Tujuan dasar dari tindakan ini
adalah; orang lain tidak boleh tampil lebih baik.
Fokus pada aksi yang berterusan juga
akan melahirkan aksi di atas panggung yang cenderung melecehkan lawan main.
Aksi ini terjadi ketika seorang pemain pada satu peristiwa merasa mendapatkan
peran yang bisa menguasai peran lain. Ia akan menggunakan kesempatan itu untuk
“ngerjain” lawan main. Misalnya saja seorang pemain pada satu kesempatan
mendapatkan peran untuk menendang lawan main. Di dalam latihan, proses
menendang ini dilakukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan gerak yang tidak
merugikan lawan main. Namun ketika tampil di atas panggung, sang pemain
benar-benar menendang lawan main hingga terjengkang. Tentu saja hal ini sangat
menjengkelkan dan sama sekali tidak artistik dan akan melahirkan tindakan
balasan dari sang lawan main pada kesempatan lain. Jika tidak terkendali,
kekesalan yang terjadi di atas panggung dapat terus di bawa sampai dalam
kehidupan sehari-hari di mana antara satu pemain dengan pemain lain saling
membenci. Hal ini terlihat konyol, namun situasi psikologis semacam ini
seringkali menyelimuti kelompok teater amatir yang membenarkan fokus (hanya) pada
aksi dilakukan oleh para pemainnya.
Sementara secara riil, pola
komunikasi normal selalu mengait aksi dan reaksi atau aksi dan responsi. Aksi
balikan sangat tergantung dari reaksi yang diberikan. Demikian seterusnya.
Aktor ketika memainkan peran di atas panggung sebenarnya dalam awalan permainan
melakukan reaki dan bukan aksi. Hal ini terjadi karena, cerita dalam lakon atau
naskah itu selalu berupa penggalan kehidupan. Artinya, awal sebelum peristiwa
dalam lakon itu tidaklah diceritakan. Oleh karena itulah, aksi awal seseorang
di atas panggung sejatinya adalah reaksi atas cerita sebelumnya yang tidak
tertuliskan di dalam lakon. Pemahaman akan reaksi inilah yang menuntun proses
analsisi lakon dan analisis karakter. Di dalam proses inilah para pemain harus
memahami secara utuh peran yang mesti dimainkan. Pemahaman peran secara utuh
tidak mungkin didapakan hanya dari membaca lakon yang berupa penggalan
kehidupan itu. Seorang pemain mesti mereka kisah peran sebelum peran tersebut
muncul dalam lakon. Secara sederhana, kondisi sebelum inilah yang melahirkan
motivasi dalam bertindak. Karena itu pulalah akting seorang pemeran di atas panggung
sejatinya adalah reaksi dari kisah sebelumnya.
Motivasi yang lahir atas cerita
sebelumnya menandaskan pentingnya kerja reaksi dalam pemeranan. Jika kata
“reaksi” yang diambil sebagai pendoman dalam bertindak (sebab mengandung
motivasi di dalamnya), maka semua pemeran akan memperhatikan lawan main karena
dari sanalah tindakan (aksi) sebagai perwujudan reaksi ini muncul. Dengan
pemahaman yang demikian seorang pemeran akan selalu mengapresiasi lawan main
dalam bermain peran. Ia akan memperhatikan aksi lawan main sebelum ia sendiri
bereaksi. Jadi ketika lawan main sedang berbicara misalnya, maka pemeran yang
baik akan mendengarkan dan meresapi makna yang dibicarakan lawan main bukannya sibuk melakukan aksi tandingan. Aksi
tandingan ketika seorang pemeran sedang beraksi ini seolah ingin menegaskan apa
yang diucapkan lawan main, namun hasilnya justru artifisial dan tak normal
karena aksi tidak bertemu dengan reaksi. Pentingnya reaksi ini menjadi
keniscayaan karena seorang pemeran lebih baik diam sebelum benar-benar tahu apa
yang harus dilakukan.
5.
Status
Hal yang paling sering diabaikan
dalam proses ekspresi teks lakon adalah status. Umum diketahui bahwa status
karakter ditelisik dari sisi atau dimensi sosial karakter. Sisi ini akan
memberikan pandangan mengenai kedudukan sosial serta keterlibatan karakter
dalam kehidupan sosial lakon. Secara mendasar, telisik dimensi karakter ini
hanya mengungkapkan data-data mati terkait fisik, kejiwaan, dan sosial
karakter. Tugas pemeran adalah menghidupkan data-data mati tersebut ke dalam
laku aksi karakter sehingga kemungkinan data berubah menjadi terbuka luas.
Namun demikian, yang umum terjadi adalah bahwasanya data mati itu terlanjur
dijadikan patokan. Data itu telah menjadi elemen pengukur ekspresi karakter.
Teks-teks yang disuarakan oleh karakter mengikurti data-data ini.
Ekspresi teks atas data hasil
analisis ini dapat dengan mudah ditemui dalam pementasan teater amatir di mana
ekspresi fisik karakter dari awal sampai akhir tidak berubah. Tokoh raja sepanjang
pertunjukan akan menjadi raja dan semua rakyat patuh padanya. Tokoh bos
sepanjang pertunjukan tetap menjadi bos meski dalam satu peristiwa tokoh
tersebut pernah berada dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan
dirinya bertindak sebagai bos. Ekspresi teks berbasis data mati ini tidak
menguntungkan bagi pertunjukan dan juga pemeran karena menyajikan watak peran
yang tidak mengalir. Kalaupun terjadi perubahan pasti perubahan besar sehingga
dimensi karakter tersebutpun ikut berubah. Misalnya, tokoh Bos berubah wataknya
karena ia bangkrut dan menjadi rayat jelata. Dalam kasus ini tentu saja dimensi
karakter Bos menjadi berubah sehingga ia seolah-olah adalah 2 orang yang
berbeda dalam satu cerita. Data dimensi karakter Bos akan berubah terutama menyangkut
status sosial.
Pemahaman status yang hanya mengait
dimensi karakter ini kurang bisa membuat ekspresi teks menjadi natural. Selain
karena ukurannya adalah data mati, perubahan ekspresi baru terjadi ketika salah
satu sisi pembentuk karakter juga mengalami perubahan. Perubahan watak tokoh
tidak bisa mengalir sebagaimana seseorang menjalani kehidupan sesungguhnya di
mana kata demi kata yang ia ucapkan dalam dialog sehari-hari mengalami dinamika
tergantung situasi dan kondisi yang melingkupinya. Di dalam keseharian, 2 orang
yang saling berbicara akan memproduksi banyak ekspresi baik sebagai penanda
jati diri, keterhubungan dengan orang lain maupun keterlibatan dalam lingkung
sosio kultural yang lebih besar. Dinamika ini terjadi karena dalam setiap komunikasi
2 arah selalu terjadi pertukaran status. Bukan status dalam konteks dimensi
karakter melainkan status fisik dan psikologis dalam kegiatan berkomunikasi.
Status dalam komunikasi secara
natural terbentuk di mana satu orang memiliki status lebih tinggi dari yang
lainnya pada saat saling berbicara. Status ini tidaklah statis karena
tergantung dari konteks pembicaraan yang dilangsungkan. Misalnya, seorang kaya
menyakaan rumah temannya kepada seseorang di pingir jalan, maka pada saat itu
status orang yang berada di pinggir jalan berada lebih tinggi dari si orang
kaya. Hal ini terjadi karena pada saat bertanya orang kaya tersebut memerlukan
jawaban yang membantu pencariannya. Atas keadaan ini, orang yang berada di
pinggir jalan memiliki kuasa penuh – meskipun ia orang miskin - terhadap
jawaban yang hendak diberikan. Ia bisa saja jujur berkata atau berpura-pura
tidak tahu dan bahkan menyesatkan si penanya. Ketika orang di pinggir jalan ini
berusaha menyesatkannya, misalnya, dan kemudian orang kaya mengeluarkan
lembaran uang, maka status bisa berubah. Orang di pingir jalan tersebut
merendahkan statusnya demi lembaran uang yang akan ia peroleh jika ia
memberikan jawaban jujur. Status orang kaya dan miskin di atas di batasi oleh
konteks dan kesalingbutuhan antara satu dengan yang lain.
Berdasar cermatan soal status dalam
komunikasi kehidupan sehari-hari, maka teks dialog lakon semestinya juga memuat
status ini. Karakter satu dan yang lain niscaya saling bertukar status dalam
setiap konteks pembicaraan yang dilakukan. Studi atas kasus ini dengan gencar
dilakukan oleh Keith Johnstone dan diterapkannya dalam latihan peran
improvisasi (lihat, Johnstone:1989). Setiap dialog yang dilakukan di dalamnya
terkandung status tinggi dan rendah dan kondisi ini natural di dalam kehidupan
manusia. Orang bertanya yang memerlukan jawaban statusnya lebih rendah daripada
orang yang memberikan jawaban. Oleh karena itulah dalam film-film aksi
spionase, sang hero yang tertangkap tetap kelihatan gagah karena ia tidak mau
membuka mulutnya atas segala pertanyaan intimidasi yang diarahkan padanya.
Status hero ini akan lebih kuat ketika ia tetap menutup mulutnya bahkan ketika
mengalami serangkaian siksaan. Status di sini dengan demikian lebih mengait
pada soal kejiwaan. Kondisi jiwa di saat dialog itu dilakukan.
Status sebagai bagian pokok ekspresi
teks lakon tidak bisa dilewatkan. Ia mesti dicermati secara kontekstual yang
mana kejiwaan karakter terlibat secara langsung ketika mengucapkan kalimat
dialognya. Jika dikaitkan dengan metode Stanislavsky, maka status ini mesti
dipelajari di dalam setiap bit/beat. Dengan benar-benar memperhatikan status
wicara masing-masing tokoh, maka kenaturalan dialog dapat diwujudkan. Ekspresi
teks menjadi benar-benar hidup dan dinamika ucapan muncul dengan sendirinya.
Karakter tidak akan tampil datar dan terbelenggu oleh data-data mati yang
didapat dari hasil analisis karakter. Pemeran dengan demikian mesti menilisik
setiap kalimat yang harus diucapkan dan memahami status ucapan tesebut sebelum
benar-benar mengekspresikannya. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar