Oleh: Eko Santosa
Fakta memperlihatkan bahwa kehidupan teater di kota-kota besar masih bergairah sampai saat ini. Hal ini ditandai dengan hadirnya kelompok-kelompok teater mahasiswa atau komunitas. Meskipun kebanyakan dari kelompok ini bukan merupakan kelompok profesional, namun antusiasme untuk selalu menghasilkan karya sangat tinggi. Dalam setiap tahun selalu saja ada pementasan teater yang digelar oleh masing-masing kelompok. Lepas dari soal kualitas atau profesionalitas, produksi teater yang dihasilkan memberikan kegembiraan yang luar biasa. Para pelaku teater kampus dan komunitas ini seolah mengabarkan bahwa apapun yang terjadi, teater akan tetap terus diproduksi dan alir generasi tidak akan mati.
Sesuai tradisi teater yang mengedepankan
dialektika, proses produksi dan pasca produksi selalu dihiasi diskusi-diskusi,
baik di antara mereka sendiri atau dengan mengundang orang lain secara terbuka.
Perbincangan dalam diskusi umumnya tidak hanya menyoal gagasan produksi,
visualisasi artistik, dan teknis pementasan, namun juga menyasar ke hal-hal
yang ada di seputar teater. Bahkan, apa yang di seputar teater seringkali
menjadi alasan beberapa orang untuk bergabung ke dalam teater komunitas.
Misalnya saja, teater menjadi pilihan untuk meningkatkan rasa percaya diri,
menjalin hubungan sosial, berorganisasi, dan melatih manajemen diri. Oleh
karena itu, diskusi teater bisa saja berjalan alot dan (sok) idealis, namun
perbincangan-perbincangan yang tercipta di sela-selanya bisa jadi sangat cair. Di
dalam perbincangan semacam ini, banyak pertanyaan atau keinginan terkait diri
dan teater yang hadir. Berikut adalah di antaranya.
1. Antara
aktor dan artis
Alasan umum seseorang
bergabung ke dalam komunitas teater adalah rasa inginnya untuk menjadi aktor
terkenal. Meskipun tidak semua orang memiliki alasan yang sama, namun pesona
aktor terkenal ini mampu menjadi daya tarik yang sangat kuat. Tidak mengherankan
karenanya, ketika banyak orang bergabung
ke teater memang untuk bermain teater dan bukan menjadi pekerja artistik atau
tim produksi. Namun demikian, tidak menunggu waktu lama, hasrat untuk menjadi
aktor terkenal tidak dapat menemukan jalannya. Alhasil banyak orang yang
kemudian meninggalkan komunitas teater berbarengan dengan orang baru yang ingin
bergabung dengan alasan sama. Siklus ini berjalan hampir setiap tahun di teater
kampus atau komunitas. Karena siklus ini pula, keberadaan teater kampus atau komunitas
yang selalu membuka keanggotaan baru terselamatkan.
Fenomena aktor terkenal yang merasuk dalam pikiran ke setiap orang sebenarnya
hanyalah tampilan muka saja. Artinya, orang-orang tersebut tidak paham
sepenuhnya profesi aktor. Bahkan kemungkinan besar yang mereka anggap aktor
sebenarnya hanyalah artis (selebriti) di dunia hiburan televisi berbasis
akting. Informasi tampilan muka para artis yang sebagian besar dibesarkan oleh
media menyajikan keindahan gambar atau gemerlap hidup yang menjadi impian banyak
orang. Gambaran tersebut benar-benar indah dan menyenangkan. Seolah tidak ada
kesedihan dalam diri para artis. Padahal kejadian belakang layar atau kehidupan
mereka sesungguhnya mungkin saja berbeda.
Dalam
banyak perbicangan ringan seputar pementasan, banyak sekali pemeran yang saling
bertanya antara satu dengan yang lain soal kualitas penampilan mereka di atas
panggung. Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya banal, karena di antara mereka seungguhnya
ingin mendapat sanjungan sehingga mimpi aktor yang artis itu bisa semakin
dekat. Padahal, bagi aktor profesional, sanjungan bisa jadi tidak perlu
dihiraukan karena itu bisa jadi justru menjebak diri mereka dan mungkin malah
menjadi hal yang tidak menguntungkan bagi karier. Namun demikian, para calon
aktor artis ini merasa bahwa sanjungan diperlukan untuk meneguhkan bahwa mereka
memang cocok menjadi aktor artis.
Mimpi
aktor artis ini merupakan mimpi ideal tertutama berkaitan dengan penghasilan
yang mana melalui berita-berita di media disajikan secara glamor kehidupan para
artis ini. Hampir tidak ada berita yang menginformasikan proses yang mesti
dialami untuk menjadi artis dan apa yang mesti dilakukan untuk bertahan dalam
posisi yang sedemikian. Nah, di dalam teater yang sesungguhnya, proses ini
sedikit-banyak diwujudkan secara nyata di mana seorang pemeran mesti berlatih
dengan keras dan belajar dengan suntuk. Oleh karena itu pulalah, banyak anggota
teater berguguran setelah satu atau dua produksi karena mereka merasa tidak
segera mendapat ketenaran meski telah bermain peran di atas panggung. Artinya,
mulai muncul kesadaran bahwa tangga menuju aktor artis itu tidak mudah untuk didaki dan teater
tidak bisa menyediakan jalan pintas untuk menuju puncak. Hal ini mengakibatkan
pupusnya keinginan yang telah pernah membuncah ketika pertama kali bergabung
dalam komunitas teater. Orang yang pupus keinginan itu kemudian pergi untuk
digantikan orang baru dengan keinginan sama yang membuncah, dan teater kembali menjalani
siklusnya.
2. Jalan
terjal yang tak terpahami
Pekerjaan
seorang aktor berbeda dengan karyawan kontrak sebuah perusahaan. Jika seorang
karyawan dikontrak untuk bekerja dalam kurun waktu tahunan, maka aktor
mendapatkan kontrak untuk bekerja dalam 1 produksi yang mana waktu penyelesaiannya
sangat tergantung dari proses produksi tersebut. Jika dihitung waktu, maka
kontrak kerja aktor lebih singkat. Jika dihitung dari keberlanjutan, kontrak
kerja karyawan terkadang dapat diperpanjang dengan mudah, sementara aktor harus
mencari kontrak baru selepas menyelesaikan pekerjaannya.
Situasi
pekerjaan semacam ini belum tentu terpahami oleh para calon aktor atau bahkan
oleh para pelaku teater yang belum mengenal industri. Kesulitan mendapatkan
kontrak adalah ujian dan tantangan aktor sebelum berlanjut ke tantangan proses
produksi. Dalam mendapatkan kontrak kerja, seorang aktor dilarang utuk mengeluh
dan menyerah. Artinya, dalam industri akting baik itu film, televisi ataupun
panggung komersial, kecakapan bermain bukan satu-satunya hal yang menjadi
pertimbangan pemberi pekerjaan. Sikap, kepribadian, visi positif dan hal-hal
lain terkait kebutuhan artistik dapat menjadi pertimbangan pemberi kontrak.
Oleh karena itu, seorang aktor yang tidak lolos audisi tidak diperkenankan
marah, frustrasi atau menyalahkan diri sendiri. Hal positif yang perlu
dilakukan adalah tetap terus melatih dan mengembangkan kemampuan akting. Dengan
demikian, sekali ditolak, seorang aktor mesti tetap positif dan kembali
berusaha untuk mendapatkan kontrak yang lain.
Di
dalan dunia profesional, misalnya di Amerika dan Eropa, seorang aktor mesti
bergabung dalam asosiasi dan memiliki manajer (agensi) yang tugasnya adalah
mencari dan mengurus kontrak untuknya. Untuk itu, pemahaman ikatan hukum dan
ekonomi antara aktor dan manajer harus dipahami. Hal ini menandakan bahwa sejak
sebelum kontrak kerja didapatkan, seorang aktor mesti harus mau bersusah payah,
memahami hukum kontrak kerja dan mau bekerjasama dengan seorang manajer. Selain
itu, tata kelola fee yang didapat aktor dari kontrak kerjanyapun harus
clear dibicarakan dengan pihak agensi. Jika salah dalam hal ini, bisa jadi
aktor tidak mendapatkan jumlah sesuai ekspektasi selepas kontrak selesai.
Jalan
terjal dalam mendapatkan kontrak kerja yang harus dilalui sama tidak mudahnya
ketika proses produksi sudah mulai dijalankan. Produksi panggung, film, dan
televisi memliki kekhasan masing-masing. Sistem kerja yang berbeda membuat
jadwal serta tata kerja yang berbeda pula. Dalam situasi semacam ini aktor harus
mudah dalam beradaptasi. Artinya, ia tidak bisa menetapkan satu kerangka kerja,
seperti yang biasa ia lakukan, sebagai acuan. Sifat produksi yang khas bisa
jadi menuntut aktor bekerja lebih keras, berlatih kemampuan lain untuk
memperdalam karakter yang diperankan, bekerja dengan orang baru yang belum
tentu menyenangkan, pola produksi yang berbeda dari sebelumnya, keteraturan
jadwal yang terkadang bergantung pada situasi dan kondisi, serta hal-hal teknis
lain yang berpengaruh secara psikologis.
Di
dalam proses produksi, hal-hal teknis memang dapat mempengaruhi psikologi.
Misalnya, ketika pengambilan gambar berlangsung tiba-tiba ada orang lewat,
hujan turun, suara dari jauh yang terdengar keras, dan hal lainnya sehingga perlu dilakukan re-take
(pengambilan gambar ulang). Jika psikologi aktor tidak siap menghadapi kondisi
semacam ini, maka bisa jadi penjiwaan karakter yang diperankan pun akan
terganggu. Pada akhirnya, orang menyaksikan bahwa aktor tersebut tidak cukup
mampu memerankan tokoh. Hal yang sangat merugikan bagi aktor tersebut. Oleh
karena itulah, jalan terjal proses menjadi aktor dalam sebuah produksi harus
dipahami dengan baik agar gambaran pekerjaan seorang aktor didapatkan secara
utuh.
3. Kesadaran
kemudian
Kesadaran
berteater umumnya muncul setelah melalui berbagai macam proses. Kesadaran ini
hadir sebagi akibat dari introspeksi diri atas capaian yang diraih selama
menjalani kehidupan berteater. Bahwa proses teater tidak mudah dan membutuhkan
perjuangan bukanlah satu cerita melainkan kenyataan. Individu yang berhasil
memiliki kesadaran kemudian akan melakukan evaluasi diri dan menentukan apakah
terus berlanjut di teater dengan segala macam risikonya atau pindah haluan.
Tidak
mudah bagi seseorang untuk memutuskan perihal tujuan hidupnya. Tidak sedikit
kesadaran yang muncul kemudian ini membelokkan niatan awal seseorang, namun
tidak sedikit pula yang meneguhkan diri untuk terus berada di teater. Situasi
dan kondisi yang demikian tidak hanya terjadi di kalangan pelaku teater
komunitas namun juga teater akademis. Fakta menyebutkan bahwa tidak semua orang
yang menempuh studi khusus teater berkarir di bidang teater. Tidak semua orang
yang sekolah di akademi akting berkarir menjadi aktor. Fakta ini banyak ditemui
di berbagai negara. Seperti pernah disampaikan oleh Andy Nyman, bahwa banyak
jebolan akademi teater dan akting yang akhirnya memilih profesi di luar bidang
yang dipelajarinya.
Kesadaran
tentang dunia keras teater yang penuh tantangan dan membutuhkan kerja keras
serta semangat pantang menyerah, memang pada akhirnya akan memberikan gambaran
komprehensif mengenai kerja sesungguhnya. Bukan sekedar bayangan tentang
nikmatnya hidup sebagai aktor pujaan atau sutradara kenamaan. Bukan pula
perihal previlege yang bisa didapatkan ketika teater mampu melambungkan nama
seseorang di tengah kehidupan bermasyarakat. Kesadaran semacam ini memang sudah
selayaknya muncul sehingga benar-benar menjadi penyaring bagi orang-orang yang
memang hendak bergelut dalam dunia teater.
Namun,
menurut Ute Pinkert, kesadaran yang diperoleh dalam proses berteater sebenarnya
bukan hanya kesadaran yang hanya berkaitan langsung dengan teater tetapi juga
kesadaran akan diri dalam menjalani hidup. Proses berteater secara tidak
langsung adalah proses belajar bagi individu untuk lebih mengenal potensi dan
karakter diri. Tidak jarang, seseorang menemukan passion lain setelah
terlibat proses produksi teater. Passion ini pada akhirnya mengarahkan
seseorang untuk bekerja, misalnya sebagai public relation, motivator,
pelatih kebugaran, pedagang, dan pekerjaan lainnya. Dengan demikian, pilihannya
untuk tidak bekerja di bidang teater bukan karena dirinya tak sanggup menjalani
profesi teater tetapi justru karena proses teaterlah kesadaran untuk berprofesi
lain itu didapatkan. Pada titik ini, nilai pendidikan di dalam teater menemukan
maknanya. Teater bukan hanya mengajarkan seseorang memiliki skill teater tetapi
juga mengajarkan nilai kedirian yang selama ini alpa.
Hal-hal
yang mengait kesadaran semacam ini, akan banyak dijumpai dalam perbincangan
yang lebih intim di mana orang per orang tidak hanya sekedar membuncahkan
ideologi semu atau artistika menara gading seputar teater. Seorang pengusaha,
pejabat, atau orang penting lainnya ketika pada satu saat datang untuk
menyaksikan pertunjukan teater, mungkin bukan karena hendak mencari hiburan
melainkan ingin bernostalgia pada masa di mana mereka pernah terlibat dalam
proses teater. Ketika orang-orang ini saling berbicara tentu saja mereka tidak
akan menggelarkan ideologi berteater melainkan nilai teater yang mampu
membangkitkan kesadaran diri dan mempengaruhinya untuk melakoni kehidupan. Sebuah
kesadaran yang sangat berharga dan mampu menempatkan teater pada posisi
tertentu dalam hidup seseorang. Menarik dan patut diapresiasi serta dapat
dijadikan pemahaman baru bagi pelaku teater bahwa profesi teater bukanlah
profesi sembarangan karena ia mampu menyadarkan seseorang dalam membangun
karir.
4. Individu
dan kelompok
Seseorang
sejak kecil bisa dipastikan dididik untuk memiliki cita-cita atau karya yang
akan dibuat ketika sudah dewasa. Di dalam perbincangan komunitas teater,
cita-cita ini tidak saja terhubung langsung dengan individu tetapi juga
kelompok. Artinya, seseorang yang terlibat dan suntuk dalam teater secara
berkelompok bisa dipastikan memiliki visi bagi kelompoknya. Bahkan, sering
sekali, visi kelompok ini mengalahkan cita-cita personal. Hal ini terjadi juga
bukan karena kesadaran individu dalam memperjuangkan kelompoknya tetapi juga
karena narasi yang dikembangkan dalam kelompok memang seperti itu adanya.
Tidak
jarang kita jumpai antara kelompok teater satu dengan yang lain tidak bisa
sejalan atau tak akur dalam banyak hal sehingga anggota masing-masing kelompok
saling mengembangkan sentimen. Situasi atau kultur semacam ini tidak diketahui
dari mana asalnya, namun begitulah yang umum terjadi. Masing-masing kelompok
seolah membawa dan mempertahankan eksistensinya sebagai kelompok terbaik.
Kondisi ini melemahkan kebijaksanaan untuk apresiasi, karena hanya tampilan
kelompoknya yang dianggap paling baik. Setiap sajian kelompok lain, baik dalam
agenda produksi mandiri maupun dalam ajang lomba dan festival dapat dipastikan
mendapatkan kritikan pedas. Seseorang dari kelompok satu datang menyaksikan
pertunjukan bukan untuk meresapi sajian lakon melainkan untuk mencari-cari
kesalahan atau kekurangan dari tampilan kelompok lain. Budaya menonton
pertunjukan berubah menjadi budaya menghakimi pertunjukan. Sebaliknya, bagi
anggota kelompok yang hadir menyaksikan pertunjukan dari kelompoknya sendiri
akan serta-merta memberikan puja-puji subjektif. Dalam kondisi semacam ini,
pertunjukan teater jadi berlangsung secara tidak sehat.
Perjuangan
kelompok dalam banyak komunitas teater yang mengalahkan visi pribadi semacam
ini bisa jadi dibentuk sejak awal. Pada mulanya berjalan dengan baik karena
memang teater membutuhkan kerja kelompok dan kekompakkan yang konsisten. Namun,
seringkali penanaman pentingnya kerja kelompok ini berubah jadi indoktrinasi
chauvinistik. Jika sudah demikian, maka teater bukan lagi kelompok kolaboratif
melainkan instrumen penundukan. Setiap anggota harus tunduk pada kelompok atau
pada pimpinannya dengan hanya memiliki sedikit peluang untuk mengemukankan
gagasan. Dilihat dari jauh, kelompok ini sebenarnya telah menjadi peternakan
robot.
Sementara
itu, dalam kacamata yang lebih profesional, teater merupakan wadah ekspresi
bersama yang di dalamnya berisi banyak gagasan, talenta, skill yang
dikelola demi pencapaian komunal. Artinya, meskipun tujuan dari sebuah produksi
atau karya adalah tujuan kelompok, namun kemerdekaan pribadi dalam
mengembangkan kemampuan sesuai bidangnya mendapatkan tempat yang layak. Dalam
hal ini, kelompok teater merupakan kumpulan individu yang berkompeten di bidang
masing-masing. Oleh karenanya masing-masing individu dalam kelompok saling
mengapresiasi skill yang dimiliki. Sikap saling menghargai antarindividu
dalam kelompok yang dimiliki pada akhirnya dapat dikembangkan dalam bentuk
penghargaan antarkelompok. Artinya, sentimen antara kelompok satu dan kelompok
lain tidak perlu ada. Karena selain tidak berguna bagi pengembangan dan
pendewasaan teater juga hal itu merupakan bentuk penanaman budaya katak dalam
tempurung yang akan melahirkan manusia berkacamata kuda.
Hirarki
dalam kelompok teater, bahkan yang profesional, memang tidak bisa dihindari.
Namun menempatkan orang sebagai dewa yang (seolah) tahu dan menguasai segalanya adalah tidak
bijaksana. Hirarki dalam teater profesional diformat dalam tuntutan kerja,
keahlian, wewenang serta tanggung jawab yang dimiliki. Sutradara memiliki wewenang
untuk melatih aktor namun ia juga bertanggung jawab atas kualitas penampilan
ensembel aktor atas arahannya tersebut. Aktor memiliki kebebasan untuk
berekspresi sesuai interpretasinya namun ia harus tunduk pada rambu-rambu yang
diberikan sutradara. Produser berhak menentukan konsep produksi, namun dalam
pelaksanaannya ia harus percaya dan menyerahkan pekerjaan pada bidang produksi
dan artistik. Dengan tata kelola profesional yang menghargai setiap keahlian,
maka tidak akan ada dewa di antara mereka meskipun sistem hirarki kerja
terbentuk. Jika setiap kelompok bisa mengembangkan budaya saling menghargai,
seperti yang berlangsung pada produksi teater profesioal, niscaya pengembangan
kemampuan individu dapat berjalan dengan baik, dan pada akhirnya akan
mengangkat eksistensi kelompok.
5. Ritual
dan pertunjukan
Teater
di dalam masyarat sering berlangsung di antara ritual dan pertunjukan. Diskusi
yang terjadi dalam komunitas sering menyampaikan kelit-kelindan persoalan ini.
Bukan saja persoalan keterlibatan teater dalam sebuat ritual tetapi juga ritual
umum yang dilakukan dalam proses berteater. Keterlibatan teater di dalam ritual
seringkali menyeret komunitas teater panggung untuk ikut mendampingi proses.
Artinya, makna teater dalam ritual seringkali diarahkan untuk mendapatkan
sentuhan artistik teater panggung baik dalam bentuk rias-busana maupun laku
teatrikal yang ada. Padahal sesungguhnya laku teatrikal dalam ritual dapat
dilakukan oleh anggota masyarakat karena memang bukan pertunjukan terpisah yang
memerlukan sentuhan seni dalam arti estetika. Di sini, teater yang tampil
tunduk pada batasan dan tata cara ritual yang ada.
Namun,
dengan keterlibatan insan teater, tampilan laku teatrikal dalam ritual tersebut
dapat berbeda. Selama tidak menabrak batasan dan tata cara ritual tentunya
tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi, akibat tak langsungnya seringkali hal
ini oleh pelaku teater yang terlibat dalam ritual dianggap sebagai sebuah
produksi dan dicatat sebagai karya. Padahal jelas sangat aneh jika ada klaim
personal dalam produk kebudayaan berupa ritual. Lagi pula, tata cara ritual
bukanlah tata cara produksi sebuah pementasan. Segala hal yang ada di dalamnya
berbeda dengan seni pertunjukan teater.
Sementara
itu dalam proses produksi teater seringkali pula berjalan ritual-ritual
tertentu yang dilakukan sebagai warisan pendahulu. Tidak jarang ritual ini
dilakukan dengan tanpa memahami mengapa hal itu mesti dilakukan. Namun
demikian, dalam setiap perbincangan, ritual ini seolah menjadi hal pokok yang
harus dibicarakan. Salah satu ritual yang mungkin masih berlangsung saat ini
adalah “prep” atau persiapan di mana semua anggota teater duduk melingkar,
bergandengan tangan, mengatur nafas sesuai arahan, mengarahkan imajinasi dan
pikiran sesuai instruksi hingga diakhiri dengan do’a dan meneriakkan yel
tertentu.
Makna
dari ritual “prep” ini mungkin dipahami oleh semua pelaku teater untuk menyiapkan
mental pemain sebelum pementasan. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah
tata caranya. Apakah tata caranya mesti duduk bersila melingkar, mengatur
nafas, bergandengan tangan, dan seterusnya? Jika memang tata caranya seperti
itu apakah ada penjelasan ilmiahnya? Juga, mengapa semua pemain dengan peran
yang berbeda-beda mendapatkan ritual persiapan yang sama? Apakah ketidaksiapan
mental pemain satu dengan yang lain juga sama sehingga perlu mendapatkan
kegiatan persiapan yang sama? Masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan
untuk ritual “prep” ini. Namun yang menjadi pokok persoalan adalah latar
pemikiran atau alasan ilmiah dilakukannya ritual “prep’ tersebut. Hal ini
penting artinya karena banyak kelompok teater pemula yang hanya sekedar meniru
sebuah proses, bahkan menetapkannya, tanpa mengerti secara komprehensif.
Teater
dan terutama seni peran memang bergelimang dengan hal-hal mistis yang cenderung
menjadi ritual tetapi kurang bisa dijelaskan secara logis. Seperti latihan olah
suara dengan berendam di air dan dilakukan malam hari (kungkum) atau bersemadi
di tempat yang sepi. Tentu saja tidak bisa begitu saja dikatakan keliru latihan
semacam ini, namun penjelasan logis atas manfaatnya, pengaruhnya pada tubuh,
pikiran, dan kejiwaan serta aktualisasi penerapan atas latihan-latihan tersebut
dalam pemeranan perlu mendapatkan perhatian. Seni peran bukanlah seni yang
mistis. Pesona dan persona pemain bisa didapatkan melalui serangkaian latihan
dan disiplin ketat yang semuanya dapat dijelaskan scara logis. Oleh karena itu,
ritual apapun yang mesti dilakoni dalam teater semestinya dapat dilogikakan
sehingga tidak dilakukan secara mengawang atau sekedar meniru tanpa pemahaman
komprehensif.
6. Manajemen
produksi dan tanggapan
Manajemen
dalam teater secara umum dapat dibedakan menjadi manajemen lembaga dan manajemen
produksi. Dalam manajemen lembaga yang diatur adalah sumber daya manusia,
pendanaan, dan program tahunan yang akan dikerjakan. Sementara manajemen
produksi merupakan tata kelola khusus ketika sebuah kelompok teater hendak
berproduksi – mementaskan karya. Di dalam tata kelola pementasan karya,
kelompok teater modern umumnya menggunakan pendekatan manajemen produksi
sedangkan kelompok teater tradisional menggunakan pendekatan tanggapan. Terdapat
perbedaan mendasar antara produksi dan tanggapan utamanya dalam ketersediaan
dana pementasan.
Dalam manajemen tanggapan,
seorang atau sebuah lembaga penanggap membiayai seluruh pendanaan pementasan.
Kelompok teater tinggal datang dan tampil pada saat yang telah ditentukan. Oleh
karena dana yang dibutuhkan sudah tersedia, maka dapat dikatakan separoh dari
tugas keproduksian sudah selesai. Belum lagi, jika penanggap telah menyiapkan
tempat pementasan, lighting, sound, dan beberapa perlengkapan yang diperlukan.
Kelompok yang ditanggap seolah tinggal menata artistik sesuai keperluannya dan
langsung menggelar pementasan.
Perjalanan
pementasan teater tradisional dengan budaya tanggapan sampai dewasa ini masih
banyak ditemui. Untuk menegakkan sistem tanggapan ini, sebuah kelompok mesti
memiliki produk berkualitas yang mampu memikat penonton. Dengan modal ini,
kelompok teater tradisional dapat menjajakan karyanya kepada para penanggap.
Seiring perjalanan waktu, bersamaan dengan diterimanya karya tersebut di tengah
khalayak, maka tanggapan pun datang silih berganti. Ketika hal ini terjadi,
maka kelompok tersebut sudah memahami betul apa yang mesti dilakukan mulai dari
datangnya order, pementasan, hingga pasca pentasnya. Budaya manajemen tanggapan ini kemudian
menjadi andalan.
Namun demikian, budaya manajamen
tanggapan tidak bisa disamakan dengan manajemen produksi. Pada kelompok teater
modern, menggelar sebuah pementasan merupakan kerja besar. Hal ini dikarenakan
mereka mesti membuat produk baru yang tentu saja belum dikenal luas oleh
khalayak. Untuk itu diperlukan serangkaian proses panjang dan tidak ringan.
Tidak hanya soal artistik pementasan yang perlu digarap dalam proses tersebut, namun
juga pertimbangan bentuk dan gaya produk (apa yang mau dipentaskan) serta
faktor pembiayaan yang butuh kecermatan.
Kecermatan perencanaan adalah keniscayaan. Tanpa perencanaan yang baik,
maka produk yang dihasilkan pun kurang maksimal. Banyak pengalaman menunjukkan
bahwa kelompok teater mampu mementaskan karya dengan pendekatan manajemen
produksi namun gagal menemukan titik kualitas di mana produk yang dihasilkan
mampu menarik minat khalayak dan tidak menimbulkan kerugian secara finansial.
Bahkan terkadang kualitas karya juga sedikit banyak dikorbankan demi mengejar
tenggat waktu pementasan.
Pengalaman buruk manajemen
produksi semacam itu mestinya dapat dijadikan pembelajaran bersama untu
dievaluasi dan dicari jalan keluar atas kendala-kendala yang dihadapi. Akan
tetapi, dalam perbincangan di komunitas kadang-kadang kegagalan manajemen
produksi semacam ini justru menjadi cerita kebanggaan karena keberanian pekarya
dalam berproduksi sehingga perjuangannya patut untuk diapresiasi. Dari sisi
keberanian menempuh risiko memang patut dihargai tinggi, namun jika pengalaman
satu tidak menjadikan pengalaman berikutnya lebih baik, maka keberanian
menempuh risiko itu menjadi kekonyolan. Anehnya, kekonyolan ini seringkali
dirayakan, bahkan dianggap sebagai bentuk perjuangan tanpa pamrih atas
kesenian.
Problematika kegagalan yang
membudaya dan menjadi ikon perjuangan kesenian dalam manajemen produksi rupanya
juga terjadi dalam manajemen tanggapan. Banyak pelaku teater, utamanya aktor,
yang tidak pernah memiliki patokan bayaran sekaligus hanya menunggu order
tanggapan. Di dalam perbincangan, hal semacam ini juga menjadi ikon tersendiri
atas beratnya perjuangan seorang seniman. Hal ini terkadang masih ditambah
dengan budaya tertutup pimpinan grup yang mana tidak pernah membuka seluruh
biaya diterima dan biaya dikeluarkan. Anehnya pula, para anggota tidak protes
namun tidak sepenuhya menerima. Mereka hanya kasak-kusuk di belakang namun sama
sekali tak miliki daya dan posisi tawar.
Problem manajemen baik
tanggapan maupun produksi jarang sekali menjadi topik utama dalam perbincangan
antarkomunitas, kecuali dalam dialog-dialog formal yang diadakan secara khusus
dengan tema manajemen seni. Hal ini menandakan bahwa manajemen dianggap sebagai
hal lain di luar kesenimanan. Padahal, karya seni seorang seniman akan dapat
dipasarkan serta mampu bertahan lama dengan manajemen yang baik. Kualitas
fungsi manajemen ini akan menjadi satu pemahaman atau mindset jika biasa hadir
dalam perbincangan-perbincangan, seolah sebagai aktivitas seni harian
sebagaimana yang biasa dilakoni oleh seniman.
7. Pencapaian
pribadi dan kerja kelompok
Keberhasilan
pencapaian pribadi sering berakhir dengan meremehkan orang lain. Menganggap
semua orang kurang piawai dan oleh karena itu kehendaknya mesti dipenuhi. Hal
semacam ini sering dijumpai saat perbincangan dalam atau antarkomunitas.
Seseorang seringkali tampil dan menceritakan capaian pribadinya dalam sebuah
perbincangan, umumnya apa-apa yang ia anggap sukses di masa lalu (sudah
terjadi). Kemungkinan maksudnya untuk memberikan motivasi, namun seringkali
justru terjebak pada keinginan untuk diakui. Nah, ketika keinginan ini mencapai
tujuan di mana orang tersebut mendapat pengakuan, maka keakuan tiba-tiba muncul
dan umumnya setelah itu bertahan sangat lama. Artinya, orang tersebut kemudian
lebih mengedepankan aku-nya ketimbang capaian kualitatif yang pernah diraihnya.
Akhirnya, ukuran capaian ini seolah menjadi tetap, padahal secara kualitatif
capaian-capaian dalam bidang pekerjaan selalu akan berubah tolak ukurnya.
Ketika
perbincangan sudah sampai pada kondisi seperti ini, maka yang terjadi kemudian,
dalam jangka waktu tertentu jika tidak berubah, kultus individu itu muncul,
ikhlas ataupun tidak. Kultus ini menempatkan orang tersebut menjadi patokan
kualitas atas segala hal yang berhubungan dengan teater. Bagi kelompok atau
komunitas, orang ini kemudian menjadi sumber pengetahuan. Sementara bagi orang
tersebut, capaian pribadinya hingga menjadi kultus mengantarkannya pada tingkat
tertinggi di mana orang lain selalu berada di bawahnya. Riuh-rendah
perbincangan kemudian selalu akan dikonfirmasikan pada orang tersebut sebagai
sumber keunggulan. Atas posisi yang semacam ini dan demi mempertahankan sebagai
yang serba unggul, maka tidak aneh kemudian ketika penilaiannya pada capaian
orang lain selalu rendah. Ya, orang tersebut dengan mudah tergelincir untuk
merendahkan usaha dan capaian orang lain demi menjaga posisinya tetap berada di
atas.
Dalam
perjalanannya, kultus semacam ini akan melahirkan gap-gap dalam kelompok. Gap
terjadi antara kelompok yang selalu percaya pada orang tersebut dan yang mulai
meragukannya. Umumnya kelompok yang mulai ragu ini adalah kelompok yang mau
membuka diri dan berusaha untuk mencoba hal-hal baru. Dengan membuka diri, maka
patokan kualitas atau nilai-nilai baru dapat dipastikan akan muncul. Dengan
membuka diri, maka berbagai macam jenis pertunjukan teater dapat disaksikan,
diapresiasi, dan dijadikan study. Sementara orang yang telah dikultuskan
tadi, merasa nyaman di satu tempat, sehingga kurang atau bahkan sama sekali
tidak membuka diri terhadap hal-hal baru. Atau, orang tersebut cenderung
menolak kebaruan di mana banyak hal yang tak dikuasainya, baik secara
pengetahuan maupun pengalaman. Hal ini dapat membahayakan bagi kedudukan
dirinya. Dalam suasana yang demikian, perbincangan antarkomunitas kemudian
menjadi kurang sehat dan itu semua bermula dari pencapaian pribadi seseorang di
masa lalu yang terlalu diunggul-unggulkan.
Sementara
itu, jika dipahami secara mendalam, pencapain pribadi seseorang dalam teater
dapat terjadi karena adanya kerja kelompok. Teater sebagai seni kolaboratif,
memang mensyaratkan adanya kerja bersama antarbidang untuk mencapai kualitas
produksi yang baik. Dengan demikian, tidak akan pernah ada capaian pribadi
murni yang mana hanya orang tersebut saja yang berjuang secara mandiri dalam
segala hal untuk mencapai kesuksesan. Ketika seseorang yang dianggap paling
unggul dalam satu komunitas memahami hal ini, maka kultus yang dialamatkan bisa
diubah secara bijaksana menjadi semacam sumber belajar bersama. Artinya, orang
tersebut tidak begitu saja menerima keunggulan diri atas capaian masa lalu,
melainkan memahaminya sebagai sebuah hasil akibat adanya kerja bersama dalam
kelompok. Oleh karena itulah, keunggulan pribadi yang dicapai dapat dijadikan
pemicu semangat untuk terus melanggengkan kerja kelompok dalam teater. Dengan
demikian, maka sangat dimungkinkan munculnya pribadi-pribadi unggul dalam
bidangnya ketika kerja kelompok diteguhkan. Selain itu, perbincangan
antarkelompok pun menjadi sehat karena selalu diselimuti dengan semangat
belajar bersama.
8. Teknik
akting
Teknik
akting yang secara harfiah dipahami sebagai cara seseorang dalam
mengekspresikan watak peran selalu tidak pernah luput dari perbincangan.
Acapkali selepas pementasan, para aktor sering mengulas hal-ihwal teknik ini
dengan cara mereka masing-masing. Ada yang membahas tentang ketepatan waktu
berbicara dan gerak yang ditandai isyarat (cue) tertentu. Ada yang
menyoal aksi-reaksi atau responsi yang dilakukan. Ada yang mengaitkan laku
ekspresi dengan iringan musik atau unsur artistik lainnya. Ada pula yang
membahas soal teknik ini dikaitkan dengan apa-apa yang telah dilatihkan dan
tidak diperagakan sebagaimana mestinya dalam pementasan. Namun, juga umum
ditemui, bahwa soal teknik berperan ini dalam perbincangan antaraktor tidak
pernah secara gamblang disebut sebagai teknik. Artinya, segala apa yang dibahas
adalah teknik namun tidak menyebut bahwa itu teknik melainkan laku aksi saja.
Ketika
tema perbincangan ini kemudian dipahamkan sebagai teknik, maka kemudian akan
terdapat aneka rupa respons. Ada yang menanggapinya sebagai teknik yang memang
dilatihkan. Ada yang menanggapinya sebagai teknik yang serta merta timbul
sebagai akibat dari laku peran yang dimainkan. Ada yang tidak tahu kalau itu
teknik karena berperan baginya adalah total penuh penjiwaan dan bukan perkara
teknik. Ada pula yang begitu tahu bahwa hal-hal itu merupakan teknik pemeranan
kemudian mengarang cerita bahwa memang ia melakukan latihan-latihan teknik
tersebut. Dari keanekarupaan respons sebenarnya dapat diketahui bahwa
perbincangan tentang teknik pemeranan secara khusus tidak atau masih jarang
terjadi selain apa dan bagaimana bermain peran yang baik secara umum. Apa dan
bagaimana ini tolak ukurnya adalah pengalaman masing-masing individu dalam
bermain dan sambutan penonton atasnya.
Teknik-teknik
pemeranan akan muncul secara otomatis dalam perbincangan ketika memang telah
dilatihkan secara suntuk selama proses produksi. Dalam perbincangan selepas
pentas teater tradisional, para pemain bisa saling mendebat dalam perbincangan
yang seru terkait teknik laga baik pasangan maupun kelompok yang dimainkan. Hal
ini terjadi karena teknik laga untuk adegan peperangan itu memang dilatihkan
sehingga semua pemeran yang terlibat akan membicarakannya begitu pementasan
usai. Mereka bisa saling mengapresiasi, mengevaluasi atau sekedar saling
membenarkan dan menyalahkan yang tak menyakitkan. Namun demikian, mereka tidak
akan atau jarang memperbincangkan mengenai teknik-teknik lain yang tak mereka
ketahui karena memang tidak dilatihkan.
Dari
pengalaman perbincangan yang ada, memang umumnya apa-apa yang dapat
dikatagorikan sebagai teknik pemeranan memang seringkali tidak dianggap sebagai
teknik. Seluruh kewajiban pemeran atau yang menjadi tugas pemeran dalam bermain
peran disebut sebagai upaya penghayatan peran yang dilakukan. Oleh karena itu,
perbincangan pemeranan selepas pentas umumnya memang hanya membicarakan hasil
dan bukan proses menuju hasil yang mana teknik pemeranan berada di dalamnya.
Dalam perjalanan prodduksi mungkin hal ini tidak terlalu berpengaruh karena
memang yang disaksikan penonton adalah hasil. Namun, bagi keberlangsungan
teater itu sendiri, dalam konteks kebertahanan kualitas permainan, hal ini
menjadi sangat penting. Evaluasi penampilan pemain di atas pentas dapat
ditelusur dari teknik-teknik yang dilatihkan, dipahami dan diterapkan. Ketika
proses pelatihan, pemahaman, dan penerapan ini dilakukan secara sungguh-sungguh
dan berterusan, maka teknik itu akan menubuh dengan penuh kesadaran. Artinya,
seorang pemeran memahami bahwa ia memiliki teknik tersebut dalam dirinya dan
dapat menjelaskan.
Sementara
itu yang seringkali terjadi, mungkin karena pesona, penubuhan teknik itu tak
tersadari. Seolah semua itu ada dan muncul dengan sendirinya ketika seorang
aktor memainkan peran. Akibat dari kondisi ini adalah berkukuhnya teori bakat,
di mana seorang aktor yang berperan dengan baik itu karena memiliki bakat.
Untuk itu, aktor yang kurang berbakat tidak akan pernah bisa menyamainya.
Akibat berikutnya, aktor yang berperan dengan baik karena teknik pemeranannya
tersebut tidak dapat memberikan penjelasan secara gamblang pada aktor lainnya
mengenai teknik yang dimiliki dan bagaimana cara melatihkannya. Oleh karena
itulah jalan satu-satunya bagi aktor lain untuk mempelajari hanya dengan
menirukannya.
Sistem
tiru meniru dalam berlatih teknik pemeranan semacam ini dengan demikian menjadi
acuan. Jadi tidaklah mengherankan, dalam perjalanan teater tradisional. ketika
seorang calon aktor hendak belajar pemeranan dia mesti mengikuti kemanapun
aktor yang berkualitas baik itu berpentas. Semakin sering ia menyaksikan
pertunjukan aktor tersebut, maka semakin banyaklah pengetahuan yang ia miliki
tentang teknik pemeranan. Itulah satu-satuya jalan terbaik untuk mempelajari
teknik pemeranan. Dan ketika pada akhirnya calon aktor ini kemudian menjadi
aktor berkualitas, hal sama akan ia sarankan pada calon aktor berikutnya.
Kondisi
tiru meniru dalam pelatihan teknik seni peran sebenarnya tidak perlu terjadi
dan menjadi satu-satunya acuan ketika para aktor mau berupaya membongkar atau
melacak teknik yang ia miliki secara seksama. Dengan pelacakan ini diharapkan
muncul data-data berupa pengalaman proses berlatih teknik tertentu. Pengalaman
proses ini kemudian dapat diformulasikan menjadi prosedur latihan yang mesti
dilakukan untuk mencapai teknik tertentu. Karena sifatnya teknik, maka
pengembangan atau penyesuaian sangat bergantung dari aktor yang mempelajarinya.
Artinya prosedur latihan teknik merupakan jalan yang mesti ditempuh tanpa perlu
membatasi gaya berjalan masing-masing orang. Karena latihan teknik hanya menyediakan
jalan, maka kemungkinan tiru meniru dapat dikurangi. Malah bisa dimungkinkan
dari proses pembelajaran semacam ini, akan memunculkan teknik baru untuk
dipelajari, demikian seterusnya. Ketika latihan teknik pemeranan menjadi bagian
integral dalam proses produksi teater, maka perbincangan mengenai teknik
pemeranan selepas pentas pasti dengan sendirinya akan terjadi.
9. Proses
Produksi
Perjalanan
produksi antara kelompok teater satu dengan yang lain tentunya berbeda.
Prosedur atau langkah untuk menjalankan produksi bisa jadi sama, namun
strateginya berbeda. Dalam perbincangan, proses produksi ini seringkali
mewarnai, utamanya soal latihan-latihan dan kendala-kendala selama proses. Dari
semua soal produksi, umumnya yang menyeruak adalah soal tenggat waktu yang
ditentukan dan ketersediaan dana. Kedua hal ini berkait erat dengan produk yang
dihasilkan. Ketersediaan waktu yang kurang untuk latihan akan berpengaruh pada
kualitas permainan. Sementara kekurangan pendanaan akan banyak berpengaruh pada
dukungan artistik pementasan.
Hal-hal
semacam itu sebenarnya tidak akan terjadi ketika strategi produksi diterapkan.
Penentuan waktu yang terkait dengan kemampuan pemain semestinya bisa dijadikan
acuan untuk menentukan jenis produk. Artinya, tim produksi harus menyadari
modal sumber daya manusia yang dimiliki sehingga tidak terlalu berlebihan dalam
menentukan tingkat kesulitan karya yang akan diproduksi. Demikian halnya dengan
ketersediaan dana yang ada, maka dapat ditentukan konsep artistik yang tepat
untuk mendukung pementasan. Namun demikian, menentukan jenis produk dan
dukungan artistik bukan perkara mudah. Bagi kelompok teater profesional yang
memiliki pengalaman produksi cukup lama, penentuan jenis produk dengan
kebutuhan waktu dan perkiraan dana sudah tersistem dengan baik. Akan tetapi berbeda
tentunya dengan teater komunitas yang belum tentu memiliki program produksi
tahunan. Mereka cenderung akan berpikir
terpisah antara produk (karya) yang ingin ditampilkan dengan kerja pengelolaan
produksinya. Artinya, fokus utamanya adalah pada pertunjukan yang ingin
ditampilkan. Di sini, peran imajinasi terlalu kuat dan seringkali tak sebanding
dengan kenyataan. Meski begitu, dari sinilah kelompok teater profesional
belajar mengenai strategi produksi.
Strategi
mencari dan mengelola dana untuk menjaga kualitas artistik pementasan merupakan
satu hal yang sangat penting. Seringkali dalam perbicangan ditemui bahwa
strategi produksi kurang dipahami dengan baik sehingga proses perjalanan
pementasan banyak tersendat. Umum didapati terjadinya pembengkakan anggaran
dalam beberapa seksi. Atau
kesalahan-kesalahan perencanaan (perkiraan). Pada titik ini, kelompok teater
sering tidak menyiapkan rencana cadangan. Prosedur kerja dilakukan sebagaimana
semestinya dan tidak mempertimbangkan perkembangan yang ada dan dialami.
Bahkan, dalam beberapa komunitas ketika pimpinan menyatakan bahwa apapun yang
terjadi, karya tetap harus dipentaskan sesuai konsep yang sudah dirancang.
Mungkin hal ini dianggap sebagai idealisme, namun dalam kacamata produksi
kondisi ini bisa saja merugikan semua orang yang terlibat.
Ketetapan
untuk tidak menyesuaikan diri terhadap perkembangan yang dijumpai selama proses
memaksa semua orang untuk bekerja keras. Bahkan, seringkali terdengar, ada
anggota produksi yang terpaksa berhutang, menjual barang milik pribadi, dan
atau pengorbanan lain yang tak semestinya terjadi. Jika dapat mengubah
pengalaman semacam ini menjadi pembelajaran adalah hal yang baik dan pasti akan
melahirkan strategi dalam berproduksi. Namun, banyak pula kelompok teater yang
tidak bisa mengambil pelajaran dari hal ini sehingga kondisi merugikan akan
berjalan seiring produksi karya dilakukan.
Proses
menemukan strategi produksi yang khas yang memerlukan banyak pengorbanan ini
tidak ketika pada akhirnya berhasil tidak serta-merta bisa dijadikan
pembelajaran bersama antarkomunitas. Dalam pengalaman perjalanan produksi
teater komunitas, tidak jarang ditemui komunitas teater yang telah memiliki
strategi produksi yang baik tidak mau membagi kiatnya. Bahkan, dalam konteks
penggalangan dana, mereka menutup jalan menuju sumber dana tersebut. Akan
tetapi, tetap ada juga kelompok teater, bahkan yang profesional yang mau
memberikan pengetahuan mengenai strategi produksi. Dengan diapahaminya strategi
produksi, maka kelompok teater akan memiliki pertimbangan dalam memproduksi
karya terkait ketersediaan waktu, sumber daya manusia, dan sumber dana yang
dimiliki. Dalam konteks produksi, karya yang baik adalah karya yang mampu
menjumpai penikmatnya dan tidak meleset dari hitung-hitungan matematis modal
dan pendapatan.
10. Pengalaman-pengalaman
Perbincangan teater selepas
pementasan, dalam perhelatan produkis, festival atau pertemuan informal sering
membuncahkan pengalaman-pengalaman pelaku dalam berteater. Hal ini bahkan
seolah telah mentradisi. Banyak pelaku teater muda yang belajar dari
pengalaman-pengalaman para senior yang disampaikan atau tersiarkan dalam
pertemuan baik langsung atau tidak. Perbincangan dalam kumpulan ini menjadi
ajang sekolah tak resmi. Dari uraian pengalaman-pengalaman inilah muncul
pemahaman dan pada akhirnya pembelajaran laku berteater. Namun, dari sini
pulalah muncul pengaruh nama besar, bentuk-bentuk latihan, gagasan-gagasan aneh
dan hal-hal lain terkait pengalaman yang tidak benar-benar seperti diceritakan
tetapi dipercayai.
Dalam perjalanan karir seorang
pelaku teater di kota tertentu, ikut atau sering terlibat dalam perbincangan yang
menguak pengalaman ini menjadi penentu popularitas. Artinya, kumpulan
perbincangan ini kemudian menjadi semacam komunitas yang menjadikan outsider
(orang yang berada di luar mereka) tak layak untuk dipertimbangkan. Pada
waktunya, kumpulan ini menjadi kelas tersendiri. Bahkan pelaku teater yang
paling dipercaya, biasanya senior, kemudian seolah dapat menentukan segalanya. Maka
berikutnya, hanya orang-orang di lingkaran inilah yang beredar di panggung,
koran, atau media lain karena atas jasa si senior terpercaya tersebut. Pada
titik ini, kumpulan sebenarnya sudah tak lagi sehat karena akan meninggikan
seseorang (kelompok) dan merendahkan orang (kelompok) lain. Dan, situasi absurd
kemudian akan tercipta di mana tidak sedikit yang merasa tak lagi mendapat manfaat
dari kumpulan perbincangan ini namun tak kuasa meninggalkannya dengan alasan
yang sama sekali tidak diketahui. Atau, lebih parah lagi, mulai menjangkitnya
masokisme diri di mana seseorang yang didudukkan sebagai pekerja teater
kualitas rendahan, secara terus-menerus, namun menikmatinya dengan harapan satu
saat ia mendapatkan anugrah dari sang senior, berupa kesempatan berkarya yang
membuat kedudukannya lebih tinggi. Intinya, dalam kumpulan ini, pembelajaran
telah lama absen namun selalu dianggap hadir.
Akan tetapi, tidak semua sifat
kumpulan akan seperti itu. Tidak semua pengalaman yang tumpah-ruah dalam
perbincangan menjadi panduan pokok dan orangnya menjadi panutan utama. Dalam
perbincangan mengenai pengalaman-pengalaman, banyak hal yang bisa menjadi
pembelajaran bersama di mana pengalaman seseorang bertemu dengan pengalaman
orang lain dalam peristiwa atau kasus yang hampir sama namun resolusi berbeda.
Kumpulan perbincangan semacam ini menjadi sangat menarik dan positif karena
masing-masing menempatkan diri dan ditempatkan secara egaliter. Biasanya,
kumpulan semacam ini diinisiasi oleh anak-anak muda yang punya semangat belajar dan tumbuh bersama.
Hal yang paling menyenangkan adalah ketika pada akhirnya pengalaman-pengalaman
yang diungkapkan disandingkan dengan bacaan. Artinya, apa yang telah dilakukan
dapat dikoneksikan dengan catatan-catatan teater yang pernah ada. Selain
sebagai rujukan dan juga perbandingan, catatan-catatan menjadi penting artinya
agar pengalaman-pengalaman yang diceritakan memang benar dilakukan dan
memerlukan konfirmasi agar menjadi pembelajaran. Dengan adanya cataan
bandingan, pengalaman yang dibicangkan tidak akan liar hingga sampai pada upaya
pembentukan mitos diri seseorang. Dengan adanya upaya untuk mempelajari catatan
dan pengalaman secara bersama, maka sintesis yang dijalin akan segera
menelorkan tesis-tesis baru dalam laku taeter.
Membincangkan pengalaman,
dalam konteks pembelajaran, merupakan satu hal penting dalam kesenian. Zaman
sebelum institusi pendidikan seni berdiri, belajar melalui pengalaman oran lain
mesti dilakukan. Dengan model belajar semacam ini, seseorang akan mendapatkan
pengalaman praksis yang bisa segera dicobakan dalam perjalanan laku seninya.
Namun demikian, dalam kehidupan berkesenian dewasa ini, termasuk teater, membincangkan
pengalaman seseorang sebagai bahan belajar hanyalah meruapkan salah satu cara
belajar dan bukan satu-satunya. Kondisi ini semestinya dipahami sehingga semua
kemungkinan untuk belajar itu dapat dibuka, dan dipilih untuk dimasuki. Zaman
sekarang ini, banyak pengalaman bertebaran di media-media yang dapat ditonton
gratis dan bahkan sekaligus dapat dicari pembandingnya dengan mudah. Oleh
karena itu, pertemuan dalam kumpulan yang biasanya menumpahkan pengalaman itu
dapat pula digunakan untuk berbagi pengamalan melihat dan mempelajari hal-hal
baru yang berserakan di berbagai media. Karena tidak semua orang memiliki
pengalaman melihat dan belajar yang sama melalui media, maka siapa saja bisa
menumpahkan pengalamannya sehingga semua merasa sama.
11. Kelompok-kelompok
Menarik
mengamati perbincangan seputar teater ketika sebuah acara atau produksi
selesai. Umumnya, perbincangan bermula pada hal-hal di luar teater seperti
basa-basi bertanya kabar dan perkara personal lainnya. Namun seiring waktu,
perbincangan mulai menyoal produksi yang baru saja disaksikan dari berbagai
macam sudut pandang. Pada saat ini segala hal yang berkaitan dengan artistik
dibicarakan, secara umum. Akan tetapi, tidak menunggu waktu lama, perbicangan
kemudian mengerucut ke artistik secara khusus hingga sampai pada kelompok
penyaji. Sampai di sini, perbincangan mulai serius namun menyasar kemana-mana
termasuk eksistensi kelompok, pengakuan, pandangan, dan penilaian.
Saat
di mana mulai membincangkan kelompok dan penilaian ini menandakan saat di mana
kumpulan perbincangan tersebut akan terbagi dalam kelompok-kelompok yang
memiliki lingkaran sendiri seara otomatis. Ada keengganan, ada kesenjangan, ada
kejengahan, namun ada pula ikatan yang membuat perbincangan tak segera usai
namun berubah menjadi kelompok-kelompok. Artinya, pada saat itu ada poin
perbincangan yang sebenarnya tidak disepakati bersama namun tak terelakkan.
Poin-poin itu meluncur begitu saja dan para penolak tidak menyatakan secara
langsung ketakbersetujuannya melainkan bergeser pelan-pelan untuk membentuk
kelompok perbincangan sendiri dengan poin yang berbeda.
Hal
ini sangat menarik untuk diamati. Dan jika masing-masing kelompok diikuti, maka
perbincangan akan menjadi riuh. Pada dasarnya, banyak gagasan, model, dan
penilaian yang berbeda-beda antara kelompok satu dengan yang lain perihal seni
teater. Meskipun dalam kelompok-kelompok tersebut terkadang muncul sentimen,
namun tidak sampai menumbangkan rasa suka bersama akan teater. Terbentuknya
kelompok-kelompok dalam perbincangan adalah dinamika yang menyenangkan.
Masing-masing memilki pengalaman sendiri yang hendak ditumpahkan dan dibagikan
kepada orang-orang tertentu. Masing-masing pengin memiliki peran sehingga
ketika ada seseorang yang mulai mendominasi, maka mulaialah kelompok kecil
terbentuk dan asyik sendiri dengan topik tertentu yang membuat mereka merasa
setara.
Dinamika
perbincangan antarkelompok merupakan kultur teater komunitas yang cukup kuat.
Perbincangan ini dapat melahirkan
hal-hal positif seperti gagasan perkembangan teater tetapi juga dapat
melahirkan sikap kompetitif antarkelompok. Namun jika ditelaah, sikap
kompetitif yang dibangun secara positif dalam arti sama-sama melahirkan karya
merupakan jalan baik bagi perkembangan teater itu sendiri. Kompetisi memang
diperlukan untuk saling mengasah kreativitas dan meningkatkan produktivitas.
Namun, orkestrasi juga perlu dibangun karena teater adalah seni kolaboratif
yang mana kerja bersama, tumbuh bersama dan berusaha bersama merupakan
keharusan. Lahirnya kelompok-kelompok kecil dalam sebuah perbincangan yang
sebelumnya merupakan kelompok besar, oleh karena itu perlu disikapi sebagai
bagian penting dari orkestrasi kehidupan berteater dalam menciptakan harmoni. Dengan
begitu, diharapkan karya-karya baru senantiasa muncul dan bersemi.
==()==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar