Kamis, 25 Maret 2021

Dasar Konsentrasi dan Imajinasi

Oleh: Eko Santosa

Konsentrasi dan imajinasi merupakan hal pokok bagi seorang aktor Di dalam khasanah pembelajaran seni akting, konsentrasi dan imajinasi dapat dikelompokkan ke dalam olah rasa. Meskipun tujuan akhirnya adalah pencapaian penghayatan peran, namun keharusan untuk membangun konsentrasi dan imajinasi adalah landasan dan tahapan yang penting. Banyak ditemui dalam pengalaman latihan kelompok teater amatir fundamen konsentrasi dan imajinasi tidak atau belum diberikan. Pelatihan langsung mengarah pada core konsentrasi dan imajinasi. Umum diketahui, bahwa pelatihan konsentrasi berupa meditasi atau menenangkan dan mengarahkan fikiran untuk fokus dalam satu hal diawali dari pengaturan nafas. Sementara dalam pelatihan imajinasi yang selalu muncul adalah kata atau perintah, “Bayangkan!” dan diikuti instruksi berikutnya. Umumnya latihan ini bersifat improvisasi. Terry Schreiber dan Mary Beth Barber (2005) menjelaskan konsentrasi dan imajinasi yang mesti dibangun oleh aktor dimulai dari dasar. Artinya, pemahaman dan pelatihan konsentrasi tidak langsung menuju pada meditasi dan untuk imajinasi tidak langsung menuju pada sesuatu yang abstrak yang mesti dibayangkan. Konsentrasi dapat dibangun melalui kepekaan indra dan imajinasi dapat dibangun melalui jiwa bermain seperti yang dimiliki anak-anak.

1.     Konsentrasi

Pikiran yang jernih dan perseptif memang merupakan hal yang sangat penting untuk menginterpretasi peran, namun Schreiber dan Barber menyatakan bahwa sesitivitas dan instink tidak boleh ditinggalkan. Tanpa keduanya, latihan konsentrasi hanya akan menciptakan aktor yang mampu berlaku dan berbicara tanpa emosi. Untuk itu, aktor harus dikembalikan kepada pengalaman masa anak-anak dalam meningkatkan kepekaan pancaindra demi mencapai level konsentrasi yang nyata.

 a.   Indra penciuman

Kegunaan indra penciuman di dalam seni akting tidak hanya sekedar untuk menghayati peran terkait dengan bau. Namun lebih dalam, penciuman mampu membawa pikiran seseorang akan orang lain, tempat, peristiwa dan hal-hal lain yang mempengaruhi atau berarti dalam hidupnya. Mungkin kita akan sedikit menyangkal tentang hal ini namun kemudian mengiyakan ketika bau parfum tertentu dapat mengingatkan kita pada seorang beserta peristiwa yang pernah dilalui bersama. Bau-bauan dengan demikian membangkitkan sensitivtas, mendayakan ingatan dan kesadaran serta emosi.


Pelatihan teater dasar terkait indra penciuman ini umumnya dilakukan untuk membedakan bau benda tertentu. Tujuan dasarnya adalah kepekaan akan bau. Secara lebih jauh, Schreiber dan Barber memberikan pemahaman bahwa indra penciuman tidak saja hanya menyangkut kepekaan hidung manusia namun juga akibat fisik dan kejiwaan yang dapat terjadi. Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri ketika membaui sesuatu langsung perut kita mual, atau kepala kita pusing atau tiba-tiba membuat kita marah atau tindakan emosional lainnya. Pelatihan indera penciuman oleh karenanya dapat digunakan sebagai pemantik lahirnya konsentrasi.


Ilmuwan, menurut Schreiber dan Barber, mengfirmasi bahwa bau merupakan kunci untuk membuka bawah sadar manusia. Bawah sadar yang akan mengarahkan pada peristiwa dan orang-orang di masa lalu. Hal itu terjadi karena hidung terletak sangat dekat dengan bagian otak yang memiliki fungsi gudang memori, karena itulah sensasi bau sangat khas dan berbeda dengan sensasi indra peraba bahkan penglihatan. Efek utama dari sensasi bau adalah  keterhubungan langsungnya dengan brankas memori yang ada di kepala kita. Meningkatkan kepekaan terhadap bau dapat membantu aktor mengakses kelengkapan perlatan untuk mengingat persiapan dan memperdalam konsentrasi di atas panggung. Pengalaman membuktikan bahwa banyak aktor kenamaan yang bersandar pada sensaisi bau untk membangun kejiwaan peran.


Mengingat gegitu pentingnya penciuman bagi aktor dalam rangka meningkatkan konsentrasi dan menghayati karakter, maka pelatihannya mesti diperhatikan. Bagaimana bau mampu membangkitkan kenangan dan melahirkan emosi atasnya perlu menjadi pertimbangan. Dengan demikian, latihan indra penciuman tidak hanya berhenti pada fungsi fisik hidung dalam membedakan setiap bau yang ada. Sensasi ingatan atau memori aktor mesti bisa dibangkitkan melalui indra penciuman.


Latihan indra penciuman, oleh karenanya dapat dikaitkan dengan latihan adegan. Artinya ia tidak berdiri sendiri secara khusus sebagai latihan konsentrasi akan bau semata. Mungkin secara mendasar konsentrasi khsusu mengenai bau benda atau orang tertentu dapat dilatihkan untuk meningkatkan kepekaan secara fisik. Kemudian latihan ditingkatkan menjadi sensasi yang dihasilkan atas bau yang dicium. Sensasi ini pada tahap berikutnya dapat dikembangkan menjadi emosi karakter atas peristiwa tertentu yang selintas teringat karena bau tertentu. Jadi, pada akhirnya, latihan konsentrasi dengan indra penciuman dapat mengalirkan proses pemahaman dan penjiwaan peran secara nyata.


 b. Indra pendengaran

Pendengaran merupakan satu hal penting bagi aktor. Indra pendengaran mesti sempurna, karena jika hilang atau berkurang keatajamannya, maka reaksi yang dihasilkan atas dengaran menjadi tidak terhubung. Pun demikian dengan suara yang dihasilkan oleh orang yang pendengarannya tak sempurna pasti akan lebih keras dari ukuran normal. Peranan vital telinga tidak bisa dipungkiri lagi karena semua suara dan hiruk-pikuk bunyi-bunyian ialah yang menangkapnya. Schreiber dan Barber menjelaskan bahwa manusia menggunakan bunyi untuk menenangkan diri, membangkitkan gairah, menstimulasi, dan mengantarkan pada dimensi tertentu – apakah bunyi itu dalam bentuk musik, bunyi personal (suara), bahkan bunyi yang berisik sekalipun. Ketika kita menutup mata dan mendengarkan suatu bunyi secara intens, maka kita seolah dapat diantarkan ke berbagai tempat, orang, dan periode tertentu.

Bunyi-bunyian dapat memperingatkan manusa dan bahkan di banyak pengalaman hidup, bunyi termasuk suara mampu menghasilkan tangis atau tawa keras. Pengaruh suara begitu kuat dalam menyentuh perasaan manusia. Bunyi gemericik ombak di pinggir pantai ditengarai dapat membuat detak jantung tenang, tak memburu. Sementara itu, suara atau bebunyian yang keras dapat merangsang adrenalin, menaikkan irama degub jantung, dan meningkatkan respons. Di dalam kehidupan sehari-hari, bunyi musik dari berbagai gaya dan segala bebunyian yang terdengar menstimulasi pendengaran (telinga). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bebunyian, melalui pendengaran, merupakan salah satu peranti aktor untuk membangun kedalaman perasaan dan emosi.

Schriber dan Barber lebih lanjut menjelaskan bahwa suara sangat penting artinya bagi seorang aktor. Seperti yang terjadi di dalam kehidupan nyata, setiap aktor membuka mulutnya, ia akan mengungkapkan emosinya melalui bagaimana ia mengucapkan kata-kata. Kualitas seorang aktor dalam bersuara ketika menyampaikan kalimat dialog sangat penting artinya bagi aktor yang lain (lawan main). Dalam hal ini, kualitas pendengaran menjadi hal utama. Artinya, seorang aktor akan mampu menanggapi lawan dialog ketika ia mampu mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh lawan dialog tersebut. Di dalam bahasanya yang sederhana Schreiber dan Barber menyampaikan bahwa mendengarkan dengan baik (pendengaran berkualitas) akan membawa aktor pada pemahaman emosi dari kalimat yang disampaikan oleh aktor lawan mainnya.

Dengan demikian, kualitas pendengaran sangatlah penting. Oleh karena itu aktor harus merawat dan melatih indera pendengarannya. Melalui kulitas pendengaran yang baik, maka pemahaman lebih mudah dicapai. Di dalam seni akting, pendengaran sangat menentukan reaksi yang dihasilkan. Reaksi ini mesti wajar sifatnya. Artinya, ia tidak boleh berbeda atau melampaui pemahaman situasi, kondisi dan peristiwa yang sedang dialami dan dialogkan. Banyak aktor amatir yang memiliki pendengaran yang bagus namun tidak memanfaatkannya dengan baik. Mereka lebih percaya pada kalimat dialog yang mesti diucapkan daripada mendengarkan lawan mainnya berbicara. Akibatnya, pentas lakon tersebut tidak seperti dialog yang berlaku wajar di mana terjadi aksi dan reaksi melainkan semua orang melakukan aksi sesuai apa yang ada di dalam kepalanya masing-masing. Hal ini oleh Schreiber dan Barber disebut sebagai “talking head”, kepala yang hanya mampu dan mau berbicara. Persis seperti mesin penghasil suara otomatis.

Di dalam latihan dasar, pendengaran dimampukan untuk membedakan jenis dan asal bunyi, mendengar dari jarak dekat dan jauh serta berdialog dengan pengaturan jarak tertentu. Tentu saja, meski sangat sederhana pelatihan ini, namun secara tidak langsung telah melibatkan konsentrasi. Membedakan bunyi dan sumber asal bunyi menjadi satu hal seru karena dilakukan dengan mata tertutup. Dalam kondisi ini, apa yang disampaikan oleh Schreiber dan Barber akan menemukan makna sesungguhnya di mana ketika peserta pelatihan mencoba menebak arah sumber bunyi, misalnya, pikirannya akan diarahkan tidak hanya pada darimana arah bunyi berasal tetapi juga hal-hal lain terkait bunyi yang didengar. Bisa saja pikiran utamanya adalah mencari  arah dan sumber bunyi, namun untuk menuju ke situ, pikiran dapat dipengaruhi oleh suasana atau emosi yang dihasilkan oleh bunyi yang didengar. Pada akhirnya, jika hal ini dibiarkan atau coba dinikmati, maka peserta pelatihan tersebut tidak akan mampu menebak sumber bunyi tersebut. Di sinilah letak konsentrasi terhadap bunyi diperlukan.

Indera pendengaran jelas memiliki kaitan erat dengan kosentasi karena ia merupakan mata bagi bunyi dan suara. Apa yang didengar oleh aktor sangat berpengaruh bagi emosi dan penjiwaan karakter yang ia lakonkan. Reaksi yang mesti ia ekspresikan harus segaris secara logika dengan lawan bicara. Banyak aktor yang memiliki kualitas bersuara bagus, namun jika tidak dibarengi dengan konsentrasi pendengaran, maka suara yang dikeluarkan hanya sekedar bervolume keras semata. Menjaga kualitas indera pendengaran sangat penting bagi aktor termasuk memberikan pengalaman dengaran yang beragam bagi telinga sangatlah penting. Di dalam latihan dialog; ritme, timbre, irama, tekanan, dan hal-hal lain terkait gaya dialog dan ekpresi bermakna dari kalimat yang diucapkan tidak boleh luput dari perhatian. Oleh karena itu kekayaan pengalaman dengaran bagi telinga aktor memiliki fungsi yang luar biasa. Semakin banyak pengalaman dengaran, maka aktor akan memiliki semakin banyak pemahaman berkait dengan bunyi dan suara di mana dalam penikmatannya selalu menggerakkan pikiran yang melahirkan imajinasi atau memantik timbulnya intuisi. Latihan dasar kosentrasi melalui indra pendengar dengan demikian tidak boleh dilewati oleh aktor.

 c.     Indra pengecap

Screiber dan  Barber menjelaskan bahwa indra pengecap dapat membawa manusia pada kenikmatan rasa dan sekaligus pada ketaknyamanan. Bibir, mulut, dan lidah manusia dapat memberikan sensasi rasa yang dapat mengakibatkan rasa senang dan kenyamanan sampai pada rasa tak mengenakkan dan kebencian. Seperti dalam pengalaman pengecapan yang pernah kita alami dalam kehidupan sehari-hari di mana ada rasa yang kita suka misalnya manis dan gurih, tetapi ada juga rasa yang tak kita suka seperti pahit dan masam. Meski demikian, sensasi rasa antara orang satu dengan yang lain berbeda. Ada orang yang justru suka rasa pahit dan masam serta kurang suka rasa manis dan gurih. Semenjak kecil, kita telah terbiasa membedakan rasa makanan dan minuman melalui indra pengecap. Ada rasa yang memiliki sensasi luar biasa sehingga tidak mudah untuk dilupakan namun ada juga rasa yang benar-benar membuat trauma sehingga kita tidak mau lagi mengecapnya. Pengalaman masa kecil ini pada akhirnya akan membawa kita menuju pada stimulasi dan respons yang berbeda ketika mengecap sesuatu. Seorang aktor, tentunya memiliki memori sensasi rasa melalui indra pengecap yang beragam sepanjang hidupnya.

Sebagaimana halnya dengan bau (penciuman) dan bunyi (pendengaran), seorang aktor semestinya dapat membangkitkan memorinya melalui rasa. Bagaimana sensasi rasa yang dapat menimbulkan ketenangan dan sensasi rasa yang dapat melahirkan amarah harus terekam dalam pikiran dengan baik. Bahkan, rasa makanan atau minuman yang menurut awam adalah biasa, bisa saja menimbulkan reaksi luar biasa bagi orang tertentu karena rasa yang ia kecap mengingatkannya pada peristiwa atau persoalan tertentu dalam perjalanan hidupnya. Seorang aktor harus benar-benar memperhatikan efek dari sensasi rasa ini. Seorang aktor harus pula memahami bahwa manusia memproses pengecapan sebangun dengan proses penciuman. Karena lidah manusia berelasi dengan otak, maka sensasi rasa dari pengecapan akan terhubung dengan ingatan.

Pengaruh atau sensasi rasa pengecap terkadang tidak memerlukan stimulasi nyata untuk menghasilkan tanggapan. Misalnya, kita meminta sesesorang untuk berimajinasi mengecap/merasai pelangi, maka respons yang dihasilkan kemungkinan besar positif. Sementara ketika imajinasi diarahkan untuk mengecap/merasai oli mesin, maka respons yang dihasilkan kemungkinan besar negatif. Padahal kedua hal tersebut yaitu, pelangi dan oli mesin sama sekali tidak dihadirkan dan dikecap secara nyata. Jadi, indra pengecap dalam hal ini memiliki kaitan erat dengan pikiran. Bentuk, warna, dan sifat sebuah benda, jika itu diandaikan sebagai makanan atau minuman akan menghasilkan tanggapan berbeda karena pikiran mempengaruhi atau mengarahkan indra pengecap untuk menolak atau menerimanya. Dengan demikian, tidaklah aneh ketika kita menyaksikan seseorang memberikan makanan, taruh kata roti, yang baru saja dia beli karena selai di dalamnya berwarna hijau, sebuah warna yang memuakkan baginya. Mungkin saja roti itu berasa enak sekali, tetapi karena pengalaman kemuakan akan warna hijau ada dalam memorinya, maka pikiran mengarahkan indra pengecap untuk menolak, bahkan ketika roti tersebut belum sama sekali dimakan. Satu hal yang sangat penting untuk dipahami di sini adalah adanya pengaruh pengalaman dengan indra pengecap yang menghasilkan reaksi psikologis.

Seorang aktor mesti memperkaya dirinya dengan berbagai macam respons atas rasa yang timbul dari indra pengecap ini. Ia mesti bisa membangkitkan memori ketika rasa tersebut kembali dikecap. Oleh karena itu, kerja pikiran tidak bisa diabaikan. Berbagai gambar atau bayangan atau imajinasi akan muncul terkait rasa yang dikecap yang pada akhirnya akan membawa sensasi ke seluruh tubuh. Setiap aktor, sama dengan orang lain, pasti memiliki rasa makanan dan minuman favorit yang kenikmatannya tidak bisa diungkapkan. Memindahkan sensasi kenikmatan rasa pengecap yang menjalar ke seluruh tubuh dan mempengaruhi emosi (psiklogis) ke dalam kondisi “saat ini” adalah tugas pokok aktor ketika bermain peran. Demikian juga dengan berbagai macam respon psikologis atas berbagai rasa yang dikecap, baik itu memuakkan, membangkitkan amaran, membuat terharu, atau perasaan-perasaan lain.

Tindak memindahkan sensasi dengan stimulasi rasa ini perlu diperhatikan dan dilatihkan dengan tanpa menghadirkan rasa yang sesungguhnya. Artinya, ketika dalam sebuah adegan seorang aktor digambarkan mengecap rasa asin campur manis dalam makanan dan kemudian marah terhadap istirinya, rasa itu belum tentu dalam makanan yang disajikan saat adegan berlangsung. Otomatis, aktor harus mampu berkonsentrasi atas rasa asin campur manis dalam makanan meskipun yang tersaji tidaklah demikian. Tidak mudah tentunya hal ini dilakukan, namun tidak mudah adalah kamus sehari-hari seorang aktor. Artinya, menjumpai hal yang tidak mudah adalah lumrah bagi seorang aktor, oleh karena itu ia tidak boleh menyerah dan berhenti sebelum tujuan tercapai. Dalam konteks seni peran, aktor memang diharuskan menghadirkan kejadian yang seolah-olah memang terjadi secara nyata meskipun kenyataan panggung tidaklah senyata kehidupan nyata. Di sinilah usaha-usaha aktor melatih dirinya dipertaruhkan. Pengalaman atau sensasi atas rasa melalui indra pengecapan yang mampu melahirkan emosi tertentu mesti dipahami dan dilatihkan dengan baik. Meskipun tidak semua cerita atau lakon menghadirkan adegan yang melibatkan emosi sebagai akibat dari rasa di indra pengecap, namun memberikan pengalaman sensasional atas rasa dari pengecapan perlu dilakukan.

Mungkin seorang aktor perlu menyediakan waktunya secara khusus untuk melatih indra pengecap ini serta merekam dalam pikiran dengan baik akan sensasi yang dihasilkannya. Hal ini bisa dimulai dari kehidupan sehari-hari seorang aktor di mana ia mulai menyadari dan merasakan betul setiap makanan dan minuman yang lewat melalui indra pengecapnya. Banyak orang yang dalam keseharian tidak terlalu memperhatikan sensasi atas rasa makanan dan minuman yang dimakan dan dimimun karena memang apa yang dimakan dan diminum merupakan menu sehari-hari yang sudah dihafal rasanya. Namun aktor tidaklah demikian, ia harus memusatkan perhatian pada rasa setiap makanan dan minuman, meskipun itu menu sehari-hari, karena rasa nasi hari ini dan esok hari tidaklah sama meski berasal dari kualitas bahan dan teknik masak yang sama. Kegiatan merekam dalam pikiran megenai sensasi indra pengecap ini penting bagi seorang aktor karena hal tersebut merupakan bagian dari konsentrasi yang wajib ia miliki. Makan makanan sehari-hari adalah hal biasa bagi banyak orang, namun tidak bagi aktor karena setiap makanan akan melahirkan sensasi yang berbeda-beda.

d. Indra penglihat

Penglihatan merupakan kemampuan seseorang untuk menyerap apa yang disaksikan dan dengan demikian sangat penting artinya untuk merekam jalannya kehidupan. Banyak hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan pentingnya penglihatan dalam membuka rekaman terhadap kehidupan. Schreiber dan Barber megungkapkan hal ini dengan gamblang di mana seseorang mudah sekali megingat suatu kejadian, tempat atau orang lain hanya karena melihat sesuatu. Apa yang dilihat seseorang seringkali membuka kembali rekaman pengalaman lalu secara serta merta. Rekaman masa lalu ini terbuka dalam pikiran dengan penglihatan sebagai kunci pembukanya.

Selanjutnya Schreiber dan Barber menjelaskan ahwa aktor dapat mengerahkan pikirannya untuk melihat objek atau kilas pandang tentang karakter, sebagaimana halnya mereka bisa menggunakan memuka memori melalui indra penciuman, pengecap, dan pendengaran. Semakin detail observasi, melalui pikiran, yang dilakukan oleh seorang aktor, maka konsentrasi yang dibangun juga akan semakin dalam. Ketika konsentrasi semacam ini terjadi, maka tidak akan terlihat aktor yang lain. Bahkan semua yang ada di depan mata pun tidak akan terlihat karena pada saat konsetrasi ini, aktor akan mengerahkan pikirannya untuk berkonsentrasi. Satu hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam pengerahan pikiran ini adalah, tidak adanya kontak langsung antara objek dan pikiran. Kontak baru akan terjadi ketika indra penglihatan benar-benar digunakan.

Tatapan, seklise apapun, memainkan peran yang sangat penting bagi seorang aktor. Hal itu terjadi tidak lain dan tidak bukan karena mata sang aktor. Mata adalah cermin jiwa dan bagian inti dari kejujuran akting. Melalui mata, aktor tidak hanya menerima aktor lain namun juga dapat menerima seluruh penonton yang hadir. Artinya, melalui mata, aktor dapat menentukan keberterimaan dirinya atas peran yang dilakukan. Ia bisa menganggap lawan main sebagai kawan berlakon ataupun musuh, demikian juga ia bisa menganggap penonton datang untuk mengaguminya atau menerima keberadaan penonton sebagai kenyataan pertunjukan semata. Mata dapat menceritakan segalanya dan penonton dapat menangkap kejujuran akting sang aktor melalui tatapan matanya.

Mungkin aktor akan menyangkal hal ini karena jarak panggung dan kursi penonton terlalu jauh dan tidak terdapat cukup cahaya untuk melihat mata aktor, beda halnya dengan film. Namun demikian, projeksi tatapan mata aktor ini tetap akan dapat ditangkap oleh penonton. Kecuali, aktor tersebut selalu menyembunyikan matanya dalam keseluruhan permainan. Jika demikian, maka ia pun juga menyembunyikan keseluruhan emosi karakter yang sedang diperankan. Memang sangat menakutkan bagi aktor untuk membuka tatapan karena ia akan merasa bersalah ketika emosi yang diekspesikan dan terlihat melalui mata itu merupakan kepura-puraan. Namun bagaimana pun juga, mata merupakan bagian yang sangat penting bagi seorang aktor untuk menyampaikan ekspresinya baik kepada penonton maupun kamera.

Mata atau idra penglihatan, seperti yang disampaikan oleh Schreiber dan Barber di atas memang memegang peranan penting bagi ekspresi aktor. Karena itu, aktor harus berani jujur dan terbuka dalam memanfaatkan indra penglihatnya. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita lihat bahwa seorang yang merasa malu akan menggunakan tangannya untuk menutupi matanya. Mungkin kita mengira bahwa itu hanya senda gurau saja, namun menutup mata dengan tangan sebagai tanda malu seolah telah menjadi tanda universal, hampir semua orang melakukan itu. Hal ini menandakan bahwa memang mata dapat mengungkapkan kejujuran dan keterbukaan seseorang. Dua hal yang mesti dimiliki oleh aktor ketika berperan.

Latihan dasar indra penglihatan biasanya dilakukan untuk melatih konsentrasi tatapan. Dalam hal ini, tatapan difungsikan tidak untuk menatap melainkan memusatkan pikiran. Seperti apa yang disampaikan oleh Shreiber dan barber, mengerahkan pikiran melalui tatapan justru menghindari kontak langsung dengan objek yang ditatap karena yang bekerja kemudian adalah pikiran. Oleh karena itu, konsentrasi terbaik melalui tatapan adalah ketika mata digunakan untuk mengobservasi objek dan menyerap semua informasi yang dilihat ke dalam pikiran. Pada model latihan ini, mata merupakan scanner dan pikiran adalah hardisknya sehingga ketika satu saat mata menatap objek tertentu, maka pikiran akan membuka lemari penyimpanan pengalaman di mana mata pernah menatap objek yang hampir sama. Pada saat ini, rekam peristiwa termasuk emosi di dalam peristiwa dapat dimunculkan.

Memfungsikan indra penglihat secara optimal dalam observasi dengan sendirinya menggairahkan kerja pikiran. Observasi memampukan indra penglihat untuk berkonsntrasi terhadap objek yang diamati dan pikiran merekam amatan. Jadi yang perlu diingat dalam latihan konsentrasi indra penglihat adalah pengamatan mendalam atas satu objek atau peristiwa atau seseorang dan membiarkan pikiran merekamnya. Dengan seperti itu, maka pikiran tidak akan mengambil alih fungsi indra penglihat.

e. Indra peraba

Schreiber dan Barber menerangkan bahwa indra peraba adalah kunci dari kepekaan sentuhan. Bagi aktor hal ini sangat penting karena indra peraba selalu berkaitan dengan aksi yang dilakukan aktor baik dalam laku menyentuh peranti, perabot, busana, aktor lain, dan bagian tubuh dirinya sendiri. Sentuhan-sentuhan yang dilakukan saat akting tidak hanya sekedar sentuhan namun pasti mendukung eskpresi maupun emosi karakter yang diperankan. Sensasi sentuhan ini dapat memicu sensasi memori masa lalu atapun sensasi sebagai akibat dari respons yang dilakukan. Sentuhan selalu memiliki makna dalam akting. Ketika seorang aktor memerankan tokoh yang menyentuh benda panggung dan kemudian mengatakan bahwa ia mengingat lokasi tertentu karena sentuhan itu, ia mesti melakukannya dengan penuh penjiwaan. Artinya, ia tidak sekedar mengucapkan baris kalimat dialog namun juga mengerahkan pikiran dan perasaannya untuk menuju ke lokasi tertentu di masa tertentu.

Memaknai sentuhan atau memberikan makna terhadap sentuhan bukanlah perkara mudah yang dapat dilakukan oleh sembarang aktor. Schreiber dan Barber mencatat bahwa banyak aktor memegang peranti namun sama sekali tidak memberi makna pada peranti yang ia pegang. Misalnya saja seorang aktor memegang pedang panjang namun ia tidak tahu bagaimana memberi kesan bobot pada pedang tersebut, akhirnya penonton mengetahui bahwa pedang yang dibawa aktor itu bukan pedang asli karena terasa ringan di tangan si aktor. Dalam hal ini, aktor tersebut gagal dalam meyakinkan penonton. Hal ini terjadi hanya karena ia tidak mengoptimalkan indra peraba yang dimiliki. Dalam teater dan juga film, seorang aktor harus memiliki sentivitas sentuhan sehingga benar-benar merasakan setiap objek yang disentuhnya sehingga bermakna.

Seorang aktor, menurut Schreiber dan Barber, dapat menyampaikan ribuan kalimat tanpa harus bersuara melalui sensasi sentuhan. Banyak adegan film dan panggung yang dapat dijadikan acuan untuk menjelaskan hal ini. Sebagai contoh, adegan klise yang sering dijumpai dalam sinetron, di mana dua remaja laki-laki dan perempuan tanpa sengaja saling bertabrakan sehingga buku yang ada dalam tas remaja perempuan berhamburan. Dengan tanpa kalimat, kedua remaja tersebut serentak membereskan buku-buku yang berserakan dan tanpa sengaja kedua tangan remaja tersebut saling bersentuhan. Bukannya segera menarik tangan, mereka malah menatap tangan yang bersentuhan lalu pelan-pelan adu pandang, baru setelah itu saling menarik tangan. Tanpa kalimat dialog, penonton diberikan limpahan kalimat bermakna dari sentuhan-sentuhan yang dilakukan dua remaja tersebut. Jika tidak dilanjutkan, karena adegan klise sehingga mudah ditebak, penonton akan mengira kedua remaja tersebut akhirnya akan saling jatuh cinta. Namun jika penulis cerita sedikit nakal dapat membelokkan adegan klise tersebut berlanjut menjadi lucu atau mengagetkan. Tapi intinya, dengan hanya memfungsikan sentuhan, sebuah adegan mampu menyampaikan pesan.

Dalam latihan dasar indra peraba, seseorang umumnya diminta untuk membedakan beberapa benda melalui sentuhan (perabaan) yang dilakukan sambil memejamkan mata. Hal ini secara mendasar dimaksudkan untuk melatih kepekaan indra peraba. Seringkali dalam kegiatan sehari-hari orang tidak memfungsikan indra ini karena ia dapat mengetahui sebuah objek melalui penglihatan. Orang tahu permukaan batu itu kasar atau halus hanya dengan melhatnya. Karena kebiasaan ini, maka indra peraba jarang difungsikan sebagaimana mestinya.

Namun tidak demikian halnya degan aktor. Ia tidak hanya harus membedakan benda melalui sentuha dengan tanpa melihat, namun ia juga mesti memberi makna atas sentuhan atau rabaan yang ia lakukan. Oleh karena itu, latihan indra peraba aktor mesti dikembangkan sedemikian rupa hingga mampu menyampaikan sesuatu tanpa harus mengatakannya. Dalam satu sesi latihan adegan imprvisasi, dua orang aktor saling berkomunikasi dan dalam setiap kalimat dialog mereka harus menyentuh lawan mainnya. Latihan ini merupakan latihan indra peraba tingkat lanjut, di mana seorang aktor mesti memberikan makna melalui sentuhan. Sekilas, latihan semacam ini akan nampak mudah untuk dilakukan, namun tidak jika dengan syarat setiap sentuhan mesti bermakna. Dalam banyak pengalaman, aktor yang menganggap gampang latihan ini akan cenderung melakukan sentuhan tanpa makna pada setiap kalimat yang ia ucapkan. Makna sentuhan dalam latiihan indra peraba semacam ini harus dilakukan dengan memperhatikan respons atas sentuhan. Karena konsep akting adalah aksi-reaksi, maka makna aksi tidak akan muncul ketika reaksi yang dihadirkan tidak tepat. Sensasi sentuhan harus benar-benar dirasakan baik oleh pelau maupun penerima. Di atas panggung, sensasi ini mesti dapat dirasakan oleh aktor dan penonton.

 

 2.     Imajinasi

Imajinasi menurut Schreiber dan Barber merupakan hal yang paling diperhatikan oleh aktor dalam latihan tingkat lanjut. Imajinasi merupakan dunia bawah sadar atau sering juga disebut sebagai dunia dalam (inner life) dan hal inilah yang membuat akting seperti benar-benar terjadi (natural, alami). Segenap indra membantu aktor berkonsentrasi dan dalam proses kerjanya menstimulasi imajinasi dan menciptakan sensasi realitas. Secara nyata, cara melatih indra adalah dengan memberikan stimulasi langsung. Misalnya, jika seorang aktor dalam perannya mengalami rasa mual karena mencium bau sampah, maka pelatih bisa memberikan sekantung sampah yang baunya meman membuat mual. Schreiber dan Barber dalam hal ini ingin memberikan gambaran kasar latihan indra tanpa melibatkan imajinasi. Namun hal itu tidak mungkin akan berlaku terus sedemikian karena imajinasi dapat dioptimalkan untuk menghadirkan sensasi dalam latihan konsentrasi indra. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana menghadirkan atau membangkitkan imajinasi tersebut?

Schreiber dan Barber menerangkan bahwa sesungguhnya menghadirkan imajinasi dalam bermain peran tidak ada bedanya dengan anak-anak ketika bermain bersama. Ketika seorang bocah bermain di rumah, maka kursi bisa digunakan (diimajinasikan) sebagai goa atau rumah. Ketika orang tua menakui anaknya bahwa akan ada monster yang mengejar, maka sang anak dengan segala daya dan adrenalinnya akan segera berlari dan mencari tempat tersembunyi. Baginya, monster itu adalah nyata dan sedang mengejar dirinya. Hal ini menandakan bahwa imajinasi dalam diri anak tersebut seolah memang sebuah kenyataan dan ini merupakan dunia bawah sadar. Gerak hati dan imajinasi saling mengisi.

Aktor pada dasarnya mesti menciptakan dunia yang seolah nyata dan dapt dipercaya. Screiber dan Barber mengutip apa yang diterangkan oleh Stanislvaski mengenai obervasi yang dilakukan oleh istrinya ketika harus berperan sebagai pelacur. Istri stanislavski benar-benar mengamati para pelacur jalanan. Ia mengamati cara dan gaya bicaranya, tingkah-lakunya, dan setiap gerak-gerik yang ada. Ia juga mengajak mereka berbicara, membicarakan hidup mereka dan mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut mereka. Dengan modal hasil observasi ini, istri Stanislavksi mengerahkan imajinasinya untuk mengeksplorasi pikiran mengenai bagaimana wujud nyata dari laku menjual diri ini. Dengan semua latar yang ia dapatkan, istri Stanislavski mampu menyajikan kehidupan dan eksistensi seorang pelacur di atas panggung.

Apa yang hendak disampaikan oleh Schreiber dan Barber dengan mengutip Stanislvaski adalah bahwasanya imajinasi tidak bisa dilakukan serta-merta. Dalam banyak latihan teater amatir, kesertamertaan ini selalu menghiasi latihan dasar imajinasi. Tanpa ada ancang-ancang atau latar belakang pemikiran atau cerita rekaan atau apapun yang dapat dijadikan stimulan, para peserta latihan langsung diminta untuk berimajinasi sesuai perintah pelatih. Bahkan termasuk ekspresi emosional yang berbasis imajinasi serta-merta itupun model pelatihannya seperti ini. Satu hal yang sangat berbeda dibandingkan dengan pengalaman istri Stanislavski.

Pengetahuan dasar yang didapatkan istri Stanislavski melalui observasi adalah pemantik imajinasi. Jadi ia tidak bermula dari kekosongan atau hanya sekedar mengawangkan sesuatu. Dalam permainan anak-anak, imajinasi juga tidak muncul dengan sendirinya. Mereka saling menyepakati tema dan kemudian mensubsitusi benda yang ada di sekitarnya dengan benda dalam imajinasi sesuai tema. Kesepakatan tema inilah yang menjadi pengetahuan dasar atau pemantik imajinasi. Karena kesepakatan temanya sangat sederhana, maka imajinasi yang dihasilkan pun juga sederhana namun demikian tetap hidup. Hal ini terjadi karena dalam bermain-main, anak-anak tidak memiliki beban, mereka melakukannya dengan rileks.

Keadaan rileks ini menjadi penting dalam olah imajinasi. Ketegangan tidak akan melahirkan pikiran yang jernih. Untuk mencapi kondisi rileks ini, imajinasi sering dilatihkan dalam bentuk permainan atau improvisasi. Di dalam permainan tidak ada konsep benar dan salah melainkan melanggar peraturan atau tidak. Peraturan juga dapat ditentukan secara bersama-sama. Permainan imajinasi dimulai dari asosiasi atau bagaimana seseorang menecari hubungan satu kata, benda atau peristiwa dengan kata, benda, atau peristiwa lainnya. Dalam permainan anak-anak, kursi yang ditumpuk di atas meja dapat disepakati bersama sebagai gunung karena ada asosiasi “tinggi” antara gunung dan tumpukan kursi di atas meja. Ada kecerdasan dasar dalam berasosiasi di sini di mana “tinggi” menjadi kata kunci untuk menghubungkan kursi ditumpuk di atas meja dengan gunung.

Asosiasi dalam hal ini dapat dimaknai sebagai pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan, dan kegiatan panca indra. Apa yang dilakukan oleh istri Stanislavski ketika mengobserbasi kehidupan pelacur adalah mengumpulkan sebanyak mungkin bahan dasar (pengetahuan) yang pada nantinya dapat dihubungkan dengan gagasan, ingatan, dan ditubuhkan melalui panca indra (aksi). Pada tingkatnya yang lebih lanjut, asosiasi ini dapat digunakan untuk menghubungkan hal-hal yang abstrak dengan perasaan atau emosi. Satu hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan sebenarnya di mana hitam dapat disikapi sebagai kekelaman atau biru memaknakan perasaan sendu. Untuk menuju ke tingkat tersebut, asosiasi dasar seperti dalam permainan anak-anak mesti dilalui dengan rileks (tenang, jujur, dan senang).

Secara mendasar, apa yang disampaikan oleh Schreiber dan Barber mengenai konsentrasi dan imajinasi adalah dua hal yang saling berhubungan. Meskipun latihan panca indra memampukan kerja konsentrasi seorang aktor terkait sensasi indra tertentu, namun proses kerjanya melibatkan imajinasi. Meskipun imajinasi tidak menjadi pokok bahasan dalam latihan panca indra namun pengaitannya tidak bisa dihindarkan. Baru pada saat latihan imajinasi secara khusus dilakukan, keberfungsian imajinasi ini ditegaskan melaui asosiasi. Pada saat seorang aktor memainkan peran, konsentrasi dan imajinasi ini bekerja secara simultan dan mengalir. Artinya, aktor tidak perlu ancang-ancang untuk berkonsentrasi dan berimajinasi ketika berekspresi. Hukum yang belaku kemudian adalah ”beraksi saat ini” di mana perkataan, pikiran, perasaan, dan perbuatan berada pada saat yang sama dalam satu kesatuan ekspresi. (**) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar