Oleh: Eko Santosa
(tulisan ini pernah dimuat secara berkala di, www.whanidproject.com)
Proses penciptaan teater memerlukan
banyak tahapan. Salah satu yang paling utama adalah pelatihan. Pada tahap ini,
para pekerja artistik utamanya sutradara dan pemeran terlibat dalam kegiatan
latihan. Mulai dari soal naskah yang akan dipentaskan, arahan laku, komposisi
atau blocking pemain, emosi, psikologi peran, sampai latihan bersama
dengan menggunakan elemen tata artistik dilakukan. Sebuah proses yang tidak
bisa dikatakan ringan namun mesti dilalui untuk mencapai perwujudan riil dari
konsep produksi yang telah ditentukan. Bahkan dalam produksi pementasan amatir,
pelatihan tidak bisa tidak dilakukan. Sutradara atau produser tidak bisa hanya
membagi naskah kepada pemeran dan kemudian meminta mereka berlatih
sendiri-sendiri dan pada saat yang ditentukan tinggal kumpul bersama lalu
pementasan digelar. Di dalam proses penciptaan teater, tahapan latihan ini
selalu menarik untuk dibicarakan karena beragam metode dan pendekatan dilakukan
baik oleh kelompok teater dengan anggota tetapnya atau gabungan pemeran dalam
sebuah produksi lepas. Kekayaan metode pelatihan dalam teater terkait dengan
pementasan dan keaktoran ini dapat dijadikan sebagai bahan saling belajar
ketika tertuang dalam catatan-catatan. Keberbagaian yang menjadi fondasi
pelatihan atau wujud nyata teknik latihan dapat memantikkan imajinasi dan
gagasan untuk dijelmakan sebagai materi latihan kala lain, bahkan ketika
cara-cara yang dilakukan masih dalam tahap pra-teknik atau materi dan metodenya
telah menetap.
1.
Latihan Dalam Proses Produksi
Banyak kelompok teater yang menyelenggarakan pelatihan
(hanya) ketika hendak berproduksi. Bahkan sepertinya hal ini telah menjadi
budaya. Tidak ada proses produksi, maka tidak ada latihan. Sementara untuk
menyelenggarakan produksi diperlukan banyak persiapan (modal). Segala persiapan
ini seolah-olah mesti ada terlebih dahulu baru kemudian produksi bisa
dijalankan. Rencana atau desain produksi kemudian sangat tergantung dari modal
awal yang dimiliki. Di dalam banyak peristiwa, modal awal ini bahkan hanya
berupa jadwal pementasan dengan fasilitas pementasan tertentu yang disediakan
oleh instansi tertentu dalam rangka perayaan tertentu. Selebihnya, modal itu
harus dicari sendiri. Namun dengan adanya kepastian pentas ini, kerja produksi
bisa dimulai sehingga latihan pun bisa diselenggarakan.
Rupa-rupanya budaya semacam ini tidak hanya menjangkiti
kelompok teater amatir tetapi juga kelompok teater (yang mengaku) profesional
yang selalu menerapkan tiket dalam setiap pementasannya. Latihan yang
diselenggarakan dalam atau jika ada proses produksi ini kemudian ditengarai
memiliki model atau pola yang sama. Pelatihan peran dimulai dari mempelajari
(bedah) naskah, membagi peran, menghafal naskah sesuai peran, latihan lepas
naskah dan blocking, latihan dengan elemen tata artistik, gladi bersih dan
berakhir dengan pementasan. Pola ini dilakukan oleh banyak sekali kelompok
sehingga langkah-langkah atau tahapan prosesnya seolah-olah menjadi standar.
Artinya, proses latihan teater yang memang harus seperti itu tahapannya.
Dengan sumber utama pelatihan adalah teks lakon (naskah),
maka materi pelatihan tidak akan jauh dari hal tersebut. Dalam hal ini,
pelatihan di luar konteks naskah lakon seperti dasar olah tubuh dan suara
menjadi tak signifikan dengan tokoh yang akan dimainkan. Latihan-latihan dasar
yang biasanya memiliki materi standar ini menjadi semacam pemanasan sebelum
latihan memerankan tokoh dilakukan. Proses latihan yang dimulai dari pemanasan
(tubuh, suara, konsentrasi) kemudian berlanjut dengan penokohan (berbasis teks
lakon) menjadi semacam formula universal. Padahal dalam latihan semacam ini,
kelenturan tubuh, keterampilan ragawi, dan fleksibilitas suara yang selalu
dilatihkan dalam pemanasan tidak terkait langsung dengan keperluan peran. Jadi,
pemanasan dilakukan untuk kemudian dilupakan. Jika ada keperluan khusus yang
membutuhkan kepiawaian berolah tubuh dan suara, maka latihan untuk keperluan
ini akan diselenggarakan pada sesi tertentu. Misalnya, ketika pementasan
memerlukan komposisi gerak dan lagu, maka sesi latihan khusus ini
diselenggarakan. Sekilas terbaca bahwa materi latihan dalam pemanasan selalu
tidak terkait dengan watak tokoh yang akan diperankan karena fokus utamanya ada
pada teks lakon.
Secara mendalam, pola latihan dasar yang dilakukan untuk
menuju langsung pada materi penokohan sangat jarang dilakukan. Tugas utama
pemeran adalah menghafal teks lakon dan menyajikan teks tersebut dalam
pemeranan. Ukuran-ukuran yang ada kemudian tidak lepas dari teks tertulis yang
akan diubah ke dalam teks terlihat dan terdengar. Model latihan semacam ini
mensyaratkan kematangan dan pengalaman pemeran karena memang pemeran dituntut
untuk siap secara fisik dan kejiwaan dalam memerankan tokoh sesuai naskah
lakon. Selain itu, latihan untuk mendalami watak tokoh memang tidak diselenggarakan.
Pemeran harus mengobservasi dan mengeksplorasi kedalaman watak peran secara
mandiri dan kemudian mempresentasikannya di hadapan sutradara pada saat latihan
bersama.
Latihan yang diselenggarakan hanya pada saat akan
berproduksi ini memiliki kelemahan terutama ketika produk pementasannya adalah
teater dramatik. Dengan demikian, latihan selalu akan berkutat pada teks dan
bagaimana teks tersebut ditampilkan. Dalam konteks teater dramatik yang
memiliki kecenderungan akting realis, jelajah kemampuan tubuh dan suara pemeran
sangat tergantung dengan kebutuhan teks. Banyak pengalaman memberikan catatan
bahwa latihan di dalam produksi semacam ini seolah-olah hanya menjalankan
formula yang telah membiasa. Semua kelompok teater dengan jenis produksi sama
akan melakukan hal yang sama. Tidak ada perkembangan dari sisi teknik maupun
metode karena semua mengacu pada drama (teks). Pola yang membiasa ini
sebenarnya tetap bisa menghasilkan karya yang mengejutkan (artistik) namun
dengan syarat jam produksi yang tinggi. Namun sayangnya banyak teater amatir
yang tidak memilikinya sehingga masa vakum (tak latihan) jauh lebih banyak
dibandingkan masa latihan (produksi). Sementara secara logis dijumpai
pengertian bahwa keteknikan tidak bisa tidak rutin dilatihkan karena rekam pikiran
mungkin masih ada namun ekspresi artistiknya sangat bergantung pada rekam
jasmani dan rasa. Kondisi ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi pemeran
karena seninya tidak akan terasah. Berperan dalam teater kemudian hanya sekedar
menjadi pengalaman bukan dedikasi.
2.
Latihan Dasar Yang Dilewatkan
Proses latihan yang membiasa seringkali menghasilkan
terlewatinya latihan-latihan dasar yang berkait langsung dengan peran. Latihan
dasar yang ada sudah dijadikan satu paket ke dalam apa yang disebut dengan pemanasan
yang mana materinya tidak mengait langsung pada peran. Di dalam latihan tubuh
misalnya, materi dasar penerapan bahasa tubuh ketika berekspresi tidak
mendapatkan tempat. Juga misalnya dengan kelenturan tubuh yang mesti nampak
ketika pemeran beraksi. Memang latihan pemanasan mengajarkan kelenturan, tetapi
bukan kelenturan yang berhubungan khusus dengan peran melainkan kelenturan
tubuh secara umum. Padahal di dalam akting realis, kelenturan ini menjadi
syarat utama. Seorang pemeran yang di dalam aksinya harus memegang gelas anggur
perlu dilatih cara memegang anggur yang tepat dan bagaimana berekspresi dengan
tetap memegang gelas itu. Latihan-latihan kecil semacam ini jelas sekali
terlewatkan karena fokus utamanya ada pada teks lakon.
Latihan-latihan dasar dalam paket pemanasan selalu saja
bersifat umum sementara latihan dasar yang bersifat khusus seolah-olah tak lagi
diperlukan. Keadaan ini lah kemudian yang memicu lahirnya aksi (gaya akting)
tipikal. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki janggut panjang pasti akan
mengelus-elus terus janggutnya ketika berbicara. Seseorang yang memegang kipas
bisa dipastikan selalu akan menggerakkan kipasnya baik ketika berbicara,
beraksi atau ketika mendengarkan lawan berbicara. Seolah-olah kipas itu memang
wajib untuk digerakkan bahkan ketika tokoh tidak sedang dalam kegerahan. Akting
tipikal ini jelas tidak memerlukan latihan khusus karena metode dasarnya hanya
mimesis (menirukan apa yang pernah dilakukan oleh aktor-aktor di atas panggung
sebelumnya dan dianggap sebagai patokan). Karena hanya mimesis, maka ukurannya
pun menjadi tidak sesuai kebutuhan melainkan sesuai kebiasaan. Akting semacam
ini bertebaran di panggung-panggung teater dramatik. Hebatnya lagi, akting yang
semacam itu telah dianggap sebagai kebenaran. Padahal jelas belum tentu, karena
ekspresi antara orang kaya memegang kipas berbeda dengan orang yang sok kaya
atau banci. Berbeda pula tentunya dengan orang memegang kipas ketika berada
dalam ketegangan atau dalam suasana gembira. Namun karena tidak adanya latihan
dasar khusus menerapkan kelenturan tubuh terkait peran, maka semuanya menjadi
sama saja.
Dalam hal berbicara atau berdialog pun sama halnya.
Latihan dasar membaca teks per suku kata untuk mempertegas pelafalan,
pengaturan jeda serta nafas jarang sekali diadakan. Latihan membaca hanya
sekedar membaca tanpa pretensi apapun baik dengan volume suara keras maupun
dengan berbisik juga sudah mulai hilang dari peredaran. Padahal fungsi tegas
dari latihan ini adalah aktor tidak tergesa-gesa dalam menentukan ekspresi
tokoh melalui dialog sebelum semua makna jelas dipahami. Semua jenis latihan
semacam ini tenggelam ke dalam pola latihan yang telah membiasa di mana para
aktor membaca naskah seperti telah memahami seluruh makna kata yang
disampaikan. Interpretasi lesap dalam proses pembacaan. Watak tokoh yang akan
diperankan langsung mendapatkan gambaran jelas sejak dalam proses pembacaan dan
gambaran ini ditentukan oleh para aktor sendiri. Meskipun didapati kenyataan
bahwa dengan latihan semacam ini aktor akan sulit mengubah ekspresi dialognya
(nada, tekanan tinggi-rendah, keras-lembut suara, emosi) ketika sutradara
menyatakan bahwa ekspresi yang disajikan kurang tepat pada saat latihan lepas
naskah, namun tetap saja kebiasaan ini dilakukan terus dan terus. Latihan dasar
suara melalui pembacaan naskah memang membutuhkan kesabaran, namun hal itu
mesti dilakukan, bukan kemudian ditinggalkan.
Alasan utama kebiasaan semacam itu
tetap terjaga adalah ketidaksabaran untuk melihat hasil. Sutradara atau
produser (termasuk aktor tentu saja) ingin segera melihat hasil meski dalam
bentuk kasar sehingga wujud nyata cerita di atas pentas sudah tergambar. Teater
memang tidak bisa memberikan gambaran nyata karena lakon sebagai sumber
ekspresi hanyalah berupa tulisan. Orang yang bekerja di teater hanya bisa
membayangkan peristiwa yang ada pada lakon dalam pikirannya. Apa-apa yang
dibayangkan dalam pikiran ini biasanya mendesak untuk segera diwujudkan.
Apa-apa yang diimajinasikan ingin segera di-nyata-kan. Keadaan inilah yang
seringkali membuat para pekerja teater ingin segera melepaskan naskah dan
mewujudkan seluruh cerita. Sutradara mengharap para aktor segera hafal dialog
lalu kemudian menampilkan peran dalam latihan tanpa naskah sehingga sutradara
mudah dalam mengarahkan. Namun bagaikan lingkaran setan, arahan sutradara sulit
diubah oleh aktor dalam konteks ekspresi dialog (suara) karena hal itu sudah
ditentukan oleh aktor sendiri sejak tahap membaca. Jika keadaan terjadi semacam
ini, lalu apa yang mesti dilakukan? Tentu saja tidak ada yang bisa diubah
dengan segera selain membiarkan latihan terus berlanjut hingga pementasan.
Artinya, apa yang didapatkan pada saat proses membaca, itulah nanti yang akan
tersaji di atas pentas. Padahal, jika latihan-latihan dasar terkait dengan
tubuh peran dan ekspresi suara dilakukan dengan sabar, pengubahan atau
penyesuaian lebih mudah dilakukan ketika tahap latihan sudah sampai pada lepas
naskah dan blocking.
3.
Pembentukan
Latihan semestinya memberikan pendalaman bukan membentuk.
Konsep ini semestinya bisa dipegang teguh mengingat prinsip kejiwaan tokoh
dalam lakon satu berbeda dengan lakon lain. Bahkan tokoh sama dalam lakon sama
dengan sutradara berbeda pun akan mengalami perbedaan interpretasi. Pendalaman
dalam latihan tentu saja tidak melulu soal action (aksi dalam pemeranan) tetapi
juga pemahaman atas tokoh yang akan diperankan dengan segala ciri
keberadaannya; fisik, mental, suara, dan keunikan tokoh tersebut untuk mengada
(hidup di atas panggung). Pemahaman atas tokoh tidak bisa dilatihkan dengan
memberikan contoh laku tokoh tersebut karena pemberian contoh laku menghasilkan
aksi tiruan bukan pada tokoh yang akan dimainkan melainkan pada si pemberi
contoh. Jika yang seperti ini dilakukan, maka pelatih telah membentuk pemain
tersebut agar berlaku seperti dirinya ketika memerankan tokoh lakon yang akan
dimainkan.
Pembentukan ini akan menghasilkan memori atas tindakan
dan menjadikannya sebagai pengalaman sensasi yang sulit untuk dihilangkan.
Terlebih ketika proses peniruan terhadap pelatih ini melibatkan penilaian
benar--salah, di mana peniru dianggap benar jika mampu menirukan dengan baik.
Padahal yang ditirukan pemain tersebut bukanlah aksi tokoh lakon yang
sesungguhnya. Memang, proses latihan peran tidak pernah memerlukan waktu
singkat tetapi tidak kemudian harus dipersingkat dengan memberikan contoh aksi
agar pemain segera bisa memenuhi harapan pelatih. Keadaan ini tidak akan
membuat pentas teater menjadi indah, namun justru menggugurkan makna keindahan
itu sendiri karena permainan para pemeran hanya sekedar menirukan pelatih.
Banyak sekali pelatih teater amatir yang melakukan proses
pembentukan semacam ini. Kebutuhan untuk segera melihat hasil melahirkan
ketidaksabaran yang mengarah pada pembentukan instan. Akting yang semestinya
alami tidak bertumbuh dalam kondisi semacam ini. Pemeran berubah fungsi menjadi
pekerja yang bekerja sesuai kemauan pelatih. Pemeran menjadi hasil cetakan
dengan model utamanya adalah pelatih. Jika sudah demikian, maka sesungguhnya
para pemain telah dikebiri haknya untuk berkreasi. Pengalaman demikian dalam
waktu lama akan menghasilkan jenis pelatih pembentuk yang sama pula ketika sang
pemain menjadi pelatih di kemudian hari.
Model pelatihan pemeranan semacam ini
terus berjalan dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan dalam banyak kelompok
teater amatir. Bahkan beberapa pelatih profesional menyatakan pentingnya
membentuk pemeran daripada menumbuhkan kebisaannya secara alami. Dalam materi
tertentu terutama dasar berperan, pembentukan memang diperlukan dalam sebuah proses
pembelajaran peran karena tanpa itu calon pemeran tidak bisa melaksanakan apa
yang dilatihkan dengan benar dan jika dilakukan seperti itu akan berakibat
fatal bagi calon pemeran tersebut. Dalam hal ini misalnya adalah pelatihan
dasar olah tubuh, konsentrasi, dan olah suara. Latihan dasar tubuh perlu
pembentukan dalam konteks perlu dilatihkan dan dilakukan dengan cara yang
benar, sebab jika tidak akan menghasilkan cedera. Namun sayangnya, hingga
sampai pada tahap memerankan tokoh, pelatih masih melakukan pembentukan dengan
skala benar-salah menurut interpretasinya.
Hasil dari pelatihan memainkan peran
yang semacam itu adalah akting tipikal atau ekspresi seragam dalam menyatakan
satu emosi. Pemeranan sebagai karya seni menjadi kerajinan dengan proses latihan
semacam ini. Pemeran tidak memiliki kebebasan berekspresi sesuai
interpretasinya atas lakon. Yang lebih parah dari itu adalah bahwa sesungguhnya
memang pemeran tidak diberikan dasar pemahaman adekuat atas lakon, peran yang
akan dimainkan dan segenap ruang lingkup lakon yang ada. Secara nyata, pemeran
dalam model pelatihan semacam ini memang hanyalah pekerja yang baru tahu makna
apa yang dikerjakan setelah pekerjaan itu dilakukan berulang. Artinya, banyak
waktu terbuang untuk memahami sesuatu yang bisa dilakukan dengan pengaktifan
imajinasi, kognisi, dan komunikasi dalam waktu lebih singkat. Dengan dasar
pemikiran bahwa latihan pemeranan adalah pembentukan, maka studio bukanlah
laboratorium melainkan pabrik yang belum tentu baik kualitas produknya.
4.
Mementingkan Aksi
Selama ini pelatihan akting selalu mendahulukan aksi
daripada reaksi. Padahal akting dalam teater itu semestinya adalah reaksi
karena ada peristiwa pendahulu sebelum lakon. Pementingan aksi ini masih pula
didukung dengan fiksasi. Di dalam proses fiksasi pelatih menetapkan aksi yang
mesti dilakukan oleh pemeran. Aksi ini benar-benar ditetapkan dan tidak boleh
diubah pun demikian dari reaksi atas aksi yang telah ditetapkan ini. Alhasil
tidak ada sama sekali reaksi karena reaksi yang ditetapkan adalah sama dengan
aksi. Reaksi semestinya sangat tergantung aksi sehingga ia jelas tidak bisa
tetap atau bahkan tidak bisa diprediksi namun berjalan secara alamiah sebagai
responsi atas aksi yang terjadi. Namun dengan ditetapkannya reaksi, maka reaksi
sudah dengan sendirinya direncanakan sehingga ia tak bisa lagi disebut reaksi
karena telah terencana. Hanya aksilah yang bisa direncanakan bukan reaksi.
Konsepsi reaksi dalam berperan merupakan keniscayaan
karena memang lakon tidak pernah dimulai dari aksi melainkan reaksi atas cerita
atau kondisi sebelumnya yang tak tertuliskan dalam lakon tersebut. Lakon teater
adalah serangkaian peristiwa untuk menyampaikan pesan tertentu. Awalan dari
rangkaian ini jelas tidaklah terceritakan - paling hanya ditulis (kalaupun ada)
dalam bentuk ringkasan cerita pendahulu tanpa dialog - sehingga pemeran perlu
merangkai cerita atau peristiwa awalan sebagai pijakan dasar motivasi dalam
berbuat. Dengan demikian, aksi awal seorang pemeran merupakan reaksi atas
kondisi atau latar belakang cerita yang tak tersurat. Namun demikian, pemahaman
ini jarang sekali ditemukan sehingga latihan peran selalu dimulai dari aksi.
Pementingan aksi yang mengarah pada fiksasi ekspresi
memang terasa lebih mudah dalam pengarahan namun hal itu akan membuat pemeran
menjadi seorang pekerja. Ia bekerja atau berlaku hanya sesuai arahan pelatih.
Tanpa arahan ia tidak bisa berbuat karena memang tidak dilatih untuk itu.
Sementara itu, pemeranan adalah karya seni dan pemeran adalah seniman. Jika
model pelatihan menempatkan pemeran sebagai sekedar pekerja, maka aksi
pemeranan yang dilakukan di atas pentas adalah bukan karya pemeran itu. Dalam
konsep pertunjukan hal ini sangat diperbolehkan, namun sangat tidak
diperkenankan dalam konteks seni peran. Semestinya sutradara (pelatih) adalah
ahli dalam mengarahkan dan pemeran ahli dalam beraksi. Akan tetapi karena
proses fiksasi yang dilakukan, maka pemeran hanyalah menjadi pewujud rancangan
aksi yang telah ditentukan oleh sutradara. Sutradara dengan demikian bukan lagi
pengarah (pemberi arah) namun penuntun (memberi arah sambil menuntun pemeran
menuju arah yang telah ditentukan). Seni peran dengan demikian telah dimatikan.
Pemeran menjadi zombie.
Kesadaran tentang reaksi sebagai dasar dari seni peran
mesti dimiliki oleh pelatih. Tidak mudah memang menginternalisasi pemahaman
semacam ini karena kata kerja utama pemeranan adalah “aksi”. Kultur melatihkan
aksi telah lama dilakukan dan tidak ada protes atasnya sehingga pemberlakuan
aksi sebagai dasar seni peran seolah-olah adalah keniscayaan. Sementara dalam
analogi keseharian, seseorang makan itu karena lapar atau minum karena haus.
Jadi “makan” adalah reaksi atas “lapar”, dan “minum” adalah reaksi atas “haus”.
Jadi sangat tidak masuk akal sesungguhnya meminta seseorang untuk melakukan
tindakan “makan” tanpa memberi alasan. Pun demikian sama menggelikannya dengan
menyuruh seseorang makan dengan ekspresi tertentu dan menetapkan ekspresi itu
tanpa memberi alasan mengapa harus seperti itu.
Sementara banyak pelatih dan atau sutradara yang mengenal
konsep motivasi sebagai dasar tindakan. Konsep ini semestinya mengarahkan
pemeran untuk beraksi berdasar motivasi, artinya mereaksi motivasi. Banyak pula
pelatih dan atau sutradara mengetahui bahwa motivasi bukan saja alasan sebuah
tindakan melainkan lebih mengarah pada tujuan tokoh dalam lakon. Dalam mencapai
tujuan ini ditemukan banyak halangan atau hambatan baik dari dalam diri tokoh
maupun faktor eksternal. Hambatan-hambatan telah ada sejak adegan pertama jika
ditelisik dari keseluruhan lakon sehingga aksi sang tokoh adalah reaksi atas
hambatan yang terjadi untuk mencapai tujuan. Dengan mementingkan dan bahkan
menetapkan aksi sebagai dasar berperan, maka dengan sendirinya telah meniadakan
hambatan itu. Satu hal yang sangat mustahil dalam konsep teater dramatik,
karena hambatan adalah cikal bakal konflik yang menjadi inti pesan lakon.
Pelatih dan atau sutradara yang menetapkan aksi sebagai landasan utama berperan
dengan demikian sama saja menggiring pemeran menuju kemustahilan.
5.
Takut Keluar Dari Penjara Kebiasaan
Kenyamanan pola atau formula latihan cenderung membuat
malas untuk kembali belajar. Seolah-olah tidak ada alternatif atau pendekatan lain atau karena
pola latihan yang dilakukan pernah menghasilkan karya yang dianggap hebat
sehingga pola itu perlu dipertahankan. Perkara sebuah karya hebat atau tidak
sebenarnya mengait banyak hal, secara umum (banyak terjadi) adalah peristiwa, ruang, dan waktu yang tepat bagi penonton (orang-orang
yang hadir menyaksikan pertunjukan dan merasa terwakili kegelisahan, harapan,
atau uneg-unegnya) ketika pertunjukan itu ditampilkan. Kondisi ini
terkadang tidak memerlukan telaah akting atau artistik yang njlimet. Persis seperti kondisi
masyarakat yang sudah jengah dengan ketidakadilan penguasa namun tidak berani
menyuarakannya lalu tampilah sekelompok teater dengan cerita yang menyuarakan
kegelisahan masyarakat tersebut. Sajian kelompok teater ini, sangat tepat
dengan peristiwa, ruang, dan waktu yang ada sehingga masyarakat yang hadir
menonton akan serempak menyatakan bahwa pertunjukan itu hebat. Jika karena
kehebatan semacam ini kemudian kelompok teater tersebut terus menggunakan pola
yang sama dalam setiap latihan, maka bisa dipastikan kehebatan tersebut segera
menjadi kenangan yang selalu dipaksa untuk hadir sebagai fakta di kemudian
hari.
Pemaksaan kenangan akan kehebatan yang sebenarnya juga
belum tentu hebat jika ditelaah secara menyeluruh ini mengakibatkan timbulnya
rasa malas untuk menelisik ulang apa sebab kehebatan itu muncul. Kemalasan ini
melahirkan formula latihan puncak di mana anggapan bahwa latihan selain dengan
formula itu tidak akan (belum tentu) menghasilkan kehebatan terpelihara dengan
baik. Dari sinilah penjara kebiasaan itu dibangun dan nikmat untuk ditinggali.
Formula latihan puncak yang sebenarnya tidak bisa dikatakan puncak ini menjadi
resep wajib dalam setiap produksi. Dalam konteks inilah apa yang disampaikan
oleh Peter Brook dalam The Empty Space menemukan
bukti bahwasanya produksi teater yang proses latihannya dilaksanakan dalam
kurun waktu lama, capaian artistiknya bisa jadi justru kalah dengan pementasan
teater yang proses latihannya ala kadarnya.
Kegagalan artistik dalam produksi teater tersebut menurut
Peter Brook karena kuantitas latihan yang dilakukan tidak bertemu dengan
kualitas lakon yang akan dimainkan. Terlebih ketika proses latihan yang
berlangsung lama itu telah menjadi formula. Pementasan teater, bukan soal
berapa lama berlatih dalam produksi melainkan soal kualitas artistik yang
ditampilkan. Model latihan dengan demikian berkaitan erat (bersebanding) dengan
kualitas artistik. Oleh karena itu, dalam proses produksi, model atau
pendekatan latihan dapat saja berganti karena ia tidak harus menjadi tradisi
yang mesti diturunkan dari generasi ke generasi. Proses penciptaan teater
adalah proses pembelajaran bagi semua yang terlibat. Perbedaan peristiwa,
ruang, dan waktu tersedia bagi sebuah pementasan membawa konsekuensi logis
perbedaan proses yang mesti dilakukan. Ada hal-hal yang tidak bisa diubah
semisal proses hafalan, namun banyak hal yang dapat berkembang terutama dalam
hal penciptaan peran.
Kebiasaan memang dengan mudah memenjara seseorang dan
kemungkinan besar justru akan menutup imaji kreatif yang dimiliki. Akan tetapi
dalam sisi lain, kebiasaan itu membuat segalanya tampak mudah sehingga
melenakan. Para pelaku kebiasaan ini tanpa disadari telah menumbuhkan semangat
negatif dalam berkarya. Penekanan pada kehebatan masa lalu selalu akan diusung
untuk melegitimasi proses yang dilakukan. Jika hasilnya tidak memenuhi harapan
penonton, justru penonton yang dipersalahkan karena dianggap tidak berada dalam
frekuensi artistik yang sama. Anomali yang cenderung cacat jiwa ini telah
menghianati hakikat dasar sebuah pementasan (pertunjukan) teater yang mana
penonton merupakan salah satu unsur pokok. Tanpa penonton, tidak ada yang
namanya pertunjukan.
Mungkin uraian di atas sedikit aneh atau terlalu menggeneralisir,
namun fakta lapangan yang memperlihatkan bahwa pementasan teater di banyak kota
hanya ditonton oleh kalangan sendiri dapat dijadikan acuan. Di luar kalangan
sendiri atau penonton awam tidak menjadi hitungan karena akan dianggap tidak
memiliki kesamaan frekuensi sehingga tanggapan mereka atas pementasan
diabaikan. Sementara kalangan sendiri bisa saja berada dalam posisi abu-abu
antara memberi kritik, pujian, atau sekedar basa-basi dalam kalangan. Kondisi
yang mengharuskan penonton memahami konsep atau sajian yang ditawarkan masih
banyak terjadi dan ketika para penonton tidak mampu memahami itu langsung saja
cap bahwa “penonton tidak mengerti seni” atau semacamnya diberikan. Akhirnya,
jarak antara penonton awam dan teater semakin jauh. Padahal akar soalnya
sangatlah sederhana yaitu pelaku teater yang keras kepala untuk menerapkan satu
formula dalam semua produksi.
Keengganan keluar dari penjara kebiasaan ini, selain
kekeraskepalaan atas satu formula latihan yang pernah melahirkan kehebatan
karya adalah kegagalan yang tak ikhlas diterima sebagai peristiwa penting dalam
proses perkembangan. Banyak pelaku teater yang berusaha keluar dari adat
kebiasaannya dalam melatih pemeran namun berkutat dalam alur yang demikian;
coba sekali – gagal - terus kembali ke formula awal. Setiap kegagalan akan
dilarikan kembali ke formula awal sehingga akhirnya hanya formula awal itu yang
dianggap paling baik untuk diterapkan. Padahal kegagalan sebuah cobaan dalam
proses teater merupakan hal lumrah dan terjadi pada setiap pekarya teater
handal. Kegagalan dalam satu kali cobaan tentu saja bukan kegagalan melainkan
sebuah pembelajaran yang dapat ditarik menjadi dasar pijakan baru bagi proses
berikut. Dalam konteks penikmatan karya, rasa atau makna sebuah karya hadir
dalam diri penikmat setelah disajikan berulang. Bahkan karya musik klasik yang
hebat pun tidak bisa dinikmati dalam sekali dengaran. Artinya, keluar dari
penjara kebiasaan membutuhkan keberanian dan teater adalah wadah yang tepat
untuk itu.
6.
Bermain
Menjadi Hal Langka
Prinsip teater itu bermain tetapi telah
berubah menjadi arena ketegangan.
Kondisi tegang tercipta bukan hanya karena soal jam terbang pemeran, tugas
individu yang belum dia selesaikan, atau soal pandangan artistik yang
senantiasa berubah, namun juga soal model pelatihan yang dilakukan. Pemeran
yang tidak banyak memiliki jam terbang bisa dipastikan akan selalu berada dalam
kondisi ketegangan ketika materi pelatihan peran mulai dilakukan. Ia yang
meskipun kebagian peran kecil akan
terlalu bersemangat untuk tidak melakukan kesalahan – menjalankan apa yang
diperintahkan. Semangat yang terlalu dalam menjaga hal-hal yang mesti benar ini
akan membawanya pada ketegangan. Hasilnya dalam banyak latihan atau cobaan ia
justru melakukan kesalahan bahkan ketika ia sendiri merasa telah benar, namun
tetap saja sutradara merasa ada yang salah dalam diri pemeran tersebut.
Kesalahan utamanya tentu saja bukan soal hafalan teks atau teknis-mekanis
beraksi melainkan absennya jiwa ketika aksi diperagakan. Kondisi santai atau
rileks memang sangat diperlukan dalam berperan. Seorang pemeran pemula pasti
mudah memahami makna rileks dalam pikirannya namun sangat sulit mengalirkan
makna tersebut ke seluruh tubuhnya. Sutradara yang baik akan menanamkan sikap
rileks ini melalui dialog antara dirinya dan pemeran serta memberikan tips dan
latihan-latihan kecil untuk mengendurkan ketegangan fisik. Akan tetapi banyak
pula sutradara atau pelatih yang tak cukup waktu untuk memperhatikan hal kecil
semacam ini sehingga peran kecil yang dimainkan oleh pemeran pemula tersebut
dianggap telah cukup dengan seperti itu. Benar secara teks dialog dan
gerak-gerik tubuh ketika beraksi meski tanpa kehadiran jiwa. Bisa saja seperti
itu, namun ketegangan tak bisa sirna dalam diri pemeran pemula dan kondisi
rileks tak terasa di dalam tubuh.
Tugas individu yang banyak dalam bentuk arahan laku atau
pengayaan latihan mandiri menyumbang ketegangan yang besar efeknya. Pemeran
dalam sebuah produksi teater amatir seringkali memiliki tugas sampingan berkait
keproduksian. Tugas-tugas tersebut tentu saja tidak dalam skala besar namun
jelas membebani. Jika pemeran tersebut tidak menyiapkan diri dengan baik bisa
jadi ketegangan yang ada justru berlipat. Ia harus menyelesaikan tugas
keproduksian dan di saat yang sama tugas-tugas pemeranan yang menjadi tanggung
jawabnya juga harus diselesaikan. Pikiran akan tugas individu ini merupakan
pancingan yang dahsyat bagi ketegangan. Bahkan ketika seorang pemeran tanpa
tugas tambahan apapun dalam produksi namun belum menyelesaikan latihan mandiri
yang dianjurkan sutradara pasti akan tegang dalam menghadapi latihan. Di dalam
proses pemeranan sutradara sering memberikan arahan tambahan bagi pemeran untuk
meningkatkan kualitas seni perannya. Arahan ini secara tidak langsung menjadi beban
individu pemeran. Jika pemeran tidak mendapatkan pendampingan untuk mengatasi
persoalan ini, maka ketegangan akan terus terpelihara sampai dengan hari
pementasan.
Kondisi lain yang paling sering menghasilkan ketegangan
adalah pandangan artistik yang terus berubah. Perubahan pandangan ini secara
konsep bisa dikatakan tidak ada masalah namun dalam aplikasinya melahirkan
banyak masalah. Tidak saja masalah itu menimpa tim tata artistik tetapi juga
menimpa pada pemain. Bayangkan saja, dalam satu latihan kursi yang diduduki
pemeran berada di panggung kiri namun dalam latihan berikutnya dipindah ke
panggung kanan. Hal yang sederhana ini akan mempengaruhi pola blocking dan
dengan demikian akan berpengaruh pada moving para pemeran yang ada di dalam
adegan tersebut. Perubahan semacam ini yang dilakukan terlalu sering pasti akan
menghasilkan ketegangan dalam diri pemain karena membuat semuanya menjadi tidak
pasti. Selain itu perubahan visi artistik yang banyak terjadi adalah konsep
yang disampaikan tidak segera diwujudkan sehingga ketika latihan berjalan, tata
artistik tidak pernah tersedia. Baru ketika latihan terakhir semua benda
artistik yang akan digunakan dilengkapi dan ditata sebagaimana konsepnya. Tentu
hal ini akan melahirkan ketegangan bagi pemeran karena mereka tidak memiliki
cukup waktu untuk mengeksplorasi dan membiasakan diri dengan semua benda
panggung yang ada. Belum lagi ketika tata artistik ini masih harus mengalami
proses penyempurnaan setelah latihan terakhir. Misalnya saja dinding ruang baru
dicat siang hari menjelang pementasan sehingga ketika pentas berjalan, cat
tersebut masih basah. Bukan soal artistik saja yang akan tampak kurang baik
namun pemeran harus mampu bermain di ruang dengan dinding yang catnya masih
basah sehingga ia harus berhati-hati agar cat tersebut tidak menempel pada
busana. Bisa dibayangkan betapa tegangnya pemeran tersebut ketika pentas. Ia
harus konsentrasi dengan karakter yang diperankan namun dalam waktu sama ia
harus menjaga dirinya dari cat dinding yang masih basah.
Ketegangan-ketegangan yang terjadi pada diri pemeran
sebenarnya dapat diatasi dengan model pelatihan dan pemberian pemahaman
mengenai pengalaman estetik yang membentuk persepsi itu adalah subyektif. Dalam
model pelatihan, bisa saja dilakukan beberapa kali latihan bersifat refreshing,
bermain bersama, atau sekedar kumpul ngobrol dan saling berkelakar. Konsentrasi
terlalu tinggi pada sesuatu yang akan dikerjakan seringkali justru menghasilkan
kebuntuan. Dengan refreshing, kebuntuan dapat dikendurkan sehingga pikiran
kembali segar dan dapat lagi digunakan untuk fokus pada pekerjaan. Namun
sayangnya, latihan seringkali diadakan untuk mengejar target sehingga waktu
penyegaran di tengah latihan mustahil untuk dilakukan. Jika sudah demikian,
maka teater menjadi semacam kerajinan yang mesti dikerjakan demi mengejar
pesanan. Model pelatihan bervariasi dengan mempertimbangkan kondisi fisik dan
kejiwaan pemeran sangatlah membantu untuk mengembalikan kesadaran bahwa teater
itu sesungguhnya adalah bermain. Teater adalah arena permainan di mana para
manusia dan bukan robot yang bermain di dalamnya. Kesadaran ini pun dapat
ditumbuhkan melalui pengalaman estetik yang diinternalisasi ke dalam diri lewat
kegiatan refleksi selepas latihan. Dalam refleksi ini, persepsi individu atas pengalaman
yang telah dilalui dapat saling bertemu, diperbincangkan, serta dibahas secara
rileks di mana pelatih atau sutradara memberikan masukan-masukan ringan untuk
meningkatkan kualitas persepsi. Situasi yang tenang akan membawa perasaan damai
sehingga pemeran dapat menyadari kekurangsesuaian yang telah ia lakukan dan
yakin untuk bisa memperbaikinya. Kondisi semacam ini sangat diperlukan agar
pemeran tidak selalu terbeban dan terjebak terus menerus dalam ketegangan.
7.
Keberbagaian
Teater, Kekayaan Metode
Teater sepanjang sejarahnya telah menampilkan berbagai
macam bentuk dan gaya pementasan. Teater menyediakan dan membuka dirinya untuk
pengembangan. Tentu saja ini berkaitan dengan para pelaku teaternya.
Kreatifitas di dalam teater seolah-olah tidak pernah berhenti. Sebagai seni
kolaboratif yang memungkinkan berpadunya beragam unsur seni, teater bisa
dipandang dari berbagai macam sisi. Karena itu keberbagaian dalam teater adalah
keniscayaan. Ia senantiasa tumbuh baik mengikuti atau menentang lingkungan
tempat ia sendiri tumbuh. Keberbagaian dalam teater menggambarkan kekayaan
metode atau proses penciptaan yang ada di dalamnya. Karena yang demikian, maka
interpretasi atas karya teater dan stimulasi yang dihasilkan untuk direproduksi
sangat subyektif dan berada secara samar-samar di antara yang dianggap benar
dan salah.
Kenyataan akan senantiasa berubahnya teater memerlukan
keikhlasan para pelaku teater dalam meresapinya. Sayangnya, ketidaktetapan
titik berdiri atau sudut pandang ini seringkali mengalami penghianatan oleh
para pelakunya sendiri. Apa yang tak tetap selalu ditetapkan dengan nilai
tertentu. Sayangnya lagi, penetapan ini seolah-olah dipaksakan. Artinya, tidak
ada celah yang bisa ditembus ketetapan lain. Dalam keadaan semacam ini teater
telah menjadi benda yang ukuran-ukurannya tertentukan secara subyektif. Benda
ini terkadang dihasilkan melalui proses tak jujur antara kekakuan untuk menetap
dan kehendak pikiran untuk senantiasa bertumbuh. Artinya, kehendak berkembang
selalu muncul akibat lahirnya rangsang artistik atas peristiwa seni yang
dilakoni langsung ataupun tidak langsung. Namun ketakutan untuk beranjak
menjadi halangan sehingga pikiran berkehendak berubah namun lakuannya tetap
sama.
Keadaan ini menimpa banyak sutradara dan pelatih teater
yang selalu senang berada di zona nyaman. Ketika pada satu saat model tampilan
baru sebuah teater memancing pikiran kreatifnya, ia yang tak mau beranjak tetap
saja melakoni pola yang sama dalam proses penciptaan. Jadi, hanya keinginannya
saja yang berusaha untuk menerima kebaruan namun prosesnya tidak sebab sulit
untuk beranjak dari kenyamanan. Rasa takut itu muncul sebagai akibat dari
anggapan yang selama ini telah membukukan kata “baik” dalam setiap karyanya
sehingga kata “tidak baik” adalah momok.
Keberbagaian teater yang di dalamnya mengandung kekayaan
metode akhirnya tidak sepenuhnya bisa diterima. Teater dengan demikian telah
kehilangan semangat belajar karena jiwa keakuan yang telah terbentuk lama dan
mengenakkan. Sementara itu, proses lahirnya keberbagaian dalam teater tidak
lepas dari uji coba tanpa henti dengan segala macam kritik yang melingkupinya.
Hantaman-hantaman akan selalu muncul dalam proses berkesenian namun hantaman
menjadi tak lagi diperlukan bagi yang telah berada nyaman di zona aman.
Selayaknya semangat pencarian mesti selalu ditumbuhkan
dalam proses berteater bagi siapapun. Hal ini sangat penting artinya bagi
keberlanjutan hidup teater itu sendiri. Bahkan Stanislavsky masih saja mencoba
meneliti metode pelatihan peran ketika usianya sudah sangat tua. Selalu saja
ada hal baru yang bisa terbuka karena jiwa manusia seperti hidup yang menyimpan
banyak pertanyaan belum terjawab. Sebagai seni yang berkait erat dengan
kehidupan manusia, teater masih banyak memerlukan pertanyaan baru untuk dijawab
dan kembali dipertanyakan ulang. Bahkan rupa ekspresi dari pertanyaan dan
jawaban ini pun bisa beraneka ragam dan hal itu menggembirakan. Keniscayaan
tumbuh kembang teater sebagaimana hidup manusia tidak selayaknya dihentikan
hanya karena anggapan dan rasa takut keluar dari anggapan tersebut. Teater
sudah sekian lama membuka dirinya, jadi tidak ada alasan untuk menutupinya
dengan tampilan dan proses pelatihan yang itu-itu saja. Jadi keberbagaian
teater dan kekayaan metode pelatihan mesti dihidupkan.
8.
Pendeknya
Waktu Kerja Dengan Elemen Tata Artistik
Proses penciptaan teater memerlukan jangka waktu tertentu
dalam melaksanakan semua pentahapan. Umumnya, kerja pentahapan ini dilakukan
oleh tim produksi. Namun tidak sedikit pula yang mencampurkan kerja artistik
dan produksi dalam artian semuanya berjalan secara paralel. Dalam kondisi ini,
pekerja artistik juga merangkap pekerja produksi. Tentu saja hal itu bukan
merupakan satu hal yang ideal namun banyak terjadi. Sementara di dalam proses produksi
yang telah memisahkan kerja antara artistik dan keproduksian pun masih mungkin
terjadi kekurangan dalam pentahapan kerja kaitannya dengan target dan
ketersediaan waktu.
Umum terjadi adalah tidak terpenuhinya target berdasar
waktu. Jika menyangkut wilayah manajemen produksi, hal yang paling buruk dari
keadaan ini adalah tidak banyaknya sponsor dan penonton yang hadir sehingga
biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pemasukan. Akan tetapi jika
keadaan ini menyangkut wilayah artistik - dan ini yang justru sering terjadi -
maka kualitas pertunjukan lah yang menjadi korbannya. Kerja keras tim artistik
yang tidak dapat bertemu dalam satu titik dengan tim produksi sementara
kebutuhan artistik dinomor sekiankan pasti berpengaruh pada kualitas karya yang
akan ditampilkan. Meski bukan kemudian hal tersebut merupakan kesalahan tim
produksi semata tetapi sebuah upaya melakukan proses penciptaan karya namun
hasil akhirnya justru mengorbankan karya itu yang nampak naif. Semestinya karya
yang lebih didahulukan karena memang karya itu yang akan dipersembahkan.
Kondisi-kondisi yang silap di dalam proses produksi
tersebut memerlukan pembahasan panjang lebar karena dapat ditinjau dari
berbagai sisi. Akan tetapi dari semua sisi bermasalah yang seringkali terjadi
adalah tidak tercukupinya waktu bagi pemeran untuk bekerja (berlatih) dengan
elemen tata artistik. Waktu yang tersedia panjang hanya digunakan oleh
sutradara untuk melatih penghayatan peran. Giliran untuk menyelesaikan urusan
tata artistik sedikit dikesampingkan. Akibatnya ketika elemen tata artistik
telah disiapkan, waktu untuk bekerja dengannya sangat terbatas. Padahal jelas
saja hal ini akan sangat mengganggu penampilan secara keseluruhan utamanya
adalah pemeranan. Seorang pemeran memerlukan waktu cukup lama untuk menjadi
akrab dengan lingkungannya.
Kecukupan waktu untuk bekerja dengan elemen artistik sangat
penting maknanya bagi laku karakter lakon. Seorang pemeran tidak pernah bisa
menyatu dengan lingkungan jika tidak dibiasakan hidup dalam lingkungan
tersebut. Sama halnya dengan latihan wicara atau dialog yang dilakukan
berulang-ulang dengan berbagai macam perubahan atau penyesuaian. Demikian
halnya dengan kerja pemeranan bersama tata artistik. Semestinya waktu yang
disediakan mencukupi sehingga latihan bisa diselenggarakan secara berulang dan
perubahan atau pembenahan dapat dilakukan dengan baik, tidak tergesa-gesa.
Tata artistik sebagaimana laku pemeran, memerlukan
kejelasan perwujudan. Artinya, bentuk, warna, ukuran, dan penataan mesti jelas
sehingga pemeran benar-benar mengetahuinya. Banyak terjadi, pemeran diminta
untuk latihan adegan perang dengan menggunakan pedang kayu, namun menjelang
hari pementasan ternyata pedang yang dibuat oleh tim properti terbuat dari
logam. Tentu saja hal ini akan berpengaruh dalam permainan karena berat pedang
kayu berbeda dengan pedang logam. Banyak elemen tata artistik yang memerlukan
perlakuan khusus terutama menyangkut bahan dan teknik pembuatannya seperti
dalam tata busana. Beda bahan dan teknik pembuatan menghasilkan beda perlakuan
sebab kesalahan sedikit bisa berakibat fatal. Misalnya saja, pemeran mengenakan
rambut palsu, jika tidak memperhatikan teknik pemasangan bisa jadi rambut palsu
ini terlepas saat pemeran sedang bermain dalam satu adegan. Itu salah satu
contoh kecil saja belum lagi penggunaan alat berujung runcing seperti peniti
atau jarum. Kesalahan teknik penggunaan dapat melukai pemeran.
Kesalahan-kesalahan yang tidak terkait langsung dengan penghayatan peran
semacam ini semestinya dapat dihindari.
Sutradara dan tim keproduksian perlu menyediakan waktu
cukup untuk melatih pemeran bekerja dengan elemen tata artistik. Selain soal
tempat dan waktu, hal ini juga berkait erat dengan alokasi pendanaan. Lamanya
waktu yang digunakan untuk latihan dengan elemen tata artistik juga bermakna
sudah tersedianya elemen tata artistik tersebut selama latihan. Hal inilah yang
perlu dipikirkan dan diantisipasi oleh tim produksi untuk memperkirakan
pembiayaan dan target waktu penyelesaian tata artistik. Semakin sering pemeran
berlatih dengan elemen artistik yang benar-benar akan digunakan dalam
pementasan hasilnya tentu akan semakin baik.
9. Budaya Berlatih
Seorang pemeran harus menghidupkan budaya berlatih dalam
dirinya. Latihan semestinya menjadi kebutuhan. Dalam makna yang lebih luas, hal
ini dimaksudkan untuk menjaga fokus terhadap seni peran. Latihan tidak hanya
berkaitan langsung dengan latihan tubuh, suara, dan perwatakan namun semua hal yang dirasa
penting dalam menunjang seni peran. Penumbuhan budaya berlatih ini memang
tidaklah mudah karena banyak pemeran dan calon pemeran yang berlatih ketika
sedang terlibat dalam proses produksi. Bahkan kemungkinan hal ini telah
dianggap sebagai sebuah kewajaran. Oleh karena itulah diperlukan satu kesadaran
bahwasanya teknik pemeranan yang dimiliki seseorang selamanya tidak bisa
menetap jika tidak terus dilatihkan. Persis seperti olahragawan profesional
yang mesti berlatih sebab sadar bahwa posisi juara akan dinamis berganti. Tidak
berlatih sama dengan menyerah sebelum bertanding.
Hal pertama yang perlu ditumbuhkan adalah pemeliharaan
fokus akan seni peran. Penjagaan fokus sendiri merupakan salah satu proses
latihan dan sangat penting maknanya. Banyak aktor profesional mengasah
kemampuan dirinya dalam seni peran dengan menjaga fokus ini. Artinya, apapun
yang ia lakukan diupayakan berkaitan dengan seni peran sehingga pengalaman
sehari-hari dapat berubah menjadi pengalaman estetik. Seorang aktor panggung,
tiba-tiba dalam satu waktu tertentu bergabung dengan kelompok musik dan tampil
di kafe-kafe tingkat menengah ke bawah bukan dalam rangka menambah penghasilan
namun dalam upaya mengasah kemampuannya dalam hal olah suara dan musikalitas.
Banyak hal yang bisa dikerjakan oleh pemeran dalam keseharian yang jika fokus
dari kegiatan tersebut tidak lepas dari seni peran, maka banyak manfaat yang ia
dapatkan.
Umum ditemui bahwa seorang pemeran mesti hanya bekerja
dalam produksi pementasan teater, drama televisi atau film. Selain itu dianggap
tidak ada kaitannya dengan seni peran. Penjara anggapan ini rupanya telah
berkembang biak dalam kurun waktu lama sehingga banyak seniman seni peran yang
tidak memiliki kegiatan (kerja sampingan) namun tetap bersikukuh bahwa kerja
selain bermain peran adalah melacurkan diri. Sebuah anggapan yang sama sekali
tidak masuk akal namun memiliki daya magis sehingga banyak orang memelihara
anggapan tersebut.
Padahal dengan tetap menjaga fokus terhadap seni peran,
maka semua pekerjaan yang dilakukan di luar seni peran justru memberikan
pengalaman yang bisa memperkaya pemikiran dan jiwa pemeran. Persis seperti
seorang mahasiswa yang mengambil kerja paruh waktu sebagai pelayan restoran di
sela waktu kuliahnya. Mahasiswa ini tidak sedang melacurkan kompetensi
akademiknya melainkan ia menempa diri agar dapat mempertahankan kompetensi
akademik yang dipelajari di kelak kemudian hari. Mahasiswa pekerja ini tetap
fokus pada kuliahnya karena memang ia mengambil kerja paruh waktu untuk
mendukung proses perkuliahannya. Pengalaman kerja paruh waktu ini akan
memberikannya kemampuan manajemen diri yang jelas sangat diperlukan dalam
kehidupan.
Dalam logika umum, seseorang yang memperkaya dirinya dengan
pengalaman di luar kompetensi utama yang dimiliki lebih kaya sudut pandangnya.
Pengalaman-pengalaman itu akan memberikan perspektif lain dalam memandang
sesuatu. Di dalam khasanah seni peran, perspektif sangatlah diperlukan sehingga
ekspresi emosi tokoh dapat terjelaskan secara mendetail. Perspektif ini tidak
hanya berasal dari tokoh lakon seperti tertulis dalam naskah, namun juga dari
tokoh lain dan pengalaman pribadi pemeran. Perspektif dari pengalaman pribadi
inilah yang menentukan kedalaman dari pemaknaan atas karakter yang akan
dimainkan. Hal ini dikarenakan seni peran tidak hanya menyangkut soal pemahaman
dalam pikiran namun juga bagaimana ekspresi lakuannya. Pengalaman pribadi dapat
dijadikan referensi lakuan. Secara sederhana, banyaknya pengalaman yang dialami
dalam kehidupan dalam berbagai macam aktivitas dan pekerjaan akan memperkaya
memori tubuh akan lakuan. Di sinilah letak pentingnya membangkitkan budaya
berlatih dalam makna fokus pada seni peran atas semua kegiatan yang dilakukan
dalam kehidupan. Kesukaan menetap (tak bergerak) akan mengurangi memori tubuh
atas segala macam lakuan yang mungkin direfleksikan melalui karakter tokoh di
atas panggung. Budaya berlatih adalah budaya seni peran, oleh karena itu setiap
pemeran harus memiliki budaya berlatih ini, lain tidak. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar