Sabtu, 01 Juni 2019

Catatan Tentang Pelatihan Teater dan Aktor

Oleh: Eko Santosa

(tulisan ini pernah dimuat secara berkala di, www.whanidproject.com)

Proses penciptaan teater memerlukan banyak tahapan. Salah satu yang paling utama adalah pelatihan. Pada tahap ini, para pekerja artistik utamanya sutradara dan pemeran terlibat dalam kegiatan latihan. Mulai dari soal naskah yang akan dipentaskan, arahan laku, komposisi atau blocking pemain, emosi, psikologi peran, sampai latihan bersama dengan menggunakan elemen tata artistik dilakukan. Sebuah proses yang tidak bisa dikatakan ringan namun mesti dilalui untuk mencapai perwujudan riil dari konsep produksi yang telah ditentukan. Bahkan dalam produksi pementasan amatir, pelatihan tidak bisa tidak dilakukan. Sutradara atau produser tidak bisa hanya membagi naskah kepada pemeran dan kemudian meminta mereka berlatih sendiri-sendiri dan pada saat yang ditentukan tinggal kumpul bersama lalu pementasan digelar. Di dalam proses penciptaan teater, tahapan latihan ini selalu menarik untuk dibicarakan karena beragam metode dan pendekatan dilakukan baik oleh kelompok teater dengan anggota tetapnya atau gabungan pemeran dalam sebuah produksi lepas. Kekayaan metode pelatihan dalam teater terkait dengan pementasan dan keaktoran ini dapat dijadikan sebagai bahan saling belajar ketika tertuang dalam catatan-catatan. Keberbagaian yang menjadi fondasi pelatihan atau wujud nyata teknik latihan dapat memantikkan imajinasi dan gagasan untuk dijelmakan sebagai materi latihan kala lain, bahkan ketika cara-cara yang dilakukan masih dalam tahap pra-teknik atau materi dan metodenya telah menetap.

1.  Latihan Dalam Proses Produksi
Banyak kelompok teater yang menyelenggarakan pelatihan (hanya) ketika hendak berproduksi. Bahkan sepertinya hal ini telah menjadi budaya. Tidak ada proses produksi, maka tidak ada latihan. Sementara untuk menyelenggarakan produksi diperlukan banyak persiapan (modal). Segala persiapan ini seolah-olah mesti ada terlebih dahulu baru kemudian produksi bisa dijalankan. Rencana atau desain produksi kemudian sangat tergantung dari modal awal yang dimiliki. Di dalam banyak peristiwa, modal awal ini bahkan hanya berupa jadwal pementasan dengan fasilitas pementasan tertentu yang disediakan oleh instansi tertentu dalam rangka perayaan tertentu. Selebihnya, modal itu harus dicari sendiri. Namun dengan adanya kepastian pentas ini, kerja produksi bisa dimulai sehingga latihan pun bisa diselenggarakan.

Rupa-rupanya budaya semacam ini tidak hanya menjangkiti kelompok teater amatir tetapi juga kelompok teater (yang mengaku) profesional yang selalu menerapkan tiket dalam setiap pementasannya. Latihan yang diselenggarakan dalam atau jika ada proses produksi ini kemudian ditengarai memiliki model atau pola yang sama. Pelatihan peran dimulai dari mempelajari (bedah) naskah, membagi peran, menghafal naskah sesuai peran, latihan lepas naskah dan blocking, latihan dengan elemen tata artistik, gladi bersih dan berakhir dengan pementasan. Pola ini dilakukan oleh banyak sekali kelompok sehingga langkah-langkah atau tahapan prosesnya seolah-olah menjadi standar. Artinya, proses latihan teater yang memang harus seperti itu tahapannya.

Dengan sumber utama pelatihan adalah teks lakon (naskah), maka materi pelatihan tidak akan jauh dari hal tersebut. Dalam hal ini, pelatihan di luar konteks naskah lakon seperti dasar olah tubuh dan suara menjadi tak signifikan dengan tokoh yang akan dimainkan. Latihan-latihan dasar yang biasanya memiliki materi standar ini menjadi semacam pemanasan sebelum latihan memerankan tokoh dilakukan. Proses latihan yang dimulai dari pemanasan (tubuh, suara, konsentrasi) kemudian berlanjut dengan penokohan (berbasis teks lakon) menjadi semacam formula universal. Padahal dalam latihan semacam ini, kelenturan tubuh, keterampilan ragawi, dan fleksibilitas suara yang selalu dilatihkan dalam pemanasan tidak terkait langsung dengan keperluan peran. Jadi, pemanasan dilakukan untuk kemudian dilupakan. Jika ada keperluan khusus yang membutuhkan kepiawaian berolah tubuh dan suara, maka latihan untuk keperluan ini akan diselenggarakan pada sesi tertentu. Misalnya, ketika pementasan memerlukan komposisi gerak dan lagu, maka sesi latihan khusus ini diselenggarakan. Sekilas terbaca bahwa materi latihan dalam pemanasan selalu tidak terkait dengan watak tokoh yang akan diperankan karena fokus utamanya ada pada teks lakon.

Secara mendalam, pola latihan dasar yang dilakukan untuk menuju langsung pada materi penokohan sangat jarang dilakukan. Tugas utama pemeran adalah menghafal teks lakon dan menyajikan teks tersebut dalam pemeranan. Ukuran-ukuran yang ada kemudian tidak lepas dari teks tertulis yang akan diubah ke dalam teks terlihat dan terdengar. Model latihan semacam ini mensyaratkan kematangan dan pengalaman pemeran karena memang pemeran dituntut untuk siap secara fisik dan kejiwaan dalam memerankan tokoh sesuai naskah lakon. Selain itu, latihan untuk mendalami watak tokoh memang tidak diselenggarakan. Pemeran harus mengobservasi dan mengeksplorasi kedalaman watak peran secara mandiri dan kemudian mempresentasikannya di hadapan sutradara pada saat latihan bersama.


Latihan yang diselenggarakan hanya pada saat akan berproduksi ini memiliki kelemahan terutama ketika produk pementasannya adalah teater dramatik. Dengan demikian, latihan selalu akan berkutat pada teks dan bagaimana teks tersebut ditampilkan. Dalam konteks teater dramatik yang memiliki kecenderungan akting realis, jelajah kemampuan tubuh dan suara pemeran sangat tergantung dengan kebutuhan teks. Banyak pengalaman memberikan catatan bahwa latihan di dalam produksi semacam ini seolah-olah hanya menjalankan formula yang telah membiasa. Semua kelompok teater dengan jenis produksi sama akan melakukan hal yang sama. Tidak ada perkembangan dari sisi teknik maupun metode karena semua mengacu pada drama (teks). Pola yang membiasa ini sebenarnya tetap bisa menghasilkan karya yang mengejutkan (artistik) namun dengan syarat jam produksi yang tinggi. Namun sayangnya banyak teater amatir yang tidak memilikinya sehingga masa vakum (tak latihan) jauh lebih banyak dibandingkan masa latihan (produksi). Sementara secara logis dijumpai pengertian bahwa keteknikan tidak bisa tidak rutin dilatihkan karena rekam pikiran mungkin masih ada namun ekspresi artistiknya sangat bergantung pada rekam jasmani dan rasa. Kondisi ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi pemeran karena seninya tidak akan terasah. Berperan dalam teater kemudian hanya sekedar menjadi pengalaman bukan dedikasi.

2.  Latihan Dasar Yang Dilewatkan
Proses latihan yang membiasa seringkali menghasilkan terlewatinya latihan-latihan dasar yang berkait langsung dengan peran. Latihan dasar yang ada sudah dijadikan satu paket ke dalam apa yang disebut dengan pemanasan yang mana materinya tidak mengait langsung pada peran. Di dalam latihan tubuh misalnya, materi dasar penerapan bahasa tubuh ketika berekspresi tidak mendapatkan tempat. Juga misalnya dengan kelenturan tubuh yang mesti nampak ketika pemeran beraksi. Memang latihan pemanasan mengajarkan kelenturan, tetapi bukan kelenturan yang berhubungan khusus dengan peran melainkan kelenturan tubuh secara umum. Padahal di dalam akting realis, kelenturan ini menjadi syarat utama. Seorang pemeran yang di dalam aksinya harus memegang gelas anggur perlu dilatih cara memegang anggur yang tepat dan bagaimana berekspresi dengan tetap memegang gelas itu. Latihan-latihan kecil semacam ini jelas sekali terlewatkan karena fokus utamanya ada pada teks lakon.

Latihan-latihan dasar dalam paket pemanasan selalu saja bersifat umum sementara latihan dasar yang bersifat khusus seolah-olah tak lagi diperlukan. Keadaan ini lah kemudian yang memicu lahirnya aksi (gaya akting) tipikal. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki janggut panjang pasti akan mengelus-elus terus janggutnya ketika berbicara. Seseorang yang memegang kipas bisa dipastikan selalu akan menggerakkan kipasnya baik ketika berbicara, beraksi atau ketika mendengarkan lawan berbicara. Seolah-olah kipas itu memang wajib untuk digerakkan bahkan ketika tokoh tidak sedang dalam kegerahan. Akting tipikal ini jelas tidak memerlukan latihan khusus karena metode dasarnya hanya mimesis (menirukan apa yang pernah dilakukan oleh aktor-aktor di atas panggung sebelumnya dan dianggap sebagai patokan). Karena hanya mimesis, maka ukurannya pun menjadi tidak sesuai kebutuhan melainkan sesuai kebiasaan. Akting semacam ini bertebaran di panggung-panggung teater dramatik. Hebatnya lagi, akting yang semacam itu telah dianggap sebagai kebenaran. Padahal jelas belum tentu, karena ekspresi antara orang kaya memegang kipas berbeda dengan orang yang sok kaya atau banci. Berbeda pula tentunya dengan orang memegang kipas ketika berada dalam ketegangan atau dalam suasana gembira. Namun karena tidak adanya latihan dasar khusus menerapkan kelenturan tubuh terkait peran, maka semuanya menjadi sama saja.

Dalam hal berbicara atau berdialog pun sama halnya. Latihan dasar membaca teks per suku kata untuk mempertegas pelafalan, pengaturan jeda serta nafas jarang sekali diadakan. Latihan membaca hanya sekedar membaca tanpa pretensi apapun baik dengan volume suara keras maupun dengan berbisik juga sudah mulai hilang dari peredaran. Padahal fungsi tegas dari latihan ini adalah aktor tidak tergesa-gesa dalam menentukan ekspresi tokoh melalui dialog sebelum semua makna jelas dipahami. Semua jenis latihan semacam ini tenggelam ke dalam pola latihan yang telah membiasa di mana para aktor membaca naskah seperti telah memahami seluruh makna kata yang disampaikan. Interpretasi lesap dalam proses pembacaan. Watak tokoh yang akan diperankan langsung mendapatkan gambaran jelas sejak dalam proses pembacaan dan gambaran ini ditentukan oleh para aktor sendiri. Meskipun didapati kenyataan bahwa dengan latihan semacam ini aktor akan sulit mengubah ekspresi dialognya (nada, tekanan tinggi-rendah, keras-lembut suara, emosi) ketika sutradara menyatakan bahwa ekspresi yang disajikan kurang tepat pada saat latihan lepas naskah, namun tetap saja kebiasaan ini dilakukan terus dan terus. Latihan dasar suara melalui pembacaan naskah memang membutuhkan kesabaran, namun hal itu mesti dilakukan, bukan kemudian ditinggalkan.

Alasan utama kebiasaan semacam itu tetap terjaga adalah ketidaksabaran untuk melihat hasil. Sutradara atau produser (termasuk aktor tentu saja) ingin segera melihat hasil meski dalam bentuk kasar sehingga wujud nyata cerita di atas pentas sudah tergambar. Teater memang tidak bisa memberikan gambaran nyata karena lakon sebagai sumber ekspresi hanyalah berupa tulisan. Orang yang bekerja di teater hanya bisa membayangkan peristiwa yang ada pada lakon dalam pikirannya. Apa-apa yang dibayangkan dalam pikiran ini biasanya mendesak untuk segera diwujudkan. Apa-apa yang diimajinasikan ingin segera di-nyata-kan. Keadaan inilah yang seringkali membuat para pekerja teater ingin segera melepaskan naskah dan mewujudkan seluruh cerita. Sutradara mengharap para aktor segera hafal dialog lalu kemudian menampilkan peran dalam latihan tanpa naskah sehingga sutradara mudah dalam mengarahkan. Namun bagaikan lingkaran setan, arahan sutradara sulit diubah oleh aktor dalam konteks ekspresi dialog (suara) karena hal itu sudah ditentukan oleh aktor sendiri sejak tahap membaca. Jika keadaan terjadi semacam ini, lalu apa yang mesti dilakukan? Tentu saja tidak ada yang bisa diubah dengan segera selain membiarkan latihan terus berlanjut hingga pementasan. Artinya, apa yang didapatkan pada saat proses membaca, itulah nanti yang akan tersaji di atas pentas. Padahal, jika latihan-latihan dasar terkait dengan tubuh peran dan ekspresi suara dilakukan dengan sabar, pengubahan atau penyesuaian lebih mudah dilakukan ketika tahap latihan sudah sampai pada lepas naskah dan blocking.

3.  Pembentukan
Latihan semestinya memberikan pendalaman bukan membentuk. Konsep ini semestinya bisa dipegang teguh mengingat prinsip kejiwaan tokoh dalam lakon satu berbeda dengan lakon lain. Bahkan tokoh sama dalam lakon sama dengan sutradara berbeda pun akan mengalami perbedaan interpretasi. Pendalaman dalam latihan tentu saja tidak melulu soal action (aksi dalam pemeranan) tetapi juga pemahaman atas tokoh yang akan diperankan dengan segala ciri keberadaannya; fisik, mental, suara, dan keunikan tokoh tersebut untuk mengada (hidup di atas panggung). Pemahaman atas tokoh tidak bisa dilatihkan dengan memberikan contoh laku tokoh tersebut karena pemberian contoh laku menghasilkan aksi tiruan bukan pada tokoh yang akan dimainkan melainkan pada si pemberi contoh. Jika yang seperti ini dilakukan, maka pelatih telah membentuk pemain tersebut agar berlaku seperti dirinya ketika memerankan tokoh lakon yang akan dimainkan.

Pembentukan ini akan menghasilkan memori atas tindakan dan menjadikannya sebagai pengalaman sensasi yang sulit untuk dihilangkan. Terlebih ketika proses peniruan terhadap pelatih ini melibatkan penilaian benar--salah, di mana peniru dianggap benar jika mampu menirukan dengan baik. Padahal yang ditirukan pemain tersebut bukanlah aksi tokoh lakon yang sesungguhnya. Memang, proses latihan peran tidak pernah memerlukan waktu singkat tetapi tidak kemudian harus dipersingkat dengan memberikan contoh aksi agar pemain segera bisa memenuhi harapan pelatih. Keadaan ini tidak akan membuat pentas teater menjadi indah, namun justru menggugurkan makna keindahan itu sendiri karena permainan para pemeran hanya sekedar menirukan pelatih.

Banyak sekali pelatih teater amatir yang melakukan proses pembentukan semacam ini. Kebutuhan untuk segera melihat hasil melahirkan ketidaksabaran yang mengarah pada pembentukan instan. Akting yang semestinya alami tidak bertumbuh dalam kondisi semacam ini. Pemeran berubah fungsi menjadi pekerja yang bekerja sesuai kemauan pelatih. Pemeran menjadi hasil cetakan dengan model utamanya adalah pelatih. Jika sudah demikian, maka sesungguhnya para pemain telah dikebiri haknya untuk berkreasi. Pengalaman demikian dalam waktu lama akan menghasilkan jenis pelatih pembentuk yang sama pula ketika sang pemain menjadi pelatih di kemudian hari.

Model pelatihan pemeranan semacam ini terus berjalan dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan dalam banyak kelompok teater amatir. Bahkan beberapa pelatih profesional menyatakan pentingnya membentuk pemeran daripada menumbuhkan kebisaannya secara alami. Dalam materi tertentu terutama dasar berperan, pembentukan memang diperlukan dalam sebuah proses pembelajaran peran karena tanpa itu calon pemeran tidak bisa melaksanakan apa yang dilatihkan dengan benar dan jika dilakukan seperti itu akan berakibat fatal bagi calon pemeran tersebut. Dalam hal ini misalnya adalah pelatihan dasar olah tubuh, konsentrasi, dan olah suara. Latihan dasar tubuh perlu pembentukan dalam konteks perlu dilatihkan dan dilakukan dengan cara yang benar, sebab jika tidak akan menghasilkan cedera. Namun sayangnya, hingga sampai pada tahap memerankan tokoh, pelatih masih melakukan pembentukan dengan skala benar-salah menurut interpretasinya.

Hasil dari pelatihan memainkan peran yang semacam itu adalah akting tipikal atau ekspresi seragam dalam menyatakan satu emosi. Pemeranan sebagai karya seni menjadi kerajinan dengan proses latihan semacam ini. Pemeran tidak memiliki kebebasan berekspresi sesuai interpretasinya atas lakon. Yang lebih parah dari itu adalah bahwa sesungguhnya memang pemeran tidak diberikan dasar pemahaman adekuat atas lakon, peran yang akan dimainkan dan segenap ruang lingkup lakon yang ada. Secara nyata, pemeran dalam model pelatihan semacam ini memang hanyalah pekerja yang baru tahu makna apa yang dikerjakan setelah pekerjaan itu dilakukan berulang. Artinya, banyak waktu terbuang untuk memahami sesuatu yang bisa dilakukan dengan pengaktifan imajinasi, kognisi, dan komunikasi dalam waktu lebih singkat. Dengan dasar pemikiran bahwa latihan pemeranan adalah pembentukan, maka studio bukanlah laboratorium melainkan pabrik yang belum tentu baik kualitas produknya.

4.  Mementingkan Aksi
Selama ini pelatihan akting selalu mendahulukan aksi daripada reaksi. Padahal akting dalam teater itu semestinya adalah reaksi karena ada peristiwa pendahulu sebelum lakon. Pementingan aksi ini masih pula didukung dengan fiksasi. Di dalam proses fiksasi pelatih menetapkan aksi yang mesti dilakukan oleh pemeran. Aksi ini benar-benar ditetapkan dan tidak boleh diubah pun demikian dari reaksi atas aksi yang telah ditetapkan ini. Alhasil tidak ada sama sekali reaksi karena reaksi yang ditetapkan adalah sama dengan aksi. Reaksi semestinya sangat tergantung aksi sehingga ia jelas tidak bisa tetap atau bahkan tidak bisa diprediksi namun berjalan secara alamiah sebagai responsi atas aksi yang terjadi. Namun dengan ditetapkannya reaksi, maka reaksi sudah dengan sendirinya direncanakan sehingga ia tak bisa lagi disebut reaksi karena telah terencana. Hanya aksilah yang bisa direncanakan bukan reaksi.

Konsepsi reaksi dalam berperan merupakan keniscayaan karena memang lakon tidak pernah dimulai dari aksi melainkan reaksi atas cerita atau kondisi sebelumnya yang tak tertuliskan dalam lakon tersebut. Lakon teater adalah serangkaian peristiwa untuk menyampaikan pesan tertentu. Awalan dari rangkaian ini jelas tidaklah terceritakan - paling hanya ditulis (kalaupun ada) dalam bentuk ringkasan cerita pendahulu tanpa dialog - sehingga pemeran perlu merangkai cerita atau peristiwa awalan sebagai pijakan dasar motivasi dalam berbuat. Dengan demikian, aksi awal seorang pemeran merupakan reaksi atas kondisi atau latar belakang cerita yang tak tersurat. Namun demikian, pemahaman ini jarang sekali ditemukan sehingga latihan peran selalu dimulai dari aksi.

Pementingan aksi yang mengarah pada fiksasi ekspresi memang terasa lebih mudah dalam pengarahan namun hal itu akan membuat pemeran menjadi seorang pekerja. Ia bekerja atau berlaku hanya sesuai arahan pelatih. Tanpa arahan ia tidak bisa berbuat karena memang tidak dilatih untuk itu. Sementara itu, pemeranan adalah karya seni dan pemeran adalah seniman. Jika model pelatihan menempatkan pemeran sebagai sekedar pekerja, maka aksi pemeranan yang dilakukan di atas pentas adalah bukan karya pemeran itu. Dalam konsep pertunjukan hal ini sangat diperbolehkan, namun sangat tidak diperkenankan dalam konteks seni peran. Semestinya sutradara (pelatih) adalah ahli dalam mengarahkan dan pemeran ahli dalam beraksi. Akan tetapi karena proses fiksasi yang dilakukan, maka pemeran hanyalah menjadi pewujud rancangan aksi yang telah ditentukan oleh sutradara. Sutradara dengan demikian bukan lagi pengarah (pemberi arah) namun penuntun (memberi arah sambil menuntun pemeran menuju arah yang telah ditentukan). Seni peran dengan demikian telah dimatikan. Pemeran menjadi zombie.

Kesadaran tentang reaksi sebagai dasar dari seni peran mesti dimiliki oleh pelatih. Tidak mudah memang menginternalisasi pemahaman semacam ini karena kata kerja utama pemeranan adalah “aksi”. Kultur melatihkan aksi telah lama dilakukan dan tidak ada protes atasnya sehingga pemberlakuan aksi sebagai dasar seni peran seolah-olah adalah keniscayaan. Sementara dalam analogi keseharian, seseorang makan itu karena lapar atau minum karena haus. Jadi “makan” adalah reaksi atas “lapar”, dan “minum” adalah reaksi atas “haus”. Jadi sangat tidak masuk akal sesungguhnya meminta seseorang untuk melakukan tindakan “makan” tanpa memberi alasan. Pun demikian sama menggelikannya dengan menyuruh seseorang makan dengan ekspresi tertentu dan menetapkan ekspresi itu tanpa memberi alasan mengapa harus seperti itu.

Sementara banyak pelatih dan atau sutradara yang mengenal konsep motivasi sebagai dasar tindakan. Konsep ini semestinya mengarahkan pemeran untuk beraksi berdasar motivasi, artinya mereaksi motivasi. Banyak pula pelatih dan atau sutradara mengetahui bahwa motivasi bukan saja alasan sebuah tindakan melainkan lebih mengarah pada tujuan tokoh dalam lakon. Dalam mencapai tujuan ini ditemukan banyak halangan atau hambatan baik dari dalam diri tokoh maupun faktor eksternal. Hambatan-hambatan telah ada sejak adegan pertama jika ditelisik dari keseluruhan lakon sehingga aksi sang tokoh adalah reaksi atas hambatan yang terjadi untuk mencapai tujuan. Dengan mementingkan dan bahkan menetapkan aksi sebagai dasar berperan, maka dengan sendirinya telah meniadakan hambatan itu. Satu hal yang sangat mustahil dalam konsep teater dramatik, karena hambatan adalah cikal bakal konflik yang menjadi inti pesan lakon. Pelatih dan atau sutradara yang menetapkan aksi sebagai landasan utama berperan dengan demikian sama saja menggiring pemeran menuju kemustahilan.

5.  Takut Keluar Dari Penjara Kebiasaan
Kenyamanan pola atau formula latihan cenderung membuat malas untuk kembali belajar. Seolah-olah tidak ada alternatif atau pendekatan lain atau karena pola latihan yang dilakukan pernah menghasilkan karya yang dianggap hebat sehingga pola itu perlu dipertahankan. Perkara sebuah karya hebat atau tidak sebenarnya mengait banyak hal, secara umum (banyak terjadi) adalah peristiwa, ruang, dan waktu yang tepat bagi penonton (orang-orang yang hadir menyaksikan pertunjukan dan merasa terwakili kegelisahan, harapan, atau uneg-unegnya) ketika pertunjukan itu ditampilkan. Kondisi ini terkadang tidak memerlukan telaah akting atau artistik yang njlimet. Persis seperti kondisi masyarakat yang sudah jengah dengan ketidakadilan penguasa namun tidak berani menyuarakannya lalu tampilah sekelompok teater dengan cerita yang menyuarakan kegelisahan masyarakat tersebut. Sajian kelompok teater ini, sangat tepat dengan peristiwa, ruang, dan waktu yang ada sehingga masyarakat yang hadir menonton akan serempak menyatakan bahwa pertunjukan itu hebat. Jika karena kehebatan semacam ini kemudian kelompok teater tersebut terus menggunakan pola yang sama dalam setiap latihan, maka bisa dipastikan kehebatan tersebut segera menjadi kenangan yang selalu dipaksa untuk hadir sebagai fakta di kemudian hari.

Pemaksaan kenangan akan kehebatan yang sebenarnya juga belum tentu hebat jika ditelaah secara menyeluruh ini mengakibatkan timbulnya rasa malas untuk menelisik ulang apa sebab kehebatan itu muncul. Kemalasan ini melahirkan formula latihan puncak di mana anggapan bahwa latihan selain dengan formula itu tidak akan (belum tentu) menghasilkan kehebatan terpelihara dengan baik. Dari sinilah penjara kebiasaan itu dibangun dan nikmat untuk ditinggali. Formula latihan puncak yang sebenarnya tidak bisa dikatakan puncak ini menjadi resep wajib dalam setiap produksi. Dalam konteks inilah apa yang disampaikan oleh Peter Brook dalam The Empty Space menemukan bukti bahwasanya produksi teater yang proses latihannya dilaksanakan dalam kurun waktu lama, capaian artistiknya bisa jadi justru kalah dengan pementasan teater yang proses latihannya ala kadarnya.

Kegagalan artistik dalam produksi teater tersebut menurut Peter Brook karena kuantitas latihan yang dilakukan tidak bertemu dengan kualitas lakon yang akan dimainkan. Terlebih ketika proses latihan yang berlangsung lama itu telah menjadi formula. Pementasan teater, bukan soal berapa lama berlatih dalam produksi melainkan soal kualitas artistik yang ditampilkan. Model latihan dengan demikian berkaitan erat (bersebanding) dengan kualitas artistik. Oleh karena itu, dalam proses produksi, model atau pendekatan latihan dapat saja berganti karena ia tidak harus menjadi tradisi yang mesti diturunkan dari generasi ke generasi. Proses penciptaan teater adalah proses pembelajaran bagi semua yang terlibat. Perbedaan peristiwa, ruang, dan waktu tersedia bagi sebuah pementasan membawa konsekuensi logis perbedaan proses yang mesti dilakukan. Ada hal-hal yang tidak bisa diubah semisal proses hafalan, namun banyak hal yang dapat berkembang terutama dalam hal penciptaan peran.

Kebiasaan memang dengan mudah memenjara seseorang dan kemungkinan besar justru akan menutup imaji kreatif yang dimiliki. Akan tetapi dalam sisi lain, kebiasaan itu membuat segalanya tampak mudah sehingga melenakan. Para pelaku kebiasaan ini tanpa disadari telah menumbuhkan semangat negatif dalam berkarya. Penekanan pada kehebatan masa lalu selalu akan diusung untuk melegitimasi proses yang dilakukan. Jika hasilnya tidak memenuhi harapan penonton, justru penonton yang dipersalahkan karena dianggap tidak berada dalam frekuensi artistik yang sama. Anomali yang cenderung cacat jiwa ini telah menghianati hakikat dasar sebuah pementasan (pertunjukan) teater yang mana penonton merupakan salah satu unsur pokok. Tanpa penonton, tidak ada yang namanya pertunjukan.

Mungkin uraian di atas sedikit aneh atau terlalu menggeneralisir, namun fakta lapangan yang memperlihatkan bahwa pementasan teater di banyak kota hanya ditonton oleh kalangan sendiri dapat dijadikan acuan. Di luar kalangan sendiri atau penonton awam tidak menjadi hitungan karena akan dianggap tidak memiliki kesamaan frekuensi sehingga tanggapan mereka atas pementasan diabaikan. Sementara kalangan sendiri bisa saja berada dalam posisi abu-abu antara memberi kritik, pujian, atau sekedar basa-basi dalam kalangan. Kondisi yang mengharuskan penonton memahami konsep atau sajian yang ditawarkan masih banyak terjadi dan ketika para penonton tidak mampu memahami itu langsung saja cap bahwa “penonton tidak mengerti seni” atau semacamnya diberikan. Akhirnya, jarak antara penonton awam dan teater semakin jauh. Padahal akar soalnya sangatlah sederhana yaitu pelaku teater yang keras kepala untuk menerapkan satu formula dalam semua produksi.

Keengganan keluar dari penjara kebiasaan ini, selain kekeraskepalaan atas satu formula latihan yang pernah melahirkan kehebatan karya adalah kegagalan yang tak ikhlas diterima sebagai peristiwa penting dalam proses perkembangan. Banyak pelaku teater yang berusaha keluar dari adat kebiasaannya dalam melatih pemeran namun berkutat dalam alur yang demikian; coba sekali – gagal - terus kembali ke formula awal. Setiap kegagalan akan dilarikan kembali ke formula awal sehingga akhirnya hanya formula awal itu yang dianggap paling baik untuk diterapkan. Padahal kegagalan sebuah cobaan dalam proses teater merupakan hal lumrah dan terjadi pada setiap pekarya teater handal. Kegagalan dalam satu kali cobaan tentu saja bukan kegagalan melainkan sebuah pembelajaran yang dapat ditarik menjadi dasar pijakan baru bagi proses berikut. Dalam konteks penikmatan karya, rasa atau makna sebuah karya hadir dalam diri penikmat setelah disajikan berulang. Bahkan karya musik klasik yang hebat pun tidak bisa dinikmati dalam sekali dengaran. Artinya, keluar dari penjara kebiasaan membutuhkan keberanian dan teater adalah wadah yang tepat untuk itu.

6.  Bermain Menjadi Hal Langka
Prinsip teater itu bermain tetapi telah berubah menjadi arena ketegangan. Kondisi tegang tercipta bukan hanya karena soal jam terbang pemeran, tugas individu yang belum dia selesaikan, atau soal pandangan artistik yang senantiasa berubah, namun juga soal model pelatihan yang dilakukan. Pemeran yang tidak banyak memiliki jam terbang bisa dipastikan akan selalu berada dalam kondisi ketegangan ketika materi pelatihan peran mulai dilakukan. Ia yang meskipun  kebagian peran kecil akan terlalu bersemangat untuk tidak melakukan kesalahan – menjalankan apa yang diperintahkan. Semangat yang terlalu dalam menjaga hal-hal yang mesti benar ini akan membawanya pada ketegangan. Hasilnya dalam banyak latihan atau cobaan ia justru melakukan kesalahan bahkan ketika ia sendiri merasa telah benar, namun tetap saja sutradara merasa ada yang salah dalam diri pemeran tersebut. Kesalahan utamanya tentu saja bukan soal hafalan teks atau teknis-mekanis beraksi melainkan absennya jiwa ketika aksi diperagakan. Kondisi santai atau rileks memang sangat diperlukan dalam berperan. Seorang pemeran pemula pasti mudah memahami makna rileks dalam pikirannya namun sangat sulit mengalirkan makna tersebut ke seluruh tubuhnya. Sutradara yang baik akan menanamkan sikap rileks ini melalui dialog antara dirinya dan pemeran serta memberikan tips dan latihan-latihan kecil untuk mengendurkan ketegangan fisik. Akan tetapi banyak pula sutradara atau pelatih yang tak cukup waktu untuk memperhatikan hal kecil semacam ini sehingga peran kecil yang dimainkan oleh pemeran pemula tersebut dianggap telah cukup dengan seperti itu. Benar secara teks dialog dan gerak-gerik tubuh ketika beraksi meski tanpa kehadiran jiwa. Bisa saja seperti itu, namun ketegangan tak bisa sirna dalam diri pemeran pemula dan kondisi rileks tak terasa di dalam tubuh. 
Tugas individu yang banyak dalam bentuk arahan laku atau pengayaan latihan mandiri menyumbang ketegangan yang besar efeknya. Pemeran dalam sebuah produksi teater amatir seringkali memiliki tugas sampingan berkait keproduksian. Tugas-tugas tersebut tentu saja tidak dalam skala besar namun jelas membebani. Jika pemeran tersebut tidak menyiapkan diri dengan baik bisa jadi ketegangan yang ada justru berlipat. Ia harus menyelesaikan tugas keproduksian dan di saat yang sama tugas-tugas pemeranan yang menjadi tanggung jawabnya juga harus diselesaikan. Pikiran akan tugas individu ini merupakan pancingan yang dahsyat bagi ketegangan. Bahkan ketika seorang pemeran tanpa tugas tambahan apapun dalam produksi namun belum menyelesaikan latihan mandiri yang dianjurkan sutradara pasti akan tegang dalam menghadapi latihan. Di dalam proses pemeranan sutradara sering memberikan arahan tambahan bagi pemeran untuk meningkatkan kualitas seni perannya. Arahan ini secara tidak langsung menjadi beban individu pemeran. Jika pemeran tidak mendapatkan pendampingan untuk mengatasi persoalan ini, maka ketegangan akan terus terpelihara sampai dengan hari pementasan.

Kondisi lain yang paling sering menghasilkan ketegangan adalah pandangan artistik yang terus berubah. Perubahan pandangan ini secara konsep bisa dikatakan tidak ada masalah namun dalam aplikasinya melahirkan banyak masalah. Tidak saja masalah itu menimpa tim tata artistik tetapi juga menimpa pada pemain. Bayangkan saja, dalam satu latihan kursi yang diduduki pemeran berada di panggung kiri namun dalam latihan berikutnya dipindah ke panggung kanan. Hal yang sederhana ini akan mempengaruhi pola blocking dan dengan demikian akan berpengaruh pada moving para pemeran yang ada di dalam adegan tersebut. Perubahan semacam ini yang dilakukan terlalu sering pasti akan menghasilkan ketegangan dalam diri pemain karena membuat semuanya menjadi tidak pasti. Selain itu perubahan visi artistik yang banyak terjadi adalah konsep yang disampaikan tidak segera diwujudkan sehingga ketika latihan berjalan, tata artistik tidak pernah tersedia. Baru ketika latihan terakhir semua benda artistik yang akan digunakan dilengkapi dan ditata sebagaimana konsepnya. Tentu hal ini akan melahirkan ketegangan bagi pemeran karena mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengeksplorasi dan membiasakan diri dengan semua benda panggung yang ada. Belum lagi ketika tata artistik ini masih harus mengalami proses penyempurnaan setelah latihan terakhir. Misalnya saja dinding ruang baru dicat siang hari menjelang pementasan sehingga ketika pentas berjalan, cat tersebut masih basah. Bukan soal artistik saja yang akan tampak kurang baik namun pemeran harus mampu bermain di ruang dengan dinding yang catnya masih basah sehingga ia harus berhati-hati agar cat tersebut tidak menempel pada busana. Bisa dibayangkan betapa tegangnya pemeran tersebut ketika pentas. Ia harus konsentrasi dengan karakter yang diperankan namun dalam waktu sama ia harus menjaga dirinya dari cat dinding yang masih  basah.

Ketegangan-ketegangan yang terjadi pada diri pemeran sebenarnya dapat diatasi dengan model pelatihan dan pemberian pemahaman mengenai pengalaman estetik yang membentuk persepsi itu adalah subyektif. Dalam model pelatihan, bisa saja dilakukan beberapa kali latihan bersifat refreshing, bermain bersama, atau sekedar kumpul ngobrol dan saling berkelakar. Konsentrasi terlalu tinggi pada sesuatu yang akan dikerjakan seringkali justru menghasilkan kebuntuan. Dengan refreshing, kebuntuan dapat dikendurkan sehingga pikiran kembali segar dan dapat lagi digunakan untuk fokus pada pekerjaan. Namun sayangnya, latihan seringkali diadakan untuk mengejar target sehingga waktu penyegaran di tengah latihan mustahil untuk dilakukan. Jika sudah demikian, maka teater menjadi semacam kerajinan yang mesti dikerjakan demi mengejar pesanan. Model pelatihan bervariasi dengan mempertimbangkan kondisi fisik dan kejiwaan pemeran sangatlah membantu untuk mengembalikan kesadaran bahwa teater itu sesungguhnya adalah bermain. Teater adalah arena permainan di mana para manusia dan bukan robot yang bermain di dalamnya. Kesadaran ini pun dapat ditumbuhkan melalui pengalaman estetik yang diinternalisasi ke dalam diri lewat kegiatan refleksi selepas latihan. Dalam refleksi ini, persepsi individu atas pengalaman yang telah dilalui dapat saling bertemu, diperbincangkan, serta dibahas secara rileks di mana pelatih atau sutradara memberikan masukan-masukan ringan untuk meningkatkan kualitas persepsi. Situasi yang tenang akan membawa perasaan damai sehingga pemeran dapat menyadari kekurangsesuaian yang telah ia lakukan dan yakin untuk bisa memperbaikinya. Kondisi semacam ini sangat diperlukan agar pemeran tidak selalu terbeban dan terjebak terus menerus dalam ketegangan.

7.  Keberbagaian Teater, Kekayaan Metode
Teater sepanjang sejarahnya telah menampilkan berbagai macam bentuk dan gaya pementasan. Teater menyediakan dan membuka dirinya untuk pengembangan. Tentu saja ini berkaitan dengan para pelaku teaternya. Kreatifitas di dalam teater seolah-olah tidak pernah berhenti. Sebagai seni kolaboratif yang memungkinkan berpadunya beragam unsur seni, teater bisa dipandang dari berbagai macam sisi. Karena itu keberbagaian dalam teater adalah keniscayaan. Ia senantiasa tumbuh baik mengikuti atau menentang lingkungan tempat ia sendiri tumbuh. Keberbagaian dalam teater menggambarkan kekayaan metode atau proses penciptaan yang ada di dalamnya. Karena yang demikian, maka interpretasi atas karya teater dan stimulasi yang dihasilkan untuk direproduksi sangat subyektif dan berada secara samar-samar di antara yang dianggap benar dan salah.

Kenyataan akan senantiasa berubahnya teater memerlukan keikhlasan para pelaku teater dalam meresapinya. Sayangnya, ketidaktetapan titik berdiri atau sudut pandang ini seringkali mengalami penghianatan oleh para pelakunya sendiri. Apa yang tak tetap selalu ditetapkan dengan nilai tertentu. Sayangnya lagi, penetapan ini seolah-olah dipaksakan. Artinya, tidak ada celah yang bisa ditembus ketetapan lain. Dalam keadaan semacam ini teater telah menjadi benda yang ukuran-ukurannya tertentukan secara subyektif. Benda ini terkadang dihasilkan melalui proses tak jujur antara kekakuan untuk menetap dan kehendak pikiran untuk senantiasa bertumbuh. Artinya, kehendak berkembang selalu muncul akibat lahirnya rangsang artistik atas peristiwa seni yang dilakoni langsung ataupun tidak langsung. Namun ketakutan untuk beranjak menjadi halangan sehingga pikiran berkehendak berubah namun lakuannya tetap sama.

Keadaan ini menimpa banyak sutradara dan pelatih teater yang selalu senang berada di zona nyaman. Ketika pada satu saat model tampilan baru sebuah teater memancing pikiran kreatifnya, ia yang tak mau beranjak tetap saja melakoni pola yang sama dalam proses penciptaan. Jadi, hanya keinginannya saja yang berusaha untuk menerima kebaruan namun prosesnya tidak sebab sulit untuk beranjak dari kenyamanan. Rasa takut itu muncul sebagai akibat dari anggapan yang selama ini telah membukukan kata “baik” dalam setiap karyanya sehingga kata “tidak baik” adalah momok.

Keberbagaian teater yang di dalamnya mengandung kekayaan metode akhirnya tidak sepenuhnya bisa diterima. Teater dengan demikian telah kehilangan semangat belajar karena jiwa keakuan yang telah terbentuk lama dan mengenakkan. Sementara itu, proses lahirnya keberbagaian dalam teater tidak lepas dari uji coba tanpa henti dengan segala macam kritik yang melingkupinya. Hantaman-hantaman akan selalu muncul dalam proses berkesenian namun hantaman menjadi tak lagi diperlukan bagi yang telah berada nyaman di zona aman.

Selayaknya semangat pencarian mesti selalu ditumbuhkan dalam proses berteater bagi siapapun. Hal ini sangat penting artinya bagi keberlanjutan hidup teater itu sendiri. Bahkan Stanislavsky masih saja mencoba meneliti metode pelatihan peran ketika usianya sudah sangat tua. Selalu saja ada hal baru yang bisa terbuka karena jiwa manusia seperti hidup yang menyimpan banyak pertanyaan belum terjawab. Sebagai seni yang berkait erat dengan kehidupan manusia, teater masih banyak memerlukan pertanyaan baru untuk dijawab dan kembali dipertanyakan ulang. Bahkan rupa ekspresi dari pertanyaan dan jawaban ini pun bisa beraneka ragam dan hal itu menggembirakan. Keniscayaan tumbuh kembang teater sebagaimana hidup manusia tidak selayaknya dihentikan hanya karena anggapan dan rasa takut keluar dari anggapan tersebut. Teater sudah sekian lama membuka dirinya, jadi tidak ada alasan untuk menutupinya dengan tampilan dan proses pelatihan yang itu-itu saja. Jadi keberbagaian teater dan kekayaan metode pelatihan mesti dihidupkan.                                                                                       

8.  Pendeknya Waktu Kerja Dengan Elemen Tata Artistik
Proses penciptaan teater memerlukan jangka waktu tertentu dalam melaksanakan semua pentahapan. Umumnya, kerja pentahapan ini dilakukan oleh tim produksi. Namun tidak sedikit pula yang mencampurkan kerja artistik dan produksi dalam artian semuanya berjalan secara paralel. Dalam kondisi ini, pekerja artistik juga merangkap pekerja produksi. Tentu saja hal itu bukan merupakan satu hal yang ideal namun banyak terjadi. Sementara di dalam proses produksi yang telah memisahkan kerja antara artistik dan keproduksian pun masih mungkin terjadi kekurangan dalam pentahapan kerja kaitannya dengan target dan ketersediaan waktu.

Umum terjadi adalah tidak terpenuhinya target berdasar waktu. Jika menyangkut wilayah manajemen produksi, hal yang paling buruk dari keadaan ini adalah tidak banyaknya sponsor dan penonton yang hadir sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pemasukan. Akan tetapi jika keadaan ini menyangkut wilayah artistik - dan ini yang justru sering terjadi - maka kualitas pertunjukan lah yang menjadi korbannya. Kerja keras tim artistik yang tidak dapat bertemu dalam satu titik dengan tim produksi sementara kebutuhan artistik dinomor sekiankan pasti berpengaruh pada kualitas karya yang akan ditampilkan. Meski bukan kemudian hal tersebut merupakan kesalahan tim produksi semata tetapi sebuah upaya melakukan proses penciptaan karya namun hasil akhirnya justru mengorbankan karya itu yang nampak naif. Semestinya karya yang lebih didahulukan karena memang karya itu yang akan dipersembahkan.

Kondisi-kondisi yang silap di dalam proses produksi tersebut memerlukan pembahasan panjang lebar karena dapat ditinjau dari berbagai sisi. Akan tetapi dari semua sisi bermasalah yang seringkali terjadi adalah tidak tercukupinya waktu bagi pemeran untuk bekerja (berlatih) dengan elemen tata artistik. Waktu yang tersedia panjang hanya digunakan oleh sutradara untuk melatih penghayatan peran. Giliran untuk menyelesaikan urusan tata artistik sedikit dikesampingkan. Akibatnya ketika elemen tata artistik telah disiapkan, waktu untuk bekerja dengannya sangat terbatas. Padahal jelas saja hal ini akan sangat mengganggu penampilan secara keseluruhan utamanya adalah pemeranan. Seorang pemeran memerlukan waktu cukup lama untuk menjadi akrab dengan lingkungannya.

Kecukupan waktu untuk bekerja dengan elemen artistik sangat penting maknanya bagi laku karakter lakon. Seorang pemeran tidak pernah bisa menyatu dengan lingkungan jika tidak dibiasakan hidup dalam lingkungan tersebut. Sama halnya dengan latihan wicara atau dialog yang dilakukan berulang-ulang dengan berbagai macam perubahan atau penyesuaian. Demikian halnya dengan kerja pemeranan bersama tata artistik. Semestinya waktu yang disediakan mencukupi sehingga latihan bisa diselenggarakan secara berulang dan perubahan atau pembenahan dapat dilakukan dengan baik, tidak tergesa-gesa.

Tata artistik sebagaimana laku pemeran, memerlukan kejelasan perwujudan. Artinya, bentuk, warna, ukuran, dan penataan mesti jelas sehingga pemeran benar-benar mengetahuinya. Banyak terjadi, pemeran diminta untuk latihan adegan perang dengan menggunakan pedang kayu, namun menjelang hari pementasan ternyata pedang yang dibuat oleh tim properti terbuat dari logam. Tentu saja hal ini akan berpengaruh dalam permainan karena berat pedang kayu berbeda dengan pedang logam. Banyak elemen tata artistik yang memerlukan perlakuan khusus terutama menyangkut bahan dan teknik pembuatannya seperti dalam tata busana. Beda bahan dan teknik pembuatan menghasilkan beda perlakuan sebab kesalahan sedikit bisa berakibat fatal. Misalnya saja, pemeran mengenakan rambut palsu, jika tidak memperhatikan teknik pemasangan bisa jadi rambut palsu ini terlepas saat pemeran sedang bermain dalam satu adegan. Itu salah satu contoh kecil saja belum lagi penggunaan alat berujung runcing seperti peniti atau jarum. Kesalahan teknik penggunaan dapat melukai pemeran. Kesalahan-kesalahan yang tidak terkait langsung dengan penghayatan peran semacam ini semestinya dapat dihindari.

Sutradara dan tim keproduksian perlu menyediakan waktu cukup untuk melatih pemeran bekerja dengan elemen tata artistik. Selain soal tempat dan waktu, hal ini juga berkait erat dengan alokasi pendanaan. Lamanya waktu yang digunakan untuk latihan dengan elemen tata artistik juga bermakna sudah tersedianya elemen tata artistik tersebut selama latihan. Hal inilah yang perlu dipikirkan dan diantisipasi oleh tim produksi untuk memperkirakan pembiayaan dan target waktu penyelesaian tata artistik. Semakin sering pemeran berlatih dengan elemen artistik yang benar-benar akan digunakan dalam pementasan hasilnya tentu akan semakin baik.

9.  Budaya Berlatih
Seorang pemeran harus menghidupkan budaya berlatih dalam dirinya. Latihan semestinya menjadi kebutuhan. Dalam makna yang lebih luas, hal ini dimaksudkan untuk menjaga fokus terhadap seni peran. Latihan tidak hanya berkaitan langsung dengan latihan tubuh, suara, dan perwatakan namun semua hal yang dirasa penting dalam menunjang seni peran. Penumbuhan budaya berlatih ini memang tidaklah mudah karena banyak pemeran dan calon pemeran yang berlatih ketika sedang terlibat dalam proses produksi. Bahkan kemungkinan hal ini telah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Oleh karena itulah diperlukan satu kesadaran bahwasanya teknik pemeranan yang dimiliki seseorang selamanya tidak bisa menetap jika tidak terus dilatihkan. Persis seperti olahragawan profesional yang mesti berlatih sebab sadar bahwa posisi juara akan dinamis berganti. Tidak berlatih sama dengan menyerah sebelum bertanding.

Hal pertama yang perlu ditumbuhkan adalah pemeliharaan fokus akan seni peran. Penjagaan fokus sendiri merupakan salah satu proses latihan dan sangat penting maknanya. Banyak aktor profesional mengasah kemampuan dirinya dalam seni peran dengan menjaga fokus ini. Artinya, apapun yang ia lakukan diupayakan berkaitan dengan seni peran sehingga pengalaman sehari-hari dapat berubah menjadi pengalaman estetik. Seorang aktor panggung, tiba-tiba dalam satu waktu tertentu bergabung dengan kelompok musik dan tampil di kafe-kafe tingkat menengah ke bawah bukan dalam rangka menambah penghasilan namun dalam upaya mengasah kemampuannya dalam hal olah suara dan musikalitas. Banyak hal yang bisa dikerjakan oleh pemeran dalam keseharian yang jika fokus dari kegiatan tersebut tidak lepas dari seni peran, maka banyak manfaat yang ia dapatkan.

Umum ditemui bahwa seorang pemeran mesti hanya bekerja dalam produksi pementasan teater, drama televisi atau film. Selain itu dianggap tidak ada kaitannya dengan seni peran. Penjara anggapan ini rupanya telah berkembang biak dalam kurun waktu lama sehingga banyak seniman seni peran yang tidak memiliki kegiatan (kerja sampingan) namun tetap bersikukuh bahwa kerja selain bermain peran adalah melacurkan diri. Sebuah anggapan yang sama sekali tidak masuk akal namun memiliki daya magis sehingga banyak orang memelihara anggapan tersebut.

Padahal dengan tetap menjaga fokus terhadap seni peran, maka semua pekerjaan yang dilakukan di luar seni peran justru memberikan pengalaman yang bisa memperkaya pemikiran dan jiwa pemeran. Persis seperti seorang mahasiswa yang mengambil kerja paruh waktu sebagai pelayan restoran di sela waktu kuliahnya. Mahasiswa ini tidak sedang melacurkan kompetensi akademiknya melainkan ia menempa diri agar dapat mempertahankan kompetensi akademik yang dipelajari di kelak kemudian hari. Mahasiswa pekerja ini tetap fokus pada kuliahnya karena memang ia mengambil kerja paruh waktu untuk mendukung proses perkuliahannya. Pengalaman kerja paruh waktu ini akan memberikannya kemampuan manajemen diri yang jelas sangat diperlukan dalam kehidupan.

Dalam logika umum, seseorang yang memperkaya dirinya dengan pengalaman di luar kompetensi utama yang dimiliki lebih kaya sudut pandangnya. Pengalaman-pengalaman itu akan memberikan perspektif lain dalam memandang sesuatu. Di dalam khasanah seni peran, perspektif sangatlah diperlukan sehingga ekspresi emosi tokoh dapat terjelaskan secara mendetail. Perspektif ini tidak hanya berasal dari tokoh lakon seperti tertulis dalam naskah, namun juga dari tokoh lain dan pengalaman pribadi pemeran. Perspektif dari pengalaman pribadi inilah yang menentukan kedalaman dari pemaknaan atas karakter yang akan dimainkan. Hal ini dikarenakan seni peran tidak hanya menyangkut soal pemahaman dalam pikiran namun juga bagaimana ekspresi lakuannya. Pengalaman pribadi dapat dijadikan referensi lakuan. Secara sederhana, banyaknya pengalaman yang dialami dalam kehidupan dalam berbagai macam aktivitas dan pekerjaan akan memperkaya memori tubuh akan lakuan. Di sinilah letak pentingnya membangkitkan budaya berlatih dalam makna fokus pada seni peran atas semua kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan. Kesukaan menetap (tak bergerak) akan mengurangi memori tubuh atas segala macam lakuan yang mungkin direfleksikan melalui karakter tokoh di atas panggung. Budaya berlatih adalah budaya seni peran, oleh karena itu setiap pemeran harus memiliki budaya berlatih ini, lain tidak. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar