(Sebuah Pengantar Ringkas)
Oleh: Eko
Santosa
I. Pengertian Teater Daerah
Secara
etimologis teater berasal dari kata Yunani “theatron” yang berarti panggung
atau tempat pertunjukan. Teater dapat didefiniskan dalam arti luas dan sempit.
Dalam arti luas teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan
orang banyak misalnya; ludruk, kethoprak, wayang orang, sulapan, akrobatik dan
lain sebagainya. Dalam arti sempit teater dapat dijelaskan sebagai kisah hidup
dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak,
menggunakan media; percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor,
didasarkan pada naskah tertulis (hasil seni sastera) dengan atau tanpa musik,
nyanyian, dan tarian.[1]
Menurut
uraian di atas, pementasan teater harus berdasarkan pada naskah tertulis.
Pengertian ini berlaku karena pengaruh dan perkembangan teater barat modern.
Lalu apakah teater yang dipentaskan tidak berdasar pada naskah tertulis dan
hanya berdasar pada penuangan (tutur) tidak bisa disebut teater? Tentu saja
tidak. Naskah tertulis, dalam teater hanya digunakan sebagai penanda berawalnya
teater modern. Teater tradisi atau daerah di Indonesia banyak yang menggunakan
cerita dari mulut ke mulut sebagai sumber utama cerita dan bahan dasar
ekspresi. Hal mendasar inilah yang membedakan antara teater daerah (tradisi)
dan teater modern. Akan tetapi pada perkembangannya teater daerah juga mendapat
pengaruh dari teater modern sehingga tidak jarang kita temui naskah-naskah
cerita pertunjukan teater daerah. Oleh karena hal tersebut maka teater
daerah diberi batasan sebagai seni pertunjukan yang memiliki ciri-ciri khas
suatu daerah tertentu.[2]
Selanjutnya
untuk memetakan teater daerah berdasarkan kelahiran, perkembangan dan
perubahannya teater daerah Indonesia dapat dibedakan menjadi teater tradisional
dan teater daerah baru. Teater
tradisional adalah teater yang telah hidup, berkembang dan diajarkan secara
turun temurun dari generasi ke generasi (biasanya secara lisan) oleh masyarakat
suatu daerah tertentu, misalnya; wayang kulit, wayang orang dan tontonan topeng
baik di Jawa dan Bali. Teater tradisi ini sendiri dibagi menjadi dua yaitu
yang berkembang di istana dan yang berkembang di luar tembok istana yang biasa
disebut sebagai teater rakyat. Sedangkan teater daerah baru adalah teater
yang sekalipun memiliki ciri-ciri kedaerahan tetapi relatif baru kelahirannya,
seperti; drama gong dan sandiwara radio daerah.[3]
II. Gaya dan Ciri
Pementasan Teater Daerah
Gaya yang
dibicarakan di sini didefinisikan sebagai model penampilan atau perilaku
tampilan di atas pentas. Berdasarkan cara atau model pemanggungannya maka
teater daerah memiliki gaya presentasional, artinya bahwa pertunjukan yang
disajikan tersebut benar-benar diperuntukkan kepada penonton (berbeda dengan
gaya realis yang mencoba menampilkan potongan kehidupan sesungguhnya di atas
pentas sehingga keberadaan penonton seolah diabaikan). Elemen-elemen gaya
presentasional ini adalah; para pemain bermain secara langsung kepada penonton
(bahkan bisa saling menyentuh atau berkomunikasi), terdapat banyak monolog dan
akting yang diperbesar serta sering digunakannya ungkapan-ungkapan puitis.[4]
Senada
dengan gaya-nya maka ciri-ciri pementasan teater daerah dapat dilihat dari tiga
hal; suasana tontonan, paduan aspek pendukung tontonan, dan cara pengungkapan
pelaku-pelakunya. Suasana pementasan teater daerah sangat berbeda dengan
pementasan teater modern atau teater barat. Dalam teater modern (barat),
penonton menyaksikan dengan tertib dari awal hingga pertunjukan berakhir, tidak
boleh ribut, tidak boleh menyela pertunjukan yang berlangsung dan berbagai
tatanan yang lain. Berbeda dengan teater daerah, penontonnya dapat menikmati
pertunjukan dengan santai. Tidak ada tuntutan untuk hanya memusatkan perhatian
pada pertunjukan saja, bahkan selama pertunjukan kadang penonton dapat
melakukan komunikasi dengan pemain atau memberi arahan pada pemain.
Dari
segi aspek pendukung, teater daerah biasanya memadukan segala unsur seni
pertunjukan; tari, musik, lagu, dan bahkan akrobat (atraksi). Hal ini
dikarenakan teater daerah tidak ditampilkan secara khusus untuk kalangan atau
seseorang tertentu akan tetapi untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat,
sehingga mengakibatkan sifat pertunjukkannya memiliki bagian-bagian yang dapat
mengakomodasi keinginan-keinginan penonton. Kehendak untuk memenuhi keinginan
penonton inilah yang juga mendasari lahirnya stilisasi dan atau pengindahan
bentuk-bentuk ungkap (ekspresi) para pelakunya. Karena hubungan antar pemain
dan penonton yang begitu dekat maka tidak jarang pemain melepaskan sebentar
karakter yang dimainkannya hanya untuk melayani komentar atau arahan penonton.
Hal-hal demikian bukan membuat pertunjukan menjadi jelek, akan tetapi justru
menjadi hidup, cair, komunikatif, dan unik.
III. Beberapa
Teater Daerah Indonesia
a. Longser
Teater rakyat, yang
di dalamnya berisikan tari, nyanyi, lawak yang seluruh pelakunya, sejumlah
penabuh, beberapa penari wanita yang disebut ronggeng dan seorang pelawak atau
badut yang biasa memimpin rombongan longser itu berada di atas satu panggung.
Pertunjukan longser dimulai dengan memperkenalkan para ronggeng yang menari
bersama-sama. Kemudian setelah itu adegan lawak mulai dengan munculnya badut
yang ikut menari-nari secara jenaka. Selanjutnya terjadilah adegan badut
menyenangi ronggeng yang cantik.
Kadang-kadang
setelah menari tunggal, badut juga memperlihatkan tarian jenaka seperti
Cikeruhan, Langlayangan, Maen Kartu, tari Tani dan tarian lainnya yang
bertemakan kegaitan rakyat banyak. Yang paling menarik adalah adegan di mana
penonton pria diperkenankan memasuki arena untuk menari berpasangan dengan para
ronggeng. Adegan ini merupakan kesempatan bagi rombongan longser untuk memungut
uang dari para penonton. Uang ini dapat diterima dari penari pria yang
memberikannya langsung kepada ronggeng atau melaui “ngara yuda”, yaitu sejumlah
ronggeng berkeliling di antara penonton sambil mengedarkan nampan sebagai
tempat uang sumbangan.
Peranan badut atau
pelawak yang biasa disebut bodor sangatlah penting. Mereka merupakan perajut
cerita dari seluruh pertunjukan longser yang biasanya bertema kehidupan
sehari-hari seperti; pertengkaran, perkawinan, perceraian dan lain-lain.[5]
b. Lenong
Teater rakyat
berlakon yang ceritanya digali dari cerita rakyat dan legenda daerah Jakarta
dengan tokoh-tokoh jago silat seperti si Pitung, si Jampang, Ayub Jago Betawi,
Marunda dan lain sebagainya. Pertunjukan lenong diiringi oleh gamelan gambang
kromong yang terdiri dari; gambang, kromong, suling, tekyang, kong ah yan, sukong,
cecer, dan gong.
Ditilik dari sisi
instrumen musik, lenong banyak mendapat pengaruh dari masyarakat Cina yang
memang banyak tinggal di Jakarta waktu itu. Bahkan kelahiran lenong inipun
mendapat rangsangan dan pengaruh dari pertunjukan Wayang Cina. Meski begitu
dalam perkembangannya lenong tidak menolak pengaruh lain, misalnya; untuk
memberikan suasana Eropa pada adegan rumah tuan Belanda maka terompetpun
dihadirkan.[6]
Pertunjukan lenong
biasa dibuka dengan tari-tarian khas Betawi. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Betawi atau bahasa Indonesia dengan dialek Betawi. Adegan-adegan dalam
pertunjukan lenong berjalan mengalir dan cair. Semua pemainnya memiliki potensi
komedi, artinya, setiap peran tokoh dapat dilakonkan secara jenaka. Komunikasi
dengan penonton menjadi ciri dan kekuatan tersendiri dalam pertunjukan lenong.
Peran penonton kadang dapat memberikan suasana dan mengalirkan dinamika lakon
yang hendak dibangun. Yang sangat menjadi khas gaya lenong adalah; pemain yang
menanyakan pendapat penonton tentang satu masalah atau persoalan tertentu
sehingga pemain membutuhkan pembenaran-pembenaran. Dari interaksi ini biasanya
justru melahirkan persoalan-persoalan kecil lain yang membuat konflik antar
pemain menajam dan menjadikan lakon dinamis.
C. Wayang Orang
Wayang Orang
merupakan pertunjukan tradisional yang berkembang di dalam benteng istana.
Pertunjukan ini mengambil model wayang kulit yang dilakonkan orang.
Perkembangan wayang orang sangat pesat pada rentang tahun 1900-19400. Ada dua
gaya yaitu; Wayang Orang gaya Yogyakarta dan Surakarta. Keduanya mengalami
perkembangan yang signifikan pada tahun-tahun tersebut. Pada masa itu kalangan
istana dalam hal ini Raja memiliki kepedulian yang besar terhadap kesenian
sehingga banyak pertunjukan wayang orang digelar. Tidak jarang dalam satu
pementasannya sebuah lakon dimainkan oleh ratusan seniman dan
penyelengaraannyapun berhari-hari. Menurut catatan Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII (Raja Yogyakarta) pernah menggelar pertunjukan wayang orang dengan pemain
sejumlah 800 orang selama 4 hari berturut-turut.
Pada
perkembangannya Wayang Orang lebih mendapatkan eksistensinya di Surakarta.
Banyak muncul rombongan wayang, di antaranya; Sedyo Wandowo (1929), Sri Wahito
(1935), dan Ngesthi Pandawa (1962). Perkembangan ini tidak lepas dari peranan
Raja yang memang memberikan ruang gerak dan ekspresi bagi seni Wayang Orang.
Hal ini ditandai dengan didirikannya tempat pertunjukan di lokasi “Sri Wedari”
yang merupakan Kebun Raja oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X pada tahun 1901.
Banyak macam pertunjukan digelar di tempat tersebut, salah satunya yang
mendapat perhatian adalah Wayang Orang.
Secara
struktur pertunjukan Wayang Orang tidak jauh berbeda dengan Wayang Kulit.
Penjalinan adegan satu dengan yang lain, tata urutan adegan, pola dialog, dan
hampir seluruh elemen pertunjukan memiliki kemiripan dengan wayang kulit.
Sumber lakon yang banyak digunakan juga sama, yaitu; epos Mahabarata dan
Ramayana.
D. Ketoprak
Pada mulanya
ketoprak adalah seni rakyat yang berkembang di tengah-tengah rakyat akan tetapi
karena kepopulerannya ketoprak mendapat sentuhan dari kalangan istana dengan
sering diboyongnya pertunjukan ketoprak di pendapa istana. Sampai saat ini
terdapat dua pendapat tentang lahirnya ketoprak. Pendapat pertama menyatakan bahwa ketoprak diciptakan oleh RMT
Wreksodiningrat dari Surakarta tahun 1908. Pendapat kedua menyatakan bahwa
ketoprak lahir lebih kurang tahun 1887 di suatu desa bagian selatan Yogyakarta.[7]
Lepas
dari hal tersebut, ketoprak mengalami perkembangan yang menggembirakan
(terutama di Yogyakarta). Bahkan sampai saat ini terdapat tiga periode besar
perkembangan ketoprak yaitu; periode Ketoprak Lesung, Ketoprak Peralihan, dan
Ketoprak Gamelan. Pada periode Ketoprak Lesung alat yang digunakan sebagai
musik adalah lesung (alat penumbuk padi manual), pada periode peralihan
musiknya mulai menambahkan alat tabuhan semisal rebana. Pada periode Ketoprak
Gamelanlah pertunjukan ketoprak benar-benar mengalami perubahan. Pada periode
ini, keseluruhan sajian lakon mendapatkan sentuhan.
Pada
masa-masa awal perkembangan Ketoprak Gamelan model sajiannya masih banyak
menggunakan unsur tarian dan nyanyian. Para pemain menari sebelum memasuki
pentas dan terkadang menyanyi untuk memulai sebuah adegan. Sebagai pengalih dan
sekaligus hiburan maka diciptakan adegan khusus dagelan (lawak) yang biasanya
diperankan oleh para abdi. Berikutnya ketoprak mendapatkan berbagai macam
pengaruh dan sentuhan sehingga model pengadeganan menjadi lebih kreatif. Seni
teater Barat memiliki pengaruh yang kuat pada perkembangan ketoprak. Tidak
hanya pada pengadeganan akan tetapi juga menyentuh wilayah-wilayah artistik
lain seperti tata panggung.
Sumber
cerita ketoprak sangatlah beragam; Panji, Sejarah Kerajaan, bahkan cerita 1001
malam dan cerita-cerita dari negeri tiongkok juga diadopsi. Dengan banyaknya
sumber cerita ini maka ketoprak seolah tidak pernah kehabisan bahan sebagai
media ungkap ekspresi. Di samping itu ketoprak juga sangat terbuka terhadap
lahirnya jenis-jenis seni baru dan terkadang justru memasukkannya menjadi satu
bagian integral misalnya; campur sari. Hal ini dilakukan oleh para seniman
ketoprak untuk tetap menjaga kelestarian dan kemungkinan perkembangan hidupnya
di masa datang.
e. Ludruk
Ludruk merupakan
seni teater daerah yang membawakan lakon (cerita) dengan gerak laku realistik
dan lebih mementingkan dialog (percakapan) serta banyolan. Pada mulanya ludruk
dimainkan oleh pria, sehingga peran-peran wanita juga dimainkan oleh pria. Hal
ini menjadi daya tarik tersendiri bagi seni ludruk. Meski sekarang banyak peran
wanita yang dimainkan oleh wanita akan tetapi masih ada rombongan ludruk yang
mempertahankan tradisi dengan pemain laki-laki.
Pertunjukan
ludruk memiliki struktur yang terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
1. Ngremo. Setiap
pertunjukan ludruk selalu diawali dengan tari Remo. Tari ini dapat dilakukan
oleh wanita atau pria. Karena selalu mengawali pertunjukan ludruk ada kalanya
tari Remo disebut tari-Ludruk.
2. Dagelan.
Setelah ngremo diteruskan dengan bagian kedua, yaitu dagelan atau lawak.
Seorang pelawak keluar dan melakukan kidungan (nyanyian), kemudian disusul
dengan pelawak-pelawak lain. Pada bagian ini yang ditonjolkan adalah unsur
lawakannya, sekalipun sering digunakan tema cerita sebagai kaitannya.
3. Selingan. Para
pemain laki-laki yang berdandan wanita muncul sambil bergaya menari dan
membawakan kidungan (dalam perkembangnnya bagian ini tidak wajib dilakukan
terutama bagi rombongan yang tidak memiliki peran tranvesti).
4. Lakon.
Barulah kemudian dimulai dengan cerita yang sesungguhnya, yang terbagi dalam
babak dan adegan.[8]
Sumber
cerita ludruk biasanya adalah kehidupan sehari-hari, legenda pahlawan daerah
Jawa Timur atau cerita revolusi. Dalam menyajikan cerita-cerita tersebut tak
jarang diselingi dengan lawakan atau lagu-lagu (nyanyian atas permintaan
penonton) dalam beberapa adegannya. Sebagai instrumen musik pengiringnya ludruk
menggunakan gamelan, meski tidak selengkap gamelan Jawa untuk mengiringi wayang
kulit. Instrumen gamelan yang digunakan antara lain; saron, gender, bonang,
gambang, rebab, suling, siter, beberapa gong, dan kendang.
f. Drama Gong
Drama Gong
merupakan seni teater daerah baru, yang diciptakan atau diprakarsai oleh Anak
Agung Gde Raka Payadnya pada tahun 1966. Seni teater ini merupakan perpaduan
antara sendratari, sandiwara (drama modern), Arja (Prembon) dan diiringi dengan
gamelan Gong Kebyar. Drama Gong sejak lahirnya tidak memiliki fungsi lain
selain hadir sebagai seni hiburan.
Pertama
kali lakon yang digunakan untuk pementasan dalam drama Gong diambil dari cerita
Jayaprana, sebuah cerita rakyat Bali yang temanya serupa dengan kisah romeo dan
Juliet. Kemudian pada perkembangannya banyak cerita-cerita klasik yang diangkat
ke dalam pertunjukan Drama Gong seperti; Ramayana, Mahabarata, Panji, Sejarah
Bali, dan lain sebagainya. Dalam menyampaikan dialog atau percakapa antartokoh,
Drama Gong menggunakan bahasa Bali, halus atau kasar. Hal ini berbeda dengan
teater klasik yang sering menggunakan bahasa Jawa Kuno dalam pementasannya.
Pemilihan penggunaan bahasa ini menjadikan Drama Gong tampil komunikatif.
g. Wayang
Wayang merupakan
suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana
asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di
Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung
dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah
dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya
Mpu Kanwa, pada
Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang
dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.
Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model
pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang
pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para
leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa
dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya
hanya digambar di dalam rontal (daun
tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang
kulit sebagaimana dikenal
sekarang.
h. Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan.
Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah
Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam
perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan
juga cerita-cerita kerajaan. Makyong
juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan
di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya,
dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan
dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya.
Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa
Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau,
kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu
sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah
penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok
makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan
dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka
tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
i. Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang
bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai
saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh
masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater
tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai
bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba”
(dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua
unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
·
Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang
disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat
musik tradisional Minang, yaitu salung,
rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
·
Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang
dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari
gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam
kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
j. Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain
yang paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang
bersifat kerakyatan, yang orang sering
menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada
tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka
yang lebih dikenal dengan Komidi Indra
Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap
perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir,
telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek,
atau dari kata Ba Abdoel Moeloek.
Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
k. Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di
daerah Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu,
serupa dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat
dipentaskan di mana saja, seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan
bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau
meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug
dapat diundang tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng
atau cerita sejarah Beberapa cerita yang
sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau
Si Jampang (pahlawan rakyat
setempat, seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan
seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan
sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian para
penonton.
l. Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di
Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah
bahasa Bali Kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang.
Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu
tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber
dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14
di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di
Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari
struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang
dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri.
Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan
berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam
bahasa Bali biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat rendah,
dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat
yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan
“pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater Barat
karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para
penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah
gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua
atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling.
Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau
disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.
m. Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan
terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan
bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang
terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan
pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh
yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya.
Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali
halus yang disusun dalam tembang macapat.
(+)
Bacaan
A. Kasim Achmad, Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2006.
Handung
Kus Sudyarsana, Ketoprak, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1989.
Harymawan, RMA., Dramaturgi, Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, Bandung,1993
McTigue, Mary, Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s
What, and the Way Things Really work in the Theatre, Betterway Books,
Cincinnati, Ohio, 1992.
MSPI, Direktori Seni Pertunjukan Tradisional, Masyarakat
Seni Pertunjukan Indonesia – Artiline, 1999.
Sal Murgiyanto, J. Bandem, I Made Bandem, Seni
Teater Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan menengah, Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983.
[1] RMA. Harymawan, Dramaturgi,
Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 2.
[2] Sal Murgiyanto, J. Made Bandem, I Made
Bandem, Seni Teater Daerah (Sebuah Pengantar), Depdikbud, Dirjen
Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Pengadaan Buku
Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983, hal. 2.
[3] Sal
Murgiyanto, Ibid. hal. 8.
[4] Mary
MacTigue, Acting Like a Pro, Who’s Who, What’s What, and the Way Things
Really Work in the Theatre, Betterway Books, Cincinnati, Ohio, 1992, hal.
161.
[5] MSPI, Direktori
Seni Pertunjukan Tradisional, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia –
Artiline, 1998, hal. 41-42.
[6] Sal Murgiyanto,
Opcit. Hal 153.
[7] Handung
Kus Syudarsana, Ketoprak, Penerbit Kanisisus Yogyakarta, 1989, hal. 12.
[8] Sal
Murgiyanto, Opcit. Hal. 144.
sangat bermanfaat, untuk mengingat kembali ciri-ciri teter tradisi kita. terima kasih
BalasHapusterimakasih
Hapus