Oleh: Eko
Santosa
Teater adalah salah satu cabang seni pertunjukan yang paling
kompleks karena di dalamnya memuat beragam unsur seni yang dapat digunakan
sebagai media ekspresi estetis dalam setiap karyanya. Dengan demikian secara
alamiah teater membutuhkan proses kerjasama kolaboratif antaranasir yang
terlibat di dalamnya. Karena begitu beragamnya unsur yang terlibat atau dapat
dilibatkan, seni teater dapat ditinjau dan dipelajari dari bergaram sisi pula.
Ada karya teater yang lebih mengedepankan unsur rupa, namun ada pula karya teater
yang mengedepankan gerak, musik, kata-kata atau bahkan meramu semuanya ke dalam
satu bentuk pertunjukan.
Tingkat fleksibiltas yang
tinggi dari seni teater ini memungkinkan seseorang untuk ikut terlibat dalam
sebuah produksi teater bahkan tanpa perlu bisa bermain teater. Ia bisa bertugas
sebagai pengisi ilustrasi musik, pembuat dekorasi, penata rias dan busana atau
bahkan hanya dengan menjadi portir. Akan tetapi umumnya, seni teater hanya
dipandang sebagai seni peran sehingga semua orang yang belajar teater berharap
menjadi pemain teater lain tidak. Demikian pula dengan seni teater di sekolah
utamanya dalam kegiatan ekstra kurikuler di mana pelatih lebih mengharapkan
munculnya pemeran berkualitas baik daripada membangun proses kerja kolaboratif
dalam berkarya. Keadaan ini merupakan cermin dari keberadaan seni teater yang
hanya dipandang sebagai karya seni semata.
Jika dipandang dari sisi
pendidikan, seni teater sesungguhnya memiliki peran yang luar biasa utamanya
dalam menanamkan nilai-nilai kepribadian. Jadi tidak hanya seni peran atau
unsur seni lain tetapi mengelola kesemua unsur menjadi satu kesatuan itu
membutuhkan kerjasama yang hebat di antara para pendukungnya. Dengan demikian
bukan karya seni yang tersaji atau tergelar dengan baik dan estetis sesuai
kaidah seni dan kesenimanan tetapi proses kerja bersama dalam menciptakan karya
itulah yang penting dan perlu ditekankan dalam edukasi. Seni teater di sekolah
sudah selayaknya dipandang sebagai seni teater pendidikan dan bukan semata
pelatihan kemampuan berteater.
I.
Teater dan Kurikulum
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
tahun 2006 (Permendiknas 22 Th 2006 tentang Standar Isi), Seni teater merupakan
salah satu aspek dari mata pelajaran Seni Budaya di sekolah. Aspek yang lain
adalah Seni Rupa, Seni Musik, dan Seni Tari. Keempat aspek seni ini terkait
dengan budaya karena muatan seni budaya sesuai PP no 19 Th 2005 tentang Standar
Nasional Pedidikan tidak hanya terdapat dalam
satu mata pelajaran namun meliputi
segala aspek kehidupan. Dengan demikian dalam mata pelajaran Seni
Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan
seni. Karena itu, mata pelajaran Seni
Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya.
Berpijak dari peraturan tersebut di atas, maka seni
teater yang dipelajari di sekolah adalah seni teater dengan latar belakang
budaya tertentu. Untuk SMP dan SMA latar belakang budaya dimaksud adalah; latar
budaya setempat (di mana sekolah berada), latar budaya daerah lain, latar budaya
Nusantara, mancanegara Asia dan Non-Asia. Sedangkan untuk SMK latar belakang
budaya tersebut tidak menunjuk lokal tertentu melainkan menekankan pentingnya
konteks estetika teater dalam kehidupan (periksa Permendiknas 23 th 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran).
Secara khusus
mata pelajaran Seni Budya dimasukkan ke dalam kelompok mata pelajaran estetika yang bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan
dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan
mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik
dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup,
maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan
yang harmonis.
Menjadi jelas
bahwa mata pelajaran Seni Budaya aspek
Seni Teater sesuai ketentuan kurikulum adalah mempelajari aspek budaya - suatu
bangsa – melalui seni teater. Dengan demikian bukan karya teater an sich tetapi lebih kepada nilai budaya
yang ada di dalam karya tersebut yang perlu digali dan dimunculkan sebagai
bagian dari pembentukan nilai pribadi. Nilai-nilai tersebut digali melalui
apresiasi dan ekspresi estetis. Melihat cita-cita luhur ini tentunya pelajaran
Seni Budya aspek Seni Teater merupakan satu hal yang penting dalam konteks
pendidikan karakter dan bukan hanya pelajaran yang mengedepankan kemampuan
berolah teater semata. Bahkan dalam kaitannya dengan ekspresi, seni teater
diharuskan menampilkan nilai moral dalam konteks kehidupan kemasyarakatan dan
kekinian. Artinya, latar budaya yang digali, diresapi dan direkreasi ke dalam satu
karya baru. Tidak penting seberapa hebat karya itu tetapi bagaimana nilai moral
itu dikemas ke dalam bentuk karya estetis yang disebut teater.
II.
Teater dan Drama
Jauh sebelum secara eksplisit dicantumkan dalam kurikulum sekolah, seni
teater telah diajarkan dalam kegiatan ekstrakurikuler sebagai salah satu
pilihan. Namun, proses pembelajarannya masih mengadopsi seni drama yang juga
diajarkan di sekolah sebagai bagian kajian seni sastra dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Keadaan ini telah berjalan cukup lama sehingga seni teater tereduksi
ke dalam seni drama dan awam menyebut seni teater adalah seni drama. Keduanya
sama. Sementara itu menurut kajian keilmuan, teater dan drama memiliki
perbedaan mendasar.
Menurut Harrymawan (1993) teater berasal dari kata
Yunani “theatron” yang berarti gedung
pertunjukan. Dalam perkembangannya,
dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana
teater adalah pertunjukan. Sementara itu drama berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang
berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata
Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih
ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Hubungan kata “teater” dan “drama”
bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan
drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra
(Bakdi Soemanto, 2001).
Simon Shepherd dan Mick Wallis (2004) melakukan studi teori secara
mendalam mengenai drama, teater, dan pertunjukan (performance) di mana dalam satu bagian kajian mereka mencoba
meresume relasi antara drama, teater, dan pertunjukan dari pendapat beberapa
tokoh. Drama – dalam resume tersebut - selalu dikaitkan dengan naskah, merujuk
pada pendapat Schechner yang mengatakan bahwa drama sebagai naskah atau skrip
dari pertunjukan teatrikal. Sedangkan teater adalah bentuk praktis dari lakon
atau drama yang ditulis untuk dipertunjukkan. Intinya, membicarakan drama
adalah membicarakan lakon atau naskah sedangkan teater adalah praktik atau laku
dalam membuat pertunjukan.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran seni teater di sekolah cara pandang
drama dan teater ini berdampak signifikan. Dalam pelajaran teater berbasis
drama kajian utamanya adalah naskah drama itu sendiri. Tema, struktur, plot,
dan penokohan menjadi bahan diskusi sementara praktiknya harus mengikuti arah
analisis yang telah dilakukan. Sementara itu teater mengajarkan bagaimana cara
memandang dan membuat sebuah pertunjukan baik dengan naskah ataupun improvisasi,
dengan dialog atau hanya gerak dan musik saja. Teater memiliki cakupan lebih
luas karena ia membahas pertunjukan sedangkan naskah hanyalah bagian dari
pertunjukan. Pilihan ekspresi seni teater lebih bebas dan mampu mengadopsi ide
dan gagasan yang lebih luas.
III.
Teater dan Metode
Metode penciptaan atau praktik teater secara umum yang dilaksanakan di
sekolah – sebagai akibat dari cara pandang teater adalah drama - mengacu pada
drama realis karena memang drama (naskah lakon) yang digunakan biasanya drama
realis. Sebagai sebuah gaya, realis menyajikan satu potong kehidupan nyata di
atas pentas. Karena berdasar pada kehidupan nyata maka cerita yang terungkap
melalui dialog para tokohnyapun berdasar pada kenyataan. Atas dasar inilah
drama realis dipilih untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan kepada para
penonton, misal; sosiodrama. Namun terkadang, nilai itu tersampai secara verbal
sehingga mengurangi estetika pertunjukan, persis seperti sebuah iklan yang
disisipkan.
Selain realis sebenarnya banyak
gaya atau metode pementasan yang bisa diacu baik itu dari teater dramatik atau
non dramatik. Teater dramatik adalah teater yang berbasis drama dengan struktur
baku (konvensional) sedangkan teater non dramatik memiliki struktur yang lebih
bebas. Namun secara umum, teater dramatik mendekatkan pentas dengan kehidupan
nyata. Sementara itu teater non-dramatik memandang teater dari sudut tertentu
dan spesifik. Bertold Brecht sebagi salah satu tokoh teater non-dramatik memandang
teater sebagai media pembelajaran di mana penonton diajak mengobservasi
jalannya pertunjukan dan mengkaitkannya dengan kondisi riil yang sedang terjadi.
Sedangkan Samuel Beckett melihat teater dari sisi irasionalitas kehidupan
manusia yang sering terjadi dan bahkan dijadikan nilai dalam kehidupan (periksa
Huxley dan Witts, 1996).
Dari keseluruhan metode penciptaan teater yang ada, metode yang
dikembangkan oleh Viola Spolin sangat menarik untuk dicermati dan diaplikasikan
di sekolah. Pertama kali pada tahun 1946 Spolin mendirikan dan menyutradarai
kelompok teater remaja di Hollywood. Model pelatihannya adalah teater
improvisasi di mana pemain teater dilatih untuk melakukan potongan-potongan
adegan secara improvisatoris dengan maksud dan tujuan tertentu. Model ini
selajutnya disebut sebagai theatre games dan
ia kembangkan tidak hanya pada aktor profesional tetapi juga pada
sekolah-sekolah.
Theatre
games secara sederhana
dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran seni
teater melalui permainan.
Permainan yang diciptakan dapat digunakan untuk mempelajari bidang-bidang dalam
teater baik secara mandiri atau terintegrasi. Dalam metode drama, teater
biasanya diajarkan secara teoritis (akademis), parsial (masing-masing bidang
diajarkan terpisah, misal; olah tubuh, olah suara, penghayatan peran), mimesis
(murid meniru guru atau produk jadi lain), demonstrasi (murid memperagakan,
guru mengkritisi), intuitif (model sanggar). Sementara itu theatre games mengajarkan
sesuatu secara tidak langsung melalui sebuah permainan sehingga tanpa disadari,
siswa sedang atau telah mempelajari sesuatu dalam permainan tersebut. Karena
sifatnya yang tidak langsung pada tujuan maka game dapat mengajarkan hal-hal
lain di sebalik teater (beyond the theater), yang mendukung proses
berteater.
Dalam praktek pelaksanaan theatre games di sekolah, Viola Spolin
mampu mengajarkan beragam skill seperti:
·
Gerak
(gerak berdasar ritme dan musik, gerak enerjik, kesadaran dan kepekaan tubuh)
·
Persepsi
dan Ekspresi (observasi, konsentrasi, memori, imitasi, refleksi, kepekaan panca
indera)
·
Unsur
Dramatik (setting, plot, karakter, dialog, kolaborasi, pemeranan)
·
Kreativitas
(dramatisasi, pantomim, improvisasi)
Semua
kemampuan tersebut diajarkan melalui permainan. Untuk memberikan pencerahan,
Spolin menegaskan 3 hal utama yang perlu pelatih lakukan dalam melaksankan theatre games yaitu; fokus, side-coaching,
dan evaluasi. Fokus adalah kemampuan dasar yang akan dilatihkan, side-coaching adalah arahan yang
diberikan selama permainan berlangsung, dan evaluasi adalah penjelasan dan
refleksi baik dari pelatih ataupun siswa (periksa, Spolin, 1986).
Metode yang ditawarkan oleh Spolin
bukanlah satu-satunya metode pembelajaran teater di sekolah. Namun, keberadaan theatre games mampu menyegarkan
pandangan akan bentuk dan model pelatihan teater. Bahkan John Caird (2010)
menyarankan para sutradara untuk menggunakannya dalam sesi awal pelatihan
teater profesional ketika para pemain baru pertama kali berkumpul dan butuh
sosialisasi. Keluwesan model theatre
games baik dari jenis permainan maupun pelaksanaannya memungkinkan untuk
diaplikasikan di sekolah. Terlebih, ketika nilai-nilai pribadi, sosial, dan
budaya dapat dengan mudah diimplementasikan di dalamnya.
IV.
Teater dan Konvensi
Gaya pementasan teater secara garis besar menurut Mc
Tigue (1992) digolongkan ke dalam 3 induk gaya yaitu; presentasional,
representasional, dan post-realistic. Dari ketiga gaya tersebut 2 yang pertama
dapat disebut sebagai teater konvensional dan post-realistic dapat disebut
non-konvensional. Presentasional atau sering disebut teater klasik adalah
teater dengan konvensi tertentu yang mengikat seperti penggunaan bahasa puitis,
banyak melakukan aside dan soliloki, akting yang diperbesar dan diperindah
serta dikhususkan untuk penonton. Sedangkan representasional adalah teater
realis dengan konvensi dasar: pemain bermain seolah-olah tanpa penonton
(berlawanan dengan presentasional), penggunaan bahasa sehari-hari dan membatasi
penggunaan aside dan soliloki.
Mengacu pada Kurikulum Mata Pelajaran Seni Budaya
aspek Seni Teater yang diajarkan di sekolah, maka pokok bahasannya adalah
teater konvensional utamanya presentasional. Hal ini dikarenakan semua jenis
teater tradisional adalah teater bergaya presentasional. Banyak ragam dan jenis teater tradisional
namun secara mendasar konvensinya hampir sama seperti yang diuraikan oleh Mc
Tigue.
Dari pokok bahasan teater presentasional ini penggunaan
metode dramatik sedikit mengalami kesulitan karena hampir semua teater tradisional
di Indonesia tidak menggunakan naskah drama sebagai basis ekspresinya.
Ketoprak, Ludruk, Wayang Wong, Lenong untuk menyebut sebagian dari seni
tradisional digelar secara improvisasi. Jika ada naskah, maka bentuknya
hanyalah penuangan sedangkan dialog dikembangkan secara mandiri oleh para
pemain. Di samping itu, secara struktur dramatik cerita teater tradisional
sangat berbeda dengan drama konvensional yang biasanya dipelajari.
Masing-masing babak atau bagian mengandung ceritanya sendiri dan terkadang
tidak terkait dengan babak yang lain, misalnya adegan dagelan dalam ketoprak
atau rerasan (soliloki) yang
dilakukan oleh pembantu dalam ludruk.
Pun di dalam penokohan, ada teater tradisional yang
mengikuti kaidah penokohan drama konvensional dan ada yang tidak. Misal dalam
epos Ramayana, maka penokohan drama konvensional dapat diterapkan dengan
menempatkan Rahwana sebagai antagonis dan Rama sebagai protagonis. Akan tetapi
sangat sulit penokohan semacam ini diterapkan dalam epos Mahabarata di mana seorang
tokoh dapat menjadi antagonis dalam satu sisi tapi protagonis dalam sisi lain.
Nilai-nilai dalam Mahabrata sangatlah multi tafsir berbeda dengan Ramayana yang
cenderung hitam putih.
Berdasar sekilas uraian di atas,
pembelajaran seni teater di sekolah perlu didekatkan pada teater sebagai
pertunjukan dan bukan teater sebagai drama (konvensional). Mengurai sebuah
pertunjukan tidak hanya mengurai cerita atau lakon tetapi juga tata busana,
iringan musik, set dekorasi, pengadeganan, dan tata artistik yang lain. Nilai
moral atau pesan lakon dapat ditemukan dalam sajian pertunjukan secara
keseluruhan. Kerja analisis drama oleh karena itu bergeser menjadi analisis
pertunjukan.
V.
Teater, Karya Seni, dan Media
Karya teater di sekolah sesungguhnya bukanlah karya
seni semata tetapi juga media pendidikan. Memang dalam sebuah karya seni murni
ada ditawarkan nilai tertentu akan tetapi belum tentu nilai tersebut memiliki
aspek fungsi nyata dalam kehidupan. Bisa saja nilai yang ditawarkan adalah
nilai keindahan semata lain tidak. Dalam konteks pendidikan, teater selayaknya
hadir sebagai media pembelajaran.
Dalam dunia teater di luar sekolah, teater dihadirkan
sebagai karya seni murni yang ditampilkan di hadapan penonton untuk diapresiasi
bahkan dikagumi. Untuk memproduksi teater ini diperlukan satu latihan rutin dan
keras dengan harapan semua pemain dan pendukung mampu tampil dengan baik
sehingga pertunjukan berjalan dengan sukses. Para pemain dilatih sedemikian
rupa untuk menerjemahkan kehendak artistik sutradara dan mewujudkannya di
hadapan penonton. Dalam konteks ini, sutradara adalah pekarya sesungguhnya
sehingga ketika pementasan usai dan berhasil sutradara boleh mengklaim
pementasan tersebut sebagai karyanya. Demikianlah jiwa teater profesional dan
memang demikian seharusnya. Lalu apakah harus demikian pula teater di sekolah?
Jawaban dari pertanyaan di atas untuk sementara adalah
“ya”. Hal ini terjadi karena hampir semua pelatih teater di sekolah adalah
praktisi teater yang biasa disebut seniman. Konsekuensi logisnya adalah sang
pelatih akan menganggap siswa sebagai pemainnya dan untuk menghasilkan karya
yang baik siswa harus berlatih rutin dan keras. Menjelang produksi pementasan,
pelatih akan menentukan casting yang tepat berdasar nalar artistiknya.
Sementara itu, siswa lain yang tidak mendapat jatah sebagai pemain membantu
bidang lain baik itu ilustrasi musik, dekorasi, busana, cahaya, dan tata kelola
pementasan. Jika masih berlebih, maka siswa tersisa ini berdiri sebagi
supporter – terutama ketika produksi tersebut dipentaskan dalam festival atau
lomba tertentu.
Ketika pada akhirnya pementasan berjalan sukses, maka
sutradara akan dielu-elukan dan dianggap orang yang berhasil menggelar karya
berkualitas. Dengan sumber daya manusia seadanya (siswa) ia mampu menghadirkan
karya teater – seolah – profesional. Sutradara yang sekaligus pelatih ini
mentasbihkan namanya. Lalu di mana nama siswa? Oh, siswa adalah para pemain
potensial yang potensinya mampu dibangkitkan secara optimal oleh pelatih. Jadi,
pelatihlah yang hebat karena mampu membangkitkan dan mengoptimalkan potensi
siswa. Lalu, bagaimana ketika pentas berjalan dengan buruk? Sutradara yang
pelatih ini akan berapologi bahwa tidak cukup waktu berlatih, siswa terlalu
banyak disibukkan oleh mata pelajaran lain, siswa tidak boleh latihan di luar
jam sekolah, siswa bukan pemain profesional, siswa baru belajar teater, nalar
siswa belum mampu memahami naskah drama yang berat. Setumpuk alasan lain akan
dilontarkan yang intinya adalah siswa yang kurang mampu. Betapa beratnya
menjadi siswa yang belajar teater. Jika baik maka sutradara yang mendapat nama,
jika jelek beban itu ada dipundaknya.
Apakah seharusnya demikian teater di sekolah? Tentu
saja “tidak!”. Teater di sekolah adalah teater pendidikan. Teater di sekolah
adalah media pembelajaran nilai-nilai kehidupan. Teater di sekolah tidak
mengedepankan karya seni yang sok seniman tetapi karya seni yang cerdas dan
edukatif. Karya seni teater di sekolah adalah karya seni yang mampu memberikan
pencerahan baik bagi para pemain dan orang yang terlibat di dalamnya atau bagi
penonton yang hadir menyaksikan. Lalu bagaimana caranya?
Di atas telah diurai sedikit tentang theatre games yang digunakan oleh Viola
Spolin dalam mengajarkan nilai-nilai melalui teater di sekolah. Bentuk-bentuk
permainan dapat dikembangkan menjadi sebuah pementasan kecil berdurasi pendek.
Jika 1 kelas terdiri dari 40 siswa misalnya, maka 10 grup masing-masing terdiri
dari 4 siswa dapat mementaskan masing-masing 1 nomor pertunjukan pendek. Jika 1
nomor berdurasi 3 menit, maka 10 nomor menjadi 30 menit. Jika masing-masing
grup mementaskan 2 nomor maka durasi pertunjukan menjadi 1 jam. Yang diperlukan
untuk mewujudkan hal ini adalah kreativitas guru atau pelatih dalam membuat
nomor-nomor pertunjukan tersebut. Perlu diingat bahwa dalam theatre games bukan baik-buruknya
pertunjukan yang menjadi ukuran tetapi bisa tidaknya pemain (siswa)
menyerap nilai-nilai yang terdapat dalam
permainan sehingga dalam hal ini siswa bukanlah objek melainkan subjek yang
menentukan berhasil tidaknya permainan itu dilakukan.
Dibutuhkan kesadaran, keterbukaan pikiran, dan kemauan
belajar yang tinggi bagi guru atau pelatih teater. Jika sistem pengajaran
teater bersifat turun temurun, maka teater akan terjebak dalam kondisi seperti
yang disebutkan di atas di mana siswa menjadi objek dan bukan subjek. Banyak
pelatih yang mengajarkan praktik teater hanya berdasar pengalaman waktu mudanya
ketika dulu belajar teater baik waktu mahasiswa atau di sebuah sanggar.
Pengalaman ini anehnya tidak pernah dikaji ulang dan pelatih tidak lagi mau re-learn. Untuk menggugah kesadaran para
pelatih teater ini adalah visi bahwa teater di sekolah adalah teater
pendidikan, lain tidak.
VI.
Teater, Ruang, dan Proses Kreatif
Teater – menurut pekerja teater kebanyakan- membutuhkan ruang khusus
untuk pementasannya yang disebut panggung atau auditorium. Bentuk panggung
harus sedemikian rupa dan dilengkapi dengan peralatan tata cahaya, suara dan
lain sebagainya. Intinya, panggung teater harus didesain khusus dengan bentuk
dan ukuran yang khusus. Jika memang demikian, maka hampir tak satupun sekolahan
di Indonesia yang bisa mewujudkannya. Lalu apakah memang harus demikian?
Peter Brook (1996) menyebutkan, yang diperlukan teater hanyalah ruang
kosong. Tunjukkan sebarang ruang kosong, lalu mintalah seseorang untuk
menyeberanginya, maka itulah teater. Begitu sederhananya ungkapan Brook tetapi
sangat dalam jika dikupas. Seni teater sesungguhnya adalah seni imajinasi jadi
teater tidak membutuhkan apapun selain ruang kosong. Jika hendak mengisinya
isilah dahulu imajinasimu, kemudian letakkan di dalam ruang kosong tersebut,
maka proses awal teater telah dimulai. Jadi, untuk belajar teater hanya
diperlukan ruang kosong.
Proses pembelajaran teater lebih banyak bersifat
praktis sehingga ruang kosong akan terasa lebih efektif. Penjelasan-penjelasan
teoritis dapat diberikan include
dalam pelatihan. Jika merujuk Spolin maka penjelasan diberikan pada sesi
evaluasi setiap akhir permainan. Intinya, teater dapat dilatihkan atau
diajarkan di mana saja dengan media apa adanya karena pada dasarnya bahan dasar
teater adalah manusia dalam hal ini guru dan siswa. Untuk memberikan gambaran
nyata, Augusto Boal mengajarkan teaternya di mana saja baik itu ruang kelas,
pinggir jalan, tanah lapang atau bahkan kafe. Berawal dari kesadaran bahwa
teater adalah media pembelajaran ia mengajarkan teater untuk memancing
kesadaran siapapun terhadap kondisi kekinian yang dialami. Proses pembelajaran
teater yang terinspirasi oleh gagasan Paulo Freiere ini akhirnya berkembang dan
bahkan melahirkan beragam bentuk teater kreatif yang memiliki pengaruh sosial
kuat di Brazil (periksa Boal, 1985).
Jika teater di sekolah adalah teater
pendidikan dan nilai yang perlu disampaikan adalah nilai moral yang terkandung
dalam seni teater tradisional dalam budaya tertentu, maka diperlukan satu
proses kreatif untuk mewujudkannya ke dalam satu karya sederhana dan baru.
Rahayu Supanggah (2009) menawarkan konsep revitalisasi seni tradisional yang
meliputi; regenerasi (pewarisan), refungsionalisasi (pengubahan atau penambahan
fungsi), reformasi (pemberian fungsi baru), reinterpretasi (penafsiran ulang),
dan rekreasi (penciptaan ulang). Konsep ini bisa saja diaplikasikan dalam
proses pembelajaran teater di sekolah.
Terkait Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Seni Budaya aspek Teater yang mengemukakan apresiasi
dan ekspresi, memungkinkan proses reinterpretasi dan rekreasi. Proses
reinterpretasi dapat dilangsungkan dalam kegiatan apresiasi dan rekreasi
dilaksanakan pada proses ekspresi. Keunikan unsur dan nilai moral yang digali
dari pertunjukan seni teater tradisional kemudian diangkat ke dalam satu bentuk
pertunjukan teater baru dan sederhana based
on (berdasar) unsur seni tradisional yang diamati. Unsur-unsur ini dapat
dikelola dan direkreasi sedemikian rupa untuk diwujudkan dalam karya teater
dengan nala pendidikan dan bukan nala kesenimanan.
Bentuk-bentuk pertunjukan yang muncul dapat saja
beragam baik itu teater gerak, gerak dan lagu, teater musikal, teater boneka
atau bahkan teater dramatik. Siswa boleh saja mimesis atau menirukan penggal
adegan berdasar hasil pengamatannya terhadap seni pertunjukan teater
tradisional atau mengubahnya dalam bentuk baru yang kreatif sesuai nala kreatif
mereka sendiri. Yang terpenting adalah, bagaimana nilai moral yang terkandung
dalam pesan teater itu tersampaikan. Dalam proses ini pun pertunjukan yang
dipentaskan tidak harus berdurasi panjang tetapi berdurasi pendek namun siswa
dibagi ke dalam beberapa grup sehingga semua bisa mengekspresikan hasil
kreasinya.
Jika saja masing-masing grup ini menampilkan karyanya
dan masing-masing berbeda baik secara adegan maupun ekspresi artistiknya maka
ruang kosong yang tersedia akan berubah menjadi ruang kreatif yang penuh dengan
imajinasi dan daya positif. Tidak terlalu sulit sebetulnya untuk mewujudkan hal
ini, justru yang lebih sulit adalah membuka cakrawala pikiran dan hati untuk
berani memulainya. Jika pentas harus baik maka sulit menumbuhkan keberanian
apalagi untuk pentas, tetapi jika berani pentas bahkan ketika kualitasnya jelek
maka langkah awal telah terayun dan pintu terbuka. (*)
(Dimuat di Majalah Bende No. 87, Januari 2011)
Bacaan:
Bakdi Soemanto. 2001. Jagad Teater. Yogyakarta: Media Presindo
Boal, Augusto. 1985. Theatre of the Opressed. Theatre Communication Groups.
Brook, Peter. 1996. The Empty Space. Touchstone Book.
Caird, John. 2010. Theare Craft A Director’s Practical Companion form A to Z. New
York: Faber and Faber.
Huxley, Michael, Noel Witts, Ed., 1996. The Twentieth Century Performance Reader.
London: Routledge
McTigue, Mary, 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What and The Way Things Really
Work in the Theater. Ohio: Better Way Books.
Rahayu Supanggah. “Kesenian Indonesia, Redifinisi
dan Pemetaannya; Kasus
Seni Pertunjukan”, dalam, Eko Santosa, Ed., 2009. Studi Pendidikan Seni. Yogyakarta: PPPPTK Seni dan Budaya.
RMA.
Harrymawan. 1993. Dramaturgi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Shepherd,
Simon, Mick Wallis. 2004. Drama/Theatre/Performance
The New Criticl Idiom. London: Routledge.
Spolin,
Viola. 1986. Theatre Games for the
Classroom, A Teacher’s Handbook. Illinois: Northwestern University Press
selamat pagi mas.. mohon izin untuk copy sebahagian artikel ini untuk pengaduan tentang teater di tempat saya yg di bubarkan sekolah secara sepihak. sebelumnya terima kasih mas. https://www.youtube.com/watch?v=quqIax1ne_Y
BalasHapusSilakan.
BalasHapusbagus mas penjelasannya saya suka
BalasHapusTerimakasih.
Hapus