(Teater Sebagai Karya Seni dan
Media Pembelajaran)
Oleh: Eko Santosa
Rasional
Karya seni teater dalam
bentuk pementasan memiliki wujud yang beragam dan senantiasa berubah dari jaman
ke jaman. Hal
ini dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan manusia baik dari segi sosial,
ekonomi, maupun teknologi. Karya seni teater realis seperti yang sering kita
lihat di panggung teater modern mendapatkan makna yang sesungguhnya ketika
lampu gas ditemukan dan digunakan sebagai lampu panggung pada awal abad ke 19
Keberadaan lampu ini mampu menghadirkan efek iluminasi cahaya bulan, matahari
atau lampu praktikal lain sehingga menampilkan kesan cahaya nyata yang datang
dari sumber aslinya (periksa, Mc Tigue, 1992). Keadaan ini membuat peristiwa di
atas panggung seperti benar-benar terjadi sebagai satu kenyataan hidup. Sebagai
konsekuensi logis dari kondisi ini adalah berkembang pesatnya teater realis di
panggung-panggung teater dunia dengan tanpa mengesampingkan gaya teater lain
yang lahir sebelumnya. Meskipun teater realis tidak saja hadir hanya karena
kemunculan lampu gas akan tetapi, penemuan itu mampu mengubah pandangan seniman
terhadap panggung pertunjukan dalam konteks tata artistik - pencahayaan.
Dalam perjalanannya banyak
hal yang lahir dan mempengaruhi perkembangan teater di dunia ini. Seniman tidak henti-hentinya
menemukan atau mengeksplorasi kemungkinan pertunjukan teater dari berbagai
macam sisi dan visi. Keanekaragaman
pemikiran ini melahirkan jenis tampilan seni teater yang kaya dan penuh warna.
Meski terkadang pemikiran yang baru mencoba mengoposisi pemikiran yang lama
namun hal ini justru menambah perbendaharaan gaya tampilan teater di atas
panggung. Latar pemikiran yang sering disebut konsep ini berkembang pesat
seiring dengan perkembangan teknologi dan dinamika kehidupan masyarakat.
Kemungkinan visual yang bisa dihadirkan di atas panggung atas bantuan teknologi
menjadikan seniman memiliki sisi lain yang bisa dilihat, digali, dan
dikembangkan.
Selain itu, dampak utama dari
perkembangan teknologi adalah perubahan tatanan sosial dan pola pikir masyarakat. Ketika masyarakat berubah
maka teater sebagai produk budaya masyarakat pun berubah. Sebagai misal
lahirnya sound efect dalam seni musik
mampu mempengaruhi tampilan sebuah karya teater dengan menghadirkan bunyi
guntur menggelegar, deburan ombak laut atau ledakan bom yang dhasyat. Teknologi
panggung hidrolik mampu memunculkan dan menghilangkan pemain teater dari atas
panggung dengan cara yang artistik dan memukau penonton. Teknologi kabel atau
kawat yang fleksible dan tidak memantulkan cahaya dapat digunakan untuk membuat
pemain nampak terbang di awan. Bahkan foam
yang biasa digunakan untuk membungkus peralatan elektronik dapat difungsikan
dengan sangat kreatif dalam khasanah tata panggung. Dengan demikian alternatif
tampilan visual menjadi lebih luas.
Dinamika kehidupan masyarakat
sebagai akibat perkembangan pemikiran dan teknologi menciptakan pola pikir dan
nilai-nilai baru. Hal
ini pun tidak luput dari perhatian seniman untuk menggagas konsep dalam
berteater.Nilai sederhana dalam masyarakat akibat munculnya handphone
melahirkan satu pertanyaan mendasar terkait dengan kesopanan misalnya, “apakah
lebih sopan mengirim sms atau telepon langsung?”, “Haruskah semua sms dibalas?”, “Jika iya, kapan selesainya
atau bagaimana cara mengakhiri komunikasi dengan sms itu?”, ”Jika tidak semua sms
dibalas, pahamkah orang yang mengirim sms terakhir?”, “Bagaimana jika handphone
hanya bisa menulis huruf kapital saja, sopankah itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini
bisa terjadi karena percakapan tidak langsung memiliki keterbatasan, terlebih
percakapan dengan kalimat (sms) di mana rangkaian kalimat yang dikirim tidak
akan pernah mampu mewakili makna sesungguhnya yang dinginkan. Bisa-bisa
melahirkan kesalahpahaman.
Perubahan nilai dan perilaku
yang sederhana dan awam seperti di atas mungkin adalah sesuatu hal yang biasa
dan tidak mengganggu pikiran. Namun
tentu saja tidak demikian bagi seniman teater yang senantiasa menggali
gagasan-gagasan baru untuk melahirkan karya baru. Pertanyaan-pertanyaan
sederhana seputar konteks budaya dalam pemakaian handphone seperti di atas bisa
saja melahirkan karya baru denga gaya tampilan yang baru pula. Seperti halnya
Samuel Beckett yang memotret irasionalitas komunikasi dan komprehensi dalam
kehidupan manusia ke dalam Teater Absurd (lihat, Huxley dan Witts, 1996). Meskipun dianugerahi akal,
terkadang manusia suka melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan bahkan
memanganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Sebagai misal, kata “ya” yang
semestinya berarti “ya” ini dalam budaya Jawa sering bermakna “tidak” atau
“tidak tahu” atau hanya sekedar bunyi ujaran tanpa arti sebagai bentuk
kesopanan dalam berkomunikasi. Dalam hal tertentu ketika seseorang berkata “ya”
dalam arti memang benar-benar “ya” maka ia menjadi salah.
Misalnya saja, ketika
seseorang bertamu dan kemudian tuan rumah menawari makan dan si tamu menjawab
“ya” lalu kemudian benar-benar mau makan (bukan makan makanan ringan) maka bisa
jadi orang tersebut dikatakan tidak sopan. Bahkan, bisa saja dicap sebagai
orang yang rakus. Kata
“ya” dalam konteks bertamu pada tradisi Jawa dapat bermakna sebagai bentuk
penghargaan sekaligus penolakan halus terhadap satu tawaran di mana tawaran itu
pun sesungguhnya bukanlah tawaran dalam arti sebenarnya melainkan hanya sebagai
bentuk sopan-santun saja. Jadi,
“ya” itu juga bisa berarti “tidak” dan “tawaran” adalah “basa-basi” atau “omong
kosong” dalam waktu bersamaan.
Hal-hal kecil dan remeh-temeh
seperti di atas jika dilihat secara mendalam memiliki nilai keunikan
tersendiri. Nilai-nilai
semacam ini dapat dijadikan pemicu kreatif bagi lahirnya konsep baru dalam
berkarya. Bayangkan saja jika satu cerita diisi hanya oleh dialog-dialog yang
memiliki nilai seperti dicontohkan di atas, di mana “ya” berarti “tidak” dan
sebaliknya, tetapi dalam waktu lain “ya” bisa bermakna “ya”. Tentu saja jalinan
komunikasi dalam cerita tersebut akan menjadi unik dan menarik untuk dicermati.
Hal-hal yang berada di sebalik apa yang terlihat itulah yang biasanya coba
dituangkan oleh para seniman ke dalam karyanya. Artinya, latar pemikiran
sesederhana apapun dapat dijadikan konsep karya jika memang diamati dan
dikerjakan secara suntuk dan mendalam.
Apa yang akan dipaparkan
dalam paper ini adalah beberapa konsep karya yang mendasari lahirnya sebuah
karya teater. Secara lebih khusus konsep karya teater ini akan dibagi ke dalam
dua bahasan yaitu teater sebagai karya seni dan teater sebagai media. Teater
sebagai karya seni menggambarkan konsep yang melatari lahirnya gaya dalam
sebuah karya teater profesional oleh seniman teater profesional. Sedangkan
teater sebagai media akan meyoroti konsep teater terapan yang digunakan sebagai
media penyadaran masyarakat akan atau terhadap sesuatu hal. Dua bahasan ini
menjadi penting untuk mengetahui bahwa teater sesungguhnya adalah seni yang
luwes, yang mampu merangkum beragam unsur dan dapat diekspresikan melalui
berbagai macam bentuk dan gaya.
Teater
Sebagai Karya Seni
Sejak diselenggarakannya
festival pertama kali pada jaman Yunani, teater yang dulunya merupakan ritus
pemujaan dewamenjelma menjadi sebuah karya seni pertunjukan yang hidup dan
menarik minat banyak khalayak.Dari jaman ke jaman teater menjadi salah satu
alternatif pertunjukan yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan.Perubahan
dari ritus ke dalam karya seni ini tentu saja membawa perubahan sikap para
pelakunya.Jika teater yang dulunya disikapi secara relijius maka sekarang
disikapi secara profesional. Artinya,
ada sosok profesional di balik karya yang dilahirkan. Jika dulunya sosok
profesional itu hanyalah penulis dan aktor, maka sekarang banyak sekali bidang
profesional yang digeluti dalam seni teater seperti; penyutradaraan, tata rias
dan busana, tata cahaya, tata suara, tata panggung, seperti tata kelola
organisasi dan pementasan. Masing-masing
bidang membutuhkan sosok profesional di belakangnya.
Terkait dengan konsep teater
sebagai karya seni, maka umumnya sutradara dianggap sebagai sosok yang paling
bertanggungjwab terhadap konsep pementasan. Semua bidang yang lainnya
mengikuti konsep yang telah dtentukan oleh sutradara ini. Meskipun sesungguhnya
konseptor teater tidak harus sebagai sutradara akan tetapi sebagian besar
konseptor teater adalah sutradara. Galibnya, sutradara atau sang konseptor ini
dalam sejarah teater justru lahir belakangan. Sebelumnya karya teater
merupakan kerja asimilasi antara penulis, produser, aktor, dan penata artistik. Istilah sutradara
seperti yang dipahami dewasa ini baru muncul pada jaman Geroge II. Seorang
bangsawan dari Saxe-Meiningen memimpin sebuah grup teater dan menyelenggarakan
pementasan keliling Eropa pada akhir tahun 1870-1880. Karena banyaknya jumlah pentas yang harus
dilakukan, maka kehadiran seorang sutradara yang mampu mengatur dan
mengharmonisasikan keseluruhan unsur artistik pementasan dibutuhkan (Robert Cohen, 1994).
Karena kerja mengkolaborasi
dan mengharmonisasi unsur-unsur pertunjukan ini, maka sutradara perlu
menetapkan sebuah konsep yang mendasari visi artistik sebuah pertunjukan.Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa secara garis besar, karya yang ditampilkan
adalah perwujudan konsep sutradara.Oleh karena itu pulalah, organisasi teater
profesional sering dipimpin sendiri oleh sutradara.Profesionalitas sutradara menjadi
penanda kualitas karya.Teater sebagai karya seni adalah teater yang dipandang
secara profesional dan dikerjakan oleh orang-orang yang profesional di
bidangnya.
Dalam sejarahnya, konsep
teater profesional telah melahirkan berbagai macam gaya yang oleh Mary Mc Tigue
(1992:161) dibagi ke dalam 3 gaya besar yaitu presentasional, representasional
(realis), dan pos realis. Setiap besaran gaya memiliki banyak cabang gaya di
dalamnya. Besaran gaya dikategorikan berdasar kesamaan ciri-ciri umumnya saja.
Sebagai gambaran di bawah ini akan dipaparkan gaya realis dan gaya teater epik
sebagai cabang (bagian) dari gaya pos realis.
Teater
Realis
Seperti telah
diulas pada awal tulisan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi pada abad 19, mempengaruhi
kemajuan teknik tata lampu dan tata panggung sehingga para seniman teater berusaha
dengan keras untuk dapat
mewujudkan
kenyataan hidup di atas pentas.
Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang disebut representasional atau
biasa disebut realisme. Teater
realis berusaha menampilkan kehidupan nyata di atas pentas sehingga apa yang
disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi penggal cerita kehidupan
yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang
menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi
sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.
Teater realis sangat mempesona
karena berbeda sekali dengan teater
pendahulunya (presentasional). Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita
sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian
sesungguhnya. Unsur-unsur gaya realis adalah sebagai
berikut: a) Aktor saling bermain di antara mereka sendiri, beranggapan seolah-olah penonton
tidak ada, b) Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai
pembatas imajiner antara penonton dan pemain, c) Konvensi seperti wicara
menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi, dan d) Menggunakan bahasa
sehari-hari.
Gaya teater ini mengutamakan
dramatika lakon. Jalinan
peristiwa dalam setiap bagian cerita harus dilakukan berdasar kenyataan
sehingga membuat penonton terbius ke dalam lakon dan lupa bahwa yang mereka
tonton sebenarnya hanyalah pertunjukan teater. Karena mengedepankan
dramatika maka teater realis sering disebut teater dramatik dengan ciri khusus: a) Cerita mengalir berdasar plot, b) Melibatkan emosi penonton ke
dalam situasi cerita, c) Memberikan
sugesti, d) Menghadirkan
sensasi, e) Adegan
yang satu bertalian dengan adegan lain, f) Manusia
dipotret secara utuh dan jadi (tak lagi berubah), dan g) Mengandalkan perasaan. Ciri-ciri tersebut menegaskan bahwa teater
realis memang ingin memberikan gambaran kenyataan di atas pentas (Fredman &
Reade, 1996).
Teater Epik
Dalam
abad 20, seniman teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater
dari batasan-batasan konvensi tertentu dan berusaha memperluas cakrawala
kreativitas baik dari sisi penulisan lakon, penyutradaraan, keaktoran, dan tata artistik pementasan. Usaha ini membawa
semangat untuk melawan atau mengubah gaya realisme yang telah menjadi konvensi
pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan
rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Usaha ini akhirnya melahirkan gaya baru yang dikategorikan
ke dalam gaya pos realis dengan unsur-unsur sebagai berikut; a) Mengkombinasikan
antara unsur presentasional dan realis, b) Menghilangkan dinding imajiner yang membatasi pemain
dengan penonton, dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton, dan c) Bahasa
formal, sehari-hari,
dan bahasa puitis digabungkan dengan beberapa idiom ata istilah baru (Mc Tigue, 1992). Gaya
pos realis ditentukan untuk mewadahi aneka ragam konsep pemikiran seniman
teater abad 20 yang memang ingin lari dari gaya realis. Oleh karenanya pos
realis banyak memiliki cabang gaya, salah satunya adalah teater epik.
Teater epik disebut juga sebagai “teater pembelajaran” dan menolak gaya
realisme, empati, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernyataan
sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan
terkadang melalui kontak langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut
“teater observasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater
epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang biasa disebut sebagai teater dramatik.
Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan
yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam
bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak pernah berubah.
Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht
berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan merupakan bagian
vital dari peristiwa teater. Dalam
usahanya menentang realisme, teater epik memiliki ciri sendiri yaitu; a) Cerita mengalir tidak berdasar plot tetapi
bersifat naratif, b) Mengubah
posisi penonton menjadi observer (pengamat), c) Menekan
penonton untuk mengambil keputusan, d) Tidak
memberikan sugesti melainkan argument, e) Setiap adegan
berdiri sendiri dan tidak harus berjalin dengan adegan lain, f) Manusia bukanlah makhluk jadi tetapi makhluk dalam
proses, dan g) Mengandalkan
nalar.
Dari jabaran ciri-ciri teater epik di atas jelas terlihat bahwa
kehadirannya memang untuk menentang realisme dan mengajak penonton untuk sadar
bahwa mereka menyaksikan pertunjukan teater dan harus mampu mengambil
keputusan, simpulan, dan pelajaran dari apa yang disaksikan secara langsung
(Fredman & Reade, 1996).
Teater
Sebagai MediaPembelajaran
Teater selain sebagai karya
seni yang bersifat profesional dapat pula dijadikan sebagai media pembelajaran
atau penyadaran masyarakat. Apa
yang dilakukan oleh Bertold Brecht dalam teater epik mengarah pada proses
penyadaran kepada masyarakat apa yang sesungguhnya terjadi dan perlu disikapi
dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, teater hadir tidak hanya sekedar sebagai
sebuah pertunjukan namun sebagai sebuah proses pembelajaran. Konsep dasar
seperti yang diungkap oleh Brecht ini mengalami elaborasi dari berbagai pelaku
teater dan melahirkan seni teater sebagai media yang disebut applied theatre[1]
atau teater terapan.
Istilah teater terapan
digunakan sebagai payung gerakan teater yang memiliki komitmen yang kuat untuk
menggunakan kekuatan teater sebagai agen perubahan dalam berbagai bidang pada
masyarakat (manusia). Teater terapan berada di luar teater mainstream (seni teater kebanyakan) dan tidak menyajikan
pertunjukan secara konvensional seperti di gedung-gedung pertunjukan melainkan
langsung berada di tengah-tengah masyarakat atau komunitas tertentu yang
memiliki ketertarikan dengan isu atau tema yang ditampilkan. Karena keterikatan
dengan isu atau tema yang ditampilkan itu, maka teater terapan memiliki banyak
nama seperti teater sosial, teater politik, teater pendidikan, teater radikal,
dan banyak lagi sebutan lainnya. Karakteristik teater terapan adalah sebagai
berikut; a) Fokus pada multi-perspektif (membicarakan masalah dari berbagai
macam sisi), b) Tidak
menggunakan rangkaian cerita atau adegan yang linier dalam membangun struktur
yang efektif, c) Akhir
cerita selalu terbuka dan menyisakan pertanyaan, d) Bergantung pada kekuatan improvisasi, e) Teater digunakan sebagai
media refleksi yang dekat dan langsung terhadap kehidupan nyata untuk
membangkitkan kepedulian dan perubahan, f) Karya
teater diciptakan dengan pendekatan kolektif danterbuka pada setiap perubahan
yang terjadi, g) Menampilkan
isu-isu local, dan h) Penonton
adalah bagian penting dari pertunjukan karena merupakan partisipan aktif yang
ikut membantu terciptanya sebuah pemahaman akan isu yang ditampilkan, dan
terkadang penonton pun ikut tampil beraksi.
Dilihat dari karakterisik di
atas, nampak sekali bahwa teater terapan berbeda jauh secara konsep dan
tampilan dengan teater sebagai karya seni. Tujuan dasarnya berbeda. Jika teater sebagai karya
seni lebih mengutamakan artistika karya seni yang disebut teater, maka teater
sebagai media menggunakan teater sebagai alat untuk membelajarkan sesuatu
kepada khalayak dengan melibatkan khalayak itu sendiri secara aktif.
Di dunia ini banyak sekali
ditemui teater terapan di antaranya adalah; teater kaum tertindas (theatre of the opressed), teater
pendidikan (theatre in education),
teater penjara (prison theatre),
teater untuk pembangunan (theatre for
development), dan teater berbasis komunitas (community based-theatre). Sebagai gambaran konsep karya seni teater
sebagai media, di bawah ini akan dipaparkan konsep teater pendidikan (theatre
in education).
Teater
dalam Pendidikan
(Theatre in Education)
Teater dalam pendidikan atau Theatre in Education (TIE) merupakan
teater tearapan generasi pertama yang dikembangkan di Inggris pada tahun
1960-an. Kelahiran TIE diawali dari adanya program hibah dari pemerintah
Inggris yang dipertuntukkan bagi pengembangan kesenian di mana kelompok teater
profesional dimungkinkan membuat program atau agenda baru yang dapat menjangkau
masyarakat luas. Dalam kenyataan prakteknya, hibah ini hanya diberikan kepada
sebagain kelompok teater yang memiliki program berbasis komunitas dengan
menggandeng sekolahan sebagai partner kerjanya. Oleh karena itu kelompok teater
ini tidak menggelar karyanya di panggung profesional dan mengundang
sekolah-sekolah untuk menonton melainkan mereka justru menggelar karyanya di
sekolah-sekolah. Dengan
demikian keterkaitan dengan kurikulum sekolah menjadi tantangan tersendiri
dalam menghadirkan teater dengan penonton baru (siswa sekolah).
Bagi para aktor pofesional
tentu saja hal ini tidaklah mudah. Pekerjaan yang biasa dilakukan secara
profesional dengan fasilitas panggung dan tata artistik memadahi harus
dilakukan di dalam kelas dengan fasilitas pendukung terbatas serta jumlah
penonton yang sedikit. Kedekatan
jarak antara para aktor dan siswa di kelas ini pada akhirnya mengundang
partisipasi yang tinggi. Dikarenakan para aktor harus menyesuaikan dengan
kurikukum yang ada, maka mau tidak mau mereka juga harus memahami tujuan
pembelajaran dan mencari cara yang paling efektif untuk mengajarkannya. Proses
ini pada akhirnya melahirkan satu genre baru dalam teater yaitu teater
pendidikan dan aktornya disebut aktor-guru.
Dalam perkembangannya proyek
yang dikerjakan oleh TIE ini tidak hanya menarik minat siswa tetapi juga guru
yang ada di sekolah tersebut. Lebih
lanjut, guru-guru (non aktor) ingin juga belajar teater sehingga diperlukan
pelatihan dan workshop bagi mereka. Hasilnya, guru-guru dilibatkan dalam proses
pengembangan dan implementasi materi ajar yang perlu disiapkan terkait dengan
pertunjukan yang akan dilakukan. Peran guru ini menjadi sentral dalam
pengembangan proyek TIE.
Cerita atau naskah lakon
dibangun secara kolaboratif dengan masukan dan saran dari para guru yang sering
memasukkan isu lokal terkait dengan isi kurikulum untuk siswa usia tertentu.
Keadaan ini dengan sendirinya memaksa para aktor untuk bekerja secara
kolaboratif, mencari dan menggali berbagai macam sudut pandang mengenai isu
pendidikan dan sosio-politikal yang terjadi. Proses efektif difokuskan pada
kebutuhan penonton (siswa) dan kebutuhan ketercapaian kurikulum dalam satu
kerja estetik. Hasilnya adalah pertunjukan teater yang mampu melibatkan emosi
dan intelektualitas penonton (siswa) yang dicapai melalui kajian terhadap isu
terlontar dalam refleki pasca pentas.
TIE yang lahir dari sebuah
proyek akhirnya menjadi teater terapan yang berkembang dan diterapkan tidak
hanya di Inggris, tetapi juga di Australia, Kanada dan beberapa negara Eropa. TIE
dalam praktiknya dapat dijelaskan
sebagai berikut; a) TIE sebagai aktivitas teater yang berorientasi sosial
biasanya dipentaskan di tempat yang telah ditentukan dan membutuhkan kerelaan
serta pemahaman dari semua yang terlibat dalam satu ikatan yang telah
disepakati bersama untuk membangun kesadaran akan pentingnya fiksi, b) TIE
dipentaskan di hadapan penonton yang tertentu dan terbatas, c) Tujuan dasar
dari TIE adalah mengajarkan sesuatu kepada penonton dengan memediasi pengalaman
belajar yang dilakukan oleh para aktor melalui karakter peran yang terintegrasi
ke dalam narasi dramatic, d) TIE
terbuka untuk menerima partispasi dari penonton baik itu berupa emosi, aksi,
ataupun intelektual, dan e) Perbedaan mendasar antara TIE dan teater konvensional
adalah hubungan aktor dan penonton di mana TIE secara langsung mengajak
penonton untuk ikut berpartisipasi ke dalam pertunjukan secara aktif,
interaktif, dan responsif sesuai dengan narasi dramatik.
TIE yang semula adalah kelompok
teater profesional pada akhirnya lebur ke dalam konsep teater terapan dengan
mengutamakan pendidikan dalam konteks ketercapaian tujuan kurikulum melalui
sebuah pertunjukan teater. Hal-hal
yang terkait dengan nala artistik ideal harus disesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta materi yang hendak disampaikan. Peran aktor kemudian menjadi
ganda yaitu aktor sekaligus guru. Kebermaknaan pertunjukan TIE sangat
ditentukan oleh partisipasi aktif yang dibangkitkan para aktor melalui laku
karakter sesuai narasi dramatik. Pertunjukan teater akhirnya menjadi
ajang atau media belajar bersama-sama di mana terjadi komunikasi dan diskusi
(shraing) antara pemain dan penonton dalam pertunjukan yang sedang berlangsung
dalam kerangka karya seni. Dengan
demikian bukan lagi ukuran kualitas baik dan buruk sebuah pertunjukan atau
permainan peran aktor di atas panggung,
melainkan bagaimana situasi belajar bersama itu terjadi dalam aktivitas kreatif
yang disebut teater.
Konsep
Karya Teater di Sekolah
Teater
dapat tampil secara mandiri dan ideal sebagai karya seni tetapi juga dapat
digunakan sebagai media pembelajaran. Di sekolah, teater sesungguhnya bukanlah
karya seni semata yang dinilai berdasarkan kecakapan atau kepiawaian berakting tetapi
juga media pendidikan yang dapat digunakan untuk mentransfer pengetahuan atau
nilai tertentu dengan cara kreatif dan menyenangkan. Memang dalam sebuah karya
seni murni ditawarkan nilai tertentu akan tetapi belum tentu nilai tersebut
memiliki aspek fungsi nyata dalam kehidupan. Bisa saja nilai yang ditawarkan
adalah nilai keindahan saja. Dalam
konteks pendidikan, teater selayaknya hadir sebagai media pembelajaran.
Dalam
dunia teater profesional, teater dihadirkan sebagai karya seni hasil cipta
seniman ahli yang ditampilkan di hadapan penonton untuk diapresiasi bahkan
dikagumi.Untuk memproduksi teater ini diperlukan satu latihan rutin dan keras
dengan harapan semua pemain dan pendukung mampu tampil dengan baik sehingga
pertunjukan berjalan dengan sukses.Para pemain dilatih sedemikian rupa untuk menerjemahkan
kehendak artistik sutradara dan mewujudkannya di hadapan penonton.Dalam konteks
ini, sutradara adalah pekarya sesungguhnya sehingga ketika pementasan usai dan
berhasil sutradara boleh mengklaim pementasan tersebut sebagai
karyanya.Demikianlah jiwa teater profesional dan memang demikian
seharusnya.Lalu apakah harus demikian pula teater di sekolah?
Jawaban
dari pertanyaan di atas untuk sementara adalah “ya”. Hal ini terjadi karena hampir
semua pelatih teater di sekolah adalah praktisi teater yang biasa disebut
seniman. Konsekuensi logisnya adalah sang pelatih akan menganggap siswa sebagai
pemainnya dan untuk menghasilkan karya yang berkualitas siswa harus berlatih
rutin dan keras. Sebelum produksi pementasan berlangsung, pelatih akan
menentukan casting yang tepat berdasar nalar artistiknya. Sementara itu, siswa
lain yang tidak kebagian sebagai pemain membantu bidang lain baik itu ilustrasi
musik, dekorasi, busana, cahaya, dan tata kelola pementasan. Jika masih
berlebih, maka siswa tersisa ini berdiri sebagi supporter – terutama ketika
produksi tersebut dipentaskan dalam festival atau lomba tertentu.
Ketika
pada akhirnya pementasan berjalan sukses, maka sutradara akan dielu-elukan dan
dianggap orang yang berhasil menggelar karya berkualitas. Dengan sumber daya
manusia seadanya (siswa) ia mampu menghadirkan karya teater – seolah –
profesional. Sutradara yang sekaligus pelatih ini mentasbihkan namanya. Lalu di
mana nama siswa? Oh, siswa adalah para pemain potensial yang potensinya mampu
dibangkitkan secara optimal oleh pelatih. Jadi, pelatihlah yang hebat karena
mampu membangkitkan dan mengoptimalkan potensi siswa. Lalu, bagaimana ketika pentas
berjalan dengan buruk? Sutradara yang pelatih ini akan berapologi bahwa tidak
cukup waktu berlatih, siswa terlalu banyak disibukkan oleh mata pelajaran lain,
siswa tidak boleh latihan di luar jam sekolah, siswa bukan pemain profesional,
siswa baru belajar teater, nalar siswa belum mampu memahami naskah lakon yang
berat. Setumpuk alasan lain akan dilontarkan yang intinya adalah siswa yang
kurang mampu. Betapa beratnya menjadi siswa yang belajar teater. Jika baik maka
sutradara yang mendapat nama, jika jelek beban itu ada dipundaknya.
Apakah seharusnya demikian
teater di sekolah? Tentu saja “tidak!”. Teater di sekolah adalah
teater pendidikan. Teater di sekolah adalah media pembelajaran nilai-nilai
kehidupan dan hal-hal lain yang terkait dengan proses belajar mengajar di
sekolah. Teater di sekolah tidak mengedepankan karya seni yang sok seniman
tetapi karya seni yang cerdas dan edukatif. Karya seni teater di sekolah
adalah karya seni yang mampu memberikan pencerahan baik bagi para pemain dan
orang yang terlibat di dalamnya atau bagi penonton yang hadir menyaksikan.
Banyak sekali bentuk teater
yang bisa diadopsi baik itu teater boneka, teater dramatik, teater gerak,
teater musikal, dramatic reading, atau teatrikalisasi puisi. Gaya
penyajiannyapun bermacam-macam boleh dengan gaya realis atau pos realis atau
dengan model teater terapan. Sumber
cerita juga bisa dari mana saja bahkan dari sebuah isu yang eksplorasi dan
dielaborasi bersama-sama kemudian dibangun menjadi sebuah cerita. Cerita tidak
harus bersifat realistik, bisa saja ia berupa fabel atau fantasi dengan tokoh
semacam alien, robot, atau benda-benda lain. Satu cerita yang berdurasi
panjang dapat dicapai dengan cerita-cerita berdurasi pendek yang digabungkan. Cerita-cerita pendek bisa
saja berasal dari siswa baik itu pengalaman pribadi atau fiksi. Bentuk sajian
bisa saja berbeda-beda untuk setiap cerita, ada yang disampaikan dalam bentuk
teater boneka, ada yang dalam bentuk teater gerak, dan ada yang dalam bentuk
lain. Intinya, dengan melibatkan siswa sebagai subjek maka proses berteater
akan menjadi menarik, kreatif, dan mendidik.
Menciptakan
teater yang kreatif di sekolah dalam ketersediaan waktu yang sempit
sesungguhnya tidaklah terlalu sulit. Bukan kepiawaian bermain teater atau
menyutradari yang diperlukan melainkan kesadaran, keterbukaan pikiran, dan
kemauan belajar yang tinggi serta keikhlasan bagi guru atau pelatih teater.
Jika sistem pengajaran teater bersifat turun temurun, maka teater akan terjebak
dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas di mana siswa menjadi objek dan
bukan subjek. Banyak pelatih yang mengajarkan praktik teater hanya berdasar
pengalaman waktu mudanya ketika dulu belajar teater baik waktu mahasiswa atau
di sebuah sanggar. Pengalaman ini anehnya tidak pernah dikaji ulang dan pelatih
tidak lagi mau re-learn (belajar
kembali). Untuk menggugah kesadaran adalah visi bahwa teater di sekolah (umum) adalah teater pendidikan dan
bukan pendidikan teater. (+)
(Tulisan ini pernah disampaikan dalam Semiloka Guru Seni dan Budaya di UPT Dikbangkes Jawa Timur pada bulan Juli, 2011)
Bacaan:
Cohen, Robert. 1994. The Theatre. California: Mayfield Publishing Company.
Fredman,
Richard, Ian Reade. 1996. Essential Guide
to Making Theatre. London: Hodder & Stoughton
Huxley,
Michael, Noel Witts, Ed. 1996. The
Twentieth Century Performance Reader. London: Routledge
McTigue,
Mary. 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who,
What’s What and The Way Things Really Work in the Theater. Ohio: Better Way
Books.
Prendergast, Monica, Juliana Saxton. 2009. Applied Theatre International Case Study and
Challenges for Practice. Chicago: Intellect, The University Chicago Press.
[1] Semua bahasan mengenai teater terapan disarikan dari: Monica
Prendergast and Juliana Saxton. 2009. Applied
Theatre International Case Study and Challenges for Practice. Chicago:
Intellect, The University Chicago Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar