Minggu, 04 September 2016

Sufisme Dalam Lakon "Dewa Ruci"

Oleh: Eko Santosa


1. Pengantar
            Gerakan sufi atau mistik Islam atau tasawuf muncul dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang tidak puas dengan perkembangan teologi Islam yang amat rasionalis dan pengembangan hukum Islam yang formalis dan legalis. Baik rasionalis ataupun kaitannya dengan legalisme dianggap mendangkalkan dan mengeringkan perasaan agama. Sebagai reaksinya golongan penganut mistik lebih mementingkan rasa dan penghayatan agama dengan dilonggarkannya ikatan-ikatan terhadap syariat. Pelopor sufisme ini antara lain; Ibrahim bin Adham dan Rabiah al Adawiyah yang mengenalkan pendekatan baru yaitu; cinta dan rindu kepada Tuhan sehingga membangkitkan rasa rindu untuk bertemu muka dan berasyik-masyuk dengan Dzat yang dicintainya.1
                Perkembangan sufi di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad XIII Masehi. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samodra Pasai. Secara historis, penyebaran agama Islam ini terbukukan dalam naskah-naskah Melayu dan Jawa Kuno yang ditulis sekitar abad XVI Masehi. Dari naskah-naskah ini dapat diketahui secara pasti bahwa semua Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam sufi.2
            Di Jawa, ajaran sufi atau mistik Islam ini mendapat sambutan yang hangat dikarenakan sebelum kedatangan agama Islam, tradisi Hindu-Budha juga didominasi oleh ajaran mistik. Perkembangan Islam di Jawa bersamaan dengan semakin merosotnya kekuasaan Majapahit. Hal ini sangat menguntungkan karena agama Islam di satu sisi bisa menjadi lambang perlawanan terhadap Majapahit dan di sisi lain menjadi alternatif pandangan hidup.3
            Kedatangan Islam di Jawa ini membawa pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian masyarakat Jawa. Berdirinya kerajaan Demak menandai hal tersebut dengan mengusung kesenian Wayang Beber ke Demak. Dikarenakan perwujudan Wayang Beber yang tidak sesuai dengan hukum Islam (fiqih) maka para Wali (Ulama Jawa) sedikit demi sedikit mengadakan perubahan terhadap bentuk wayang tersebut.4 Keterlibatan para Wali dalam perkembangan kesenian wayang tersebut sangat kuat karena pada masa itu kesenian wayang digunakan sebagai media dakwah.
            Guna mendukung dakwah penyebaran agama tersebut para Wali menyusun silsilah baru tokoh-tokoh wayang yang sama sekali berlainan dengan silsilah Hindu aslinya. Di samping itu mereka juga menyusun lakon-lakon yang bernafaskan Islam seperti; “Jimat Kalimasada” dan “Dewa Ruci”.5 Dalam lakon-lakon tersebut para Wali memasukkan ajaran mistik Islam, terutama dalam lakon “Dewa Ruci”. Lakon “Dewa Ruci” yang hendak dibahas di bawah ini adalah lakon versi Ki Anom Suroto yang tertuang dalam diktat Wayang Op De Radio (Jos Janssen, Ben Arps, Walter Slosse, Wayang Op De Radio, De Wandelende Tak, VPRO, Amsterdam, 1987) yang transkripsinya secara khusus dikerjakan oleh Ben Arps.


2. Ringkasan Lakon “Dewa Ruci”
            Cerita “Dewa Ruci” dimulai dari keinginan Werkudara untuk mengetahui kawruh sangkan paraning dumadi (har. Ilmu kesejatian hidup). Untuk itu ia datang menghadap di kerajaan Astina. Werkudara mengutarakan maksudnya kepada sang guru Pendeta Durna dengan disaksikan oleh Duryudana (raja Astina) dan Patih Arya Sangkuni. Durna menyanggupi keinginan Werkudara dengan syarat ia mampu mencari kayu gung susuhing angin  (har. kayu besar sarang angin) di puncak gunung Candramuka. Werkudara sanggup dan segera berangkat.
            Duryudana dan Arya Sangkuni tidak setuju dengan pendapat Durna yang mengabulkan permintaan Werkudara. Seharusnya Durna menjebak Werkudara agar terbunuh karena dengan demikian kekuatan Pandawa akan menjadi berkurang. Durna menjelaskan bahwa perintah yang ia berikan kepada Werkudara sudah merupakan jebakan. Gunung Candramuka terkenal sangat bahaya dan disana tidak ada yang namanya kayu gung susuhing angin. Duryudana dan Sangkuni senang mendengar hal tersebut dan mereka mengharap Werkudara akan segera menemui ajalnya di Gunung Candramuka.
             Werkudara telah sampai di puncak Gunung Candramuka. Tidak ada kayu gung susuhing angin. Ia justru bertemu dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Werkudara mengatakan apa tujuannya datang ke Gunung Candramuka. Rukmuka dan Rukmakala mengatakan bahwa apa yang dicari oleh Werkudara tidak ada di tempat itu. Bahkan ia dianggap telah mengganggu kedua raksasa tersebut. Rukmuka dan Rukmakala bersedia memangsa Werkudara. Mereka berkelahi dan akhirnya Werkudara dapat membinasakan kedua raksasa tersebut.
            Ternyata kedua raksasa tersebut adalah penjelmaan Dewa Indra dan Dewa Bayu. Mereka menjadi raksasa karena mendapatkan hukuman dari Bathara Guru. Dewa Indra dan Bayu berterimakasih kepada Werkudara karena secara tidak sengaja ia telah membebaskan para dewa tersebut dari hukuman. Kemudian mereka memberi cinderamata kepada Werkudara dan menyarankan agar Werkudara kembali kepada gurunya karena di tempat itu tidak ada yang namanya kayu gung susuhing angin. Atas saran tersebut Werkudara segera kembali ke Astina.
            Kecewa hati Duryudana begitu mendengar Werkudara pulang dengan selamat. Kembali ia mendesak Pendeta Durna untuk membuat siasat lagi. Dengan kelicikannya Durna mengatakan kepada Werkudara bahwa ia sesungguhnya hanya menguji tekad Werkudara untuk mendapatkan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kawruh tersebut dapat dicapai oleh Werkudara jika ia mampu menemukan banyu perwita suci yang ada di tengah samudra. Di mana letak samudra itu sendiri terserah kehendak hati Werkudara.
            Werkudara menyanggupi perintah gurunya. Meski telah dilarang keras oleh keluarganya ia tetap nekat. Dengan kebulatan tekad ia berangkat menuju laut selatan. Di tengah laut tersebut ia menjumpai seekor naga besar yang disebut Naga Nemburnawa. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Naga binasa dan Werkudara dalam keadaan antara hidup dan mati tenggelam ke dasar samudra. Dalam kondisi setengah sadar itu Werkudara menjumpai seorang bocah kecil yang wajahnya sangat mirip dengan dirinya. Ternyata bocah itu adalah seorang dewa yang bernama Dewa Ruci. Dari pertemuan dengan Dewa Ruci inilah kawruh sangkan paraning dumadi yang dikehendaki oleh Werkudara mendapatkan jawabannya.

3. Dewa Ruci dan Sufisme
            Kisah Dewa Ruci secara keseluruhan memuat pengertian bahwa manusia harus sampai pada sumber air hidupnya sendiri apabila ia mau mencapai kesempurnaan dan dengan demikian sampai pada realitasnya yang paling dalam.6 Untuk mencapai kesempurnaan tersebut harus melalui berbagai tahap. Ada dua tahapan penting dalam tasawuf Islam yaitu; penyucian hati dan dzikir (berdoa) kepada Tuhan.7 Dalam lakon “Dewa Ruci” tahapan-tahapan tersebut telah dilalui oleh Werkudara hingga ia bisa masuk ke dalam diri-dalamnya (inner self).
            Tahapan pertama digambarkan dengan niat tulus Werkudara untuk mencari kawruh sangkan paraning dumadi. Meskipun ia sebenarnya ditipu oleh gurunya dan dilarang oleh keluarganya ia tetap melakukan niat tersebut. Niat yang kuat ini digambarkan dengan istilah kayu gung susuhing angin. Dewa ruci menjelaskan kepada Werkudara bahwa yang dimaksud dengan kayu gung susuhing angin adalah semangat, kekuatan dan ketulusan yang dimilikinya dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kayu adalah kajeng yang berarti karep atau keinginan, sedangkan gung berarti besar. Susuhing angin atau sarang angin itu terletak di dalam napas manusia (Werkudara). Keinginan yang besar tidak ada artinya jika tidak disertai oleh napas yang kuat.
            Dalam fase ini Werkudara mengalami penyucian hati. Dengan satu tekad, satu niat yang tulus ia melakukan laku spiritual yang digambarkan dengan perjalanan Werkudara ke puncak Gunung Candramuka sampai ke tengah samudera. Werkudara dengan tegas mencoba meretas hal-hal yang bersifat keduniaan, dalam hatinya hanya ada satu tujuan. Ia tidak terpengaruh oleh saran dan larangan keluarganya. Bukan berarti bahwa Werkudara tidak menghormati mereka akan tetapi dengan memikirkan kembali apa yang terjadi di luar dirinya akan mempengaruhi kebulatan tekadnya, dengan demikian akan mempengaruhi tahap penyucian hati yang ia lakukan.
Tahapan kedua adalah tahap awang-uwung atau kekosongan tanpa batas. Werkudara mengalami keadaan ini ketika ia berhasil mengalahkan Naga Nemburnawa yang dapat dianalogikan dengan nafsu duniawi Werkudara. Setelah terbebas dari nafsu duniawi, Werkudara mengalami ekstasi dan berada dalam kondisi awang-uwung. Keadaan ini membawa Werkudara bertemu dengan Dewa Ruci yang tidak lain adalah realitas-dalam dirinya sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rahim Dewa ruci melalui telinga sebelah kanan. Maksud dari telinga sebelah kanan adalah bahwa untuk mencapai realitasnya yang paling dalam Werkudara harus mampu mendengarkan segala kebaikan (hati nuraninya).
Begitu berada di dalam perut Dewa ruci  Werkudara tidak bisa mengetahui arah; atas, bawah, utara, selatan, barat atau timur. Selanjutnya Dewa Ruci menerangkan untuk dapat menembus kekosongan (ketidaktahuan) tersebut Werkudara harus kembali ngesthi (berdoa/dzikir) dengan segala kesungguhan dan kepasrahan. Setelah melakukan doa khusyuk akhirnya Werkudara mulai mengetahui arah dan bisa dengan pelan-pelan membiasakan diri terhadap keadaan  yang dialaminya.
Werkudara merasa kagum dengan keberadaannya. Ternyata berada di dalam rahim Dewa Ruci sangat menyenangkan. Segalanya tampak indah. Ketenteraman, kedamaian, ketenangan menyelimuti segenap perasaannya. Dewa Ruci menanyakan kepada Werkudara apakah ia merasa betah tinggal di situ. Bagi Werkudara tidak ada lagi tempat terindah selain di dalam rahim Dewa Ruci. Ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi selain keindahan. Ia telah merasa nikmat dengan realitas-dalam dirinya sendiri.

4. Pencerahan
            Setelah melampaui tahap penyucian hati dan doa (dzikir) tersebut Werkudara menemukan diri-dalamnya dan mengalami pencerahan. Ia mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Dalam fase ini Werkudara menemukan hakekat banyu perwita suci yang terangkum dalam pengertian-pengertian meliputi; hakekat dan sifat manusia, asal-usul manusia (Werkudara), ajining ngelmu (ilmu sejati) dan suruping panemu (prinsip sejati), makrokosmos dan mikrokosmos serta manusia sebagai makhluk sosial.

4.1. Hakekat dan Sifat Manusia
            Hakekat manusia dalam lakon itu disebutkan terdiri dari zat, sifat, asma (nama) dan  apengal (af’al). Zat itu artinya cipta sedangkan sifat itu adalah wujud. Bersatunya antara cipta dan wujud menjadi lahir dan batin manusia. Sedangkan asma itu adalah manusia dan apengal adalah pramana (prinsip hidup Illahi yang ada dalam diri manusia dan memberi hidup). Menyatunya asma dan apengal menjadi Kawula  (manusia) dan Gusti (Tuhan). Untuk itu segala tingkah laku dan tindak-tanduk manusia hendaknya mengarah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
            Sifat manusia digambarkan sebagai cahaya empat warna; merah, hitam, kuning dan puith. Merah adalah perwujudan dari sifat sirik, iri, dengki, dan suka bertindak jahat. Hitam adalah sifat suka mengumbar nafsu makan, suka tidur, mengumbar nafsu, mudah marah, dan galak. Kuning adalah sifat suka lancang, suka mencuri, membenci kedamaian, dan jika terdesak mudah sekali untuk berbuat culas. Warna putih menggambarkan sifat suka berbuat baik, rajin, menerima, sosial, dan suka berkawan.
            Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia harus memahami keempat warna (kelompok sifat) tersebut. Tidak ada satu sifat yang lebih dominan dari sifat yang lain, semuanya meng-ada dan menyatu dalam setiap diri manusia. Semua sifat tersebut menciptakan  keseimbangan dan harmoni kehidupan manusia di alam semesta ini. Dengan mengenal secara mendalam keempat jenis sifat tersebut maka seseorang akan mengerti dengan benar keadaan alamiahnya sehingga akan mampu mengendalikan seluruh tindak-tanduknya.

4.2. Asal-usul Manusia
            Manusia tercipta dari bersatunya trimurti dan hawa. Trimurti adalah cahaya matahari, bulan, dan bintang. Sedangkan hawa adalah inti sari bumi yaitu; api, tanah, air, dan angin. Setelah segala unsur trimurti dan hawa ini bersatu menghasilkan apa yang disebut tirta nirmaya (air suci). Air suci ini kemudian mendapat ruh dari Tuhan hingga akhirnya menjadi wujud manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dalam menentukan terciptanya manusia.

4.3. Ilmu Sejati dan Prinsip Sejati
            Untuk mendapatkan ilmu sejati seseorang harus senantiasa menyembah dan meluhurkan nama Tuhan. Meluhurkan nama Tuhan dengan menyebut nama-Nya dalam setiap tarikan dan hembusan nafas. Di samping itu seseorang harus dapat mencegah hawa nafsu, tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan melakukan segala hal dengan tulus ikhlas serta penuh kesabaran.
            Pelaksanaan ilmu sejati tersebut berpatok pada prinsip-prinsip kesejatian. Untuk memahami makna prinsip sejati ini hanya bisa ditemukan dengan jalan menjauhkan dirinya dari rasa cemburu dan iri, selalu sabar dan menerima segala hal yang terjadi, selalu mengharap kasih Tuhan, suka berbuat kebajikan, suka menolong orang yang berada dalam kesusahan, teliti dalam segala hal serta harus senantiasa menjaga kesadaran dan selalu mawas diri.

4.4. Makrokosmos dan Mikrokosmos
            Sebelum masuk ke dalam rahim Dewa Ruci, Werkudara merasa ragu. Apakah ia yang bertubuh besar itu bisa masuk ke dalam rahim Dewa Ruci melalui lubang telinga sementara ukuran tubuh Dewa Ruci sendiri sangatlah kecil? Pertanyaan ini dijawab oleh Dewa Ruci bahwa Werkudara melihat kecil karena tidak menggunakan pramana jati (mata batin/kalbu). Tersentak Werkudara karena setelah melihat dengan menggunakan mata batinnya ia dapat menyaksikan jagad raya melalui telinga Dewa Ruci.
            Werkudara kemudian memasuki jagat (rahim) Dewa Ruci. Selanjutnya Dewa Ruci menjelaskan bahwa sesungguhnya alam semesta atau jagat raya (makrokosmos) itu isinya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada dalam rahim Dewa Ruci (mikrokosmos). Segala apa yang terjadi di jagat raya dapat diketahui dari rahim Dewa Ruci. Sesunguhnya jagat raya itu tidak berubah dari dulu hingga sekarang sama dengan apa yang nampak dalam jagat Dewa Ruci tidak berubah dari dulu hingga sekarang. Keteraturan mikrokosmos mengambarkan keteraturan makrokosmos demikian juga sebaliknya.

4.5. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
            Setelah mendapat pelajaran dari Dewa Ruci, Werkudara merasa tenteram dan damai sehingga ia tidak mau lagi kembali ke Amarta. Dewa Ruci mengingatkan bahwa Werkudara adalah bagian dari masyarakatnya karena ia tumbuh dan berkembang dalam satu lingkungan masyarakat (keluarga). Manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia membutuhkan dan memberikan bantuan kepada manusia lain. Masih banyak tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul dalam meyelenggarakan hidup baik bagi keluarga, negara atau dirinya sendiri. Dewa Ruci tidak membenarkan keinginan Werkudara untuk menikmati dunianya sendiri. Manusia adalah makhluk sosial. Ia adalah bagian dari masyarakatnya.


5. Penutup
            Sufisme masuk ke Indonesai bersamaan dengan masuknya agama Islam. Perkembangan Islam di Indonesia membawa pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian. Di Jawa, perkembangan kesenian yang bernafaskan Islam ini dimulai dari berdirnya kerajaan Demak. Kesenian Wayang Beber warisan budaya Hindu-Budha diangkut ke Demak untuk kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam oleh para Wali. Keterlibatan para Wali tidak hanya sekedar mengubah bentuk perwujudan wayang akan tetapi juga menciptakan silsilah dalam lakon wayang yang membawa misi ke-Islaman. Sebagai media dakwah, kesenian wayang sangatlah efektif. Misi-misi keagamaan yang hendak disampaikan mudah diterima oleh masyarakat.
            Dewa Ruci adalah salah satu lakon yang berisikan tentang ajaran Islam (tasawuf). Dari lakon tersebut dapat diketahui pandangan-pandangan Islam yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Dewa tidak lagi memiliki otoritas tertinggi karena ia masih dapat berbuat kesalahan dan menerima hukuman sebagai imbalannya (Dewa Indra dan Bayu) bahkan  dapat dibebaskan dari hukuman oleh seorang manusia (Werkudara). Tataran keimanan seseorang tidak tergantung pada jabatan atau kekuasaan akan tetapi terletak dalam kesungguhan dan keikhlasan ketika berbuat dan menghayati perbuatan sebagai bagian dari ibadah suci. Werkudara sebagai wakil manusia biasa mampu membuktikan bahwa ia sanggup mendapatkan pencerahan dalam petualangan spiritual melalui dirnya sendiri. Dengan niat ikhlas ia dapat menemukan apa yang ia cari, kawruh sangkan paraning dumadi atau banyu perwita suci.(..)
--@--

Notes:


1 Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995, hal. 39.
2 Dr simuh, ibid., hal. 14.
3 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 31.
4 Kamajaya, Sudibyo Z. Hadisutjipto, Serat Sastramiruda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981, hal. 15.
5 Dr. Hazim Amir, MA., Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 46.
6 Franz Magnis Suseno, Opcit., hal. 116.
7 Dr. Simuh, Opcit., hal. 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar