Minggu, 27 Oktober 2019

Merayakan Pertunjukan Sastra di Antara Budaya Literasi, Estetika, dan Alih Wahana


Oleh: Eko Santosa

Agenda pertunjukan sastra seperti yang diusung oleh Studio Pertunjukan Sastra (SPS) di Yogyakarta sangat menarik untuk dicermati. Umum memahami bahwa ketika sastra dipentaskan maka kaidah yang menjadi acuan adalah kaidah pementasan karena ia telah beralih wahana. Gambaran sederhananya adalah pementasan teater berbasis naskah di mana naskah yang digunakan merupakan karya sastra drama. Pada saat pementasan, segala hal yang ada di dalam karya sastra (teks tulis) coba diwujudkan di atas pentas (teks visual). Menarik terutama pasal keaktoran, di mana kata-kata tertulis mesti dihidupkan secara nyata oleh aktor dalam monolog atau dialog. Tidak mudah tentunya menghidupkan kata-kata tertulis menjadi kata-kata bicara. Hal ini terjadi karena salah satunya adalah tidak cukup tersedia simbol perasaan dan emosi yang ada dalam penulisan yang mampu mengungkapkan dengan benar emosi dan perasaan manusia. Misalnya kalimat, “Sekarang kamu pergi!”. Kalimat ini secara tertulis bernada menghardik atau memerintah karena ada tanda “!” di belakang kalimat. Namun demikian, menghardik atau memerintah yang seperti apa (perasaan dan emosinya) yang mesti diejawantahkan sang aktor? Tentu saja tiada ukuran pasti. Bahwa jika seandainya kalimat tersebut diinterpretasikan sebagai bentuk kemarahan, lalu kemarahan yang seperti apa takarannya, bagaimana nadanya, kata apa yang mesti ditekankan, perlu tidak dibarengi dengan gestur dan gestikulasi atau mimik seperti apa yang tepat bagi kemarahan itu? Jelas bukan perkara mudah, mewujudkan tulisan ke dalam ekspresi tindakan nyata. Bahkan ketika ekspresi yang ditampilkan tersebut, dengan segenap usaha artistik yang njlimet, pada akhirnya benar-benar mampu “mengharu-biru” perasaan dan emosi penonton belum tentu juga memuaskan penulis karya drama tersebut, karena perbedaan interpretasi dasar atas tokoh-tokoh tertentu misalnya. Pun demikian dengan konteks kesastraan di mana sambutan penonton atas aktor-aktor yang bermain serta kepiawaian sutradara justru meminggirkan karya sastra drama itu sendiri. Artinya, penonton lebih terpukau pada pertunjukannya dan tidak (belum tentu) pada karya sastra dramanya.

Kondisi (cenderung) terpinggirkannya karya sastra atas pesona pertunjukan berbasis sastra inilah yang cukup menggelisahkan Studio Pertunjukan Sastra yang telah berproduksi selama 19 tahun . Sementara ide awal SPS adalah menampilkan alternatif pertunjukan sastra di luar pertunjukan yang telah menjadi arus utama sekaligus sebagai upaya menggairahkan dunia sastra, khususnya di Yogyakarta. Untuk itulah dalam agenda Bincang-Bincang Sastra yang sudah berjalan 14 tahun (sebagai agenda pengiring pertunjukan sastra), perkara ini diperbincangkan dengan tema “Rame Panggung Sepi Dunung” pada tanggal 26 Oktober 2019 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Dugaan atau kekhawatirannya adalah banyaknya pertunjukan sastra yang telah diproduksi dalam berbagi format justru kehilangan tujuan utamanya yaitu pembacaan atau dibacanya karya sastra itu sendiri oleh khalayak. Atau, kuantitas pertunjukan sastra yang digelar kurang bersatu tujuan dengan gagasan utama semarak penikmatan karya sastra. Di pandang dari sisi pertunjukan, ada 3 hal pokok dan 1 soal tambahan yang bisa diutarakan sekaligus sebagai bahan permenungan. Pertama adalah kultur literasi, kedua estetika, dan ketiga adalah alih wahana. Sementara soal tambahannya adalah komitmen mengenai apa yang hendak disuarakan melalui pertunjukan sastra tersebut.

Mengenai literasi, memang belum tumbuh kultur literasi di kalangan masyarakat luas. Budaya literasi masih menjadi milik kaum terpelajar, terutama di kota besar. Masih sangat jarang disaksikan di angkutan publik seperti bus, kereta api atau bahkan pesawat terbang para penumpang suntuk dengan bacaannya masing-masing. Pun demikian di ruang-ruang publik yang ada dan tersedia. Satu-satunya sarana bacaan yang menyatukan secara maya dan memisahkan secara realita penggunanya adalah gadget. Orang-orang rajin membaca media sosial dan media pertemanan yang umumnya menyediakan kilasan-kilasan informasi. Budaya membaca sekilas semacam ini kurang bisa membantu penumbuhan minat dan ketertarikan untuk membaca karya sastra. Memang soal baca-tulis di dalam sejarah Indonesia hanya bertumbuh di kalangan tertentu. Pada perjalanan sejarahnya, aktivitas baca-tulis hanya diperbolehkan untuk kalangan tertentu. Lihat saja, prasasti yang ada dan ditemukan, hampir sama sekali tidak pernah ditulis oleh rakyat. Lalu di zaman kolonialisme, pendidikan sebagai upaya konkrit bagi masyarakat untuk membaca dan menulis juga dibatasi. Bahkan selepas kemerdekaan dan kemungkinan sampai hari ini batasan-batasan semacam ini (membaca/sekolah secukupnya, mencari duit selebihnya) masih ada di kalangan masyarakat tertentu. Memang minat tulis dan baca di kalangan muda terpelajar, khusus sastra, begitu meriah hari-hari ini di kota-kota besar. Bisa dilihat dari produksi bukunya yang luar biasa membludak baik dari penerbit establish maupun yang indie. Namun sayangnya aktivitas baca-tulis karya sastra ini (tetap) masih belum membudaya di kalangan masyarakat awam. Di tengah situasi semacam ini, perjuangan SPS tentunya sangat berat. Bisa saja dugaan awal (terkait tema perbincangan) menjadi kenyataan bahwasanya, pertunjukan sastra yang dihadirkan tidak berbanding lurus dengan bertumbuhnya minat membaca karya sastra. Orang sudah cukup puas atau terwakili keingintahuannya tentang karya sastra melalui pertunjukan sastra.

Mengenai estetika, hal ini berkaitan langsung dengan produser artistik atau seniman pelaku pertunjukan sastra. Secara umum, meminjam pemilahan rumus pengetahuan Harari, telaah keindahan dapat disejajarkan dengan pencarian kebenaran (pengetahuan). Pertama adalah rumusan keidahan dengan patokan logika dan kitab suci atau norma-norma yang berlaku dan dijunjung tinggi, kedua adalah rumusan keindahan dengan patokan data empirik dan matematik, dan yang ketiga adalah rumusan keindahan dengan patokan pengalaman dan sensitivitas manusia. Ketiga rumusan keindahan ini masih berlaku sampai hari ini. Ada karya seni yang proses ciptanya dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Ada karya seni yang proses ciptanya penuh perhitungan seperti misanya arsitektur atau seni instalasi berbasis teknologi. Ada pula karya seni yang proses ciptanya berdasarkan pengalaman dan sensitivitas pekarya atas sesuatu yang ia alami sendiri. Masing-masing rumusan memiliki sisi keistimewaan sekaligu konsekuensinya. Artinya, karya yang dicipta dengan maksud indah secara ruhani tidak bisa sembarang disajikan kepada semua orang. Pun tata cara penyajiannya mesti mempertimbangkan kaidah estetika yang ada di dalam karya. Dengan demikian, sajian pertunjukan sastra mesti mempertimbangkan kaidah estetika karya sastra yang hendak dipertunjukkan dan dipertemukan dengan khalayak yang tepat. Tentu saja tidak mudah mempertemukan kaidah estetika karya dengan para penikmatnya. Diperlukan telaah artistik tersendiri sehingga nilai keindahan yang ada di dalam karya tidak bergeser atau bahkan luntur.

Mengenai alih wahana, hal ini juga berkaitan langsung dengan para pekarya, orang-orang yang berniat mempertunjukkan karya sastra. Satu hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah bahwasanya penikmatan karya sastra (bacaan) sangatlah personal. Sensasi yang muncul ketika seorang membaca karya sastra adalah sensasi terhadap/dalam diri sendiri baik itu sensasi ragawi maupun emosi. Kenikmatan persendirian ini semestinya muncul ketika karya sastra tersebut dipentaskan karena sensasi menonton pertunjukan berbeda dengan sensasi ketika seorang membaca karya sastra. Jika proses alih wahana mengacu sepenuhnya pada kaidah seni pertunjukan, maka kemungkinan besar sensasi baca sastranya menguap atau lenyap. Sementara SPS mengharapkan bahwa pertunjukan sastra yang disajikan tidak mengurangi kaidah estetika karya sastra tersebut. Satu gagasan yang sungguh dahsyat namun memerlukan usaha yang sungguh keras. Mulai dari petimbangan karya sastra yang akan dipertunjukkan, telaah estetika karya sastra berkait dengan pilihan ekspresi, lokasi dan set pementasan hingga efek atau dampak pementasan kepada penonton perlu dikaji secara mendalam. Artinya, pertunjukan sastra tidak bisa sekedarnya. Penonton pun juga tidak bisa datang seenaknya. Tata panggung, ruang tampil dan ruang tonton mesti mendukung penikmatan personal. Intinya, semuanya perlu dipersiapkan dengan matang dan melalui anka pertimbangan. Menampilkan pertunjukan sastra dengan tanpa mengurangi kaidah estetika karya sastra yang ditampilkan dan sekaligus mengajak penonton untuk bangkit bergerak merayakan karya sastra dengan membacanya adalah perjuangan yang sangat berat. Namun 19 tahun adalah usaha gagah yang mesti terus dilestarikan. Soal sampai atau belum pada tujuan utama nan mulia adalah soal momentum yang belum tepat didapatkan.

Momentum bisa saja tidak perlu ditunggu namun dicari melalui komitmen penyuaraan akan pentingnya karya sastra bagi masyarakat. Keberadaan karya sastra sebagai pembangun budaya dengan cara cendekia mesti digaungkan senantiasa. Artinya, mesti dibangun satu kesatuan suara, dari semua yang terlibat dan dilibatkan, dalam setiap pegerakan Studio Pertunjukan Sastra bahwa sastra adalah penanda keberadaban bangsa. Suara ini mesti mewujud dalam setiap produksi dan menjadi ruh pergerakan. Banyak hal terkait sastra yang bisa disuarakan misalnya, menyangkut keikutsertaan sastra dalam domain seni yang sampai hari ini absen di kurikulum seni budaya sekolah dasar dan menengah. Sastra sampai hari ini masih berada di dalam domain mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ketika kalangan pendidikan dasar dan menengah membicarakan tentang seni budaya, bidang yang ada adalah tari, rupa, musik, dan teater, tanpa sastra. Semestinya sastra bisa berada di dalam domain seni sehingga menjadi seni sastra. Persis seperti apa yang terjadi pada teater di mana dahulunya berada di dalam domain Bahasa Indonesia sub sastra drama, namun sekarang teater telah berada di dalam domain seni.

Hal kecil yang seolah sepele namun sesungguhnya memiliki dampak yang luar biasa terutama bagi siswa. Keberadaan sastra dalam domain seni memiliki arti penting dalam konteks kekaryaan dan apresiasi atas karya. Ia bisa menggunakan bahasa secara merdeka yang tidak hanya berkisar pada nilai salah-benar. Ia bisa tumbuh bahkan mempribadi melalui karya-karya personal sesuai tingkat pemahaman atau apresiasi atas keindahan dan pemanfaatan bahasa. Seni menguntai kata-kata, seni bercerita, dan ragam ekspresi lain berbasis bahasa tulis memiliki kemungkinan berkembang ketika sastra adalah seni. Kemeriahan perayaan sastra pasti terbayang ketika ia telah masuk ke dalam diri generasi sejak sekolah dasar. Kebiasaan bersastra (menulis dan membaca) yang dipupuk sejak dini akan menghasilkan ragam karya. Pada akhirnya merayakan sastra adalah membudayakan literasi, memperkaya estetika, dan membuka berbagai kemungkinan untuk beralih wahana tanpa meninggalkan makna dasarnya.

Selamat terus bergerak bagi Studio Pertunjukan Sastra. (**)


Jogja-Surabaya, 27 Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar