Minggu, 04 September 2016

Konsep Karya


(Teater Sebagai Karya Seni dan Media Pembelajaran)

Oleh: Eko Santosa



Rasional
Karya seni teater dalam bentuk pementasan memiliki wujud yang beragam dan senantiasa berubah dari jaman ke jaman. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan manusia baik dari segi sosial, ekonomi, maupun teknologi. Karya seni teater realis seperti yang sering kita lihat di panggung teater modern mendapatkan makna yang sesungguhnya ketika lampu gas ditemukan dan digunakan sebagai lampu panggung pada awal abad ke 19 Keberadaan lampu ini mampu menghadirkan efek iluminasi cahaya bulan, matahari atau lampu praktikal lain sehingga menampilkan kesan cahaya nyata yang datang dari sumber aslinya (periksa, Mc Tigue, 1992). Keadaan ini membuat peristiwa di atas panggung seperti benar-benar terjadi sebagai satu kenyataan hidup. Sebagai konsekuensi logis dari kondisi ini adalah berkembang pesatnya teater realis di panggung-panggung teater dunia dengan tanpa mengesampingkan gaya teater lain yang lahir sebelumnya. Meskipun teater realis tidak saja hadir hanya karena kemunculan lampu gas akan tetapi, penemuan itu mampu mengubah pandangan seniman terhadap panggung pertunjukan dalam konteks tata artistik - pencahayaan.

Dalam perjalanannya banyak hal yang lahir dan mempengaruhi perkembangan teater di dunia ini. Seniman tidak henti-hentinya menemukan atau mengeksplorasi kemungkinan pertunjukan teater dari berbagai macam sisi dan visi. Keanekaragaman pemikiran ini melahirkan jenis tampilan seni teater yang kaya dan penuh warna. Meski terkadang pemikiran yang baru mencoba mengoposisi pemikiran yang lama namun hal ini justru menambah perbendaharaan gaya tampilan teater di atas panggung. Latar pemikiran yang sering disebut konsep ini berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan dinamika kehidupan masyarakat. Kemungkinan visual yang bisa dihadirkan di atas panggung atas bantuan teknologi menjadikan seniman memiliki sisi lain yang bisa dilihat, digali, dan dikembangkan.

Selain itu, dampak utama dari perkembangan teknologi adalah perubahan tatanan sosial dan pola pikir masyarakat. Ketika masyarakat berubah maka teater sebagai produk budaya masyarakat pun berubah. Sebagai misal lahirnya sound efect dalam seni musik mampu mempengaruhi tampilan sebuah karya teater dengan menghadirkan bunyi guntur menggelegar, deburan ombak laut atau ledakan bom yang dhasyat. Teknologi panggung hidrolik mampu memunculkan dan menghilangkan pemain teater dari atas panggung dengan cara yang artistik dan memukau penonton. Teknologi kabel atau kawat yang fleksible dan tidak memantulkan cahaya dapat digunakan untuk membuat pemain nampak terbang di awan. Bahkan foam yang biasa digunakan untuk membungkus peralatan elektronik dapat difungsikan dengan sangat kreatif dalam khasanah tata panggung. Dengan demikian alternatif tampilan visual menjadi lebih luas.

Dinamika kehidupan masyarakat sebagai akibat perkembangan pemikiran dan teknologi menciptakan pola pikir dan nilai-nilai baru. Hal ini pun tidak luput dari perhatian seniman untuk menggagas konsep dalam berteater.Nilai sederhana dalam masyarakat akibat munculnya handphone melahirkan satu pertanyaan mendasar terkait dengan kesopanan misalnya, “apakah lebih sopan mengirim sms atau telepon langsung?”, “Haruskah semua sms dibalas?”, “Jika iya, kapan selesainya atau bagaimana cara mengakhiri komunikasi dengan sms itu?”, ”Jika tidak semua sms dibalas, pahamkah orang yang mengirim sms terakhir?”, “Bagaimana jika handphone hanya bisa menulis huruf kapital saja, sopankah itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini bisa terjadi karena percakapan tidak langsung memiliki keterbatasan, terlebih percakapan dengan kalimat (sms) di mana rangkaian kalimat yang dikirim tidak akan pernah mampu mewakili makna sesungguhnya yang dinginkan. Bisa-bisa melahirkan kesalahpahaman.


Perubahan nilai dan perilaku yang sederhana dan awam seperti di atas mungkin adalah sesuatu hal yang biasa dan tidak mengganggu pikiran. Namun tentu saja tidak demikian bagi seniman teater yang senantiasa menggali gagasan-gagasan baru untuk melahirkan karya baru. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seputar konteks budaya dalam pemakaian handphone seperti di atas bisa saja melahirkan karya baru denga gaya tampilan yang baru pula. Seperti halnya Samuel Beckett yang memotret irasionalitas komunikasi dan komprehensi dalam kehidupan manusia ke dalam Teater Absurd (lihat, Huxley dan Witts, 1996). Meskipun dianugerahi akal, terkadang manusia suka melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan bahkan memanganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Sebagai misal, kata “ya” yang semestinya berarti “ya” ini dalam budaya Jawa sering bermakna “tidak” atau “tidak tahu” atau hanya sekedar bunyi ujaran tanpa arti sebagai bentuk kesopanan dalam berkomunikasi. Dalam hal tertentu ketika seseorang berkata “ya” dalam arti memang benar-benar “ya” maka ia menjadi salah.

Misalnya saja, ketika seseorang bertamu dan kemudian tuan rumah menawari makan dan si tamu menjawab “ya” lalu kemudian benar-benar mau makan (bukan makan makanan ringan) maka bisa jadi orang tersebut dikatakan tidak sopan. Bahkan, bisa saja dicap sebagai orang yang rakus. Kata “ya” dalam konteks bertamu pada tradisi Jawa dapat bermakna sebagai bentuk penghargaan sekaligus penolakan halus terhadap satu tawaran di mana tawaran itu pun sesungguhnya bukanlah tawaran dalam arti sebenarnya melainkan hanya sebagai bentuk sopan-santun saja. Jadi, “ya” itu juga bisa berarti “tidak” dan “tawaran” adalah “basa-basi” atau “omong kosong” dalam waktu bersamaan.

Hal-hal kecil dan remeh-temeh seperti di atas jika dilihat secara mendalam memiliki nilai keunikan tersendiri. Nilai-nilai semacam ini dapat dijadikan pemicu kreatif bagi lahirnya konsep baru dalam berkarya. Bayangkan saja jika satu cerita diisi hanya oleh dialog-dialog yang memiliki nilai seperti dicontohkan di atas, di mana “ya” berarti “tidak” dan sebaliknya, tetapi dalam waktu lain “ya” bisa bermakna “ya”. Tentu saja jalinan komunikasi dalam cerita tersebut akan menjadi unik dan menarik untuk dicermati. Hal-hal yang berada di sebalik apa yang terlihat itulah yang biasanya coba dituangkan oleh para seniman ke dalam karyanya. Artinya, latar pemikiran sesederhana apapun dapat dijadikan konsep karya jika memang diamati dan dikerjakan secara suntuk dan mendalam.

Apa yang akan dipaparkan dalam paper ini adalah beberapa konsep karya yang mendasari lahirnya sebuah karya teater. Secara lebih khusus konsep karya teater ini akan dibagi ke dalam dua bahasan yaitu teater sebagai karya seni dan teater sebagai media. Teater sebagai karya seni menggambarkan konsep yang melatari lahirnya gaya dalam sebuah karya teater profesional oleh seniman teater profesional. Sedangkan teater sebagai media akan meyoroti konsep teater terapan yang digunakan sebagai media penyadaran masyarakat akan atau terhadap sesuatu hal. Dua bahasan ini menjadi penting untuk mengetahui bahwa teater sesungguhnya adalah seni yang luwes, yang mampu merangkum beragam unsur dan dapat diekspresikan melalui berbagai macam bentuk dan gaya.

Teater Sebagai Karya Seni
Sejak diselenggarakannya festival pertama kali pada jaman Yunani, teater yang dulunya merupakan ritus pemujaan dewamenjelma menjadi sebuah karya seni pertunjukan yang hidup dan menarik minat banyak khalayak.Dari jaman ke jaman teater menjadi salah satu alternatif pertunjukan yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan.Perubahan dari ritus ke dalam karya seni ini tentu saja membawa perubahan sikap para pelakunya.Jika teater yang dulunya disikapi secara relijius maka sekarang disikapi secara profesional. Artinya, ada sosok profesional di balik karya yang dilahirkan. Jika dulunya sosok profesional itu hanyalah penulis dan aktor, maka sekarang banyak sekali bidang profesional yang digeluti dalam seni teater seperti; penyutradaraan, tata rias dan busana, tata cahaya, tata suara, tata panggung, seperti tata kelola organisasi dan pementasan. Masing-masing bidang membutuhkan sosok profesional di belakangnya.

Terkait dengan konsep teater sebagai karya seni, maka umumnya sutradara dianggap sebagai sosok yang paling bertanggungjwab terhadap konsep pementasan. Semua bidang yang lainnya mengikuti konsep yang telah dtentukan oleh sutradara ini. Meskipun sesungguhnya konseptor teater tidak harus sebagai sutradara akan tetapi sebagian besar konseptor teater adalah sutradara. Galibnya, sutradara atau sang konseptor ini dalam sejarah teater justru lahir belakangan. Sebelumnya karya teater merupakan kerja asimilasi antara penulis, produser, aktor, dan penata artistik. Istilah sutradara seperti yang dipahami dewasa ini baru muncul pada jaman Geroge II. Seorang bangsawan dari Saxe-Meiningen memimpin sebuah grup teater dan menyelenggarakan pementasan keliling Eropa pada akhir tahun 1870-1880. Karena banyaknya jumlah pentas yang harus dilakukan, maka kehadiran seorang sutradara yang mampu mengatur dan mengharmonisasikan keseluruhan unsur artistik pementasan dibutuhkan (Robert Cohen, 1994).

Karena kerja mengkolaborasi dan mengharmonisasi unsur-unsur pertunjukan ini, maka sutradara perlu menetapkan sebuah konsep yang mendasari visi artistik sebuah pertunjukan.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara garis besar, karya yang ditampilkan adalah perwujudan konsep sutradara.Oleh karena itu pulalah, organisasi teater profesional sering dipimpin sendiri oleh sutradara.Profesionalitas sutradara menjadi penanda kualitas karya.Teater sebagai karya seni adalah teater yang dipandang secara profesional dan dikerjakan oleh orang-orang yang profesional di bidangnya.

Dalam sejarahnya, konsep teater profesional telah melahirkan berbagai macam gaya yang oleh Mary Mc Tigue (1992:161) dibagi ke dalam 3 gaya besar yaitu presentasional, representasional (realis), dan pos realis. Setiap besaran gaya memiliki banyak cabang gaya di dalamnya. Besaran gaya dikategorikan berdasar kesamaan ciri-ciri umumnya saja. Sebagai gambaran di bawah ini akan dipaparkan gaya realis dan gaya teater epik sebagai cabang (bagian) dari gaya pos realis.

Teater Realis
Seperti telah diulas pada awal tulisan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 19, mempengaruhi kemajuan teknik tata lampu dan tata panggung sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk dapat mewujudkan kenyataan hidup di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang disebut representasional atau biasa disebut realisme. Teater realis berusaha menampilkan kehidupan nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi penggal cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.

Teater realis sangat mempesona karena berbeda sekali dengan teater pendahulunya (presentasional). Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya.  Unsur-unsur gaya realis adalah sebagai berikut: a) Aktor saling bermain di antara mereka sendiri, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada, b) Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain, c) Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi, dan d) Menggunakan bahasa sehari-hari.

Gaya teater ini mengutamakan dramatika lakon. Jalinan peristiwa dalam setiap bagian cerita harus dilakukan berdasar kenyataan sehingga membuat penonton terbius ke dalam lakon dan lupa bahwa yang mereka tonton sebenarnya hanyalah pertunjukan teater. Karena mengedepankan dramatika maka teater realis sering disebut teater dramatik dengan ciri khusus: a) Cerita mengalir berdasar plot, b) Melibatkan emosi penonton ke dalam situasi cerita, c) Memberikan sugesti, d) Menghadirkan sensasi, e) Adegan yang satu bertalian dengan adegan lain, f) Manusia dipotret secara utuh dan jadi (tak lagi berubah), dan g) Mengandalkan perasaan. Ciri-ciri tersebut menegaskan bahwa teater realis memang ingin memberikan gambaran kenyataan di atas pentas (Fredman & Reade, 1996).

Teater Epik
Dalam abad 20, seniman teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu dan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon, penyutradaraan, keaktoran, dan tata artistik pementasan. Usaha ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya realisme yang telah menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Usaha ini akhirnya melahirkan gaya baru yang dikategorikan ke dalam gaya pos realis dengan unsur-unsur sebagai berikut; a) Mengkombinasikan antara unsur presentasional dan realis, b) Menghilangkan dinding imajiner yang membatasi pemain dengan penonton, dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton, dan c) Bahasa formal, sehari-hari, dan bahasa puitis digabungkan dengan beberapa idiom ata istilah baru (Mc Tigue, 1992). Gaya pos realis ditentukan untuk mewadahi aneka ragam konsep pemikiran seniman teater abad 20 yang memang ingin lari dari gaya realis. Oleh karenanya pos realis banyak memiliki cabang gaya, salah satunya adalah teater epik.

Teater epik disebut juga sebagai “teater pembelajaran” dan menolak gaya realisme, empati, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernyataan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan terkadang melalui kontak langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “teater observasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht.  Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang biasa disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater. Dalam usahanya menentang realisme, teater epik memiliki ciri sendiri yaitu; a) Cerita mengalir tidak berdasar plot tetapi bersifat naratif, b) Mengubah posisi penonton menjadi observer (pengamat), c) Menekan penonton untuk mengambil keputusan, d) Tidak memberikan sugesti melainkan argument, e) Setiap adegan berdiri sendiri dan tidak harus berjalin dengan adegan lain, f) Manusia bukanlah makhluk jadi tetapi makhluk dalam proses, dan g) Mengandalkan nalar.

Dari jabaran ciri-ciri teater epik di atas jelas terlihat bahwa kehadirannya memang untuk menentang realisme dan mengajak penonton untuk sadar bahwa mereka menyaksikan pertunjukan teater dan harus mampu mengambil keputusan, simpulan, dan pelajaran dari apa yang disaksikan secara langsung (Fredman & Reade, 1996).

Teater Sebagai MediaPembelajaran
Teater selain sebagai karya seni yang bersifat profesional dapat pula dijadikan sebagai media pembelajaran atau penyadaran masyarakat. Apa yang dilakukan oleh Bertold Brecht dalam teater epik mengarah pada proses penyadaran kepada masyarakat apa yang sesungguhnya terjadi dan perlu disikapi dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, teater hadir tidak hanya sekedar sebagai sebuah pertunjukan namun sebagai sebuah proses pembelajaran. Konsep dasar seperti yang diungkap oleh Brecht ini mengalami elaborasi dari berbagai pelaku teater dan melahirkan seni teater sebagai media yang disebut applied theatre[1] atau teater terapan.

Istilah teater terapan digunakan sebagai payung gerakan teater yang memiliki komitmen yang kuat untuk menggunakan kekuatan teater sebagai agen perubahan dalam berbagai bidang pada masyarakat (manusia). Teater terapan berada di luar teater mainstream (seni teater kebanyakan) dan tidak menyajikan pertunjukan secara konvensional seperti di gedung-gedung pertunjukan melainkan langsung berada di tengah-tengah masyarakat atau komunitas tertentu yang memiliki ketertarikan dengan isu atau tema yang ditampilkan. Karena keterikatan dengan isu atau tema yang ditampilkan itu, maka teater terapan memiliki banyak nama seperti teater sosial, teater politik, teater pendidikan, teater radikal, dan banyak lagi sebutan lainnya. Karakteristik teater terapan adalah sebagai berikut; a) Fokus pada multi-perspektif (membicarakan masalah dari berbagai macam sisi), b) Tidak menggunakan rangkaian cerita atau adegan yang linier dalam membangun struktur yang efektif, c) Akhir cerita selalu terbuka dan menyisakan pertanyaan, d) Bergantung pada kekuatan improvisasi, e) Teater digunakan sebagai media refleksi yang dekat dan langsung terhadap kehidupan nyata untuk membangkitkan kepedulian dan perubahan, f) Karya teater diciptakan dengan pendekatan kolektif danterbuka pada setiap perubahan yang terjadi, g) Menampilkan isu-isu local, dan h) Penonton adalah bagian penting dari pertunjukan karena merupakan partisipan aktif yang ikut membantu terciptanya sebuah pemahaman akan isu yang ditampilkan, dan terkadang penonton pun ikut tampil beraksi.

Dilihat dari karakterisik di atas, nampak sekali bahwa teater terapan berbeda jauh secara konsep dan tampilan dengan teater sebagai karya seni. Tujuan dasarnya berbeda. Jika teater sebagai karya seni lebih mengutamakan artistika karya seni yang disebut teater, maka teater sebagai media menggunakan teater sebagai alat untuk membelajarkan sesuatu kepada khalayak dengan melibatkan khalayak itu sendiri secara aktif.

Di dunia ini banyak sekali ditemui teater terapan di antaranya adalah; teater kaum tertindas (theatre of the opressed), teater pendidikan (theatre in education), teater penjara (prison theatre), teater untuk pembangunan (theatre for development), dan teater berbasis komunitas (community based-theatre). Sebagai gambaran konsep karya seni teater sebagai media, di bawah ini akan dipaparkan konsep teater pendidikan (theatre in education).

Teater dalam Pendidikan (Theatre in Education)
Teater dalam pendidikan atau Theatre in Education (TIE) merupakan teater tearapan generasi pertama yang dikembangkan di Inggris pada tahun 1960-an. Kelahiran TIE diawali dari adanya program hibah dari pemerintah Inggris yang dipertuntukkan bagi pengembangan kesenian di mana kelompok teater profesional dimungkinkan membuat program atau agenda baru yang dapat menjangkau masyarakat luas. Dalam kenyataan prakteknya, hibah ini hanya diberikan kepada sebagain kelompok teater yang memiliki program berbasis komunitas dengan menggandeng sekolahan sebagai partner kerjanya. Oleh karena itu kelompok teater ini tidak menggelar karyanya di panggung profesional dan mengundang sekolah-sekolah untuk menonton melainkan mereka justru menggelar karyanya di sekolah-sekolah. Dengan demikian keterkaitan dengan kurikulum sekolah menjadi tantangan tersendiri dalam menghadirkan teater dengan penonton baru (siswa sekolah).

Bagi para aktor pofesional tentu saja hal ini tidaklah mudah. Pekerjaan yang biasa dilakukan secara profesional dengan fasilitas panggung dan tata artistik memadahi harus dilakukan di dalam kelas dengan fasilitas pendukung terbatas serta jumlah penonton yang sedikit. Kedekatan jarak antara para aktor dan siswa di kelas ini pada akhirnya mengundang partisipasi yang tinggi. Dikarenakan para aktor harus menyesuaikan dengan kurikukum yang ada, maka mau tidak mau mereka juga harus memahami tujuan pembelajaran dan mencari cara yang paling efektif untuk mengajarkannya. Proses ini pada akhirnya melahirkan satu genre baru dalam teater yaitu teater pendidikan dan aktornya disebut aktor-guru.

Dalam perkembangannya proyek yang dikerjakan oleh TIE ini tidak hanya menarik minat siswa tetapi juga guru yang ada di sekolah tersebut. Lebih lanjut, guru-guru (non aktor) ingin juga belajar teater sehingga diperlukan pelatihan dan workshop bagi mereka. Hasilnya, guru-guru dilibatkan dalam proses pengembangan dan implementasi materi ajar yang perlu disiapkan terkait dengan pertunjukan yang akan dilakukan. Peran guru ini menjadi sentral dalam pengembangan proyek TIE.

Cerita atau naskah lakon dibangun secara kolaboratif dengan masukan dan saran dari para guru yang sering memasukkan isu lokal terkait dengan isi kurikulum untuk siswa usia tertentu. Keadaan ini dengan sendirinya memaksa para aktor untuk bekerja secara kolaboratif, mencari dan menggali berbagai macam sudut pandang mengenai isu pendidikan dan sosio-politikal yang terjadi. Proses efektif difokuskan pada kebutuhan penonton (siswa) dan kebutuhan ketercapaian kurikulum dalam satu kerja estetik. Hasilnya adalah pertunjukan teater yang mampu melibatkan emosi dan intelektualitas penonton (siswa) yang dicapai melalui kajian terhadap isu terlontar dalam refleki pasca pentas.

TIE yang lahir dari sebuah proyek akhirnya menjadi teater terapan yang berkembang dan diterapkan tidak hanya di Inggris, tetapi juga di Australia, Kanada dan beberapa negara Eropa. TIE dalam praktiknya dapat dijelaskan sebagai berikut; a) TIE sebagai aktivitas teater yang berorientasi sosial biasanya dipentaskan di tempat yang telah ditentukan dan membutuhkan kerelaan serta pemahaman dari semua yang terlibat dalam satu ikatan yang telah disepakati bersama untuk membangun kesadaran akan pentingnya fiksi, b) TIE dipentaskan di hadapan penonton yang tertentu dan terbatas, c) Tujuan dasar dari TIE adalah mengajarkan sesuatu kepada penonton dengan memediasi pengalaman belajar yang dilakukan oleh para aktor melalui karakter peran yang terintegrasi ke dalam narasi dramatic, d) TIE terbuka untuk menerima partispasi dari penonton baik itu berupa emosi, aksi, ataupun intelektual, dan e) Perbedaan mendasar antara TIE dan teater konvensional adalah hubungan aktor dan penonton di mana TIE secara langsung mengajak penonton untuk ikut berpartisipasi ke dalam pertunjukan secara aktif, interaktif, dan responsif sesuai dengan narasi dramatik.

TIE yang semula adalah kelompok teater profesional pada akhirnya lebur ke dalam konsep teater terapan dengan mengutamakan pendidikan dalam konteks ketercapaian tujuan kurikulum melalui sebuah pertunjukan teater. Hal-hal yang terkait dengan nala artistik ideal harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta materi yang hendak disampaikan. Peran aktor kemudian menjadi ganda yaitu aktor sekaligus guru. Kebermaknaan pertunjukan TIE sangat ditentukan oleh partisipasi aktif yang dibangkitkan para aktor melalui laku karakter sesuai narasi dramatik. Pertunjukan teater akhirnya menjadi ajang atau media belajar bersama-sama di mana terjadi komunikasi dan diskusi (shraing) antara pemain dan penonton dalam pertunjukan yang sedang berlangsung dalam kerangka karya seni. Dengan demikian bukan lagi ukuran kualitas baik dan buruk sebuah pertunjukan atau permainan peran aktor di atas panggung, melainkan bagaimana situasi belajar bersama itu terjadi dalam aktivitas kreatif yang disebut teater.

Konsep Karya Teater di Sekolah
Teater dapat tampil secara mandiri dan ideal sebagai karya seni tetapi juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Di sekolah, teater sesungguhnya bukanlah karya seni semata yang dinilai berdasarkan kecakapan atau kepiawaian berakting tetapi juga media pendidikan yang dapat digunakan untuk mentransfer pengetahuan atau nilai tertentu dengan cara kreatif dan menyenangkan. Memang dalam sebuah karya seni murni ditawarkan nilai tertentu akan tetapi belum tentu nilai tersebut memiliki aspek fungsi nyata dalam kehidupan. Bisa saja nilai yang ditawarkan adalah nilai keindahan saja. Dalam konteks pendidikan, teater selayaknya hadir sebagai media pembelajaran.

Dalam dunia teater profesional, teater dihadirkan sebagai karya seni hasil cipta seniman ahli yang ditampilkan di hadapan penonton untuk diapresiasi bahkan dikagumi.Untuk memproduksi teater ini diperlukan satu latihan rutin dan keras dengan harapan semua pemain dan pendukung mampu tampil dengan baik sehingga pertunjukan berjalan dengan sukses.Para pemain dilatih sedemikian rupa untuk menerjemahkan kehendak artistik sutradara dan mewujudkannya di hadapan penonton.Dalam konteks ini, sutradara adalah pekarya sesungguhnya sehingga ketika pementasan usai dan berhasil sutradara boleh mengklaim pementasan tersebut sebagai karyanya.Demikianlah jiwa teater profesional dan memang demikian seharusnya.Lalu apakah harus demikian pula teater di sekolah?

Jawaban dari pertanyaan di atas untuk sementara adalah “ya”. Hal ini terjadi karena hampir semua pelatih teater di sekolah adalah praktisi teater yang biasa disebut seniman. Konsekuensi logisnya adalah sang pelatih akan menganggap siswa sebagai pemainnya dan untuk menghasilkan karya yang berkualitas siswa harus berlatih rutin dan keras. Sebelum produksi pementasan berlangsung, pelatih akan menentukan casting yang tepat berdasar nalar artistiknya. Sementara itu, siswa lain yang tidak kebagian sebagai pemain membantu bidang lain baik itu ilustrasi musik, dekorasi, busana, cahaya, dan tata kelola pementasan. Jika masih berlebih, maka siswa tersisa ini berdiri sebagi supporter – terutama ketika produksi tersebut dipentaskan dalam festival atau lomba tertentu.

Ketika pada akhirnya pementasan berjalan sukses, maka sutradara akan dielu-elukan dan dianggap orang yang berhasil menggelar karya berkualitas. Dengan sumber daya manusia seadanya (siswa) ia mampu menghadirkan karya teater – seolah – profesional. Sutradara yang sekaligus pelatih ini mentasbihkan namanya. Lalu di mana nama siswa? Oh, siswa adalah para pemain potensial yang potensinya mampu dibangkitkan secara optimal oleh pelatih. Jadi, pelatihlah yang hebat karena mampu membangkitkan dan mengoptimalkan potensi siswa. Lalu, bagaimana ketika pentas berjalan dengan buruk? Sutradara yang pelatih ini akan berapologi bahwa tidak cukup waktu berlatih, siswa terlalu banyak disibukkan oleh mata pelajaran lain, siswa tidak boleh latihan di luar jam sekolah, siswa bukan pemain profesional, siswa baru belajar teater, nalar siswa belum mampu memahami naskah lakon yang berat. Setumpuk alasan lain akan dilontarkan yang intinya adalah siswa yang kurang mampu. Betapa beratnya menjadi siswa yang belajar teater. Jika baik maka sutradara yang mendapat nama, jika jelek beban itu ada dipundaknya.

Apakah seharusnya demikian teater di sekolah? Tentu saja “tidak!”. Teater di sekolah adalah teater pendidikan. Teater di sekolah adalah media pembelajaran nilai-nilai kehidupan dan hal-hal lain yang terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah. Teater di sekolah tidak mengedepankan karya seni yang sok seniman tetapi karya seni yang cerdas dan edukatif. Karya seni teater di sekolah adalah karya seni yang mampu memberikan pencerahan baik bagi para pemain dan orang yang terlibat di dalamnya atau bagi penonton yang hadir menyaksikan.
           
Banyak sekali bentuk teater yang bisa diadopsi baik itu teater boneka, teater dramatik, teater gerak, teater musikal, dramatic reading, atau teatrikalisasi puisi. Gaya penyajiannyapun bermacam-macam boleh dengan gaya realis atau pos realis atau dengan model teater terapan. Sumber cerita juga bisa dari mana saja bahkan dari sebuah isu yang eksplorasi dan dielaborasi bersama-sama kemudian dibangun menjadi sebuah cerita. Cerita tidak harus bersifat realistik, bisa saja ia berupa fabel atau fantasi dengan tokoh semacam alien, robot, atau benda-benda lain. Satu cerita yang berdurasi panjang dapat dicapai dengan cerita-cerita berdurasi pendek yang digabungkan. Cerita-cerita pendek bisa saja berasal dari siswa baik itu pengalaman pribadi atau fiksi. Bentuk sajian bisa saja berbeda-beda untuk setiap cerita, ada yang disampaikan dalam bentuk teater boneka, ada yang dalam bentuk teater gerak, dan ada yang dalam bentuk lain. Intinya, dengan melibatkan siswa sebagai subjek maka proses berteater akan menjadi menarik, kreatif, dan mendidik.

Menciptakan teater yang kreatif di sekolah dalam ketersediaan waktu yang sempit sesungguhnya tidaklah terlalu sulit. Bukan kepiawaian bermain teater atau menyutradari yang diperlukan melainkan kesadaran, keterbukaan pikiran, dan kemauan belajar yang tinggi serta keikhlasan bagi guru atau pelatih teater. Jika sistem pengajaran teater bersifat turun temurun, maka teater akan terjebak dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas di mana siswa menjadi objek dan bukan subjek. Banyak pelatih yang mengajarkan praktik teater hanya berdasar pengalaman waktu mudanya ketika dulu belajar teater baik waktu mahasiswa atau di sebuah sanggar. Pengalaman ini anehnya tidak pernah dikaji ulang dan pelatih tidak lagi mau re-learn (belajar kembali). Untuk menggugah kesadaran adalah visi bahwa teater di sekolah (umum) adalah teater pendidikan dan bukan pendidikan teater. (+)

(Tulisan ini pernah
disampaikan dalam Semiloka Guru Seni dan Budaya di UPT Dikbangkes Jawa Timur pada bulan Juli,  2011)

Bacaan:
Cohen, Robert. 1994. The Theatre. California: Mayfield Publishing Company.
Fredman, Richard, Ian Reade. 1996. Essential Guide to Making Theatre. London: Hodder & Stoughton
Huxley, Michael, Noel Witts, Ed. 1996. The Twentieth Century Performance Reader. London: Routledge
McTigue, Mary. 1992. Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What and The Way Things Really Work in the Theater. Ohio: Better Way Books.
Prendergast, Monica, Juliana Saxton. 2009. Applied Theatre International Case Study and Challenges for Practice. Chicago: Intellect, The University Chicago Press.



[1] Semua bahasan mengenai teater terapan disarikan dari: Monica Prendergast and Juliana Saxton. 2009. Applied Theatre International Case Study and Challenges for Practice. Chicago: Intellect, The University Chicago Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar