Teater di Sekolah: Antara Pengalaman dan
Pemahaman[1]
Oleh:
Eko Santosa
Pembelajaran
teater di sekolah umumnya berjalan kurikuler di mana pengajar mesti memahami
tujuan pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum. Akan tetapi di dalam
pelaksanaannya seringkali terjadi irisan antara tujuan kurikuler dengan
pengalaman berteater pengajar. Irisan ini menjadi problematika unik terutama ketika
proses pembelajaran berlangsung di mana pengalaman (pemahaman) pengajar bertemu
dengan keharusan materi (buku ajar) yang mesti diberikan. Pasti akan terjadi
penyikapan (sintesis) di mana pengalaman berteater pengajar bertemu dengan
materi ajar menghasilkan pemahaman (materi) baru yang diberikan kepada peserta
didik. Materi baru ini kemudian diajarkan untuk memenuhi tujuan kurikuler
dimaksud. Dari situasi dan kondisi inilah secara umum kelas teater dijalankan.
Peran pengalaman berteater pengajar menjadi sesuatu hal yang penting dengan
demikian. Namun demikian, pengalaman tidak pernah selamanya tetap. Artinya
proses pembelajaran di kelas juga menjadi pengalaman baru yang pasti akan
menghasilkan pengalaman baru, demikian seterusnya. Oleh karena itu pula,
pemahaman pengajar juga akan berkembang baik menyangkut cara mengajar ataupun
materi ajar yang didapatkan dari pengalaman yang senantiasa baru tersebut.
Di
dalam diskusi atau pertemuan antarpengajar, pemahaman-pemahaman baru tentang
teater atau penandasan atas kesepahaman dalam teater banyak terjadi. Antara
pengajar satu dan lainnya berbagi pengalaman dan pengetahuan yang semuanya
dapat disintesiskan menjadi materi ajar. Pertemuan dan diskusi menjadi penting
dan merupakan pengalaman belajar yang tidak bisa dianggap sepele. Mengingat
teater sebagai bagian dari kebudayaan yang selalu tumbuh bersama masyarakatnya,
maka pemaknaan atasnya yang berbeda menjadi semacam keberlimpahan yang perlu
disyukuri. Pemaknaan yang berbeda tidak mesti harus ditunggalkan namun juga
tidak mesti menjadi ajang pertarungan mana yang lebih benar dibanding lainnya.
Pemaknaan yang berbeda diperlukan justru untuk memberi keluasan pandangan akan
teater itu sendiri. Bisa jadi memang, perbedaan makna mengerucut ke dalam
ketunggalan namun atas dasar kesepahaman bersama yang ditemukan dalam sebuah
pertemuan atau diskusi. Di samping itu, upaya mencari atau menuju ke pemaknaan
tunggal atas asas kesepahaman bersama ini juga menarik untuk dicermati. Dalam
beberapa pertemuan dan diskusi antarpengajar teater, beberapa hal berikut
sangat seru diperbincangkan.
1. Dramaturgi dan Formula Dramaturgi
Dramaturgi
sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari keseluruhan proses pementasan
drama. Hampir semua guru menyatakan bahwa tanpa dramaturgi sebuah pementasan
teater tidak akan dapat berjalan dengan baik. Di dalam kelas teater, dramaturgi
diterapkan dalam tahapan analisis naskah. Pada tahap ini, guru dan peserta
didik mengulik naskah mulai dari tema, pesan, struktur, dan tokoh. Catatan-catatan yang didapat pada tahapan ini
kemudian diterapkan selama proses latihan hingga pementasan. Langkah kerja
semacam ini rupanya sudah berlangsung lama dan menjadi anutan banyak guru
teater. Jadi, pemahaman dramaturgi mendapatkan praktik nyatanya dalam aktivitas
analisis atau bedah naskah.
Sama
sekali tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun mematenkan atau
menetapkan langkah dalam proses pementasan yang dilakukan bertahun-tahun sebenarnya juga tidak terlalu bijaksana
mengingat bahwa teater selalu membuka dirinya untuk ditelisik, direka-ulang,
dibongkar, disikapi, dipandang dan dikreasi kembali. Artinya, teater secara
alamiah memang tidak pernah ingin atau tidak mungkin ditetapkan. Sebagai karya
seni ia butuh pengembangan termasuk dalam model dan metode penciptaannya.
Tetapi mungkin dalam pandangan pendidikan yang dalam hal ini adalah
persekolahan, penetapan langkah semacam ini memang diperlukan. Selain prosesnya
tidak menyalahi kurikulum juga demi memudahkan kerja guru dalam mengajar atau
memberi penjelasan.
Akan
tetapi, kondisi tersebut menghasilkan akibat yang cukup besar di mana
dramaturgi tereduksi ke dalam langkah-langkah analisis lakon dan karakter saja.
Padahal dramaturgi sebenarnya berbicara lebih dari sekedar analisis lakon dan
karakter. Asal-musal lakon, mengapa lakon ditulis, kapan ditulis, konteks
sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat lakon ditulis, dan
kontekstualitas persoalan lakon dengan kondisi kekinian, pun juga menjadi
bahasan dalam dramaturgi selain soal struktur dan hukum drama. Plus,
kemungkinan perwujudan artistik di atas pentas berdasar teks lakon juga menjadi
wilayah pembahasan dramaturgi. Dengan penyerderhanaan proses dramaturgi menjadi
analisis lakon dan karakter, maka hal-hal selain itu seolah diabaikan dan
dramaturgi kemudian memang dipahami hanya sebagai analisis lakon dan karakter.
Kerumitan
kerja dramaturg (ahli drama) sebenarnya secara sederhana digambarkan dalam
formula dramaturgi oleh RMA. Harymawan dii mana proses dasar penciptaan
teater/drama itu melalui langkah atau tahapan yang disebut sebagai 4M yaitu
menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan. Namun sayangnya, terkadang
formula ini kurang terpahami dengan baik. Menghayalkan yang merupakan proses
pencarian gagasan hingga ke penentuan ide pokok penciptaan seringkali dihayati
sebagai proses berimajinasi seperti halnya dalam latihan pemeranan. Tentunya
tahap menghayalkan ini mesti mengalami adaptasi (analogi) ketika hendak
diterapkan dalam proses penulisan lakon, penyutradaan, dan bahkan pemeranan.
Akan tetapi, adaptasi jarang sekali terjadi sehingga menghayalkan hanyalah
menghayalkan. Demikian juga dengan tahapan lainnya, semua berhenti dalam
pemaknaan banal atas kata-kata yang terkandung dalam 4M. Akibatnya, formula
dramaturgi yang dapat digunakan untuk menjelasakan kerja dramaturg, penulis
lakon, sutradara, aktor, dan seluruh elemen artistik pementasan hanya berhenti
pada arti kata saja. Hasil akhir dari kondisi ini melahirkan pikiran bahwasanya
tahap “Menuliskan” adalah tugas penulis lakon sehingga pentas teater
“seolah-olah” selalu berdasar naskah lakon tertulis dan tidak bisa secara
improvisasi.
Padahal
jika sedikit saja mau menganalogikan formula 4M tersebut, maka tahapan kerja
personil artistik dapat terjelaskan. Misalnya dalam kaitan dengan kerja
dramaturg, formula 4M dapat dijelaskan sebagai berikut;
a. Menghayalkan
adalah tahapan di mana seorang dramaturg mesti harus memahami gegasan penulis
(latar pemikiran lakon),
b. Menuliskan
merupakan tahapan di mana dramaturg melakukan studi (kajian dan pencatatan)
untuk memahami teks yang sudah dituliskan (analisis lakon),
c. Memainkan
adalah tahapan di mana seorang dramaturg mesti memahami konsepsi pemujudan teks
ke dalam pementasan,
d. Menyaksikan
adalah tahapan untuk memahami hasil pemujudan teks ke atas pentas.
Dengan
formula ini, seorang dramaturg akan memahami apa itu drama (teks lakon) mulai
dari gagasan sampai ke pementasannya. Jika diterapkan pada sutradara, maka
“Menghayalkan” adalah proses pencarian gagasan artistik atas lakon yang sedang
ia pelajari. “Menuliskan” adalah tahap di mana sutradara membuat konsep
pementasan atau konsep penyutradaraan. “Memainkan” adalah tahapan di mana
sutradara mulai melatih para pemeran sesuai dengan konsep yang telah ia buat.
“Menyaksikan” adalah tahap di mana sutradara melakukan proses evaluasi - melihat hasil latihan dan melakukan
pembenahan sebelum pementasan sesungguhnya digelar.
Melalui
upaya adaptasi atau analogi atas formula dramaturgi, maka tahapan kerja seluruh
elemen artistik pementasan teater dapat dijelaskan dengan mudah. Selain itu, upaya untuk meletakkan dasar pemahaman tentang dramaturgi secara menyeluruh dan
bukan hanya sekedar analisis lakon dan karakter menjadi penting sehingga kajian
tentang teks (lakon) yang akan dipentaskan menjati kontekstual, tidak hanya
sekedar tekstual. Upaya semacam ini mesti dilakukan untuk mengurai
kelit-kelindan yang seringkali terjadi antara dramaturgi dan formula dramaturgi
sehingga garis beda antara keduanya terpahamkan.
2. Antara Drama dan Teater
Perbedaan antara drama dan teater sampai saat ini masih belum begitu jernih bagi sebagian guru. Meski dapat dipahami bahwa teater adalah pertunjukan namun dalam banyak pengalaman terjumpai bahwasanya drama juga bisa dipertunjukkan. Hasil akhir dari konsep pemikiran ini menyatakan bahwa drama dengan demikian adalah teater atau sebaliknya. Kondisi ini menjadikan pembedaan konsep dasar antara teater dan drama sebagai pendekatan pembelajaran mengalami kebingungan. Apakah ketika siswa pentas disebut sebagai teater atau pementasan drama. Apakah pentas teater yang menggunakan naskah disebut sebagai drama? Apakah teater menunjukkan tempat di mana pentas itu deselenggarakan sedangkan pentasnya sendiri adalah drama? Jika teater adalah pementasan, lalu di manakah drama ketika pementasan tersebut berlangsung? Banyak lagi pertanyaan yang mungkin akan muncul ketika perihal teater dan drama ini diperbincangkan. Intinya, pembedaan konsep dasar tentang drama dan teater belum sepenuhnya bisa diterima.
Adalah hal yang wajar dan bisa saja diterima sebenarnya di dalam konsep seni pertunjukan bahwasanya teater adalah drama dan sebaliknya. Namun, dalam pembelajaran dan kajian keilmuan semestinya makna dasar keduanya tetap diberikan dan dipahami. Menjadi permasalahan adalah ketika pemahaman baru tidak bisa menggeser pemahaman lama yang telah bertengger menahun. Sejak masa sebelum teater masuk ke dalam kurikulum pembelajaran di sekolah umum dasar dan menengah, drama menjadi satu-satunya pemahaman atas seni pertunjuan berbasis kata-kata. Drama pada masa itu diajarkan sebagai bagian dari pembelajaran bahasa, sub sastra. Berbeda dengan karya sastra lainnya, drama memiliki arti penting dan mungkin mengeram dalam memori cukup lama dan tak terlupakan bagi para pelajar karena keunikannya untuk dipentaskan. Ya, memang pada masa-masa itu pelajaran drama umumnya diakhiri dengan pementasan meskipun hanya di depan kelas dengan durasi singkat.
Pengalaman mementaskan drama di depan kelas tersebut bisa menjadi monumen dalam pikiran yang sulit untuk diruntuhkan dengan pemaknaan baru bahwa, “drama yang dipentaskan adalah teater”. Monumen dalam pikiran telah terbangun kokoh bahwa drama merupakan serangkaian proses karya sastra dari produksi teks lakon hingga sampai ke pementasannya. Banyak guru yang semasa masih menjadi siswa dan belajar di sekolah dituntun untuk membangun monumen ini. Ketika pada saatnya istilah teater hadir di sekolah, maka kegamangan pemahaman mulai terjadi. Teater seolah hendak menggusur drama dan pemilik monumen drama tidak rela pikirannya digusur begitu saja. Apalagi dalam pelajaran sastra monumen ini tetap ditegakkan, bukan tanpa alasan tetapi memang karena menjadi bagian integral darinya.
Menjadi soal dan terus selalu menarik diperbincangkan soal tarik-ulur makna ini, karena guru teater yang sekarang ini - tentu saja berbeda dengan guru sastra - telah memiliki pengalaman dengan drama bertahun-tahun. Sementara, pemahaman mengenai teater baru mungkin terdapati ketika mereka berada di perguruan tinggi. Itu pun tidak atau belum tentu sepenuhnya mampu menggeser pemahaman akan drama. Dari sini kemudian mulai terlihat bahwa tarik-ulur pemaknaan drama dan teater tidaklah berasal dari istilah drama dan teater itu sendiri, melainkan dari si pemilik pengalaman (pikiran). Kerelaan untuk mengadopsi pemahaman baru memang diperlukan. Bukan dalam konteks benar atau salah, kalah atau menang, melainkan bahwa definisi dalam seni ditetapkan hanya ketika ia berada pada pemahaman dasar dengan tujuan untuk pengajaran.
Konsepsi dasar bahwa teater adalah gedung
pertunjukan dan kemudian berkembang menjadi pertunjukan dan drama adalah lakon
atau karya sastra yang di dalamnya memuat lakuan (aksi) sesungguhnya lebih
mengarah pada pemaknaan epistemologis. Perlu ada batas-batas kajian pengetahuan
yang mesti dipahami sehingga jelas bidang garapan antara satu ilmu dengan ilmu
lain. Pada titik ini, pemaknaan Sudiro Satoto menjadi sangat penting untuk
dicatat bahwa ketika naskah drama (lakon) akan diproduksi ke dalam pementasan,
maka sejak saat itu bidang garapannya ada di teater. Jadi, mulai dari membedah
naskah untuk kepentingan pementasan hingga sampai ke pementasan menjadi wilayah
teater. Sementara pembahasan drama berhenti pada karya sastra (teks) dan
kajian-kaijan tentangnya di luar tujuan pementasan. Batas atau pemahaman dasar
semacam ini penting untuk dimengerti serta dipahami dengan kerelaan. Soal
kemudian kembali lagi pada pemaknaan bahwa teater adalah drama dan drama adalah
teater, hal itu tergantung masing-masing individu di dalam memaknai
pengalaman-pengalaman yang telah dilalui. Selama ia bisa dan mau memahami
konsepsi dasarnya tidaklah menjadi masalah.
3. Latihan Teknik dan Teknik Pemeranan
Pemahaman mengenai proses berteater sangat
erat kaitannya dengan budaya pengajaran. Materi ajar yang diberikan dan
dipercaya sebagai sebuah kebenaran seringkali ditetapkan oleh pembelajar.
Artinya, pemaknaan atas apa yang diajarkan sulit sekali untuk diubah jika tidak
dalam kondisi tertentu yang mampu memantik kesadaran. Oleh karena itulah di
dalam pengajaran akting teater, seorang pelatih yang baik selalu tidak berusaha
untuk tidak membentuk ekspresi pemain melainkan berusaha dengan keras
mengarahkan pemain agar mampu menemukan sendiri ekspresi yang diharapkan. Hal
ini didasari pengalaman bahwa ketika ekspresi telah terbentuk, maka akan sangat
sulit mengubahnya. Tidak hanya soal tubuh dan mimik yang telah terbentuk, tetapi
juga mindset.
Model
pengajaran yang banyak dijumpai memang cenderung menetapkan pemahaman atau
tahapan yang mesti dilalui dalam sebuah proses. Meski di sekolah banyak
diungkapkan model-model pengajaran baru, namun pengajaran teater kebanyakan
telah tertetapkan. Serangkaian pemahaman dan tahapan pun dengan demikian
seolah-olah menjadi seragam. Di dalam banyak perbincangan, perdebatan terjadi
bukan pada persoalan pemahaman atau tahapan baru yang bisa dan mungkin untuk
ditemukan dan dikembangkan melainkan lebih pada ketepatan pemaknaan atas
pemahaman dan tahapan. Kondisi ini membuat diskusi seringkali berlangsung melingkar-lingkar
dengan titik akhir pada subjektivitas.
Kondisi ini menjadikan informasi baru terhalang oleh pemahaman yang telah ditetapkan tersebut. Soal teknik pemeranan misalnya, telah lama dipahami sebagai bagian pokok dari latihan pemeranan untuk mendapatkan penghayatan peran yang baik. Teknik pemeranan kemudian dileburkan ke dalam tahap-tahap produksi pementasan wabil khusus pada sesi latihan peran setelah lepas naskah. Soal apakah ada atau tidaknya teknis khusus berperan yang dilatihkan itu bersifat subjektif. Artinya, pelatih satu dan lain berbeda dalam menerapkannya. Ada yang memiliki sesi khusus untuk melatihkan teknik pemeranan tertentu tetapi ada yang tidak. Intinya, pemahaman tentang teknik pemeranan adalah melatih pemeran agar bisa berperan dengan baik sesuai peran yang dimainkan. Pemahaman ini telah dengan sendirinya tertetapkan dan dengan demikian menghalangi informasi baru yang diberikan misalnya soal latihan teknik. Tanpa perlu menelusur atau mempelajari terlebih dahulu, lathan teknik langsung diarahkan pada pemahaman latihan plus teknik (pemeranan). Hal inilah yang terjadi dalam perbincangan soal latihan teknik dengan para guru atau pelatih teater pada umumnya.
Sementara
itu dalam proses produksi teater profesional, latihan teknik adalah latihan
khusus hal-hal terkait teknologi panggung dalam pementasan. Sesi latihan ini
digunakan untuk mencobakan tata panggung, cahaya, suara, bahkan rias dan
busana. Tujuan dari latihan ini adalah agar hal-hal teknis di luar pemeran
dapat diterapkan dengan baik sesuai yang dikonsepkan. Sesi latihan ini
membutuhkan waktu khusus yang tidak sebentar. Di dalam sesi khusus tata
panggung misalnya, segala perpindahan set dekor harus dilatihkan sehingga waktu
tersedia selama perpindahan dapat ditempuh. Selama latihan perpindahan set ini pemain
juga terlibat di dalamnya sehingga ketika dalam satu adegan setelah perpindahan
set beberapa pemain harus sudah on stage, maka hal tersebut mesti dipastikan
berjalan dengan baik. Berikutnya tentu saja tata cahaya mesti mendukung dan pas
digunakan untuk perpindahan set dan adegan tersebut. Intinya, latihan teknik
memerlukan perhatian khusus dari segenap elemen artistik pementasan.
Latihan
ini merupakan keharusan di dalam proses produksi, karena kesalahan teknis kecil
saja dapat merusak jalannya pertunjukan. Di banyak produksi, seringkali terjadi hal-hal teknis tidak berjalan padu dalam pementasan.
Misalnya, suara ilustrasi musik terdengar lebih keras sehingga dialog pemain
menjadi samar terdengar. Sering juga terjadi, set dekor belum sempurna tertata
tetapi cahaya sudah menerangi panggung sehingga keberadaan kru di atas panggung
terlihat oleh penonton atau busana yang justru menghalangi gerak pemain
sehingga melahirkan kelucuan yang tak diharapkan. Hal-hal semacam ini semestinya
tidak terjadi ketika latihan teknik dijalankan dengan baik. Namun demikian,
proses produksi teater di sekolah secara umum tidak menyelenggarakan latihan
teknik sehingga kesalahan pemahaman bahwa latihan teknik adalah melatihkan
teknik pemeranan terjadi.
Teater
di sekolah semestinya menetapkan latihan teknik menjadi salah satu tahap wajib
dalam proses produksi sebagai bagian dari pembelajaran. Dalam hal ini, siswa
tidak hanya belajar akting saja namun juga tata artistik dan kerjasama antara
pemeran dan penata artistik dalam sebuah pementasan. Selain itu, kedudukan para
penata artistik menjadi sangat penting dalam latihan teknik sejajar dengan
pemain dalam permainan peran. Artinya, di dalam teater, semua profesi artistik
mendapatkan apresiasi sesuai bidang kerjanya. Dengan demikian, siswa mendapatkan
gambaran lebih besar tentang bidang kerja yang bisa dilibati di dalam teater.
Walakin, hal paling mendasar sebelum melaksanakan latihan teknik adalah pemahaman
akan pentingnya latihan teknik telah dimiliki oleh guru bersangkutan. Pemahaman
ini menjadi niscaya bagi berlangsung dan membudayanya latihan teknik dalam
proses produksi teater sekolah.
4. Modern dan Tradisi
Problem
istilah modern dan tradisi yang semestinya tak lagi terlalu dipertentangkan
secara definitif, sampai saat ini masih menjadi topik hangat di kalangan guru
seni teater. Hal ini terjadi karena muatan kurikulum membagi teater tradisi dan
modern secara tegas sebagai materi ajar. Di dalam jabarannya, materi ajar
tersebut mesti diakhiri dengan pementasan. Hasil akhir berupa produk pementasan
inilah yang seringkali menjadi perdebatan hangat di antara para guru, utamanya
perihal ciri-ciri produksi yang dapat disebut sebagai teater modern atau
tradisi. Pertanyaan, keraguan, dan keyakinan mudah bercampur-aduk karena memang
pada dasarnya teater senantiasa berkembang sehingga unsur-unsur teater tradisi
seringkali mesti menyesuaikan. Penyesuaian inilah yang melahirkan diskusi
hangat perkara definisi antara teater tradisi dan modern.
Ciri
khas teater tradisi yang dipahami secara umum adalah tidak digunakannya naskah
(teks) sehingga pementasannya bersifat improvisasi. Selanjutnya, definisi umum ini
bertemu dengan ciri-ciri kedaerahan teater dimaksud. Hampir pasti, dalam
pengalaman kehidupan sekarang ini, ciri-ciri yang diajukan dalam teater tradisi
tersebut bersifat cair. Mulai mencairnya batas-batas yang diajukan oleh teater
tradisi tidak lepas dari berubahnya fungsi pertunjukan teater tradisi plus
syarat khusus yang belum tentu bisa terpenuhi. Misalnya, seringkali teater
tradisi ditampilkan dalam sebuah festival padahal biasanya disajikan dalam
sebuah upacara adat sehingga tahapan tertentu tidak bisa disajikan. Atau, untuk
memberikan motivasi kepada generasi muda, dilatihkanlah seni teater tradisi
meskipun harus berbasis naskah. Lalu,
jika syarat-syarat sebagai seni teater tradisi tidak terpenuhi, apakah seni
teater tersebut masih bisa disebut tradisi? Bisakah kemudian disebut teater
modern? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan sering bermunculan terkait upaya
adaptasi yang dilakukan seni teater tradisi terhadap keadaan. Situasi dan
kondisi ini cukup membingungkan dalam konteks definisi. Namun, jika
dikembalikan pada kenyataan bahwa seni teater berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat di mana teater itu tumbuh, maka kebingungan ini bisa
direduksi. Syarat utama untuk mereduksi kebingungan sebenarnya ada pada kata
“perkembangan” di mana dengan sendirinya sebuah definisi mesti mengalaminya.
Sayangnya, definisi seringkali ditetapkan dan bergeming atas perubahan.
Karut-marut
soal definisi teater tradisi ini pernah dilenturkan dengan istilah “teater
daerah”, di mana alamat teater daerah memang secara langsung menuju pada
lokasi asal dan tumbuhnya teater tersebut. Penggunaan istilah teater daerah
selain menunjuk lokasi juga merengkuh ciri-ciri kedaerahan yang ditampilkan
dalam pertunjukan, misalnya penggunaan bahasa, tata busana, dan pernak-pernik
lain yang khas. Mengacu pada istilah ini, teater daerah tidak harus terikat
dengan sebuah tradisi. Artinya, teater daerah dapat bersifat tradisi maupun
kontemporer. Pelenturan istilah ini rupanya kurang cukup berdampak terutama di
kalangan pelaku teater sekolah sehingga istilah teater tradisi tetap digunakan.
Pembahasan
materi ajar di kelas, konten dari teater tradisi sesungguhnya adalah teater
daerah. Wujud pementasan teater daerah di banyak tempat membuka lebar
kemungkinan untuk pengembangan dalam artian syarat-syaratnya lentur. Namun
demikian, penyematan kata “tradisi” membawa pemahaman bahwa segala sesuatunya
tidak bisa diubah karena sifat tradisi adalah turun-temurun. Padahal jika
pemahaman teater tradisi dilesapkan ke dalam teater daerah, kemungkinan besar
pertentangan antara teater modern dan tradisi tidak selalu terjadi dalam
perbincangan. Namun demikian, pelesapan makna “tradisi” ke “daerah” membutuhkan
kebijaksanaan yang dilandasi pengetahuan tentang sifat “tradisi” dan “daerah”
serta kebutuhan pembelajaran yang mana materi ajar selalu mengalami perkembangan
sesuai kenyataan yang ada. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan guru seni
teater dalam menyikapi makna teater tradisi di dalam pembelajaran.
5. Gaya Pementasan
Gaya
pementasan sebagaimana disampaikan oleh McTigue merupakan citarasa atau ragam
khas seniman teater dalam menampilkan karyanya di atas pentas. Masing-masing
seniman memiliki konsep sendiri tentang gaya ini. Untuk media ungkap gayanya
bisa saja melalui teater gerak, musikal, atau bentuk dan jenis pementasan
teater lainnya. Gaya yang bisa juga disebut isme ini kurang banyak dibedah
dalam kelas-kelas pendidikan. Isme yang umum diajarkan di sekolah adalah
realis. Hal ini dikarenakan realisme menyajikan persoalan berbasis kehidupan
nyata di atas pentas. Faktor kenyataan inilah yang membuat realis begitu mudah
mengadaptasi persoalan sosial yang di dalamnya dapat dititipi beragam nilai
yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pada pelaksanaannya, teater realis
ini mewujud pula dalam materi ajar drama khususnya sosio-drama. Akibatnya,
realis menjadi populer (membudaya) dan mengalahkan gaya pementasan lain. Kepopuleran
realis ini membuat hampir semua gaya dalam pementasan teater disikapi dengan
cara pandang realisme.
Sementara
itu, dalam khasanah pertunjukan panggung di luar sekolah, banyak bermunculan
gaya selain realis yang ditampilkan. Namun demikian, cara pandang guru teater
sekolah umumnya selalu menarik gaya-gaya tersebut ke dalam nalar realisme. Bahkan
penilaian bagus-jeleknya sebuah pementasan selalu menggunakan skala realisme.
Hasilnya, hampir tidak ada pendekatan pembelajaran teater di sekolah yang
digunakan selain realisme yang mana polanya sedikit-banyak telah baku. Artinya,
hampir semua guru teater di sekolah menerapkan pola yang sama dalam
pembelajaran teater.
Pemahaman
gaya realis yang telah membudaya ini berdampak pada pemaknaan atas bentuk
pertunjukan teater. Karena teater realis hampir pasti diekspresikan melalui
kata-kata (dialog) antarpemain, maka bentuk-bentuk lain seperti teater berbasis
gerak, musik, atau menggunakan boneka menjadi langka. Bahkan, realisme pun
terkadang dianggap sebagai bentuk pementasan teater. Padahal perbedaan bentuk
dan gaya dapat dijelaskan dengan cara mudah. Misalnya, jika aktivitas orang
berjalan adalah bentuk, maka cara berjalan adalah gaya. Oleh karena itulah antara
peragawati dan petani pastilah berbeda gaya meskipun keduanya sama-sama
berjalan. Namun demikian, karena khasanah bentuk pementasan selain teater
kata-kata bergaya realis jarang atau tidak pernah dikenalkan secara
komprehensif, maka gaya dan bentuk seolah tidak ada bedanya.
Secara
lebih mendalam, bahkan di dalam bentuk yang sama pun, seperti aktivitas orang
berjalan, gaya di dalam teater dapat dibedakan. Media ungkap kata-kata yang
digunakan di dalam teater realis juga digunakan oleh gaya lain yang tentu saja
struktur, lagu, fungsi, dan mungkin maknanya berbeda, misalnya, teater surealis
dan teater absurd. Akan tetapi, ungkapan kata-kata dalam kerangka realis seolah
tidak bisa ditawar lagi. Hal ini mengakibatkan, kata-kata yang umumnya
diucapkan melalui wicara dan dialog pemeran dipahami secara (ditarik ke dalam
pemahaman) realis. Alur cerita yang bisa saja disampaikan secara tak
kronologis, ditarik ke dalam alur kronologis. Ketika upaya penarikan ini tak
tertemukan, maka munculah kebingungan dan kemudian memberikan alamat bahwa
teater yang disajikan tidak mudah dipahami, memusingkan, dan karenanya tidak
baik.
Memahami
sebuah gaya pementasan memang tidaklah mudah namun bisa dipelajari dengan
keterbukaan pikiran. Di dalam pertunjukan teater modern biasanya panitia
produksi menyediakan leaflet atau booklet yang berisi informasi seputar
pementasan. Tidak jarang pula di dalamnya memuat konsep pertunjukan. Dengan
sedikit keikhlasan untuk membuka pikiran dan mau menerima konsep yang
ditawarkan, maka peluang besar untuk memahami pertunjukan yang akan digelar bisa didapatkan. Namun, jika konsep yang ditawarkan bukan mengacu pada realisme akan tetapi coba tetap dipahami dalam kerangka realis, maka bisa jadi kesilang-sengkarutan
pemahaman yang akan didapatkan. Pada akhirnya, apakah kita akan menyerap informasi artistik pementasan
yang berlangsung atau memaksakan semua informasi dalam kerangka yang sudah ada
sebelumnya di pikiran sangat bergantung dari kebijaksanaan masing-masing.
Kebijaksanaan untuk menentukan apakah sebaiknya menambah wawasan artistik atau
mencukupkan yang sudah kita miliki. Semua kembali pada diri masing-masing. (**)
[1]
Catatan reflektif diskusi
antarpengajar teater dalam Diklat Pengetahuan Teater melalui WA Group tanggal
31 Agustus – 3 September 2020 yang diselenggarakan oleh BBPPMPV Seni Budaya
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar