Catatan Pelatihan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan
di Central Conservatory of Music Beijing
Oleh: Eko Santosa
Program Pelatihan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan ke Luar Negeri diselenggarakan oleh PPPPTK
Seni dan Budaya Yogyakarta berlangsung selama 3 minggu mulai dari tanggal 11
sampai dengan 31 Maret 2019 di Central Conservatory of Music (CCOM) Beijing,
China. Peserta pelatihan adalah Guru Seni Budaya SMP, SMA, SMK dan Widyaiswara
PPPPTK Seni dan Budaya. Karena latar belakang peserta itulah, maka pihak CCOM
melalui Departemen Musikologi dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia di Beijing sebagai pengelola program bekerjasama dengan Akademi Seni
Murni dan Desain Tsinghua University dan The China Soong Ching Ling Science and
Culture Center for Young People sehingga materi pelatihan tidak hanya berkaitan
dengan seni musik. Namun demikian, catatan ini tidak akan menguraikan materi
pelatihan per aspek seni melainkan khusus membahas tentang estetika yang
menjadi landasan pembelajaran dasar seni.
1. Estetika
Konsepsi mengenai estetika pertama kali diuraikan oleh
Prof. Zhou Haihong dalam salah satu pertemuan kelas dengan mengemukakan
pertanyaan tentang bagaimana seharusnya mendengarkan musik dan apa fungsi dari
seni? Cara seseorang mendengarkan musik adalah prinsip dasar dari estetika
tentang musik itu sendiri. Demikian pula cara penikmatan karya seni yang lain.
Oleh karena itu perlu dipahami hakikat dari aspek seni yang akan diajarkan. Di
dalam seni musik, terdapat 3 (tiga) prinsip utama estetika yaitu; 1) musik
adalah seni dengaran dan renjana, 2) pemahaman tentang musik selalu subyektif,
multi-solusi, samar-samar, dan tidak pasti, dan 3) sinestesia atau pengalaman
indera yang mewujud menjadi visi, emosi, dan konsep merupakan jembatan
penghubung antara musik dan obyek ekspresi. Pengalaman estetik dalam dengaran
dan renjana (emosi) murni adalah cara paling penting untuk mengapresiasi seni
musik. Dengan demikian bukan soal interpretasi “benar-salah” atas apa yang
didengar melainkan renjana yang ditimbulkan atas dengaran. Karena itulah
penikmatan musik bersifat subyektif sebab dibatasi oleh mekanisme penyajian
karya musik dan pengetahuan dasar instrumen (sumber bunyi) dan jenis musik dari
pendengar. Untuk itu, upaya peningkatan apresiasi seni musik mesti dibarengi
dengan kecukupan informasi. Batasan yang muncul dalam apresiasi dapat
diperantarai oleh sinestesia yang mana tingkatan akurasi pemahaman sebuah karya
tergantung pada kejernihan dan stabilitas sinestesia penikmat. Berdasar pada 3
(tiga) prinsip ini, pengajaran seni, dalam konteks ini musik, tidak bisa
dipaksakan. Pengajar mesti memahami tingkat apresiasi dan cara mengembangkannya
melalui rangkaian pengalaman estetik dengan memberikan pengayaan vokabulari
dengaran.
Proses pengajaran musik mengacu pada prinsip utama
estetika memiliki 3 (tiga) prinsip. Pertama adalah vokabulari dengaran
(audiology), ritme dan renjana sebagai inti pengajaran. Kedua, dalam
mengalirkan imajinasi dan interpretasi karya musik pengajar tidak diperkenankan
memberikan batasan-batasan asosiasi yang pasti dalam mendorong dan
mengapresiasi setiap imajinasi yang dimiliki siswa. Ketiga, interpretasi atas
musik mesti berdasar pada korespondensi sinestesia untuk menguatkan pengalaman.
Ketiga prinsip pengajaran ini sangat penting untuk menghindari proses
“benar-salah” dalam belajar mengajar di tingkat dasar. Ketunggalan interpretasi
yang biasanya diberikan guru kepada siswa atas musik yang diperdengarkan justru
akan menghasilkan kesalahpahaman estetika. Seni musik yang tidak diwujudkan
secara visual atau semantik tidak akan pernah menghasilkan citra dan konsep
pemikiran yang tunggal. Panduan komprehensif dan interpretasi musik merupakan
hal berbeda dan terpisah jauh dari hukum ekspresi estetik seni musik. Musik
adalah ekspresi dan ekspresi berkait dengan renjana dan renjana muncul karena
adanya korespondensi antara karya musik dan pendengar. Hal inilah yang
semestinya lebih diperhatikan. Keberagaman pemahaman atas penikmatan karya
musik perlu dihargai. Pemahaman tunggal yang dipaksakan akan memupus imajinasi.
Oleh karena itulah penguasaan audiology sangat penting bagi pengajar.
2. Fungsi Seni
Pembelajaran
estetik berkaitan erat dengan fungsi seni menurut Prof. Zhou Haihong. Seni yang
memiliki kualitas perseptual jika diajarkan dengan benar dapat melahirkan
perspektif akan kegembiraan dan kesuksesan. Fungsi seni secara mendasar adalah
memberikan kegembiraan dan kesuksesan bagi manusia. Seseorang yang paham seni
akan mudah menata hidupnya karena persepsi keindahan yang dibangun setiap hari
akan memunculkan energi positif dalam menjalani kehidupan. Dengan energi ini
keberlanjutan hidup dilangsungkan. Seseorang dapat dikatakan sempurna jika ia
selalu menghendaki kegembiraan atau kebahagiaan dalam seluruh hidupnya dan
kebahagiaan itu yang akan mengantarnya pada kesuksesan. Kegembiraan dan
kesuksesan dengan demikian niscaya hadir di dalam kelas pendidikan seni.
Rendahnya
kualitas persepsi seseorang mempengaruhi manajemen dirinya. Segala hal yang
kotor, tak teratur, berantakan sama sekali tidak membutuhkan kualitas persepsi,
artinya semua orang bisa melakukannya. Namun untuk membuat segala hal teratur,
bersih dan tampak indah membutuhkan kualitas persepsi yang baik. Secara lebih
mendalam, rendahnya kualitas persepsi akan membuat seseorang kurang menghargai
makna keindahan yang ada dan dapat ditemuinya saban hari dalam kehidupan. Orang
seperti ini akan selalu merasa tidak memiliki apapun dalam kehidupannya
meskipun sesungguhnya ia memiliki apa yang menjadi dasar dalam menjalani hidup
sebagaimana orang kebanyakan. Hal utama yang tidak ia miliki sebenarnya adalah
kesadaran bahwa ia telah memiliki semua yang dibutuhkannya. Kesadaran ini akan
muncul dan berkembang ketika seseorang memahami seni. Kesadaran akan
mengarahkan orang pada segenap potensi yang ia miliki untuk menjalankan
kehidupan dengan baik. Jadi pembelajaran seni sesungguhnya adalah meningkatkan
kualitas persepsi seseorang dengan membangkitkan kegembiraan untuk menumbuhkan
kesadaran akan potensi diri dalam mencapai kesuksesan.
3. Penerapan Dalam Pembelajaran
Konsep estetika dan prinsip pembelajaran seni seperti
apa yang disampaikan oleh Prof. Zhou Haihong dapat ditemukan wujud nyatanya
dalam proses pembelajaran di setiap kelas. Masing-masing pengajar memiliki
metode khas dan selalu menjaga atmosfer kegembiraan dalam belajar. Ucapan dan
wicara positif selalu diberikan untuk memberikan dorongan semangat dalam
belajar. Selain itu, langkah atau tahapan dalam proses belajar juga langsung
menyentuh pada pengalaman estetik untuk meningkatkan kualitas persepsi.
Pengajar tidak langsung kepada tujuan atau hasil melainkan mengedepankan proses
dengan menggunakan pendekatan psikologis dan humanis. Berikut beberapa sampel
penerapan konsep estetika dan prinsip pembelajaran dasar seni di kelas.
a. Kelas Pendidikan Musik
Kelas pendidikan musik diampu oleh Ibu Hanhan yang
langsung memperkenalkan 3 (tiga) metode utama dalam pembelajaran dasar solfeggio
(solmisasi) dan bermain musik yaitu; Zoltan Kodaly, Carl Orff, dan Emile Jacques-Dalcroze. Pengantar tentang
ketiga tokoh tersebut disampaikan sebagai latar belakang saja dan kemudian
langsung pada penerapan metode. Pertama adalah solfeggio dengan metode Kodaly
di mana pengenalan tinggi rendah nada menggunakan simbol tangan. Penggunaan
simbol tangan ini memudahkan siswa dalam mengenali tinggi rendah nada karena
setiap nada diwakili simbol tangan tertentu dalam posisi tinggi tertentu mulai
dari sejajar perut hingga sedikit di atas kepala. Pengajar memberikan contoh
simbol tangan dan nada kemudian peserta menyuarakan nada berdasar simbol tangan
yang dilakukan pengajar. Jika terjadi kesalahan, pengajar hanya tersenyum dan
meminta peserta untuk kembali menyuarakan nada yang diminta sesuai simbol
tangan. Metode ini sangat menarik karena dengan simbol gerakan tangan mengalir
dari bawah ke atas secara psikologis memberikan gambaran tinggi rendah nada
tersebut. Berbeda dengan penggunaan notasi angka di mana angka 1, 2, 3 dan
seterusnya belum bisa memberikan gambaran tinggi rendah nada yang semestinya.
Angka hanyalah penanda nada dan tak bisa memberikan gambaran langsung tinggi
rendah nadanya kecuali dilatihkan berulang-ulang dalam kurun waktu lama
(pembiasaan). Metode
Kodaly ini terasa sangat tepat digunakan untuk mengajarkan solfeggio
bagi siswa sebelum penggunaan notasi.
Praktik kedua yang dilakukan
oleh Ibu Han Han adalah metode Carl Orff yang mana dalam mengajarkan musik
semua peserta termasuk gurunya terlibat. Pertama yang dilakukan adalah
menentukan lagu yang telah dikenal dan mudah untuk dinyanyikan. Guru menentukan
instrumen yang akan digunakan serta nada dominan dari lagu tersebut. Beberapa
siswa memainkan instrumen dengan nada dominan sementara yang lain dipersilakan
berimprovisasi dengan memainkan instrumen yang menghasilkan berbagai nada yang
ada namun sesuai ritme dengan volume lirih. Siswa yang tidak kebagian instrumen
musik dipersilakan menyanyi dan menari dengan gerakan sederhana sesuai lagu
yang dinyanyikan. Gerakan tari sederhana ketika menyanyi sesuai ritme ini merupakan penerapan metode
Dalcroze yang disebut sebagai euritmik.
Metode Carl Off dan Dalcroze
yang melibatkan semua siswa ini sangat menarik terutama dalam hal membangkitkan
semangat siswa untuk belajar musik. Dengan memainkan instrumen yang ada secara
sangat sederhana, menyanyi dan menari, semua akan bergembira serta tidak merasa
terbebani. Keriangan mesti dimunculkan dalam belajar musik dan dari keriangan
ini akan muncul keinginan untuk belajar lebih dalam. Pada saat semangat belajar
ini tumbuh, barulah tahap-tahap belajar musik secara profesional diperkenalkan.
b. Kelas Menyanyi
Materi menyanyi dibagi menjadi 2 (dua) kelas. Kelas
pertama dengan pengajar Ibu Cao Bingying dan kelas berikutnya dengan pengajar
Ibu Yao Yao. Di dalam kelas, Ibu Cao
Bingying mengajarkan lagu rakyat dengan metode repetisi. Karena lagu yang
diajarkan dianggap cukup sederhana, maka pola pengajarannya adalah menyanyikan
lagu tersebut berulang-ulang. Setelah lagu dipahami, interpretasi syair
diberikan serta ekspresi dalam menyanyi diajarkan. Hal yang paling menarik dari
metode Ibu Bingying adalah ia memberikan aba-aba menyanyi dengan menggunakan
gerakan tangan untuk nada tinggi, rendah serta cengkok lagu sehingga
peserta mudah mengikutinya. Dalam hal ini, Ibu Bingying memberikan interpretasi
syair lagu melalui aba-aba yang diberikan dan peserta mengekspresikannya.
Setelah semua fasih, stuktur sajian lagu diperkenalkan untuk memberikan
gambaran utuh bagaimana lagu itu dinyanyikan.
Brikutnya pada kelas Ibu Yao Yao pertama diberikan
pengalaman visual kepada peserta tentang wilayah An Hui di mana lagu tersebut
berasal termasuk alat musik khas yang dimainkan untuk mengiringi. Ibu Yao Yao
kemudian mengajak peserta untuk menirukan bunyi drum dan simbal kecil yang
biasa digunakan masyarakat An Hui. Rupanya rangkaian bunyi ini menjadi ritme
dasar lagu. Setelah itu lagu dinyanyikan dan peserta mengikuti. Setiap peserta
mendapatkan lembar lagu dan notasi yang terdiri dari nota balok dan not huruf
(singkatan dari masing-masing nada). Setelah peserta bisa menyanyikan lagu
tersebut, berikutnya makna syair dijelaskan. Frasa dari setiap bait syair
mendapatkan penekanan agar tidak mengubah arti atau makna lagu.
Setelah lagu dinyanyikan secara berulang-ulang kemudian
peserta diminta untuk merekam lagu tersebut yang dinyanyikan langsung oleh
pengajar di depan kelas agar peserta dapat mempelajarinya secara mandiri
setelahnya. Metode pembelajaran Ibu Yao Yao ini sangat khas, di mana ritme
menjadi dasar menyanyi, tempo lagu diperlambat agar peserta lebih mudah
memahami didukung dengan jabaran makna lagu yang akan dinyanyikan. Pada pertemuan berikutnya
penekanan setiap frasa dalam bait syair lebih menjadi perhatian. Selain itu interpretasi lagu harus benar-benar
dipahami peserta sehingga ketika menyanyi menjadi ekspresif. Pada saat peserta
sudah bisa menyanyikan lagu dengan fasih, tempo ditingkatkan sesuai dengan yang
semestinya. Pada pertemuan ini struktur sajian lagu mulai dijelaskan. Struktur
sajian mengatur bagaimana lagu itu akan ditampilkan dalam paduan suara. Dengan
struktur ini, peserta memahami secara utuh bagaimana lagu tersebut
dipresentasikan.
c. Kelas Kaligrafi
Sebuah
pelajaran menarik di mana seorang ahli kaligrafi China menyatukan dirinya
dengan media yang akan digunakan untuk berkarya. Tangan harus menyatu dengan
kuas, kuas menyatu dengan tinta, penulis menyatu dengan kuas dan tinta serta
kemudian dengan penuh keyakinan dan nafas teratur, kuas disapukan di atas
kertas atau media lain untuk membuat kaligrafi. Prinsip keras dan lembut
bagaikan ombak di lautan membuat kaligrafi China nampak indah dan penuh
filosofi. Hal inilah yang diajarkan secara demonstratif oleh Ibu Su Heyan.
Sebagai. pengajar ia tidak mementingkan hasil melainkan proses menyapukan kuas
di atas kertas. Ketika seorang peserta dengan yakin dan tenang mampu menyapukan
satu coretan, ia akan menyatakan bahwa begitu semestinya dalam menulis
kaligrafi. Ketika peserta kurang yakin dalam menyapukan kuas, ia akan memberikan
bantuan baik dengan penjelasan singkat dan demonstrasi. Ibu Su Heyan tidak
mengharuskan kemiripan tulisan yang ada untuk dicontoh melainkan proses
menyapukan kuas dalam menghasilkan tulisan itu yang penting. Dalam pembelajaran
ini pun konsepsi “benar-salah” diabaikan karena keyakinan, ketenangan, dan
kemenyatuan antara pikiran dan perasaan penulis saat menulis merupakan pondasi
utama.
d. Kelas Menari
Bapak Liu Nan memperkenalkan tari rakyat China dengan
mempraktikkan gerakan kaki yang ritmis. Semua peserta diminta untuk mengikuti
gerak dasar ini. Beberapa rangkaian gerak atau motif gerak kaki dilakukan
karena memang pada dasarnya tarian yang diajarkan mengutamakan gerak kaki.
Setelah beberapa rangkaian gerak dapat dilakukan, komposisi gerak kaki dipraktikkan
dan semua peserta diminta untuk menirukan serta memahami komposisi ini. Yang
patut dicatat terkait metode pembelajaran tari ini adalah, pengajar menjelaskan
dan sekaligus menerapkan gerak dasar tarian berdasar ritme. Selain itu, dalam
pengajaran rangkaian gerak, pengajar tidak menggunakan hitungan 1 sampai dengan
8 melainkan dengan menirukan bunyi musik pengiring yang akan digunakan untuk
mengiringi tarian. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Guru tari semestinya
memahami dan dapat menirukan suara musik pengiring dalam mengajarkan gerak
sehingga mudah untuk dipahami.
Berikutnya,
pengajar memberikan penambahan rangkaian gerak selepas peserta dianggap bisa
melaksanakan model gerak terdahulu. Pengajar juga mulai menambahkan komposisi
atau koreografi dengan menata posisi penari. Yang paling menarik dari proses
ini adalah pengajar membuat komposisi tari atau koreografi berdasar kemampuan
peserta. Jika terjadi kerumitan rangkaian gerak, maka akan disederhanakan tanpa
mengurangi makna tarian. Pun demikian dengan pergantian posisi para penari
serta cara penari tampil sehingga semua kebagian peran dan dapat mengikuti
gerak sesuai kapasitasnya. Dorongan semangat bahwa semua orang bisa menari
selalu diberikan setiap terjadi kekurangsesuaian. Dalam model pengajaran tari
semacam ini kreativitas pengajar sangat diperlukan dalam menyusun koreografi
dengan mempertimbangkan kemampuan peserta sehingga semuanya mau, dapat menari,
dan melakukannya dengan bergembira.
Catatan paling menarik dari semua praktik pembelajaran
di atas adalah tidak adanya konsep “benar-salah” sebagai acuan pokok. Meski
demikian bukan kemudian setiap orang boleh senantiasa salah, melainkan pengajar
menerima kesalahan yang terjadi dan memberikan bimbingan serta dorongan untuk
memperbaikinya. Kalimat-kalimat positif selalu disampaikan untuk memberikan
semangat kepada peserta bahwa pada hakikatnya semua peserta bisa melakukan apa
yang diajarkan ketika mau berusaha. Paling utama dan menyenangkan dari proses
pembelajaran yang terjadi adalah atmosfer kegembiraan dan energi positif yang
selalu dibawa oleh pengajar di dalam kelas.
Apa yang dipraktikkan oleh setiap pengajar di kelas benar-benar menjadi
wujud nyata dari konsep yang disampaikan oleh Prof. Zhou Haihong. Secara
mendasar, model dan atau metode pembelajaran yang disampaikan telah memenuhi
apa yang disebut oleh Prof. Zhou Haihong sebagai 6 (enam) kebutuhan dasar untuk
mempelajari seni, yaitu; 1) estetika yang akan menyentuh rasa dan persepsi siswa
sehingga senang untuk belajar, 2) achievment atau pencapaian yang
disesuaikan dengan kemampuan siswa dan bukan dengan ukuran orang lain, 3) Affinity,
atau daya tarik yang mesti dilakukan pengajar termasuk metodenya sehingga siswa
bergairah dan selalu gembira dalam belajar, 4) winning, atau perasaan
untuk menang di mana setiap capaian siswa (serendah apapun capaian itu) mesti
dihargai dan disemangati, 5) existence atau keberadaan diri yang diakui
sehingga setiap siswa timbul keyakinan dalam dirinya, dan
6) free atau kebebasan di mana siswa merasa tak terbebani dalam belajar
dan setiap pendapatnya dihargai. Keenam kebutuhan dasar pembelajaran seni
tersebut dapat diterapkan oleh pengajar yang juga memahami dengan baik 6 (enam)
kebutuhan dasar tersebut. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar