Oleh: Eko Santosa
1.
Pengantar
Gerakan sufi atau
mistik Islam atau tasawuf muncul dikarenakan adanya segolongan umat Islam yang
tidak puas dengan perkembangan teologi Islam yang amat rasionalis dan
pengembangan hukum Islam yang formalis dan legalis. Baik rasionalis ataupun
kaitannya dengan legalisme dianggap mendangkalkan dan mengeringkan perasaan
agama. Sebagai reaksinya golongan penganut mistik lebih mementingkan rasa dan
penghayatan agama dengan dilonggarkannya ikatan-ikatan terhadap syariat.
Pelopor sufisme ini antara lain; Ibrahim bin Adham dan Rabiah al Adawiyah yang
mengenalkan pendekatan baru yaitu; cinta dan rindu kepada Tuhan sehingga
membangkitkan rasa rindu untuk bertemu muka dan berasyik-masyuk dengan Dzat yang
dicintainya.1
Perkembangan sufi di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad XIII Masehi. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samodra Pasai. Secara historis, penyebaran agama Islam ini terbukukan dalam naskah-naskah Melayu dan Jawa Kuno yang ditulis sekitar abad XVI Masehi. Dari naskah-naskah ini dapat diketahui secara pasti bahwa semua Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam sufi.2
Perkembangan sufi di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad XIII Masehi. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samodra Pasai. Secara historis, penyebaran agama Islam ini terbukukan dalam naskah-naskah Melayu dan Jawa Kuno yang ditulis sekitar abad XVI Masehi. Dari naskah-naskah ini dapat diketahui secara pasti bahwa semua Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam sufi.2
Di Jawa, ajaran sufi atau mistik
Islam ini mendapat sambutan yang hangat dikarenakan sebelum kedatangan agama
Islam, tradisi Hindu-Budha juga didominasi oleh ajaran mistik. Perkembangan
Islam di Jawa bersamaan dengan semakin merosotnya kekuasaan Majapahit. Hal ini
sangat menguntungkan karena agama Islam di satu sisi bisa menjadi lambang
perlawanan terhadap Majapahit dan di sisi lain menjadi alternatif pandangan
hidup.3
Kedatangan Islam di Jawa ini membawa
pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian masyarakat Jawa. Berdirinya
kerajaan Demak menandai hal tersebut dengan mengusung kesenian Wayang Beber ke
Demak. Dikarenakan perwujudan Wayang Beber yang tidak sesuai dengan hukum Islam
(fiqih) maka para Wali (Ulama Jawa) sedikit demi sedikit mengadakan perubahan
terhadap bentuk wayang tersebut.4
Keterlibatan para Wali dalam perkembangan kesenian wayang tersebut sangat kuat
karena pada masa itu kesenian wayang digunakan sebagai media dakwah.
Guna mendukung dakwah penyebaran
agama tersebut para Wali menyusun silsilah baru tokoh-tokoh wayang yang sama
sekali berlainan dengan silsilah Hindu aslinya. Di samping itu mereka juga
menyusun lakon-lakon yang bernafaskan Islam seperti; “Jimat Kalimasada” dan
“Dewa Ruci”.5 Dalam lakon-lakon
tersebut para Wali memasukkan ajaran mistik Islam, terutama dalam lakon “Dewa
Ruci”. Lakon “Dewa Ruci” yang hendak dibahas di bawah ini adalah lakon versi Ki
Anom Suroto yang tertuang dalam diktat Wayang Op De Radio (Jos Janssen,
Ben Arps, Walter Slosse, Wayang Op De Radio, De Wandelende Tak, VPRO,
Amsterdam, 1987) yang transkripsinya secara khusus dikerjakan oleh Ben Arps.
2. Ringkasan
Lakon “Dewa Ruci”
Cerita “Dewa Ruci”
dimulai dari keinginan Werkudara untuk mengetahui kawruh sangkan paraning
dumadi (har. Ilmu kesejatian hidup). Untuk itu ia datang menghadap
di kerajaan Astina. Werkudara mengutarakan maksudnya kepada sang guru Pendeta
Durna dengan disaksikan oleh Duryudana (raja Astina) dan Patih Arya Sangkuni.
Durna menyanggupi keinginan Werkudara dengan syarat ia mampu mencari kayu
gung susuhing angin (har. kayu
besar sarang angin) di puncak gunung Candramuka. Werkudara sanggup dan segera
berangkat.
Duryudana dan Arya Sangkuni tidak
setuju dengan pendapat Durna yang mengabulkan permintaan Werkudara. Seharusnya
Durna menjebak Werkudara agar terbunuh karena dengan demikian kekuatan Pandawa
akan menjadi berkurang. Durna menjelaskan bahwa perintah yang ia berikan kepada
Werkudara sudah merupakan jebakan. Gunung Candramuka terkenal sangat bahaya dan
disana tidak ada yang namanya kayu gung susuhing angin. Duryudana dan
Sangkuni senang mendengar hal tersebut dan mereka mengharap Werkudara akan
segera menemui ajalnya di Gunung Candramuka.
Werkudara telah sampai di puncak Gunung
Candramuka. Tidak ada kayu gung susuhing angin. Ia justru bertemu dengan
dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Werkudara mengatakan apa tujuannya datang ke
Gunung Candramuka. Rukmuka dan Rukmakala mengatakan bahwa apa yang dicari oleh
Werkudara tidak ada di tempat itu. Bahkan ia dianggap telah mengganggu kedua
raksasa tersebut. Rukmuka dan Rukmakala bersedia memangsa Werkudara. Mereka
berkelahi dan akhirnya Werkudara dapat membinasakan kedua raksasa tersebut.
Ternyata kedua raksasa tersebut
adalah penjelmaan Dewa Indra dan Dewa Bayu. Mereka menjadi raksasa karena
mendapatkan hukuman dari Bathara Guru. Dewa Indra dan Bayu berterimakasih
kepada Werkudara karena secara tidak sengaja ia telah membebaskan para dewa
tersebut dari hukuman. Kemudian mereka memberi cinderamata kepada Werkudara dan
menyarankan agar Werkudara kembali kepada gurunya karena di tempat itu tidak
ada yang namanya kayu gung susuhing angin. Atas saran tersebut Werkudara
segera kembali ke Astina.
Kecewa hati Duryudana begitu
mendengar Werkudara pulang dengan selamat. Kembali ia mendesak Pendeta Durna
untuk membuat siasat lagi. Dengan kelicikannya Durna mengatakan kepada
Werkudara bahwa ia sesungguhnya hanya menguji tekad Werkudara untuk mendapatkan
kawruh sangkan paraning dumadi tersebut. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
kawruh tersebut dapat dicapai oleh Werkudara jika ia mampu menemukan banyu
perwita suci yang ada di tengah samudra. Di mana letak samudra itu sendiri
terserah kehendak hati Werkudara.
Werkudara menyanggupi perintah
gurunya. Meski telah dilarang keras oleh keluarganya ia tetap nekat. Dengan
kebulatan tekad ia berangkat menuju laut selatan. Di tengah laut tersebut ia
menjumpai seekor naga besar yang disebut Naga Nemburnawa. Terjadilah
pertarungan di antara mereka. Naga binasa dan Werkudara dalam keadaan antara
hidup dan mati tenggelam ke dasar samudra. Dalam kondisi setengah sadar itu
Werkudara menjumpai seorang bocah kecil yang wajahnya sangat mirip dengan
dirinya. Ternyata bocah itu adalah seorang dewa yang bernama Dewa Ruci. Dari
pertemuan dengan Dewa Ruci inilah kawruh sangkan paraning dumadi yang
dikehendaki oleh Werkudara mendapatkan jawabannya.
3. Dewa
Ruci dan Sufisme
Kisah Dewa Ruci
secara keseluruhan memuat pengertian bahwa manusia harus sampai pada sumber air
hidupnya sendiri apabila ia mau mencapai kesempurnaan dan dengan demikian
sampai pada realitasnya yang paling dalam.6
Untuk mencapai kesempurnaan tersebut harus melalui berbagai tahap. Ada dua
tahapan penting dalam tasawuf Islam yaitu; penyucian hati dan dzikir (berdoa)
kepada Tuhan.7 Dalam lakon “Dewa
Ruci” tahapan-tahapan tersebut telah dilalui oleh Werkudara hingga ia bisa
masuk ke dalam diri-dalamnya (inner self).
Tahapan pertama digambarkan dengan
niat tulus Werkudara untuk mencari kawruh sangkan paraning dumadi.
Meskipun ia sebenarnya ditipu oleh gurunya dan dilarang oleh keluarganya ia
tetap melakukan niat tersebut. Niat yang kuat ini digambarkan dengan istilah kayu
gung susuhing angin. Dewa ruci menjelaskan kepada Werkudara bahwa yang
dimaksud dengan kayu gung susuhing angin adalah semangat, kekuatan dan
ketulusan yang dimilikinya dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kayu
adalah kajeng yang berarti karep atau keinginan, sedangkan gung
berarti besar. Susuhing angin atau sarang angin itu terletak di
dalam napas manusia (Werkudara). Keinginan yang besar tidak ada artinya jika
tidak disertai oleh napas yang kuat.
Dalam
fase ini Werkudara mengalami penyucian hati. Dengan satu tekad, satu niat yang
tulus ia melakukan laku spiritual yang digambarkan dengan perjalanan Werkudara
ke puncak Gunung Candramuka sampai ke tengah samudera. Werkudara dengan tegas
mencoba meretas hal-hal yang bersifat keduniaan, dalam hatinya hanya ada satu
tujuan. Ia tidak terpengaruh oleh saran dan larangan keluarganya. Bukan berarti
bahwa Werkudara tidak menghormati mereka akan tetapi dengan memikirkan kembali
apa yang terjadi di luar dirinya akan mempengaruhi kebulatan tekadnya, dengan
demikian akan mempengaruhi tahap penyucian hati yang ia lakukan.
Tahapan kedua adalah tahap awang-uwung atau kekosongan tanpa batas.
Werkudara mengalami keadaan ini ketika ia berhasil mengalahkan Naga Nemburnawa
yang dapat dianalogikan dengan nafsu duniawi Werkudara. Setelah terbebas dari
nafsu duniawi, Werkudara mengalami ekstasi dan berada dalam kondisi awang-uwung.
Keadaan ini membawa Werkudara bertemu dengan Dewa Ruci yang tidak lain adalah
realitas-dalam dirinya sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rahim Dewa ruci
melalui telinga sebelah kanan. Maksud dari telinga sebelah kanan adalah bahwa
untuk mencapai realitasnya yang paling dalam Werkudara harus mampu mendengarkan
segala kebaikan (hati nuraninya).
Begitu berada di dalam perut Dewa ruci
Werkudara tidak bisa mengetahui arah; atas, bawah, utara, selatan, barat
atau timur. Selanjutnya Dewa Ruci menerangkan untuk dapat menembus kekosongan
(ketidaktahuan) tersebut Werkudara harus kembali ngesthi (berdoa/dzikir)
dengan segala kesungguhan dan kepasrahan. Setelah melakukan doa khusyuk
akhirnya Werkudara mulai mengetahui arah dan bisa dengan pelan-pelan
membiasakan diri terhadap keadaan yang
dialaminya.
Werkudara merasa kagum dengan keberadaannya. Ternyata berada di dalam rahim
Dewa Ruci sangat menyenangkan. Segalanya tampak indah. Ketenteraman, kedamaian,
ketenangan menyelimuti segenap perasaannya. Dewa Ruci menanyakan kepada
Werkudara apakah ia merasa betah tinggal di situ. Bagi Werkudara tidak ada lagi
tempat terindah selain di dalam rahim Dewa Ruci. Ia tidak dapat merasakan
apa-apa lagi selain keindahan. Ia telah merasa nikmat dengan realitas-dalam
dirinya sendiri.
4.
Pencerahan
Setelah melampaui tahap penyucian
hati dan doa (dzikir) tersebut Werkudara menemukan diri-dalamnya dan mengalami
pencerahan. Ia mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang ingin
diketahuinya. Dalam fase ini Werkudara menemukan hakekat banyu perwita suci
yang terangkum dalam pengertian-pengertian meliputi; hakekat dan sifat manusia,
asal-usul manusia (Werkudara), ajining ngelmu (ilmu sejati) dan suruping
panemu (prinsip sejati), makrokosmos dan mikrokosmos serta manusia sebagai
makhluk sosial.
4.1.
Hakekat dan Sifat Manusia
Hakekat manusia dalam lakon itu
disebutkan terdiri dari zat, sifat, asma (nama) dan apengal (af’al). Zat itu artinya cipta
sedangkan sifat itu adalah wujud. Bersatunya antara cipta dan wujud menjadi
lahir dan batin manusia. Sedangkan asma itu adalah manusia dan apengal
adalah pramana (prinsip hidup Illahi yang ada dalam diri manusia dan
memberi hidup). Menyatunya asma dan apengal menjadi Kawula (manusia) dan Gusti (Tuhan). Untuk itu
segala tingkah laku dan tindak-tanduk manusia hendaknya mengarah kepada
kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Sifat
manusia digambarkan sebagai cahaya empat warna; merah, hitam, kuning dan
puith. Merah adalah perwujudan dari sifat sirik, iri, dengki, dan suka
bertindak jahat. Hitam adalah sifat suka mengumbar nafsu makan, suka tidur,
mengumbar nafsu, mudah marah, dan galak. Kuning adalah sifat suka lancang, suka
mencuri, membenci kedamaian, dan jika terdesak mudah sekali untuk berbuat
culas. Warna putih menggambarkan sifat suka berbuat baik, rajin, menerima,
sosial, dan suka berkawan.
Dalam
menjalani kehidupan, seorang manusia harus memahami keempat warna (kelompok
sifat) tersebut. Tidak ada satu sifat yang lebih dominan dari sifat yang lain,
semuanya meng-ada dan menyatu dalam setiap diri manusia. Semua sifat tersebut
menciptakan keseimbangan dan harmoni
kehidupan manusia di alam semesta ini. Dengan mengenal secara mendalam keempat
jenis sifat tersebut maka seseorang akan mengerti dengan benar keadaan
alamiahnya sehingga akan mampu mengendalikan seluruh tindak-tanduknya.
4.2.
Asal-usul Manusia
Manusia tercipta dari bersatunya trimurti
dan hawa. Trimurti adalah cahaya matahari, bulan, dan bintang.
Sedangkan hawa adalah inti sari bumi yaitu; api, tanah, air, dan angin.
Setelah segala unsur trimurti dan hawa ini bersatu menghasilkan
apa yang disebut tirta nirmaya (air suci). Air suci ini kemudian
mendapat ruh dari Tuhan hingga akhirnya menjadi wujud manusia. Jadi, dapat
dikatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dalam menentukan terciptanya
manusia.
4.3. Ilmu
Sejati dan Prinsip Sejati
Untuk mendapatkan ilmu
sejati seseorang harus senantiasa menyembah dan meluhurkan nama Tuhan. Meluhurkan
nama Tuhan dengan menyebut nama-Nya dalam setiap tarikan dan hembusan nafas. Di
samping itu seseorang harus dapat mencegah hawa nafsu, tidak melakukan
perbuatan yang melanggar hukum dan melakukan segala hal dengan tulus ikhlas
serta penuh kesabaran.
Pelaksanaan ilmu sejati tersebut
berpatok pada prinsip-prinsip kesejatian. Untuk memahami makna prinsip
sejati ini hanya bisa ditemukan dengan jalan menjauhkan dirinya dari rasa
cemburu dan iri, selalu sabar dan menerima segala hal yang terjadi, selalu mengharap
kasih Tuhan, suka berbuat kebajikan, suka menolong orang yang berada dalam
kesusahan, teliti dalam segala hal serta harus senantiasa menjaga kesadaran dan
selalu mawas diri.
4.4.
Makrokosmos dan Mikrokosmos
Sebelum masuk ke
dalam rahim Dewa Ruci, Werkudara merasa ragu. Apakah ia yang bertubuh besar itu
bisa masuk ke dalam rahim Dewa Ruci melalui lubang telinga sementara ukuran
tubuh Dewa Ruci sendiri sangatlah kecil? Pertanyaan ini dijawab oleh Dewa Ruci
bahwa Werkudara melihat kecil karena tidak menggunakan pramana jati (mata
batin/kalbu). Tersentak Werkudara karena setelah melihat dengan menggunakan
mata batinnya ia dapat menyaksikan jagad raya melalui telinga Dewa Ruci.
Werkudara kemudian memasuki jagat
(rahim) Dewa Ruci. Selanjutnya Dewa Ruci menjelaskan bahwa sesungguhnya alam
semesta atau jagat raya (makrokosmos) itu isinya tidak jauh berbeda dengan apa
yang ada dalam rahim Dewa Ruci (mikrokosmos). Segala apa yang terjadi di jagat
raya dapat diketahui dari rahim Dewa Ruci. Sesunguhnya jagat raya itu tidak
berubah dari dulu hingga sekarang sama dengan apa yang nampak dalam jagat Dewa
Ruci tidak berubah dari dulu hingga sekarang. Keteraturan mikrokosmos
mengambarkan keteraturan makrokosmos demikian juga sebaliknya.
4.5.
Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Setelah mendapat
pelajaran dari Dewa Ruci, Werkudara merasa tenteram dan damai sehingga ia tidak
mau lagi kembali ke Amarta. Dewa Ruci mengingatkan bahwa Werkudara adalah
bagian dari masyarakatnya karena ia tumbuh dan berkembang dalam satu lingkungan
masyarakat (keluarga). Manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia membutuhkan
dan memberikan bantuan kepada manusia lain. Masih banyak tugas dan tanggung
jawab yang harus dipikul dalam meyelenggarakan hidup baik bagi keluarga, negara
atau dirinya sendiri. Dewa Ruci tidak membenarkan keinginan Werkudara untuk
menikmati dunianya sendiri. Manusia adalah makhluk sosial. Ia adalah bagian
dari masyarakatnya.
5. Penutup
Sufisme masuk ke
Indonesai bersamaan dengan masuknya agama Islam. Perkembangan Islam di
Indonesia membawa pengaruh yang kuat bagi perkembangan kesenian. Di Jawa,
perkembangan kesenian yang bernafaskan Islam ini dimulai dari berdirnya
kerajaan Demak. Kesenian Wayang Beber warisan budaya Hindu-Budha diangkut ke
Demak untuk kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam oleh para Wali.
Keterlibatan para Wali tidak hanya sekedar mengubah bentuk perwujudan wayang
akan tetapi juga menciptakan silsilah dalam lakon wayang yang membawa misi
ke-Islaman. Sebagai media dakwah, kesenian wayang sangatlah efektif. Misi-misi
keagamaan yang hendak disampaikan mudah diterima oleh masyarakat.
Dewa Ruci adalah salah satu lakon
yang berisikan tentang ajaran Islam (tasawuf). Dari lakon tersebut dapat
diketahui pandangan-pandangan Islam yang hendak disampaikan kepada masyarakat.
Dewa tidak lagi memiliki otoritas tertinggi karena ia masih dapat berbuat
kesalahan dan menerima hukuman sebagai imbalannya (Dewa Indra dan Bayu)
bahkan dapat dibebaskan dari hukuman
oleh seorang manusia (Werkudara). Tataran keimanan seseorang tidak tergantung
pada jabatan atau kekuasaan akan tetapi terletak dalam kesungguhan dan
keikhlasan ketika berbuat dan menghayati perbuatan sebagai bagian dari ibadah
suci. Werkudara sebagai wakil manusia biasa mampu membuktikan bahwa ia sanggup
mendapatkan pencerahan dalam petualangan spiritual melalui dirnya sendiri.
Dengan niat ikhlas ia dapat menemukan apa yang ia cari, kawruh sangkan
paraning dumadi atau banyu perwita suci.(..)
--@--
Notes:
1 Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan
Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995, hal. 39.
2 Dr simuh, ibid., hal. 14.
3 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1993, hal. 31.
4 Kamajaya, Sudibyo Z. Hadisutjipto, Serat Sastramiruda, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981, hal. 15.
5 Dr. Hazim Amir, MA., Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994, hal. 46.
6 Franz Magnis Suseno, Opcit., hal. 116.
7 Dr. Simuh, Opcit., hal. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar