Oleh: Eko Santosa
Agenda pertunjukan sastra seperti yang
diusung oleh Studio Pertunjukan Sastra (SPS) di Yogyakarta sangat menarik untuk
dicermati. Umum memahami bahwa ketika sastra dipentaskan maka kaidah yang
menjadi acuan adalah kaidah pementasan karena ia telah beralih wahana. Gambaran
sederhananya adalah pementasan teater berbasis naskah di mana naskah yang
digunakan merupakan karya sastra drama. Pada saat pementasan, segala hal yang
ada di dalam karya sastra (teks tulis) coba diwujudkan di atas pentas (teks
visual). Menarik terutama pasal keaktoran, di mana kata-kata tertulis mesti
dihidupkan secara nyata oleh aktor dalam monolog atau dialog. Tidak mudah tentunya
menghidupkan kata-kata tertulis menjadi kata-kata bicara. Hal ini terjadi
karena salah satunya adalah tidak cukup tersedia simbol perasaan dan emosi yang
ada dalam penulisan yang mampu mengungkapkan dengan benar emosi dan perasaan
manusia. Misalnya kalimat, “Sekarang kamu pergi!”. Kalimat ini secara tertulis
bernada menghardik atau memerintah karena ada tanda “!” di belakang kalimat.
Namun demikian, menghardik atau memerintah yang seperti apa (perasaan dan
emosinya) yang mesti diejawantahkan sang aktor? Tentu saja tiada ukuran pasti.
Bahwa jika seandainya kalimat tersebut diinterpretasikan sebagai bentuk
kemarahan, lalu kemarahan yang seperti apa takarannya, bagaimana nadanya, kata
apa yang mesti ditekankan, perlu tidak dibarengi dengan gestur dan gestikulasi atau
mimik seperti apa yang tepat bagi kemarahan itu? Jelas bukan perkara mudah,
mewujudkan tulisan ke dalam ekspresi tindakan nyata. Bahkan ketika ekspresi
yang ditampilkan tersebut, dengan segenap usaha artistik yang njlimet, pada akhirnya benar-benar mampu
“mengharu-biru” perasaan dan emosi penonton belum tentu juga memuaskan penulis
karya drama tersebut, karena perbedaan interpretasi dasar atas tokoh-tokoh
tertentu misalnya. Pun demikian dengan konteks kesastraan di mana sambutan
penonton atas aktor-aktor yang bermain serta kepiawaian sutradara justru
meminggirkan karya sastra drama itu sendiri. Artinya, penonton lebih terpukau
pada pertunjukannya dan tidak (belum tentu) pada karya sastra dramanya.
Kondisi (cenderung) terpinggirkannya
karya sastra atas pesona pertunjukan berbasis sastra inilah yang cukup
menggelisahkan Studio Pertunjukan Sastra yang telah berproduksi selama 19 tahun
. Sementara ide awal SPS adalah menampilkan alternatif pertunjukan sastra di
luar pertunjukan yang telah menjadi arus utama sekaligus sebagai upaya
menggairahkan dunia sastra, khususnya di Yogyakarta. Untuk itulah dalam agenda
Bincang-Bincang Sastra yang sudah berjalan 14 tahun (sebagai agenda pengiring
pertunjukan sastra), perkara ini diperbincangkan dengan tema “Rame Panggung
Sepi Dunung” pada tanggal 26 Oktober 2019 di Ruang Seminar Taman Budaya
Yogyakarta. Dugaan atau kekhawatirannya adalah banyaknya pertunjukan sastra
yang telah diproduksi dalam berbagi format justru kehilangan tujuan utamanya
yaitu pembacaan atau dibacanya karya sastra itu sendiri oleh khalayak. Atau,
kuantitas pertunjukan sastra yang digelar kurang bersatu tujuan dengan gagasan
utama semarak penikmatan karya sastra. Di pandang dari sisi pertunjukan, ada 3
hal pokok dan 1 soal tambahan yang bisa diutarakan sekaligus sebagai bahan
permenungan. Pertama adalah kultur literasi, kedua estetika, dan ketiga adalah
alih wahana. Sementara soal tambahannya adalah komitmen mengenai apa yang
hendak disuarakan melalui pertunjukan sastra tersebut.
Mengenai literasi, memang belum tumbuh kultur
literasi di kalangan masyarakat luas. Budaya literasi masih menjadi milik kaum
terpelajar, terutama di kota besar. Masih sangat jarang disaksikan di angkutan
publik seperti bus, kereta api atau bahkan pesawat terbang para penumpang
suntuk dengan bacaannya masing-masing. Pun demikian di ruang-ruang publik yang
ada dan tersedia. Satu-satunya sarana bacaan yang menyatukan secara maya dan
memisahkan secara realita penggunanya adalah gadget. Orang-orang rajin membaca media sosial dan media pertemanan
yang umumnya menyediakan kilasan-kilasan informasi. Budaya membaca sekilas semacam
ini kurang bisa membantu penumbuhan minat dan ketertarikan untuk membaca karya
sastra. Memang soal baca-tulis di dalam sejarah Indonesia hanya bertumbuh di
kalangan tertentu. Pada perjalanan sejarahnya, aktivitas baca-tulis hanya diperbolehkan
untuk kalangan tertentu. Lihat saja, prasasti yang ada dan ditemukan, hampir
sama sekali tidak pernah ditulis oleh rakyat. Lalu di zaman kolonialisme,
pendidikan sebagai upaya konkrit bagi masyarakat untuk membaca dan menulis juga
dibatasi. Bahkan selepas kemerdekaan dan kemungkinan sampai hari ini
batasan-batasan semacam ini (membaca/sekolah secukupnya, mencari duit
selebihnya) masih ada di kalangan masyarakat tertentu. Memang minat tulis dan
baca di kalangan muda terpelajar, khusus sastra, begitu meriah hari-hari ini di
kota-kota besar. Bisa dilihat dari produksi bukunya yang luar biasa membludak
baik dari penerbit establish maupun
yang indie. Namun sayangnya aktivitas
baca-tulis karya sastra ini (tetap) masih belum membudaya di kalangan
masyarakat awam. Di tengah situasi semacam ini, perjuangan SPS tentunya sangat
berat. Bisa saja dugaan awal (terkait tema perbincangan) menjadi kenyataan
bahwasanya, pertunjukan sastra yang dihadirkan tidak berbanding lurus dengan bertumbuhnya
minat membaca karya sastra. Orang sudah cukup puas atau terwakili
keingintahuannya tentang karya sastra melalui pertunjukan sastra.
Mengenai estetika, hal ini berkaitan
langsung dengan produser artistik atau seniman pelaku pertunjukan sastra. Secara
umum, meminjam pemilahan rumus pengetahuan Harari, telaah keindahan dapat
disejajarkan dengan pencarian kebenaran (pengetahuan). Pertama adalah rumusan
keidahan dengan patokan logika dan kitab suci atau norma-norma yang berlaku dan
dijunjung tinggi, kedua adalah rumusan keindahan dengan patokan data empirik dan
matematik, dan yang ketiga adalah rumusan keindahan dengan patokan pengalaman
dan sensitivitas manusia. Ketiga rumusan keindahan ini masih berlaku sampai
hari ini. Ada karya seni yang proses ciptanya dikaitkan dengan nilai-nilai
keagamaan. Ada karya seni yang proses ciptanya penuh perhitungan seperti
misanya arsitektur atau seni instalasi berbasis teknologi. Ada pula karya seni
yang proses ciptanya berdasarkan pengalaman dan sensitivitas pekarya atas
sesuatu yang ia alami sendiri. Masing-masing rumusan memiliki sisi keistimewaan
sekaligu konsekuensinya. Artinya, karya yang dicipta dengan maksud indah secara
ruhani tidak bisa sembarang disajikan kepada semua orang. Pun tata cara
penyajiannya mesti mempertimbangkan kaidah estetika yang ada di dalam karya.
Dengan demikian, sajian pertunjukan sastra mesti mempertimbangkan kaidah
estetika karya sastra yang hendak dipertunjukkan dan dipertemukan dengan
khalayak yang tepat. Tentu saja tidak mudah mempertemukan kaidah estetika karya
dengan para penikmatnya. Diperlukan telaah artistik tersendiri sehingga nilai
keindahan yang ada di dalam karya tidak bergeser atau bahkan luntur.
Mengenai alih wahana, hal ini juga
berkaitan langsung dengan para pekarya, orang-orang yang berniat
mempertunjukkan karya sastra. Satu hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah
bahwasanya penikmatan karya sastra (bacaan) sangatlah personal. Sensasi yang
muncul ketika seorang membaca karya sastra adalah sensasi terhadap/dalam diri
sendiri baik itu sensasi ragawi maupun emosi. Kenikmatan persendirian ini
semestinya muncul ketika karya sastra tersebut dipentaskan karena sensasi menonton
pertunjukan berbeda dengan sensasi ketika seorang membaca karya sastra. Jika
proses alih wahana mengacu sepenuhnya pada kaidah seni pertunjukan, maka kemungkinan
besar sensasi baca sastranya menguap atau lenyap. Sementara SPS mengharapkan
bahwa pertunjukan sastra yang disajikan tidak mengurangi kaidah estetika karya
sastra tersebut. Satu gagasan yang sungguh dahsyat namun memerlukan usaha yang
sungguh keras. Mulai dari petimbangan karya sastra yang akan dipertunjukkan,
telaah estetika karya sastra berkait dengan pilihan ekspresi, lokasi dan set pementasan
hingga efek atau dampak pementasan kepada penonton perlu dikaji secara mendalam.
Artinya, pertunjukan sastra tidak bisa sekedarnya. Penonton pun juga tidak bisa
datang seenaknya. Tata panggung, ruang tampil dan ruang tonton mesti mendukung
penikmatan personal. Intinya, semuanya perlu dipersiapkan dengan matang dan
melalui anka pertimbangan. Menampilkan pertunjukan sastra dengan tanpa mengurangi
kaidah estetika karya sastra yang ditampilkan dan sekaligus mengajak penonton
untuk bangkit bergerak merayakan karya sastra dengan membacanya adalah
perjuangan yang sangat berat. Namun 19 tahun adalah usaha gagah yang mesti
terus dilestarikan. Soal sampai atau belum pada tujuan utama nan mulia adalah
soal momentum yang belum tepat didapatkan.
Momentum bisa saja tidak perlu ditunggu
namun dicari melalui komitmen penyuaraan akan pentingnya karya sastra bagi
masyarakat. Keberadaan karya sastra sebagai pembangun budaya dengan cara
cendekia mesti digaungkan senantiasa. Artinya, mesti dibangun satu kesatuan
suara, dari semua yang terlibat dan dilibatkan, dalam setiap pegerakan Studio
Pertunjukan Sastra bahwa sastra adalah penanda keberadaban bangsa. Suara ini
mesti mewujud dalam setiap produksi dan menjadi ruh pergerakan. Banyak hal
terkait sastra yang bisa disuarakan misalnya, menyangkut keikutsertaan sastra
dalam domain seni yang sampai hari ini absen di kurikulum seni budaya sekolah
dasar dan menengah. Sastra sampai hari ini masih berada di dalam domain mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Ketika kalangan pendidikan dasar dan menengah
membicarakan tentang seni budaya, bidang yang ada adalah tari, rupa, musik, dan
teater, tanpa sastra. Semestinya sastra bisa berada di dalam domain seni
sehingga menjadi seni sastra. Persis seperti apa yang terjadi pada teater di mana
dahulunya berada di dalam domain Bahasa Indonesia sub sastra drama, namun
sekarang teater telah berada di dalam domain seni.
Hal kecil yang seolah sepele namun sesungguhnya
memiliki dampak yang luar biasa terutama bagi siswa. Keberadaan sastra dalam
domain seni memiliki arti penting dalam konteks kekaryaan dan apresiasi atas
karya. Ia bisa menggunakan bahasa secara merdeka yang tidak hanya berkisar pada
nilai salah-benar. Ia bisa tumbuh bahkan mempribadi melalui karya-karya
personal sesuai tingkat pemahaman atau apresiasi atas keindahan dan pemanfaatan
bahasa. Seni menguntai kata-kata, seni bercerita, dan ragam ekspresi lain
berbasis bahasa tulis memiliki kemungkinan berkembang ketika sastra adalah
seni. Kemeriahan perayaan sastra pasti terbayang ketika ia telah masuk ke dalam
diri generasi sejak sekolah dasar. Kebiasaan bersastra (menulis dan membaca) yang
dipupuk sejak dini akan menghasilkan ragam karya. Pada akhirnya merayakan
sastra adalah membudayakan literasi, memperkaya estetika, dan membuka berbagai
kemungkinan untuk beralih wahana tanpa meninggalkan makna dasarnya.
Selamat terus bergerak bagi Studio
Pertunjukan Sastra. (**)
Jogja-Surabaya,
27 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar