Sebuah Refleksi Pementasan “Monotheatre”
Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
Oleh: Eko Santosa
Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta memproduksi pementasan teater bertajuk “Monotheatre” yang merupakan pementasan teater dengan seorang pemeran melakonkan cerita seorang diri. Pementasan yang merupakan rangkaian nomor pertunjukan monolog, monogerak, dan duo monolog ini diselenggarakan pada tanggal 24 April di SMK 17 Magelang, 26 April di Labkar UNY, 28 April di Gedung Blackbox ISI Surakarta, dan 30 April di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya. Galang Berti melakonkan “Penangsang”, Danial Lee dengan “Suwarno Suwarni”, dan Natasha Rafizi membawakan lakon “Suwarni Suwarno”, semua teks lakon karya Whani Darmawan. Sementara Bagus Rizky menyajikan monogerak “Falling Leaf & The Drunken Swordsman” karyanya sendiri. Produksi pementasan ini dimaksudkan sebagai pembelajaran seni peran kepada para pemeran. Secara khusus, pembelajaran tersebut menyangkut pemeran, dirinya, dan teks/gagasan serta pola atau formula pelatihan dan pengarahan. Dalam kekhususan ini, pemain musti mengadaptasi kultur berlatih dan bermain di bawah pengarahan serta pendekatan yang selama ini dilakukan dalam proses pemeranan.
Dari ketiga jenis pementasan yang diproduksi ada catatan khusus mengenai monogerak dan duo monolog. Secara umum, monogerak merupakan pertunjukan teater gerak yang dilakukan oleh seorang pemeran. Namun dalam produksi ini teater gerak diberi batasan antara tari dan mime sehingga pemeran tidak diperkenankan menari atau melakukan gerak seperti halnya mime klasik seperti umum ketahui. Hal ini dimaksudkan agar pemeran mau membangkitkan nalar kreatif dalam dirinya – untuk mengobservasi dan mengeksplorasi gerak - dan kemudian menubuhkan sekaligus menampilkan kreasi tersebut dalam rangkaian gerak bercerita. Sementara tampilan duo monolog adalah sajian monolog dua orang pemeran dalam satu ruang dan waktu (panggung). Antara pemeran satu dengan yang lain tidak memiliki kaitan langsung dalam bentuk komunikasi verbal ataupun fisik melainkan sekedar keterhubungan cerita. Artinya, dua orang pemeran berada di satu panggung tersebut tidak melakukan dialog, meski baris-baris kalimat wicaranya terkoneksi dengan pola sebab-akibat. Jadi dalam konsep ini cerita yang disajikan adalah sama namun tokoh yang diperankan berbeda dan masing-masing menyampaikannya dalam bentuk monolog. Berikut, adalah catatan reflektif selama proses produksi berjalan.
1. Kultur Latihan
Setiap orang membawa serta masa lalunya dalam menjalani hidup, termasuk pemeran. Ia akan senantiasa membawa serta kenangan-kenangan pelatihan yang telah pernah dilalui. Ada kenangan yang tergurat tipis dalam pikiran namun ada pula yang telah menubuh. Dari semua memori pelatihan yang pernah dilakoni, yang paling terasa efeknya adalah konsep fixed acting atau akting yang telah tertentu (tetap). Di dalam konsep ini, pencarian ekspresi pemeran atas emosi tokoh yang dilakonkan ditetapkan ketika dinyatakan telah sesuai oleh pelatih atau pengarah. Selanjutnya, pemeran menjalani ketetapan itu sehingga sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Dalam skala hitungan, ekspresi menjadi matematis seperti, “di dalam peristiwa ini, tokoh bicara seperti ini dengan intensi emosi seperti ini, serta gestur dan gestikulasi yang semacam ini”. Tugas pemeran kemudian adalah mempertahankan ukuran-ukuran ekspresi tersebut.
Semua pemeran yang terlibat dalam “Monotheatre” memiliki kultur latihan semacam itu. Bahkan, Bagus yang tidak memiliki latar belakang kepemeranan pun membawa kultur tersebut. Kultur latihan fixed acting Bagus didapatkan dari latihan samurai dan capoera yang ia suntuki. Tentu saja dalam latihan bela diri semacam ini, ukuran-ukuran gerakan harus tetap dan pasti sebab jika salah akan menghasilkan cidera. Sementara Galang, Daniel, dan Natasha yang berlatar belakang teater dramatik jelas sekali membawa kultur fixed acting ini. Tidak menjadi masalah sebenarnya ketika produksi “Monotheatre” juga menerapkan konsep tersebut, namun menjadi masalah besar karena “Monotheatre” mencoba menerapkan analisis aktif dengan mengedepankan spontanitas dalam akting.
Analisis aktif atas karakter yang dimainkan mensyaratkan adanya perubahan atau perkembangan yang senantiasa dalam prosesnya dan setiap perubahan ini mesti dilakukan secara spontan. Artinya, karakter tidak pernah bisa memiliki ekspresi tetap (matematis) karena tergantung dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pemeran pada saat ia memainkan karakter tersebut. Situasi dan kondisi ini memerlukan kerja analisis yang cepat (otomatis) sehingga menghasilkan ekspresi spontan (seolah-olah tanpa dipikir). Persis seperti ketika seseorang digigit nyamuk, maka ia akan segera memukul bagian tubuh yang digigit nyamuk tersebut. Tindakan memukul tersebut merupakan hasil analisis yang cepat (otomatis) bahwa ia sedang digigit nyamuk (bisa jadi hewan lain namun pikiran dan tubuh telah menganalisis bahwa itu nyamuk) dan spontan memukulnya (tanpa perlu berpikir teknik dan sudut pandang dalam memukul)**. Dalam konteks ini, akting adalah ekspresi (pikiran, perasaan, dan tindakan) yang seolah-olah tidak direncanakan. Capaian tertinggi dari konsep ini adalah akting yang natural (terlihat seperti benar-benar terjadi).
Pondasi dasar untuk menuju akting seperti ini adalah pemahaman bahwa akting sesungguhnya adalah reaksi bukan aksi. Artinya, aksi yang dilakukan merupakan reaksi (konsep dasar dari motivasi). Akan tetapi kultur fixed acting tanpa disadari membawa konsekuensi pemahaman bahwa akting adalah aksi. Secara sederhana, teks lakon yang dimainkan adalah penggal dari kisah kehidupan. Karena ia hanyalah penggalan, maka dipastikan ada cerita sebelum dan sesudah lakon tersebut. Jika sudah demikian, maka segala apa yang dilakukan dalam lakon tersebut hanyalah reaksi dari cerita sebelum lakon dituliskan dan akhir cerita dari lakon adalah awal dari cerita setelah lakon. Dengan pemahaman ini, pemeran akan memahami bahwa yang ia lakukan hanyalah reaksi. Karena reaksi, maka sangat tergantung dengan aksi sebelumnya. Lalu dari manakah aksi sebelumnya ini didapatkan? Tentu saja dari cerita sebelum lakon dituliskan. Pemahaman inilah yang kemudian dijadikan pisau bedah untuk membangun histori tokoh yang akan dimainkan. Setelah tokoh berhasil dibangun, apa yang tokoh tersebut lakukan merupakan reaksi kehidupan yang melatarinya. Sementara dalam fixed acting umumnya adalah; apa yang mesti dilakukan oleh tokoh tersebut berkaitan dengan latar belakang cerita yang dimiliki. Jelas di sini penekanannya adalah “aksi”.
Kata “aksi” ini memang terlihat sekali dari akting Galang, Daniel, dan Tasha. Dan ketika aksi yang dilakukan dirasa tepat atau sesuai, maka yang terjadi kemudian adalah, aksi itu ditetapkan sehingga sulit untuk diubah, bahkan ketika latar cerita yang lebih logis dikemukakan. Artinya reasoning apapun yang berkembang selama proses latihan hampir tidak bisa mengubah ketetapan ekspresi yang telah mereka tentukan. Pemahaman atas “reaksi” dapat dimengerti dalam pikiran namun sulit untuk ditubuhkan ketika berekspresi (pikiran, perasaan, dan tindakan). Tingkat kesulitan mengadaptasi “reaksi” ini didukung oleh penampilan solo dalam pertunjukannya, karena dengan demikian aksi awal sebagai pijakan reaksi hanya ada dalam imajinasi pemeran (bukan dari lawan main). Membangun aksi imajiner sebagai pijakan reaksi menjadi kesulitan tersendiri karena kontinyuitasnya – bisa dipastikan - tersendat ketika pemeran sedang beraksi. Hal yang memang sangat sulit untuk dikerjakan namun sebenarnya sangat menarik untuk dijadikan pembelajaran pemeranan. Sementara itu, Bagus terbelit lebih pada soal ketetapan berekspresi daripada “aksi-reaksi”, meski ia selalu berusaha keras untuk membuka peluang bagi bertumbuhnya karakter yang ia mainkan dalam gerak. Kultur latihan seorang pemeran memang sangat mempengaruhi proses pemeranan. Namun, teater yang memberikan ruang ekspresi lebih bebas dan terbuka semestinya tidak menjadikan kultur latihan sebagai produk/acuan tetap bagi seorang pemeran teater. Karena jika demikian, maka ekspresi teater yang dihasilkan menjadi terbatas pada jenis teater tertentu saja. Meski hal itu bisa menjadi pilihan untuk menempuh profesionalisme namun membuka diri pada variasi konsep juga sangat menguntungkan bagi calon pemeran yang masih mau belajar.
2. Konsep Pengarahan
Model penyutradaraan dalam sebuah produksi ternyata juga mempengaruhi model pemeranan. Semua pemeran yang terlibat dalam produksi “Monotheatre” ini rupanya terbiasa dengan model pengarahan langsung di mana sutradara memberikan keputusan-keputusan teknis pemeranan pada saat proses latihan. Salah satu keputusan yang paling krusial adalah kesesuaian ekspresi pemeran terhadap peristiwa yang ditampilkan. Keputusan itu kemudian menjadi semacam kesepahaman atau kesepakatan yang dijadikan ukuran atau acuan. Dengan adanya keputusan semacam ini, pemeran merasa bahwa apa yang ia ekspresikan telah sesuai kehendak lakon dan visi estetik sutradara. Dengan model semacam ini, pemeran merasa nyaman karena apa yang ia lakonkan telah mendapatkan persetujuan estetik sehingga upaya yang perlu dilakukan adalah mempertahankannya (fixed acting).
Sementara itu dalam produksi “Monotheatre”, konsep pengarahan atau penyutradaraan menempatkan pemeran sebagai figur utama dalam pertunjukan. Keterlibatan sutradara adalah pada tataran interpretasi lakon secara umum serta tujuan dasar pementasan. Dalam model ini, pemeranlah pelaku utama pertunjukan sehingga ialah yang berhak menentukan sesuai tidaknya ekspresi yang dimainkan dengan interpretasi lakon. Secara sederhana, konsep yang ingin ditampilkan adalah teater pemeran atau teater garis lurus. Di dalam konsep ini, yang disaksikan langsung oleh penonton adalah karya pemeran yang telah mengasimilasi gagasan pengarang dan sutradara (periksa Meyerhold dalam Huxley & Witts,1996:265-266)
Karena pemeran terbiasa dengan pengalaman pengarahan langsung, maka kegamangan muncul ketika kebebasan dalam berekspresi diberikan. pemeran menjadi tak yakin dengan apa yang dilakukan. Mereka selalu butuh pengakuan terkait kesesuaian ekspresi tokoh yang diperankan. Padahal keterlibatan pengarah yang dalam produksi ini disebut konseptor hanyalah interpretasi lakon dan bukan karakter. Artinya, karakter digali secara mandiri oleh pemeran dengan segala sumber daya yang dimiliki. Kewenangan pengarah hanyalah menjaga agar interpretasi karakter tidak keluar dari pagar interpretasi dasar lakon. Alat utama untuk menjaga ini adalah logika atau kewajaran ekspresi yang dipresentasikan sehingga akting semestinya tidak lagi tetap melainkan logis dan natural serta bersesuaian dengan latar pikiran lakon yang dimainkan. Penentuan kesesuaian pun datang dari pemeran di mana konsistensi atas interpretasi itu dipertahankan. Di dalam proses latihan rupanya kegamangan yang terjadi dimulai sejak interpretasi atas karakter dalam lakon yang penerapannya tidak konsisten.
Para pemeran tidak konsisten dengan gagasan awal interpretasi karena tidak mampu mempertahankan keberlanjutan gagasan tersebut. Soal latar misalnya, pemeran tidak atau kurang bisa mempertahankan latar terjadinya peristiwa. Di dalam lakon, hal ini sebenarnya telah terberi (given circumstances). Namun ketika mesti menginterpretasi, kondisi latar ini tidak terjaga dengan baik. Tasha misalnya, sejak awal menggagas bahwa latar peristiwa adalah di ruang psikiater sehingga wicara yang ia tampilkan terlihat akrab dengan tanpa emosi meledak-ledak. Namun di dalam adegan yang lain, ia seolah-olah bercerita di depan banyak orang. Danial pun tidak kalah cerobohnya dalam hal ini. Ia menggagas peristiwa terjadi di samping Masjid di pinggir jalan dan ia berbicara dengan teman akrabnya sementara masalah yang ia sampaikan sangat privat yaitu perceraian. Tentu saja hal ini tidak logis apalagi ketika soal perceraian tersebut juga mesti mengungkapkan keburukan sifat pasangan hidupnya. Dalam pementasan tersebut Danial adalah Suwarno dan Tasha adalah Suwarni yang memiliki konflik karena perbedaan hal-hal kecil dalam kehidupan namun cukup untuk memicu perpisahan. Dua latar yang disajikan pemeran ini tidak terjaga dengan baik. Tasha mungkin lebih logis karena membincangkan pasal perceraian di depan psikiater, sementara Danial di samping Masjid di pinggir jalan, namun keduanya tidak bisa menjaga latar ini sehingga dalam rangkaian adegan yang dimainkan, latar seolah-olah berpindah-pindah.
Situasi semacam ini juga ditemukan dalam diri Galang. Sebagai pemeran, sampai dengan pementasan bahkan Galang tidak pernah bisa menggambarkan dengan pasti latar terjadinya peristiwa dan kepada siapa Penangsang berbicara. Tampilan Galang sepenuhnya menggambarkan tokoh Penangsang yang berbicara di hadapan orang banyak sementara lakuan awal tokoh dalam lakon adalah di ruang makan. Jelas tidak terbentuk keutuhan gambar mengingat Penangsang adalah pangeran bahkan calon raja yang sedang membincangkan kegelisahan laku hidupnya di ruang makan yang tentu saja tidak mungkin dihadiri banyak orang. Berbeda dengan Galang, latar tempat terjadinya peristiwa dalam cerita Bagus dari awal proses sampai pementasan tidak pernah terjelaskan. Namun demikian berdasar rangkaian peristiwa dalam gerak yang menggambarkan pohon tumbuh, daun jatuh, samurai serta kesadaran kemanusiaan si samurai, latar kejadian peristiwa dapat diperkirakan. Pilihan Bagus untuk tidak mengungkap lebih jelas latar ini dalam gerak kemungkinan besar karena ia tidak mau melewati batas yang diberikan yaitu antara pantomim dan tari. Ia berusaha untuk tidak terjebak di dalam keduanya.
Kebebasan pemeran yang diberikan dalam konsep teater garis lurus ini memang berbenturan dengan pengalaman produksi para pemeran sebelumnya di mana konsep teater segitiga digunakan. Di dalam konsep ini memang semua keputusan pemeranan menjadi urusan sutradara. Bahkan sampai pada tahap yang khusus pun sutradara berhak untuk memberikan penyesuaian. Dengan demikian, teater segitiga merupakan teater sutradara karena memang yang disaksikan oleh penonton adalah karya sutradara (Meyerhold dalam Huxley & Witts, 1996:265-266). Keterlibatan sutradara yang begitu intens dalam menyusun adegan demi adegan menjadikan ketergantungan pemeran akan pengarahan meningkat. Tanpa arahan seolah-olah apa yang dikerjakan menjadi tidak menentu. Kebebasan yang diberikan kepada pemeran untuk menghidupkan tokoh lakon dalam konteks “in the moment” tidak bisa optimal. Padahal dengan memahami makna “in the moment” sebenarnya tokoh lakon mampu tumbuh dan berkembang sesuai ruang yang melingkupinya. Mungkin lebih tepat dikatakan dalam proses produksi “Monotheatre” ini pemeran memahami makna akting “in the moment” namun tidak mampu atau ragu-ragu semenjak dalam pikiran untuk menubuhkannya dengan sepenuh keyakinan. Semua terjadi dan bermula karena kebutuhan pengarahan yang detail belum bisa ditinggalkan.
3. Dukungan Artistik yang Absen
Tujuan dasar produksi pementasan “Monotheatre” adalah studi pemeranan. Berdasar tujuan tersebut, maka konsep pementasan menekankan pada kemampuan pemeran dalam menghidupkan teks dan atau gagasan. Persis seperti apa yang disampaikan oleh Peter Brook (1996) bahwa teater adalah sebarang ruang kosong. Ruang kosong ini dapat disebut sebagai panggung dan ketika ada seseorang yang melintasi ruang tersebut dan orang lain menyaksikannya, maka cukuplah itu sebagai sebuah aksi teater yang dapat ditumbuhkan (Brook, 1996:1). Jadi teater tetaplah harus lahir ketika hanya ada pemeran dan teks atau gagasan. Teater tidak menunggu waktu lama serta dukungan lain yang merepotkan untuk segera ditampilkan di hadapan penonton. Berdasar konsep inilah kekuatan pemeran ditantang, dibutuhkan, dan dituntut untuk dapat menghidupkan lakon. Kemerdekaan dalam berkreasi dan menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya untuk menghidupkan cerita sangat dibutuhkan. Tujuan ini pulalah yang membuat diterapkannya konsep teater garis lurus dalam proses pelatihan dan pengarahan.
Namun lagi-lagi kebiasaan proses latihan dan produksi pementasan yang diikuti sebelumnya membuat pemeran canggung dengan dirinya sendiri ketika dukungan tata artistik banyak yang absen. Dalam produksi “Monotheatre” ini tidak disediakan tata busana dan rias tokoh, peranti tangan, perabot serta scenery ataupun ilustrasi musik. Murni memang hanya ada pemeran dan teks. Gambaran sederhana dari konsep ini adalah seorang pencerita dalam masyarakat tradisional yang dengan fasih membeberkan kisah kehidupan dan semua orang khidmat mendengarkannya. Si pencerita tampil hanya menceritakan kisah, lain tidak. Ia tidak perlu dukungan tata artistik untuk mengidupkan kisah yang diceritakan. Kekuatan dan keyakinan dirinya untuk masuk ke dalam kisah itulah yang lebih utama. Dengan sumber daya yang ada dalam diri, pencerita mampu memukau para pendengarnya. Jadi, (sebenarnya) memang tidak perlu dukungan tata artistik yang seringkali justru membuat ribet jika tidak dikelola dengan tepat.
Di dalam prosesnya, Galang terutama sangat terlihat canggung dalam segala geraknya ketika aksi yang dilakukan memerlukan keberadaan peranti tangan. Adegan makan, minum, atau menghunus keris kurang terhubung dengan emosi tokoh dan keharusan peristiwa yang mesti diungkap. Kondisi ini hanya berubah pelan-pelan secara kualitatif menuju penanda bahwa memang tokoh sedang makan, minum, dan menghunus keris. Artinya, secara aritifisial kegiatan itu sudah memberikan gambaran orang makan, minum, dan menghunus keris namun jiwa dari tindakan itu belumlah terlihat. Daniel, dan Tasha sejak awal nampak canggung dalam mengelola aktivitas duduk di kursi yang memang seadanya. Dalam keadaan ini keduanya belum mampu menghidupkan kursi seperti apa yang mereka bayangkan semula sesuai latar peristiwanya (di psikiater dan di samping Masjid pinggir jalan). Seperti Galang, keduanya sekedar memfungsikan kursi sebagai tempat duduk, tanpa emosi.
Ketidakhadiran tata busana sebagai penanda dimensi sosial dan budaya tokoh ternyata juga melahirkan kendala bagi ketiganya. Bukan secara visual, namun justru pada sesuatu yang lekat dalam diri tokoh yang diperankan. Galang, tidak bisa menyajikan tampilan seorang pangeran Jawa dengan segala tingkah-lakunya. Apa yang terlihat adalah Galang sedang berperan sebagai Penangsang dengan busana apa adanya. Tanda-tanda kebesaran pangeran dalam berbusana itu luput untuk ia sajikan. Tidak berbeda jauh, Tasha dan Danial juga belum mampu memperlihatkan sosok pedagang kelontong. Gerak-gerik (gestikulasi) yang dimunculkan bahkan seolah-olah mengabaikan bahwa mereka adalah tukang kelontong. Apalagi ketika dikaitkan dengan gagasan tentang tukang kelontong yang sedang berkonsultasi dengan psikiater atau tukang kelontong yang sedang berbicara dengan karibnya di samping Masjid pinggir jalan. Imajinasi tata busana belum tampak karena visualisasi aksi para pemeran memang tidak mempertimbangkan keberadaan tata busana imajiner tersebut. Mungkin juga, ketika imaji ini dihadirkan justru akan membuat ribet aksi yang harus mereka lakukan.
Kasus yang dihadapi Bagus berbeda dengan ketiga teman pemeran lainnya. Ia justru diberi tata rias dan busana yang memadai karena gerak-gerak yang dihasilkan selama latihan kurang berjiwa mengingat energi, emosi, dan intensitas dalam penampilannya tidak selalu mantap. Terminologi pencarian dan penetapan gerak masih terus mengeram dalam pikiran Bagus sehingga setiap apa yang dilakukan seolah-olah masih berada dalam tahap tersebut, bahkan pada saat pementasan. Pemberian rias dan busana pada Bagus tidak kemudian menandakan tokoh atau benda tertentu, melainkan hanya sekedar aspek visual dengan garis hitam putih menyeluruh dari kepala sampai kaki. Rias dan busana yang tak berkoneksi dengan cerita ini ternyata sedikit-banyak membebaskan Bagus dari pikiran pencarian dan penetapan gerak untuk merangkai cerita. Hasilnya, gerak-gerak yang dilakukan mulai terlihat berbobot meski belum menunjukkan makna setiap peristiwa yang disajikan. Kendala utama yang terlihat dari Bagus adalah tidak hadirnya tata panggung membuat dirinya secara otomatis mesti membatasi ruang gerak. Jadi, ada batas ruang imajiner yang mesti ia ciptakan. Satu hal yang baik namun dalam beberapa penampilan, batas ruang imajiner ini justru memberi batasan pada geraknya dalam situasi yang kurang tepat. Hal lain yang mengganggu prosesnya dalam berekspresi adalah absennya ilustrasi musik yang dapat ia gunakan sebagai penanda ekspresi atau pergantian gerak. Tanpa ilustrasi musik, Bagus merasa gerak-geraknya kurang ekspresif, padahal ekspresif atau tidak gerak itu tergantung pada dirinya sendiri.
Ketidakhadiran tata artistik dalam pemeranan teater memang satu hal yang menantang bagi pemeran karena ia harus menghadirkan apa yang absen tersebut di dalam aksinya. Rupanya, mewujudkan sesuatu yang tak ada ke dalam lakuan fisik itu tidak mudah. Padahal semua ekspresi pemeran di atas pentas dapat dimaknai oleh penonton melalui tanda-tanda fisik sebelum mengarah ke psikologis. Tanda fisik seorang yang lapar dan kekenyangan jelas sekali berbeda sejak awal. Orang yang berjalan tergesa menuju ke kantor karena mengejar jadwal dengan orang tergesa berjalan karena hendak ke toilet memberikan tanda fisik yang berbeda. Persis seperti apa yang disampaikan oleh Stanislavski (1964, 2003) bahwa akting bermula dari physical action karena akting sejatinya adalah lakuan yang dikenal sebagai acting is doing (Book, 2002:XVI). Dalam “doing” inilah pemeran mengungkapkan banyak hal yang melingkupi tokoh yang diperankan; motivasinya, dimensinya, dan wataknya pada saat itu. Ketidakhadiran tata artistik ternyata membuat “doing” yang tersaji tidak menampakkan gambar utuh di setiap peristiwa meskipun makna dasarnya dapat ditangkap.
4. Ruang Pertunjukan yang Berbeda
Tempat pementasan “Monotheatre” bervariasi mulai dari aula hingga auditorium. Di Magelang, pementasan diselenggarakan di aula sekolah yang ukuran area panggung dan penonton tidak terlalu besar dan jarak antara penonton dan pemain sangat dekat. Di Yogyakarta, pementasan di selenggarakan di auditorium yang ukuran area permainannya tidak terlalu besar namun luasan area penontonnya bisa menampung ratusan penonton dengan kursi. Sementara jarak antara pemain dan penonton standar jarak auditorium. Di Surakarta, pementasan diselenggarakan di blackbox yang berbentuk seperti aula namun ukurannya besar. Jarak antara pemain dan penonton dalam pementasan tidak terlalu lebar. Di Surabaya, pementasan diselenggarakan di auditorium besar baik luasan area panggung maupun penonton dan dengan jarak panggung dan penonton kira-kira 7 meter. Selain luasan area pementasan, atmosfer yang ada di sekitarnya juga berpengaruh bagi pemeran.
Perbedaan ruang ini tidak serta-merta dapat diadaptasi oleh para pemeran. Meskipun tersedia cukup waktu untuk beradaptasi namun kebiasaan menunggu pengarahan itu membuat para pemeran tidak cukup inisiatif untuk bergerak mandiri. Alhasil, area hanya diobservasi sekenanya terutama yang terkait langsung dengan kebutuhan peran saja. Akibatnya, atmosfer ruang pertunjukan tak cukup dapat perhatian dalam kegiatan observasi. Keadaan lingkungan pementasan sangatlah penting artinya bagi seorang pemeran terutama berkait dengan proyeksi suara dan laku aksi lainnya. Kebiasaan berlatih di studio dengan luasan area yang tak terlalu besar serta jarak penonton rapat membuat para pemeran sedikit kesulitan dalam berekspresi. Kondisi latihan yang selalu tenang dengan penonton yang memang terlibat dalam produksi berbeda dengan penonton asli yang datang memang untuk menyaksikan pertunjukan.
Galang, sudah terbiasa bermain di auditorium dengan penonton duduk di area tanpa lampu penerangan. Bahkan, ketika berlatih di studio, kondisi pencahayaan ini pun sedikit disesuaikan dengan kondisi pencahayaan di auditorium agar atmosfer pertunjukan tidak terlalu berbeda dengan auditorium. Namun, saat pementasan di Magelang yang mana jarak penonton sangat dekat serta lampu panggung meluber ikut menyinari wajah penonton, Galang terlihat gugup. Fokus pemeranan sepertinya datang dan pergi. Ia memperlihatkan ketidaksiapannya dengan kondisi penonton semacam itu. Akan tetapi, setelah beberapa adegan kemudian, ia dapat mengontrol dirinya dan pertunjukan berjalan dengan baik. Berbeda dengan Danial dan Tasha yang terlihat menikmati jarak penonton yang dekat karena sejak mula latihan di studio memang begitu keadaannya dan mereka berlatih di studio dalam kurun waktu cukup lama. Sayangnya, energi dan segenap penjiwaan tokoh yang terlihat hebat di Magelang ini kurang mampu dipertahankan oleh Danial dan Tasha di kota lainnya. Sementara itu Bagus selalu terikat dengan luasan ruang yang tersedia. Ia selalu berusaha memenuhi ruang itu dengan skala geraknya, namun pada saat yang sama kebebasannya menjadi terikat.
Perbedaan ruang pementasan disikapi secara berbeda oleh masing-masing pemeran. Bentuk penyikapan ini merupakan hasil olah pikir dan rasa mereka selepas mengobservasi ruang pementasan terkait dengan peran yang akan ditampilkan. Spontanitas, kebebasan, dan lincahnya aksi-reaksi antara Danial dan Tasha dalam duo monolog muncul penuh energi ketika pementasan diselenggarakan di Magelang. Galang tampil kompak dan lebih mampu menghidupkan Penangsang ketika tampil di Surakarta di gedung Blackbox. Sementara itu, Bagus terlihat lebih leluasa dalam berekspresi serta menikmati seluruh rangkaian gerak yang disajikan ketika pementasan di Surabaya.
Spontanitas dan kebaruan aksi yang dimunculkan oleh Danial dan direspon oleh Tasha dalam wicaranya terasa segar ketika tampil di Magelang. Namun sayang, mereka berdua mencoba mempertahankan bentuk ekspresi tersebut (fixed acting) ketika tampil di tempat lain yang mana psikologi ruang dan waktunya jelas berbeda. Galang tampil sempurna di Blackbox karena memang itulah kultur belajarnya selama ini; tampil di gedung auditorium dengan area penonton gelap saat pementasan berlangsung. Berbeda dengan Magelang yang wajah-wajah penonton terlalu dekat dan nyata terlihat, atau di Labkar UNY yang kondisi area penonton tidak gelap sama sekali atau di Gedung Cak Durasim Surabaya yang jarak antara panggung dan penonton ia anggap terlalu jauh dan membuatnya tak yakin akan proyeksi suara yang dihasilkan. Di sisi lain, dalam kondisi yang berbeda, Bagus seperti sedang belajar dari satu kota ke kota lain dan ia dapat memaknai pembelajaran tersebut ketika tampil di Surabaya.
Ruang pertunjukan yang berbeda memberikan pengalaman kepada pemeran bahwa memang sejatinya peran itu tidak pernah bisa ditetapkan karena selalu akan memerlukan penyesuaian terkait ruang dan waktu pementasan. Tugas pemeran adalah untuk menyesuaikan semua hal itu agar peran selalu tampil segar dan hidup sehingga penonton mampu menyaksikan kesegaran yang hidup tersebut.
Banyak hal yang dapat dijadikan catatan pembelajaran dalam produksi “Monotheatre”. Dalam konteks pemeranan, utama adalah ketidakmenyeluruhan studi pemeran atas tokoh yang diperankan. Seolah-olah semua menyerahkannya pada keadaan terberi (given circumstances) yang telah disuratkan oleh penulis lakon. Dalam mempelajari tokoh, pemeran kurang jeli dalam menggali unsur-unsur yang mempengaruhi hidup tokoh semenjak sebelum lakon dituliskan hingga selepas akhir cerita lakon. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi bagaimana tokoh tersebut berlaku di dalam ruang dan waktu berbeda-beda. Proses produksi “Monotheatre” yang bertujuan dasar untuk studi pemeranan ini memang menyediakan banyak hal yang bisa dipelajari (selain apa yang dicatat dalam refleksi ini) oleh pemeran jika belajar berperan memang menjadi tujuan para pemeran. (**)
**) Aksi spontan dalam perumpamaan orang digigit nyamuk ini merupakan analogi dari salah satu materi pokok latihan peran Sandford Meisner (1987) yang disebut sebagai “the pinch and the ouch”.
Bacaan:
Book, Stephen. 2002. Book on Acting, Improvisation Technique for the Professional Actor in Film, Theater & Television, A New Technique for Improvising Performances with Scripted and Memorized Lines. Los Angeles: Silman-James Press
Brook, Peter. 1996. The Empty Space. New York: Touchstone
Meyerhold, Vsevolod. 1969. “First Attemp at A Stylized Theatre”, dalam Michael Huxley & Noel Wiits, Ed. 1996. The Twentieth Century Performance Reader. London: Routledge
Meisner, Sandford & Dennis Longwell. 1987. Sandford Meisner On Acting. New York: Vintage Books
Stanislavski, Constantin. 2003. An Actor Prepares. New York: Routledge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar