Kamis, 01 September 2016

Memberdayakan Seni Teater di Sekolah



Oleh: Eko Santosa


        Teater adalah salah satu cabang seni pertunjukan yang paling kompleks karena di dalamnya memuat beragam unsur seni yang dapat digunakan sebagai media ekspresi estetis dalam setiap karyanya. Dengan demikian secara alamiah teater membutuhkan proses kerjasama kolaboratif antaranasir yang terlibat di dalamnya. Karena begitu beragamnya unsur yang terlibat atau dapat dilibatkan, seni teater dapat ditinjau dan dipelajari dari bergaram sisi pula. Ada karya teater yang lebih mengedepankan unsur rupa, namun ada pula karya teater yang mengedepankan gerak, musik, kata-kata atau bahkan meramu semuanya ke dalam satu bentuk pertunjukan.
        Tingkat fleksibiltas yang tinggi dari seni teater ini memungkinkan seseorang untuk ikut terlibat dalam sebuah produksi teater bahkan tanpa perlu bisa bermain teater. Ia bisa bertugas sebagai pengisi ilustrasi musik, pembuat dekorasi, penata rias dan busana atau bahkan hanya dengan menjadi portir. Akan tetapi umumnya, seni teater hanya dipandang sebagai seni peran sehingga semua orang yang belajar teater berharap menjadi pemain teater lain tidak. Demikian pula dengan seni teater di sekolah utamanya dalam kegiatan ekstra kurikuler di mana pelatih lebih mengharapkan munculnya pemeran berkualitas baik daripada membangun proses kerja kolaboratif dalam berkarya. Keadaan ini merupakan cermin dari keberadaan seni teater yang hanya dipandang sebagai karya seni semata.
        Jika dipandang dari sisi pendidikan, seni teater sesungguhnya memiliki peran yang luar biasa utamanya dalam menanamkan nilai-nilai kepribadian. Jadi tidak hanya seni peran atau unsur seni lain tetapi mengelola kesemua unsur menjadi satu kesatuan itu membutuhkan kerjasama yang hebat di antara para pendukungnya. Dengan demikian bukan karya seni yang tersaji atau tergelar dengan baik dan estetis sesuai kaidah seni dan kesenimanan tetapi proses kerja bersama dalam menciptakan karya itulah yang penting dan perlu ditekankan dalam edukasi. Seni teater di sekolah sudah selayaknya dipandang sebagai seni teater pendidikan dan bukan semata pelatihan kemampuan berteater.


I.         Teater dan Kurikulum
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006 (Permendiknas 22 Th 2006 tentang Standar Isi), Seni teater merupakan salah satu aspek dari mata pelajaran Seni Budaya di sekolah. Aspek yang lain adalah Seni Rupa, Seni Musik, dan Seni Tari. Keempat aspek seni ini terkait dengan budaya karena muatan seni budaya sesuai PP no 19 Th 2005 tentang Standar Nasional Pedidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran namun meliputi segala aspek kehidupan.  Dengan demikian dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni.  Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya.
Berpijak dari peraturan tersebut di atas, maka seni teater yang dipelajari di sekolah adalah seni teater dengan latar belakang budaya tertentu. Untuk SMP dan SMA latar belakang budaya dimaksud adalah; latar budaya setempat (di mana sekolah berada), latar budaya daerah lain, latar budaya Nusantara, mancanegara Asia dan Non-Asia. Sedangkan untuk SMK latar belakang budaya tersebut tidak menunjuk lokal tertentu melainkan menekankan pentingnya konteks estetika teater dalam kehidupan (periksa Permendiknas 23 th 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran).
Secara khusus mata pelajaran Seni Budya dimasukkan ke dalam kelompok mata pelajaran estetika yang bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Menjadi jelas bahwa mata pelajaran Seni  Budaya aspek Seni Teater sesuai ketentuan kurikulum adalah mempelajari aspek budaya - suatu bangsa – melalui seni teater. Dengan demikian bukan karya teater an sich tetapi lebih kepada nilai budaya yang ada di dalam karya tersebut yang perlu digali dan dimunculkan sebagai bagian dari pembentukan nilai pribadi. Nilai-nilai tersebut digali melalui apresiasi dan ekspresi estetis. Melihat cita-cita luhur ini tentunya pelajaran Seni Budya aspek Seni Teater merupakan satu hal yang penting dalam konteks pendidikan karakter dan bukan hanya pelajaran yang mengedepankan kemampuan berolah teater semata. Bahkan dalam kaitannya dengan ekspresi, seni teater diharuskan menampilkan nilai moral dalam konteks kehidupan kemasyarakatan dan kekinian. Artinya, latar budaya yang digali, diresapi dan direkreasi ke dalam satu karya baru. Tidak penting seberapa hebat karya itu tetapi bagaimana nilai moral itu dikemas ke dalam bentuk karya estetis yang disebut teater.

II.       Teater dan Drama
Jauh sebelum secara eksplisit dicantumkan dalam kurikulum sekolah, seni teater telah diajarkan dalam kegiatan ekstrakurikuler sebagai salah satu pilihan. Namun, proses pembelajarannya masih mengadopsi seni drama yang juga diajarkan di sekolah sebagai bagian kajian seni sastra dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Keadaan ini telah berjalan cukup lama sehingga seni teater tereduksi ke dalam seni drama dan awam menyebut seni teater adalah seni drama. Keduanya sama. Sementara itu menurut kajian keilmuan, teater dan drama memiliki perbedaan mendasar.
Menurut Harrymawan (1993) teater berasal dari kata Yunani “theatron” yang berarti gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan. Sementara itu drama berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Simon Shepherd dan Mick Wallis (2004) melakukan studi teori secara mendalam mengenai drama, teater, dan pertunjukan (performance) di mana dalam satu bagian kajian mereka mencoba meresume relasi antara drama, teater, dan pertunjukan dari pendapat beberapa tokoh. Drama – dalam resume tersebut - selalu dikaitkan dengan naskah, merujuk pada pendapat Schechner yang mengatakan bahwa drama sebagai naskah atau skrip dari pertunjukan teatrikal. Sedangkan teater adalah bentuk praktis dari lakon atau drama yang ditulis untuk dipertunjukkan. Intinya, membicarakan drama adalah membicarakan lakon atau naskah sedangkan teater adalah praktik atau laku dalam membuat pertunjukan.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran seni teater di sekolah cara pandang drama dan teater ini berdampak signifikan. Dalam pelajaran teater berbasis drama kajian utamanya adalah naskah drama itu sendiri. Tema, struktur, plot, dan penokohan menjadi bahan diskusi sementara praktiknya harus mengikuti arah analisis yang telah dilakukan. Sementara itu teater mengajarkan bagaimana cara memandang dan membuat sebuah pertunjukan baik dengan naskah ataupun improvisasi, dengan dialog atau hanya gerak dan musik saja. Teater memiliki cakupan lebih luas karena ia membahas pertunjukan sedangkan naskah hanyalah bagian dari pertunjukan. Pilihan ekspresi seni teater lebih bebas dan mampu mengadopsi ide dan gagasan yang lebih luas.

III.     Teater dan Metode
Metode penciptaan atau praktik teater secara umum yang dilaksanakan di sekolah – sebagai akibat dari cara pandang teater adalah drama - mengacu pada drama realis karena memang drama (naskah lakon) yang digunakan biasanya drama realis. Sebagai sebuah gaya, realis menyajikan satu potong kehidupan nyata di atas pentas. Karena berdasar pada kehidupan nyata maka cerita yang terungkap melalui dialog para tokohnyapun berdasar pada kenyataan. Atas dasar inilah drama realis dipilih untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan kepada para penonton, misal; sosiodrama. Namun terkadang, nilai itu tersampai secara verbal sehingga mengurangi estetika pertunjukan, persis seperti sebuah iklan yang disisipkan.
 Selain realis sebenarnya banyak gaya atau metode pementasan yang bisa diacu baik itu dari teater dramatik atau non dramatik. Teater dramatik adalah teater yang berbasis drama dengan struktur baku (konvensional) sedangkan teater non dramatik memiliki struktur yang lebih bebas. Namun secara umum, teater dramatik mendekatkan pentas dengan kehidupan nyata. Sementara itu teater non-dramatik memandang teater dari sudut tertentu dan spesifik. Bertold Brecht sebagi salah satu tokoh teater non-dramatik memandang teater sebagai media pembelajaran di mana penonton diajak mengobservasi jalannya pertunjukan dan mengkaitkannya dengan kondisi riil yang sedang terjadi. Sedangkan Samuel Beckett melihat teater dari sisi irasionalitas kehidupan manusia yang sering terjadi dan bahkan dijadikan nilai dalam kehidupan (periksa Huxley dan Witts, 1996).
Dari keseluruhan metode penciptaan teater yang ada, metode yang dikembangkan oleh Viola Spolin sangat menarik untuk dicermati dan diaplikasikan di sekolah. Pertama kali pada tahun 1946 Spolin mendirikan dan menyutradarai kelompok teater remaja di Hollywood. Model pelatihannya adalah teater improvisasi di mana pemain teater dilatih untuk melakukan potongan-potongan adegan secara improvisatoris dengan maksud dan tujuan tertentu. Model ini selajutnya disebut sebagai theatre games dan ia kembangkan tidak hanya pada aktor profesional tetapi juga pada sekolah-sekolah.
Theatre games secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran seni teater melalui permainan. Permainan yang diciptakan dapat digunakan untuk mempelajari bidang-bidang dalam teater baik secara mandiri atau terintegrasi. Dalam metode drama, teater biasanya diajarkan secara teoritis (akademis), parsial (masing-masing bidang diajarkan terpisah, misal; olah tubuh, olah suara, penghayatan peran), mimesis (murid meniru guru atau produk jadi lain), demonstrasi (murid memperagakan, guru mengkritisi), intuitif (model sanggar). Sementara itu theatre games mengajarkan sesuatu secara tidak langsung melalui sebuah permainan sehingga tanpa disadari, siswa sedang atau telah mempelajari sesuatu dalam permainan tersebut. Karena sifatnya yang tidak langsung pada tujuan maka game dapat mengajarkan hal-hal lain di sebalik teater (beyond the theater), yang mendukung proses berteater.
Dalam praktek pelaksanaan theatre games di sekolah, Viola Spolin mampu mengajarkan beragam skill seperti:
·           Gerak (gerak berdasar ritme dan musik, gerak enerjik, kesadaran dan kepekaan tubuh)
·           Persepsi dan Ekspresi (observasi, konsentrasi, memori, imitasi, refleksi, kepekaan panca indera)
·           Unsur Dramatik (setting, plot, karakter, dialog, kolaborasi, pemeranan)
·           Kreativitas (dramatisasi, pantomim, improvisasi)
Semua kemampuan tersebut diajarkan melalui permainan. Untuk memberikan pencerahan, Spolin menegaskan 3 hal utama yang perlu pelatih lakukan dalam  melaksankan theatre games yaitu; fokus, side-coaching, dan evaluasi. Fokus adalah kemampuan dasar yang akan dilatihkan, side-coaching adalah arahan yang diberikan selama permainan berlangsung, dan evaluasi adalah penjelasan dan refleksi baik dari pelatih ataupun siswa (periksa, Spolin, 1986).
          Metode yang ditawarkan oleh Spolin bukanlah satu-satunya metode pembelajaran teater di sekolah. Namun, keberadaan theatre games mampu menyegarkan pandangan akan bentuk dan model pelatihan teater. Bahkan John Caird (2010) menyarankan para sutradara untuk menggunakannya dalam sesi awal pelatihan teater profesional ketika para pemain baru pertama kali berkumpul dan butuh sosialisasi. Keluwesan model theatre games baik dari jenis permainan maupun pelaksanaannya memungkinkan untuk diaplikasikan di sekolah. Terlebih, ketika nilai-nilai pribadi, sosial, dan budaya dapat dengan mudah diimplementasikan di dalamnya.

IV.     Teater dan Konvensi
Gaya pementasan teater secara garis besar menurut Mc Tigue (1992) digolongkan ke dalam 3 induk gaya yaitu; presentasional, representasional, dan post-realistic. Dari ketiga gaya tersebut 2 yang pertama dapat disebut sebagai teater konvensional dan post-realistic dapat disebut non-konvensional. Presentasional atau sering disebut teater klasik adalah teater dengan konvensi tertentu yang mengikat seperti penggunaan bahasa puitis, banyak melakukan aside dan soliloki, akting yang diperbesar dan diperindah serta dikhususkan untuk penonton. Sedangkan representasional adalah teater realis dengan konvensi dasar: pemain bermain seolah-olah tanpa penonton (berlawanan dengan presentasional), penggunaan bahasa sehari-hari dan membatasi penggunaan aside dan soliloki.
Mengacu pada Kurikulum Mata Pelajaran Seni Budaya aspek Seni Teater yang diajarkan di sekolah, maka pokok bahasannya adalah teater konvensional utamanya presentasional. Hal ini dikarenakan semua jenis teater tradisional adalah teater bergaya presentasional.  Banyak ragam dan jenis teater tradisional namun secara mendasar konvensinya hampir sama seperti yang diuraikan oleh Mc Tigue.
Dari pokok bahasan teater presentasional ini penggunaan metode dramatik sedikit mengalami kesulitan karena hampir semua teater tradisional di Indonesia tidak menggunakan naskah drama sebagai basis ekspresinya. Ketoprak, Ludruk, Wayang Wong, Lenong untuk menyebut sebagian dari seni tradisional digelar secara improvisasi. Jika ada naskah, maka bentuknya hanyalah penuangan sedangkan dialog dikembangkan secara mandiri oleh para pemain. Di samping itu, secara struktur dramatik cerita teater tradisional sangat berbeda dengan drama konvensional yang biasanya dipelajari. Masing-masing babak atau bagian mengandung ceritanya sendiri dan terkadang tidak terkait dengan babak yang lain, misalnya adegan dagelan dalam ketoprak atau rerasan (soliloki) yang dilakukan oleh pembantu dalam ludruk.
Pun di dalam penokohan, ada teater tradisional yang mengikuti kaidah penokohan drama konvensional dan ada yang tidak. Misal dalam epos Ramayana, maka penokohan drama konvensional dapat diterapkan dengan menempatkan Rahwana sebagai antagonis dan Rama sebagai protagonis. Akan tetapi sangat sulit penokohan semacam ini diterapkan dalam epos Mahabarata di mana seorang tokoh dapat menjadi antagonis dalam satu sisi tapi protagonis dalam sisi lain. Nilai-nilai dalam Mahabrata sangatlah multi tafsir berbeda dengan Ramayana yang cenderung hitam putih.
          Berdasar sekilas uraian di atas, pembelajaran seni teater di sekolah perlu didekatkan pada teater sebagai pertunjukan dan bukan teater sebagai drama (konvensional). Mengurai sebuah pertunjukan tidak hanya mengurai cerita atau lakon tetapi juga tata busana, iringan musik, set dekorasi, pengadeganan, dan tata artistik yang lain. Nilai moral atau pesan lakon dapat ditemukan dalam sajian pertunjukan secara keseluruhan. Kerja analisis drama oleh karena itu bergeser menjadi analisis pertunjukan.

V.       Teater, Karya Seni, dan Media
Karya teater di sekolah sesungguhnya bukanlah karya seni semata tetapi juga media pendidikan. Memang dalam sebuah karya seni murni ada ditawarkan nilai tertentu akan tetapi belum tentu nilai tersebut memiliki aspek fungsi nyata dalam kehidupan. Bisa saja nilai yang ditawarkan adalah nilai keindahan semata lain tidak. Dalam konteks pendidikan, teater selayaknya hadir sebagai media pembelajaran.
Dalam dunia teater di luar sekolah, teater dihadirkan sebagai karya seni murni yang ditampilkan di hadapan penonton untuk diapresiasi bahkan dikagumi. Untuk memproduksi teater ini diperlukan satu latihan rutin dan keras dengan harapan semua pemain dan pendukung mampu tampil dengan baik sehingga pertunjukan berjalan dengan sukses. Para pemain dilatih sedemikian rupa untuk menerjemahkan kehendak artistik sutradara dan mewujudkannya di hadapan penonton. Dalam konteks ini, sutradara adalah pekarya sesungguhnya sehingga ketika pementasan usai dan berhasil sutradara boleh mengklaim pementasan tersebut sebagai karyanya. Demikianlah jiwa teater profesional dan memang demikian seharusnya. Lalu apakah harus demikian pula teater di sekolah?
Jawaban dari pertanyaan di atas untuk sementara adalah “ya”. Hal ini terjadi karena hampir semua pelatih teater di sekolah adalah praktisi teater yang biasa disebut seniman. Konsekuensi logisnya adalah sang pelatih akan menganggap siswa sebagai pemainnya dan untuk menghasilkan karya yang baik siswa harus berlatih rutin dan keras. Menjelang produksi pementasan, pelatih akan menentukan casting yang tepat berdasar nalar artistiknya. Sementara itu, siswa lain yang tidak mendapat jatah sebagai pemain membantu bidang lain baik itu ilustrasi musik, dekorasi, busana, cahaya, dan tata kelola pementasan. Jika masih berlebih, maka siswa tersisa ini berdiri sebagi supporter – terutama ketika produksi tersebut dipentaskan dalam festival atau lomba tertentu.
Ketika pada akhirnya pementasan berjalan sukses, maka sutradara akan dielu-elukan dan dianggap orang yang berhasil menggelar karya berkualitas. Dengan sumber daya manusia seadanya (siswa) ia mampu menghadirkan karya teater – seolah – profesional. Sutradara yang sekaligus pelatih ini mentasbihkan namanya. Lalu di mana nama siswa? Oh, siswa adalah para pemain potensial yang potensinya mampu dibangkitkan secara optimal oleh pelatih. Jadi, pelatihlah yang hebat karena mampu membangkitkan dan mengoptimalkan potensi siswa. Lalu, bagaimana ketika pentas berjalan dengan buruk? Sutradara yang pelatih ini akan berapologi bahwa tidak cukup waktu berlatih, siswa terlalu banyak disibukkan oleh mata pelajaran lain, siswa tidak boleh latihan di luar jam sekolah, siswa bukan pemain profesional, siswa baru belajar teater, nalar siswa belum mampu memahami naskah drama yang berat. Setumpuk alasan lain akan dilontarkan yang intinya adalah siswa yang kurang mampu. Betapa beratnya menjadi siswa yang belajar teater. Jika baik maka sutradara yang mendapat nama, jika jelek beban itu ada dipundaknya.
Apakah seharusnya demikian teater di sekolah? Tentu saja “tidak!”. Teater di sekolah adalah teater pendidikan. Teater di sekolah adalah media pembelajaran nilai-nilai kehidupan. Teater di sekolah tidak mengedepankan karya seni yang sok seniman tetapi karya seni yang cerdas dan edukatif. Karya seni teater di sekolah adalah karya seni yang mampu memberikan pencerahan baik bagi para pemain dan orang yang terlibat di dalamnya atau bagi penonton yang hadir menyaksikan. Lalu bagaimana caranya?
Di atas telah diurai sedikit tentang theatre games yang digunakan oleh Viola Spolin dalam mengajarkan nilai-nilai melalui teater di sekolah. Bentuk-bentuk permainan dapat dikembangkan menjadi sebuah pementasan kecil berdurasi pendek. Jika 1 kelas terdiri dari 40 siswa misalnya, maka 10 grup masing-masing terdiri dari 4 siswa dapat mementaskan masing-masing 1 nomor pertunjukan pendek. Jika 1 nomor berdurasi 3 menit, maka 10 nomor menjadi 30 menit. Jika masing-masing grup mementaskan 2 nomor maka durasi pertunjukan menjadi 1 jam. Yang diperlukan untuk mewujudkan hal ini adalah kreativitas guru atau pelatih dalam membuat nomor-nomor pertunjukan tersebut. Perlu diingat bahwa dalam theatre games bukan baik-buruknya pertunjukan yang menjadi ukuran tetapi bisa tidaknya pemain (siswa) menyerap  nilai-nilai yang terdapat dalam permainan sehingga dalam hal ini siswa bukanlah objek melainkan subjek yang menentukan berhasil tidaknya permainan itu dilakukan.
Dibutuhkan kesadaran, keterbukaan pikiran, dan kemauan belajar yang tinggi bagi guru atau pelatih teater. Jika sistem pengajaran teater bersifat turun temurun, maka teater akan terjebak dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas di mana siswa menjadi objek dan bukan subjek. Banyak pelatih yang mengajarkan praktik teater hanya berdasar pengalaman waktu mudanya ketika dulu belajar teater baik waktu mahasiswa atau di sebuah sanggar. Pengalaman ini anehnya tidak pernah dikaji ulang dan pelatih tidak lagi mau re-learn. Untuk menggugah kesadaran para pelatih teater ini adalah visi bahwa teater di sekolah adalah teater pendidikan, lain tidak.

VI.     Teater, Ruang, dan Proses Kreatif
Teater – menurut pekerja teater kebanyakan- membutuhkan ruang khusus untuk pementasannya yang disebut panggung atau auditorium. Bentuk panggung harus sedemikian rupa dan dilengkapi dengan peralatan tata cahaya, suara dan lain sebagainya. Intinya, panggung teater harus didesain khusus dengan bentuk dan ukuran yang khusus. Jika memang demikian, maka hampir tak satupun sekolahan di Indonesia yang bisa mewujudkannya. Lalu apakah memang harus demikian?
Peter Brook (1996) menyebutkan, yang diperlukan teater hanyalah ruang kosong. Tunjukkan sebarang ruang kosong, lalu mintalah seseorang untuk menyeberanginya, maka itulah teater. Begitu sederhananya ungkapan Brook tetapi sangat dalam jika dikupas. Seni teater sesungguhnya adalah seni imajinasi jadi teater tidak membutuhkan apapun selain ruang kosong. Jika hendak mengisinya isilah dahulu imajinasimu, kemudian letakkan di dalam ruang kosong tersebut, maka proses awal teater telah dimulai. Jadi, untuk belajar teater hanya diperlukan ruang kosong.
          Proses pembelajaran teater lebih banyak bersifat praktis sehingga ruang kosong akan terasa lebih efektif. Penjelasan-penjelasan teoritis dapat diberikan include dalam pelatihan. Jika merujuk Spolin maka penjelasan diberikan pada sesi evaluasi setiap akhir permainan.  Intinya, teater dapat dilatihkan atau diajarkan di mana saja dengan media apa adanya karena pada dasarnya bahan dasar teater adalah manusia dalam hal ini guru dan siswa. Untuk memberikan gambaran nyata, Augusto Boal mengajarkan teaternya di mana saja baik itu ruang kelas, pinggir jalan, tanah lapang atau bahkan kafe. Berawal dari kesadaran bahwa teater adalah media pembelajaran ia mengajarkan teater untuk memancing kesadaran siapapun terhadap kondisi kekinian yang dialami. Proses pembelajaran teater yang terinspirasi oleh gagasan Paulo Freiere ini akhirnya berkembang dan bahkan melahirkan beragam bentuk teater kreatif yang memiliki pengaruh sosial kuat di Brazil (periksa Boal, 1985).
          Jika teater di sekolah adalah teater pendidikan dan nilai yang perlu disampaikan adalah nilai moral yang terkandung dalam seni teater tradisional dalam budaya tertentu, maka diperlukan satu proses kreatif untuk mewujudkannya ke dalam satu karya sederhana dan baru. Rahayu Supanggah (2009) menawarkan konsep revitalisasi seni tradisional yang meliputi; regenerasi (pewarisan), refungsionalisasi (pengubahan atau penambahan fungsi), reformasi (pemberian fungsi baru), reinterpretasi (penafsiran ulang), dan rekreasi (penciptaan ulang). Konsep ini bisa saja diaplikasikan dalam proses pembelajaran teater di sekolah.
Terkait Standar Kompetensi Mata Pelajaran Seni Budaya aspek Teater yang mengemukakan apresiasi dan ekspresi, memungkinkan proses reinterpretasi dan rekreasi. Proses reinterpretasi dapat dilangsungkan dalam kegiatan apresiasi dan rekreasi dilaksanakan pada proses ekspresi. Keunikan unsur dan nilai moral yang digali dari pertunjukan seni teater tradisional kemudian diangkat ke dalam satu bentuk pertunjukan teater baru dan sederhana based on (berdasar) unsur seni tradisional yang diamati. Unsur-unsur ini dapat dikelola dan direkreasi sedemikian rupa untuk diwujudkan dalam karya teater dengan nala pendidikan dan bukan nala kesenimanan.
Bentuk-bentuk pertunjukan yang muncul dapat saja beragam baik itu teater gerak, gerak dan lagu, teater musikal, teater boneka atau bahkan teater dramatik. Siswa boleh saja mimesis atau menirukan penggal adegan berdasar hasil pengamatannya terhadap seni pertunjukan teater tradisional atau mengubahnya dalam bentuk baru yang kreatif sesuai nala kreatif mereka sendiri. Yang terpenting adalah, bagaimana nilai moral yang terkandung dalam pesan teater itu tersampaikan. Dalam proses ini pun pertunjukan yang dipentaskan tidak harus berdurasi panjang tetapi berdurasi pendek namun siswa dibagi ke dalam beberapa grup sehingga semua bisa mengekspresikan hasil kreasinya.
Jika saja masing-masing grup ini menampilkan karyanya dan masing-masing berbeda baik secara adegan maupun ekspresi artistiknya maka ruang kosong yang tersedia akan berubah menjadi ruang kreatif yang penuh dengan imajinasi dan daya positif. Tidak terlalu sulit sebetulnya untuk mewujudkan hal ini, justru yang lebih sulit adalah membuka cakrawala pikiran dan hati untuk berani memulainya. Jika pentas harus baik maka sulit menumbuhkan keberanian apalagi untuk pentas, tetapi jika berani pentas bahkan ketika kualitasnya jelek maka langkah awal telah terayun dan pintu terbuka. (*)

(Dimuat di Majalah Bende No. 87, Januari 2011)

Bacaan:

Bakdi Soemanto. 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media Presindo
Boal, Augusto. 1985. Theatre of the Opressed. Theatre Communication Groups.
Brook, Peter. 1996. The Empty Space. Touchstone Book.
Caird, John. 2010. Theare Craft A Director’s Practical Companion form A to Z. New York: Faber and Faber.
Huxley, Michael, Noel Witts, Ed., 1996. The Twentieth Century Performance Reader. London: Routledge
McTigue, Mary, 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What and The Way Things Really Work in the Theater. Ohio: Better Way Books.
Rahayu Supanggah. “Kesenian Indonesia, Redifinisi dan Pemetaannya; Kasus Seni Pertunjukan”, dalam, Eko Santosa, Ed., 2009. Studi Pendidikan Seni. Yogyakarta: PPPPTK Seni dan Budaya.
RMA. Harrymawan. 1993. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Shepherd, Simon, Mick Wallis. 2004. Drama/Theatre/Performance The New Criticl Idiom. London: Routledge.
Spolin, Viola. 1986. Theatre Games for the Classroom, A Teacher’s Handbook. Illinois: Northwestern University Press

4 komentar:

  1. selamat pagi mas.. mohon izin untuk copy sebahagian artikel ini untuk pengaduan tentang teater di tempat saya yg di bubarkan sekolah secara sepihak. sebelumnya terima kasih mas. https://www.youtube.com/watch?v=quqIax1ne_Y

    BalasHapus
  2. bagus mas penjelasannya saya suka

    BalasHapus