Selasa, 24 Januari 2023

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PEMERANAN TEATER DAERAH MELALUI KETOPRAK PADA PROGRAM KEAHLIAN SENI TEATER SMKN 1 KASIHAN BANTUL

 Eko Santosa


(Artikel dimuat di Jurnal Sendikraf, Vol. 2, No. 2 November 2021. Dalam unggahan ini abstrak tidak disertakan) 

PENDAHULUAN

Pendidikan teater di sekolah menengah kejuruan memberikan bekal kecakapan kepada peserta didik yang dapat digunakan untuk berkarya di dunia kerja. Oleh karena itu, hal-hal terkait keterampilan berteater diajarkan. Banyak bidang pekerjaan yang dapat digeluti secara profesional oleh seseorang yang ingin belajar berteater. Bidang-bidang tersebut di antaranya adalah pemeranan, tata artistik, penyutradaraan, penulisan naskah, dan manajemen produksi pementasan. Sekolah menengah kejuruan seni teater, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 06/D.D5/KK/2018 tentang Spektrum Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),  berada di bawah bidang keahlian seni pertunjukan. Berdasar aturan tersebut, seni teater merupakan program keahlian yang memiliki paket kompetensi keahlian berupa pemeranan dan tata artistik. Dengan demikian, sekolah menengah kejuruan seni teater dapat menyelenggarakan pendidikan untuk bidang pekerjaan pemeranan (akting) maupun tata artistik.

Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul melatihkan satu paket kompetensi keahlian yaitu, pemeranan. Berkait dengan visi sekolah yang berfokus pada pelestarian dan pengembangan budaya di bidang seni pertunjukan, maka pemeranan teater daerah dan teater modern diajarkan. Pemeranan teater daerah merupakan wujud pelestarian budaya, sementara teater modern sebagai wujud pengembangan budaya. Subjek teater daerah dan modern memiliki pengaruh kuat pada pembelajaran pemeranan karena gaya pemeranan bersesuaian dengan gaya pementasan yang ditentukan. Pementasan teater daerah disajikan melalui gaya pemeranan teater daerah, demikian pula sebaliknya teater modern.

Pilihan istilah teater daerah, dalam hal ini semakna dengan teater tradisional. Beberapa tokoh seni pertunjukan menggunakan istilah teater daerah untuk mewadahi seni pertunjukan khas satu daerah termasuk di dalamnya seni tradisional dan seni bentukan baru. Sedangkan tokoh lain lebih memilih istilah teater tradisional untuk menyebut teater yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu. Murgiyanto, Dkk. (1983), menjelaskan bahwa teater daerah merupakan seni pertunjukan teater yang berkembang dan memiliki ciri-ciri khas suatu daerah tertentu. Sementara itu, Achmad (2006), menjelaskan bahwa teater tradisional adalah teater dalam suatu masyarakat etnik tertentu yang mengikuti tata cara, tingkah laku dan cara berkesenian mengikuti tradisi, ajaran turun-temurun dari nenek moyangnya, sesuai dengan budaya lingkungan yang dianutnya. Dengan demikian, teater daerah dan teater tradisional dapat dimaknai sebagai teater yang berkembang dalam budaya masyarakat tertentu. Oleh karena SMKN 1 Kasihan Bantul berada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka teater daerah yang berkembang di masyarakat Yogyakartalah yang diajarkan. Dalam hal ini, ketoprak dipilih menjadi subjek pokok pembelajaran.

Ketoprak sebagai seni teater daerah memiliki perjalanan sejarah panjang. Pada awalnya, ketoprak lahir di Surakarta, namun justru berkembang pesat di Yogyakarta dan mendapat label Ketoprak Mataram (Murdiyastomo, 2019). Sampai saat ini eksistensi kesenian ketoprak di Yogyakarta masih terjaga. Hatley (2008), mencatat bahwa ketoprak yang sebenarnya berasal dari tontonan kampung, memiliki kekuatan tersendiri di dalam pertunjukannya. Kekuatan tersebut mampu memberikan perubahan budaya masyarakat di mana ketoprak tersebut tumbuh. Karena itulah, bukan merupakan hal yang aneh ketika pada satu masa, ketoprak menjadi milik masyarakat di mana hampir setiap kampung memiliki grup dan mementaskannya. Di dalam perkembangannya, banyak kelompok ketoprak dilahirkan dan menjadi acuan pada masanya mulai dari Ketoprak Wreksodiningrat (1908-1925), Ketoprak Wreksatama (1925-1927), Ketoprak Krida Madya Utama (1927-1930), Ketoprak Gardanela (1930-1955) hingga munculnya ketoprak modern, gaya baru, dan sampai ketoprak saat ini (Lisbijanto, 2013). Selain dari nama kelompok, ketoprak juga berkembang sesuai bentuk penyajiannya seperti ketoprak lesung, ketoprak dengan iringan kendang, seruling, dan rebana, serta ketoprak gamelan (Murdiyastomo, 2019). Pementasan ketoprak dapat diselenggarakan di panggung dalam bentuk pendapa, teater arena, lapangan, halaman rumah, atau prosenium.

Dalam hal pemeranan, ketoprak memiliki kekhususan terkait adat istiadat dan budaya. Seorang pemeran mesti memahami tingkatan bahasa Jawa dalam dialog dan bagaimana gerak dan sikap tubuh mesti dilakukan untuk situasi dan kondisi tertentu saat bermain peran dalam ketoprak. Selain itu, aspek lain terkait nilai budaya yang mendukung penghayatan peran sesuai dengan tokoh juga mesti dipahami. Hal ini dikarenakan, seorang pemeran diwajibkan untuk menghidupkan gambaran tokoh yang diperankannya seutuh mungkin melalui gerakan jasmani dan suaranya (Rendra, 2013). Gambaran utuh tokoh ini tidak bisa dihafalkan, dalam artian, penghayatan untuk tokoh satu berbeda dengan tokoh lain dan pemeran mesti bisa memainkan tokoh yang berbeda-beda tersebut. Di dalam ketoprak, perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain sangat dipengaruhi lingkungan budaya di mana tokoh tersebut tumbuh sehingga teknik penghayatan peran yang diajarkan bisa menjadi kompleks. Oleh karena itu, untuk mencapai kualitas pemeranan yang baik, upaya pengembangan pembelajaran pemeranan  ketoprak harus dilakukan.

Pengembangan pembelajaran di dalam pendidikan dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Pengembangan menurut Seels dan Richey merupakan proses penerjemahan atau menjabarkan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik (Setyosari, 2010). Oleh karena itu, proses kegiatan mesti dilakukan secara sistematis mulai dari tahap merancang hingga diwujudkan ke dalam bentuk fisik melalui prosedur tertentu sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna (Ninit, 2016).  Sementara itu, pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat siswa belajar, sehingga situasi tersebut merupakan sebuah peristiwa belajar atau usaha untuk terjadinya perubahan tingkah laku dari siswa (Sunhaji, 2014). Perubahan tingkah laku terjadi karena adanya interaksi dua arah dari pendidik dan peserta didik, di antara keduanya terjadi komunikasi yang terarah menuju kepada target yang telah ditetapkan (Pane & Dasopang, 2017). Dengan demikian, pengembangan pembelajaran merupakan cara sistematik untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi satu set bahan dan strategi belajar dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Reigeluth (1983), mengungkapkan bahwa pengembangan pembelajaran dilakukan melalui kegiatan perancangan, produksi, dan validasi (Suparman, 2012). Tiga kegiatan Riegeluth ini mesti dilakukan oleh Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul dalam upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah, ketoprak.

Satu hal menarik dan perlu mendapatkan perhatian adalah belum banyaknya penelitian tentang pemeranan teater daerah, baik itu dalam hal konsep, teknik, gaya maupun pembelajaran. Di antara sedikit penelitian mengenai pemeranan teater daerah adalah penelitian yang dilakukan Alfirdaus (2018), “Pengembangan Model Pembelajaran Berorientasi Teknik CS pada Teater Tradisi”. Penelitian ini berfokus pada orientasi teknik pemeranan dan bukan pada pemeranannya. Dalam hal ini orientasi pemeranan teater daerah diarahkan pada teknik pemeranan Stanislavski. Berikutnya, penelitian Intarti (2019), “Pembelajaran Teknik Pemeranan Bagi Mahasiswa Jurusan Pedalangan”. Fokus penelitian ini adalah pentingnya modal dasar pemeranan dan kemampuan untuk menguasai teknik dasar pemeranan bagi mahasiswa pedalangan. Sementara teknik pemeranan yang diacu adalah teknik pemeranan teater modern. Penelitian lain dilakukan oleh Haryanto, Yusril, dan Martarosa (2020), “Perancangan Pertunjukan Teater Rambun Pamenan Dalam Pola Teater Tradisional Randai Dengan Pendekatan Teater Modern (Well Made Play)”. Tujuan penelitian adalah untuk menggarap randai dengan mengadaptasi konsep teater modern. Pola yang digunakan dalam garapan ini adalah pola randai, tetapi untuk aktingnya menggunakan pemeranan gaya realis yang bersumber pada Bolelavski.

Ketiga penelitian tersebut memiliki kesamaan dalam hal keterhubungan pemeranan teater derah dan modern, di mana teater daerah mesti merujuk pada konsep teater modern. Ketiganya  menekankan pentingnya penggunaan teknik pemeranan teater modern dalam pementasan teater daerah. Dengan demikian, teknik pemeranan teater modern justru dijadikan justifikasi sehingga pada akhirnya teknik pemeranan teater daerah lesap di dalamnya. Selain itu, ketiga penelitian tersebut tidak membahas upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah hingga sampai  ditemukannya formulasi teknik pemeranan yang tepat untuk diterapkan secara berkelanjutan.

Beranjak dari kebutuhan menemukan dan mencatat teknik pemeranan teater daerah, penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan latar pemikiran dipilihnya ketoprak sebagai materi pokok pembelajaran pemeranan teater daerah pada Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul dan upaya pengembangan pembelajarannya. Penentuan ketoprak sebagai materi pokok pembelajaran pemeranan oleh SMKN 1 Kasihan Bantul sangat menarik diungkapkan. Hal ini dikarenakan jenis teater daerah yang berkembang di Yogyakarta tidak hanya ketoprak saja. Selain itu, pengajaran ketoprak secara umum adalah mimesis di mana para pemeran muda menirukan cara bermain ketoprak para pemeran senior. Ini merupakan satu hal yang dianggap wajar dalam khasanah teater daerah di Indonesia. Proses pembelajaran mimesis dan turun-temurun ini tentunya memerlukan waktu yang tidak sebentar di mana pemeran muda mesti mengikuti setiap produksi pementasan yang ada agar bisa terampil. Sementara itu, di dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah yang terbatas oleh waktu belajar dan kesempatan berproduksi tentu saja metode mimesis tidak bisa serta merta diberikan. Oleh karena itu diperlukan usaha pengembangan pembelajaran untuk memformulasikan teknik pemeranan ketoprak sehingga dapat diajarkan secara terstruktur menyesuaikan tata aturan kurikulum yang berlaku.

Selanjutnya adalah proses yang mesti dilalui sehingga terciptanya sebuah produk yang tervalidasi sesuai dengan rancangannya. Proses produksi ketoprak dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan akan menjawab apakah teknik pemeranan teater daerah yang bersifat kultural cukup mewadahi ataukah diperlukan upaya lain agar siswa mampu berperan dengan lebih baik. Jika teknik pemeranan ketoprak dianggap cukup, maka teknik-teknik tersebut dapat dibakukan. Namun jika masih diperlukan teknik pemeranan lain di luar ketoprak, maka formulasinya menjadi penting untuk dicatat sehingga dapat diterapkan secara berkelanjutan. Kedua jawaban tersebut sangat penting dan diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi pembelajaran pemeranan teater daerah khususnya ketoprak dan membuka kemungkinan untuk diadopsi dalam pemeranan teater daerah yang lain.
 

 METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan untuk mengungkap dan memahami fenomena yang belum banyak terungkap serta kemungkinannya untuk memperoleh wawasan baru terkait objek yang diteliti (Strauss & Corbin, 2017). Lebih sederhana, Creswell (2017), mengungkapkan bahwa di dalam metode penelitian kualitatif, peneliti berusaha untuk memahami bagaimana sesuatu terjadi, kemudian melakukan analisis menggunakan teori-teori berdasarkan data empiris yang diperoleh di lapangan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2021 sampai dengan Oktober 2021. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui catatan lapangan, hasil wawancara, dan dokumentasi karya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, observasi, dan wawancara. Validitas data dilakukan melalui triangulasi sumber data dan teknik pengumpulan data. Analisis data dilakukan melalui tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.

Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi karya pementasan ketoprak yang mulai dilakukan pada awal bulan Agustus 2021. Selanjutnya dilakukan observasi pembelajaran pemeranan teater daerah pada bulan September 2021 sampai dengan Oktober 2021. Pada dua kegiatan ini dilakukan identifikasi dan pencatatan ciri-ciri pemeranan teater daerah serta persinggungannya dengan teknik pemeranan teater modern. Selain itu, gaya penyajian secara menyeluruh menjadi catatan dukungan karena sifat teater daerah tidak bisa dipisahkan antara bentuk sajian dengan teknik pemeranan para pemeran. 

Wawancara sebagai tahap kegiatan berikutnya dalam penelitian ini dilakukan secara sederhana, tidak terstruktur, tidak formal, dan berlangsung secara tatap muka. Pertanyaan tidak terstruktur digunakan untuk menggali lebih dalam informasi dan penggunaan bahasa tidak formal dimaksudkan agar informasi dapat mengalir tanpa hambatan. Pada penelitian ini wawancara dilakukan terhadap Bapak Ignatius Karyono selaku ketua program keahlian seni teater dan guru pemeranan, Bapak Ardani selaku kepala sekolah,  Bapak Beni Susilo Wardoyo selaku guru pemeranan, serta narasumber ketoprak sekaligus guru pendamping proses yaitu, Bapak Bondan Nusantara dan Bapak Mujiono Sugiharto. Wawancara tidak dilakukan satu kali waktu karena untuk kepentingan pendalaman dan keabsahan diperlukan wawancara tambahan.

Kegiatan analisis diawali dengan membuat transkripsi wawancara, catatan pengamatan,  studi dokumen, dan mempersandingkan ketiganya sesuai dengan subjek penelitian. Berikutnya pemilahan ciri-ciri karya dan teknik pemeranan dilakukan berdasar catatan pengamatan mengacu pada teori pemeranan teater modern. Acuan yang digunakan adalah klasifikasi teater dan pemeranan McTigue (1992), yang membagi gaya pementasan teater berkait teknik pemeranan ke dalam teater presentasional, representasional (realis) dan pasca realis. Selain itu, catatan Sumardjo (1993) mengenai spesifikasi gaya pementasan teater dalam sejarah perkembangan teater Barat menjadi rujukan. Teori pemeranan teater modern digunakan sebagai acuan karena langkanya tulisan mengenai teknik pemeranan teater daerah. Setelah itu, hasil analisis disandingkan dan dilengkapi dengan transkrip wawancara. Tujuannya adalah memberikan kejelasan gambaran pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah yang telah dilakukan melalui ketoprak.
 

HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI

Konten kurikulum program keahlian seni teater, kompetensi keahlian pemeranan SMKN 1 Kasihan Bantul memberikan bekal kecapakan pada siswa dalam bermain peran teater modern dan teater daerah. Pengembangan pembelajaran pemeranan teater modern mengacu pada bentuk dan gaya pementasan yang ada dan diakui (referensial). Sementara itu, di dalam pemeranan teater daerah, produk pembelajaraannya adalah ketoprak. Teknik dan gaya pemeranan mengacu pada bentuk dan gaya pementasan ketoprak. Latar penentuan ketoprak serta upaya pengembangan pembelajaran pemeranannya diuraikan sebagai berikut.

Latar Belakang Pemilihan Ketoprak

Visi SMKN 1 Kasihan Bantul adalah terwujudnya sekolah manggala budaya yang mandiri, kreatif, dan inovatif. Manggala budaya dimaknai sebagai satria pengemban, pelestari, dan pengembang seni budaya berlandaskan iman dan takwa. Berkait dengan visi tersebut, teater daerah sebagai bagian dari seni budaya Indonesia diajarkan di Program Keahlian Seni Teater. Dari sejumlah teater daerah yang berkembang di Yogyakarta, ketoprak dipilih menjadi materi pokok. Dengan demikian semua siswa mendapatkan pelatihan kompetensi pemeranan ketoprak mulai dari kelas X sampai kelas XII.

Alasan utama pemilihan ketoprak selain untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya adalah popularitas dan eksistensi ketoprak yang masih terjaga dengan baik. Hal ini berkaitan dengan sejarah berdirinya SMKN I Kasihan Bantul yang dahulu bernama SMKI di mana basis seninya adalah seni tradisional. Ardani selaku Kepala Sekolah menjelaskan bahwa seni pertunjukan tradisional gaya Yogyakarta menjadi pilihan sekaligus materi pokok untuk diajarkan di semua program keahlian. Pada program keahlian seni teater, Ketoprak gaya Yogyakarta menjadi pilihan. Namun demikian, ketoprak yang diajarkan mesti disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan di Yogyakarta sampai saat ini kesenian ketoprak masih eksis dan digemari.

Karyono menambahkan, bahwa dibanding jenis teater daerah lain seperti wayang wong dan srandul, ketoprak lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan usaha para seniman ketoprak tidak pernah berhenti dalam mengembangkan seni ketoprak. Banyak produk yang telah dihasilkan dan semuanya mendapatkan sambutan masyarakat. Selain itu, semua hal terkait keterampilan pemeranan dapat ditemukan di dalam ketoprak. Seorang pemeran ketoprak dapat memiliki keterampilan nembang (bernyanyi), laga, dialog, dan menari di mana semua hal tersebut disajikan dalam adegan-adegan. Sementara itu, Sugiharto menegaskan, bahwa ketoprak dapat digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa yang merupakan bagian penting penghayatan peran dalam ketoprak. Melalui ketoprak, siswa dapat memahami nilai budaya Jawa secara tak langsung karena telah menyatu di dalam peran yang dimainkan. 

Untuk keperluan mengajarkan pemeranan teater daerah sekaligus nilai budaya Jawa tersebut, SMKN 1 Kasihan Bantul mendatangkan narasumber ketoprak yang juga bertindak sebagai guru pendamping. Menurut Ardani, hal ini merupakan keharusan karena pementasan ketoprak tidak bisa dilakukan tanpa memahami konvensi dasarnya. Oleh karena itu, kehadiran narasumber ketoprak yang sudah mendapatkan pengakuan luas masyarakat menjadi jaminan bahwa usaha pengembangan seni teater berbasis budaya dalam pembelajaran yang dilakukan tepat sasaran.

 Pengembangan Pembelajaran Pemeranan Ketoprak

Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul memerlukan strategi khusus dalam melaksanakan pembelajaran pemeranan teater daerah. Meskipun ketoprak memiliki konsep penghayatan peran dan keterampilan pemeranan yang lengkap, namun penjabaran teknis pembelajarannya sangat langka. Di sisi lain,  pembelajaran di sekolah tidak mungkin menerapkan model mimesis sebagaimana halnya kultur ketoprak karena jumlah jam pertemuan terbatas. Oleh karena itu, diperlukan formulasi pembelajaran pemeranan seturut gaya bermain peran dalam ketoprak yang dapat diterapkan secara kurikuler. Selanjutnya, formulasi tersebut dapat diaplikasikan dalam setiap proses produksi ketoprak yang ditentukan.

 1.   Formulasi Pembelajaran Pemeranan Ketoprak

Formulasi pembelajaran pemeranan ketoprak yang dilakukan oleh Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul adalah memadukan dua mata pelajaran yaitu, Teknik Penghayatan Peran dan Bermain Peran. Di dalam mata pelajaran Teknik Penghayatan Peran, siswa diberi dasar teknik pemeranan teater modern model Rendra serta dasar penghayatan peran Stanislavski. Selanjutnya, pada mata pelajaran Bermain Peran semua dasar teknik pemeranan dan penghayatan peran diterapkan sesuai lakon ketoprak yang dimainkan.

Pada tahap ini, teknik penghayatan peran menyesuaikan tuntutan pemeranan ketoprak. Misalnya, di dalam pelatihan teknik muncul siswa diberi bekal cara masuk dan keluar pangung secara artistik, maka ketika bermain peran teknik ini mesti dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat Jawa. Pemeran masuk dengan lampah dodok (jalan jongkok) kemudian sembahan (menghormat) atau dengan jalan biasa namun mengedepankan torso. Hal yang sama juga berlaku pada konsep dasar penghayatan peran di mana imajinasi peran yang telah dilatihkan mesti disesuaikan dengan lingkungan budaya peran tersebut.

Formulasi pembelajaran yang merupakan paduan antara teater modern Barat dan ketoprak ini sampai saat ini berjalan efektif. Nusantara menjelaskan bahwa semua yang ada dalam pemeranan teater modern itu ada di dalam ketoprak, namun ketoprak tidak memiliki jabaran teknik pemeranan tertentu. Jika pun ada itu hanya bagian kecil saja seperti angon tinon (teknik timing) dan greget saut (teknik aksi-reaksi dalam dialog), dan itu pun tidak ada pola pelatihannya. Jadi, teknik pemeranan teater modern lebih lengkap penjabaran dan cara melatihkannya.

Secara umum, teknik pemeranan ketoprak yang diajarkan meliputi gerak sembahan (cara memberi hormat), kepada siapa memberi hormat, lampahan (cara berjalan), unggah-ungguh basa (tata cara berbahasa) dan wicara yang di dalamnya termasuk angon tinon dan greget saut. Sementara itu teknik pemeranan teater modern yang diajarkan terdiri dari; 1) teknik muncul, 2) teknik memberi isi, 3) teknik pengembangan, 4) teknik membina puncak-puncak, 5) teknik timing, 6) teknik penonjolan, 7) teknik pengulangan, dan 9) teknik improvisasi (Santosa, Dkk., 2008). Adopsi dan sublimasi teknik pemeranan teater modern ke dalam teknik pemeranan ketoprak harus dilakukan karena tata cara dan tahap pengajaran teknik pemeranan teater modern dapat digunakan untuk menjelaskan teknik pemeranan yang diperlukan dalam ketoprak.

Pada sisi pengahayatan peran, Wardoyo menjelaskan bahwa penerapan konsep Stanislavski dalam penghayatan peran dilakukan semata karena tahap latihan penghayatan peran dalam ketoprak belum ada formulasinya. Semua masih berdasar rasa artistik pelatih atas pantas-tidaknya lakuan pemeran dalam adegan. Secara umum konsep penghayatan peran di dalam ketoprak terangkum melalui solah bawa (perilaku peran) yang memuat sifat gendhung (berani/yakin), gendhing (luwes), gendheng (totalitas), dan gendhéng (mengayomi/patut). Namun tahapan pelatihan dari masing-masing sifat atau keseluruhan perilaku tak terjabarkan. Sementara itu, sistem Stanislavski mengajarkan dengan baik langkah-langkah atau mindset (tata pikir) penghayatan peran yang di antaranya terdiri dari; 1) konsentrasi, 2) imajinasi, 3) memori afektif, 4) magic if (pengandaian), dan 5) motif penjiwaan (Stanislavski, 2003). Pemaduan teknik penghayatan peran model Stanislavski dengan solah bawa dalam ketoprak dilakukan untuk memberikan kemudahan dalam menjelaskan dan mempraktikkan tahap-tahap penghayatan peran.

Pemaduan teknik pemeranan teater modern dan ketoprak secara praktis dilakukan selama proses pembelajaran bermain peran. Sampai saat ini belum ada upaya untuk membakukan hasil pemaduan tersebut menjadi teknik tersendiri. Dengan demikian, secara mendasar dan terpisah siswa diajari teknik dasar penghayatan peran teater modern baru kemudian disesuaikan dengan tuntutan atau aturan dalam ketoprak. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan formulasi teknik penghayatan peran sebagai hasil pemaduan teater modern dan ketoprak mesti dilakukan agar sejak mata pelajaran Teknik Penghayatan Peran siswa sudah dilatih teknik hasil paduan antara teater modern dan ketoprak. Hasil pelatihan tersebut kemudian diterapkan dalam mata pelajaran Bermain Peran. 

Pada saat pemaduan teknik dan penghayatan peran teater modern dan ketoprak terjadi dalam pembelajaran bermain peran, maka materi ajarnya harus terkoneksi. Artinya, apa yang diajarkan dalam teknik dan penghayatan peran dapat diterapkan sekaligus mengalami penyesuaian secara pantas pada saat bermain peran dalam ketoprak. Untuk hal ini Karyono menjelaskan bahwa memang materi-materi yang diajarkan dalam teknik pengayatan peran disesuaikan dengan teknik pemeranan yang diperlukan dalam bermain ketoprak. Oleh karena itu rencana pembelajaran justru dimulai dari mata pelajaran Bermain Peran. Sebab jika tidak demikian, maka akan terjadi teknik penghayatan peran yang telah diajarkan tidak digunakan pada saat bermain peran.

Karyono menambahkan, strategi dalam perencanaan pembelajaran tersebut dilakukan karena pada mulanya tidak ada koneksi antara mata pelajaran Teknik Penghayatan Peran dan Bermain Peran. Semua hal terkait pemeranan ketoprak diberikan sekaligus pada saat berlangsungnya mata pelajaran Bermain Peran. Hal ini dinilai kurang menguntungkan bagi siswa karena teknik penghayatan peran yang telah diajarkan tidak bisa diterapkan. Berdasarkan pengalaman tersebut, guru pemeranan dan narasumber ketoprak mulai merancang pengembangan pembelajaran bermain peran berupa pemilahan produk ketoprak sesuai jenjang kelas. Produk ketoprak yang dihasilkan adalah  pementasan ketoprak panggung dan sinematografi ketoprak.
 

2.   Pementasan Ketoprak Panggung

Produk pementasan ketoprak panggung ditentukan per jenjang kelas berdasarkan tingkat kesulitan dalam kaitannya dengan teknik pemeranan dan penghayatan peran. Berdasarkan studi dan diskusi yang dilakukan antara Ketua Program Keahlian Seni Teater dengan narasumber ketoprak, maka ditentukan 3 (tiga) bentuk ketoprak untuk diajarkan, yaitu  ketoprak lesung untuk kelas X, ketoprak ongkek untuk kelas XI, dan ketoprak pendapan untuk kelas XII. Dengan demikian, materi pelajaran teknik penghayatan peran disesuaikan dengan yang dibutuhkan dalam ketiga bentuk ketoprak tersebut.

Ketoprak lesung ditengarai sebagai bentuk awal lahirnya ketoprak di mana instrumen musik yang digunakan hanyalah penumbuk padi. Cerita yang ditampilkan sangat sederhana, kejadian sehari-hari, terdapat guyon (lelucon) dengan tokoh tetap. Bentuk ini sekilas mirip dengan commedia dell’arte, teater yang berkembang di Italia pada zaman Renaissance di mana tokoh tertentu tampil secara tetap dan ceritanya mengandung kelucuan dan kisah cinta (Sumardjo, 1993). Namun dalam perkembangannya, ketoprak lesung bisa menampilkan tokoh siapa saja sementara commedia dell’arte terus mempertahankan tokoh tetap.

Di dalam proses pembelajaran, Karyono menjelaskan bahwa ketoprak lesung diberikan untuk siswa kelas X dalam pelajaran Dasar Pemeranan materi pemeranan teater daerah. Karena sifatnya yang dasar, maka bentuk ketoprak lesung dianggap tepat. Selain kecakapan berdialog, siswa diajar untuk nembang (bernyanyi), membuat musik iringan dengan lesung, serta menari dengan ragam gerak rakyat dan gerak bangsawan yang menjadi ciri khas pertunjukan ketoprak lesung. Cerita yang ditampilkan adalah cerita rakyat. Teknik pemeranan yang dilatihkan adalah teknik muncul dengan menari dan menyanyi sesuai konvensi ketoprak lesung. Validasi produk dilakukan berdasar parameter pertunjukan di mana cerita dapat mengalir dengan lancar, pemain tidak mengalami hambatan dalam berdialog, dan tarian serta iringan musik berjalan sesuai kebutuhan adegan.

Sementara itu, ketoprak ongkek yang diajarkan kepada siswa kelas XI berakar dari sejarah ketoprak yang dipentaskan secara berkeliling. Sugiharto menjelaskan bahwa kata “ongkek” memiliki arti tempat untuk membawa alat musik (gamelan) berkeliling. Selain itu, “ongkek” juga digunakan untuk gaya tarian yang dilakukan pemeran ketika muncul dalam adegan dengan meliuk-liukkan tubuh dari pinggang ke atas sesuai irama musik pengiring. Bentuk pementasan teater keliling ini mirip dengan teater Cycle zaman Abad Pertengahan di mana para pemeran teater keliling dari kompleks ke kompleks untuk menggelar pertunjukan (Sumardjo, 1993). Perbedaan mendasar adalah cara berkeliling dan berpentas di mana teater ongkek tidak menggunakan mobil (kereta kuda) yang sekaligus adalah panggung.

Di dalam proses pembelajarannya, ketoprak ongkek jelas tidak dipentaskan secara berkeliling melainkan dilakukan di dalam studio. Alat musik yang digunakan sebagai pengiring adalah instrumen gamelan yang terdiri dari saron, peking, kendang, gong, dan kempul. Sama seperti proses ketoprak lesung, dalam pembelajaran ketoprak ongkek siswa juga dilatih untuk memainkan alat-alat musik tersebut. Cerita yang ditampilkan bertema kerakyatan dengan balutan humor namun dengan struktur dramatik yang lebih kompleks. Pada sisi cerita ini, ketoprak ongkek berbeda dengan Cycle. Tujuan cerita Cycle adalah untuk menyebarkan agama sementara ketoprak ongkek untuk mendekatkan ketoprak kepada masyarakat.

Formulasi paduan mata pelajaran Teknik Penghayatan Peran dan Bermain Peran mulai berlaku pada produk teater ongkek. Selain pendalaman teknik muncul siswa kelas XI diberi materi pelatihan berupa teknik irama dan teknik pengulangan. Ketiga teknik ini kemudian disesuaikan dengan kebutuhan adegan per adegan dalam ketoprak ongkek. Validasi produk tidak jauh berbeda dengan ketoprak lesung namun dari sisi pemeranan lebih kompleks di mana teknik muncul, irama, dan pengulangan masuk ke dalam aspek penilaian.

Validasi produk paling kompleks adalah ketoprak pendapan yang mesti dimainkan oleh siswa kelas XII. Pada produk ini aspek penilaian, sebelum produk dipentaskan, meliputi eksplorasi pikiran  dan emosi peran, teknik memberi isi, timing, pengembangan, improvisasi hingga penggunaan peranti dalam bermain peran. Aspek-aspek dalam validasi produk pembelajaran ini berkait erat dengan ketoprak pendapan yang memiliki struktur pertunjukan paling lengkap sehingga membutuhkan keterampilan bermain peran yang lebih.

Sugiharto menjelaskan bahwa ketoprak pendapan lahir karena adanya ketertarikan para bangsawan terhadap seni ketoprak sehingga mereka mengelola sebuah grup dan mengusungnya untuk dipentaskan di pendapa. Nusantara menambahkan bahwa pada mulanya struktur pertunjukan masih sederhana namun lama-kelamaan, struktur pertunjukann yang lengkap sebagaimana halnya struktur pertunjukan wayang kulit mulai diterapkan. Dengan struktur yang lengkap, maka segala adegan mungkin untuk ditampilkan seperti adegan pertemuan resmi di keraton, adegan laga, gandrung (adegan percintaan), adegan pedesaan, dan lawakan. Penggunaan jenis-jenis adegan tersebut kemudian sangat tergantung lakon dan penyutradaraannya.

Di dalam proses pembelajarannya semua teknik pemeranan yang dibutuhkan dalam bermain ketoprak diajarkan termasuk di dalamnya adat-istiadat sesuai tuntutan lakon. Meski demikian, dalam beberapa produksi, ketoprak pendapan tidak harus menampilkan jenis-jenis adegan secara utuh dalam satu lakon. Hal ini sangat tergantung dari ketersediaan waktu dan target pembelajaran yang ditetapkan. Karyono dan Wardoyo menjelaskan bahwa penentuan lakon dilakukan berdasarkan rekaman kemampuan siswa pada saat mereka kelas XI dan memproduksi ketoprak ongkek. Oleh karena itu, lakon ketoprak pendapan ditulis berdasarkan jumlah dan kondisi siswa.

Ketoprak pendapan dengan struktur pertunjukan dan dramatika yang lengkap dapat disejajarkan dengan teater presentasional zaman Elizabeth di Inggris. Pada periode ini semua jenis adegan dieksplorasi dengan latar cerita tentang kerajaan (Sumardjo, 1993). Sementara sebagai teater presentasional, ketoprak pendapan telah memenuhi unsur gaya yang ada dengan prinsip bahwa pementasan teater adalah sebuah persembahan bagi siapa saja yang menontonnya sehingga aspek artistik tampilan termasuk gaya berbahasa menjadi sangat penting (McTigue, 1992). Melalui ketoprak pendapan, siswa kelas XII diharapkan dapat memiliki keterampilan bermain ketoprak secara utuh. Namun, harapan yang menjadi tujuan pembelajaran seringkali mesti berhadapan dengan keadaan menyangkut sumber daya, waktu, dan sarana pendukung.

Penulisan lakon yang disesuaikan dengan kemampuan siswa menandakan bahwa tidak setiap tahun, ketoprak pendapan dapat dipentaskan dengan struktur yang lengkap. Untuk itu diperlukan usaha yang lebih keras dalam pengembangan pembelajaran. Bentuk ketoprak yang ditampilkan bisa dikaji ulang agar gradasi dalam teknik pemeranannya bisa lebih jelas atau penentuan lakonnya mulai dipetakan sejak awal tahun pembelajaran. Bisa pula materi pelatihan terkait teknik pemeranan ketoprak lebih diperdalam. Bisa juga model pembelajaran atau penjadwalan antar mata pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga sejak awal orientasi pementaskan ketoprak dilakukan. Pelajaran pemeranan memang tidak hanya menyangkut teknik, penghayatan, dan bermain peran, namun juga menyangkut dasar pemeranan seperti olah tubuh dan suara. Hal semacam ini senantiasa harus dilakukan meskipun pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah melalui ketoprak sudah dapat dikatakan berjalan baik.
 

3.   Sinematografi Ketoprak

Pada tanggal 1 Maret 2021 sampai dengan 15 Mei 2021, Tim Pengembangan Ketoprak Daerah Istimewa Yogyakarta (TPK-DIY) mendampingi proses pembelajaran ketoprak di SMKN 1 Kasihan Bantul dalam praktik kerja lapangan. Namun karena pandemi COVID-19 yang membatasi pertemuan tatap muka, program tidak dapat berjalan sesuai rencana. Atas kondisi ini TPK-DIY, menawarkan sinematografi ketoprak sebagai produk pembelajaran. Sinematografi ketoprak atau sineprak adalah ketoprak yang dibuat dalam format film seri dan ditayangkan di YouTube. Program ini diinisasi dan dikembangkan oleh TPK-DIY pada tahun 2019 untuk melestarikan seni ketoprak pada generasi muda termasuk di dalamnya ketoprak pelajar. 

Sebagai karya film (sinema), sineprak tidak memerlukan banyak tatap muka dan latihan serta pengambilan gambar (syuting) dapat dilakukan adegan per adegan. Berkait dengan waktu, durasi tayang setiap seri tidak lebih dari 20 menit. Oleh karena itu, siswa lebih banyak memiliki kemudahan karena selain sistem produksi tidak memerlukan proses latihan tatap muka lama, juga sifat pembuatan sinema yang dapat mensyuting ulang adegan ketika terjadi kekeliruan. Atas pertimbangan hal-hal teknis dan kondisional, sineprak diterima dan direncanakan proses produksinya oleh Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul sebagai produk pemeranan teater daerah.

Produk sineprak ini  diterapkan bagi siswa XI (semester genap) yang mengikuti praktik kerja lapangan dan mestinya berproduksi ketoprak ongkek. Tetapi kemudian, sineprak juga diterapkan untuk siswa kelas XII (semester genap) yang semestinya berproduksi ketoprak pendapan. Hal ini terjadi karena efektifitas tatap muka proses produksi ketoprak mendukung proses pembelajaran selama pandemi. Bahkan, selepas program pendampingan dalam praktik kerja lapangan, sineprak tetap diproduksi karena pembatasan tatap muka dalam pembelajaran masih terus diberlakukan. Produk yang telah dihasilkan adalah sineprak berjudul Bandung Bondowoso yang dimainkan oleh siswa kelas XII dan Ing suwalike Tembok Sekolah yang dimainkan oleh siswa kelas XI. Sementara produk yang masih dalam proses pelatihan pada saat dilakukannya penelitian ini adalah Telasih dan Rajapati yang dimainkan oleh siswa kelas XII (semester gasal).

Proses produksi sineprak berjalan secara online dan tatap muka langsung. Tahap penentuan naskah/lakon, membaca, dan menghafal dilakukan secara online. Pada tahap ini guru membagi peran dan mengontrol bacaan (diksi, intonasi, artikulasi, dan interpretasi) serta membimbing proses hafalan dialog. Pertemuan tatap muka dilakukan pada saat latihan pengadeganan dan syuting. Dengan pola pembelajaran seperti ini kesempatan guru mengajarkan teknik penghayatan peran dan bermain peran hanya pada saat tatap muka. Oleh karena itu, teknik penghayatan peran diberikan secara praktis sesuai peran dan adegan yang dilakoni pemeran. Kemudian pada saat syuting, proses pembelajaran bermain peran sekaligus dilakukan. Dengan proses seperti ini pembelajaran terkesan teknis namun diakui dapat berjalan secara efektif. Tatap muka dua kali dalam seminggu dirasakan cukup untuk menghasilkan satu seri sineprak.

Proses sineprak tidak jauh berbeda dari proses pementasan ketoprak panggung karena konsep dasarnya adalah pementasan yang difilmkan. Hal ini terlihat sekali dalam Bandung Bondowoso. Lakon dengan cerita berlatar kerajaan dan jalinan cinta kasih antara putri raja dan seorang prajurit ini disajikan dalam format panggung. Namun untuk mengakomodasi teknik pengambilan gambar, pentas tidak dilakukan secara running melainkan cut to cut. Jadi, lakon ketoprak dirancang sedemikian rupa agar dapat dipentaskan dan disyuting adegan per adegan.

Bandung Bondowoso yang secara tampilan dapat dikatakan sebagai teater presentasional hampir kehilangan ciri khas ketopraknya karena menggunakan bahasa Indonesia. Penampilan adegan demi adegan terasa lebih mirip teater Shakespearean yang menggunakan bahasa puitis, mementingkan wicara, soliloki, dan dialog sampingan (Sumardjo, 1993). Apalagi tata musik dikerjakan pada saat editing di mana proses syuting sudah selesai. Ciri khas ketoprak tersisa pada tata busana dan sikap sopan-santun dalam berbicara. Dalam hal pengambilan gambar, teknik perfilman sudah digunakan di mana titik atau posisi pemeran berdiri dan bergerak telah ditentukan dan mesti diikuti, sebagaimana dikatakan oleh Powell (2010), agar tidak out of frame.

Pada produksi Ing Suwalike Tembok Sekolah, penggarapannya lebih filmis di mana cerita dan bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari. Adegan dilakukan di lokasi sesungguhnya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Garapan ini terkesan lebih natural dengan pendekatan gaya realis, yang menurut McTigue (1992), pemeran bermain bukan untuk penonton serta cerita berdasar kehidupan nyata termasuk penggunaan bahasanya. Namun dengan model garapan seperti ini, ciri ketoprak seolah lesap ke dalam sandiwara berbahasa Jawa. Ciri khas ketoprak dapat dilihat dari tata busana, sopan-santun berbahasa, dan adanya tingkatan atau status yang tegas dalam penokohan.

Pemeranan dalam Bandung Bondowoso dan Ing Suwalike Tembok Sekolah secara umum masih menggunakan pemeranan panggung. Hal yang semestinya berbeda dengan pemeranan untuk film. Kelemahan pemeranan panggung dalam film adalah suara pemeran terkesan diperkeras dan gerak diperlebar (Caine, 1997). Di samping itu, pemeranan panggung terasa berlebihan karena ekspresi wajah pemeran tampak terlalu tajam (Lutters, 2018). Hal ini diakui oleh Nusantara dan Karyono  bahwa mereka belum merencanakan untuk memberikan materi pelatihan akting di depan kamera. Bahkan untuk produksi yang sedang berjalan, Telasih dan Rajapati, aspek pemeranan di depan kamera juga belum diajarkan. Produk dengan ciri khas ketoprak masih menjadi pertimbangan utama.

Validasi produk sineprak yang dilakukan dalam Bandung Bondowoso dan Ing Suwalike Tembok Sekolah menggunakan parameter film di mana kejernihan gambar dan suara menjadi aspek utama. Hal ini mengakibatkan ciri khusus yang mesti dipertahankan dalam ketoprak seolah dikesampingkan seperti bahasa dan ilustrasi musik gamelan. Kekurangan ini coba diperbaiki dalam produksi Telasih dan Rajapati di mana ilustrasi musik gamelan dihadirkan secara live, cerita istana sentris dengan perbedaan status antara tokoh satu dengan yang lain dipertegas, serta penggunaan bahasa Jawa bersesuaian dengan status tokoh, sehingga ciri khas ketoprak tetap dipertahankan. Pemertahanan ciri khas ketoprak ini memang harus dilakukan karena ketoprak berbeda dengan bentuk teater daerah lain. Oleh karena itu, meskipun hasilnya berupa film, ciri khas ketoprak tidak bisa dihilangkan apalagi ketika nama produk tersebut adalah sinematografi ketoprak.

 

SIMPULAN

Ketoprak dipilih menjadi materi pokok pembelajaran pemeranan teater daerah pada Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul selain karena popularitas dan eksistensinya juga sebagai bagian integral dari pelestarian dan pengembangan budaya dalam bidang seni teater. Upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah dilakukan dengan memadukan teknik penghayatan peran teater modern dan gaya bermain peran dalam ketoprak. Paduan ini menjadi formula dalam setiap produksi pementasan ketoprak yang diselenggarakan. Pengembangan selanjutnya adalah memilah jenis ketoprak berdasar tingkat kesulitan pemeranan dan disesuaikan dengan jenjang kelasnya. Siswa kelas X bermain peran dalam  ketoprak lesung, siswa kelas XI ketoprak ongkek, dan siswa kelas XII ketoprak pendapan.

Salah satu upaya lain pengembangan pembelajaran ketoprak terbaru adalah sineprak. Upaya ini dilakukan pada saat program praktik kerja lapangan berlangsung. Sineprak dirasa tepat karena prosesnya efektif dan sesuai dengan tuntutan pembelajaran di masa pandemi COVID-19 di mana tatap muka hanya boleh dilakukan secara terbatas. Selain itu, pendampingan yang diberikan oleh Tim Pengembangan Ketoprak DIY dalam praktik kerja lapangan juga menjadi faktor pendukung dipilihnya sineprak sebagai produk pengganti pementasan ketoprak panggung.

Proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik di mana perpaduan teknik pemeranan teater modern dan teater daerah dapat dilakukan. Teknik dan penghayatan peran model teater modern Barat disesuaikan dengan kebutuhan pemeranan dalam ketoprak sehingga terjadi sublimasi teknik pemeranan. Sublimasi ini terjadi pada saat proses pembelajaran bermain peran berlangsung di mana gaya pemeranan mesti menyesuaikan dengan kaidah pemeranan ketoprak. Meskipun demikian, penamaan teknik tetap mengacu pada istilah teater Barat sesuai dengan jabaran materi ajar dalam kurikulum. Hal ini mengakibatkan belum terjadinya pembakuan teknik penghayatan peran baru yang merupakan paduan dari teater modern dan ketoprak. Sementara untuk sineprak, teknik pemeranan di depan kamera yang menjadi tuntutan pembuatan film masih kurang diperhatikan. Validasi produk sineprak masih mengedepankan kejernihan gambar dan suara dan belum menyertakan elemen pemeranan dalam film, sehingga gaya bermain pemeran masih berorientasi pada pementasan panggung.  Oleh sebab itu, upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah perlu mengadopsi teknik pemeranan di depan kamera untuk produk yang bersifat filmis seperti sineprak.

 

REFERENSI

Achmad, Kasim. (2006). Mengenal teater tradisional di Indonesia. Dewan Kesenian Jakarta.

Alfirdaus, Moh. Mujib. (2018). Pengembangan model pembelajaran berorientasi teknik CS pada teater tradisi. Jurnal buana pendidikan, XIV(25).

Caine, Michael. (1997). Acing in film, an actor’s on movie talk. New York: Applause.

Creswell, John W. (2017). Research design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018). Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 06/D.D5/KK/2018 tentang Spektrum Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)

Haryanto, Ikhsan, Yusril, & Martarosa. (2020). Perancangan pertunjukan teater rambun pamenan dalam pola teater tradisional randai dengan pendekatan teater modern (well made play). Gora: Jurnal seni rupa, 9(2).

Hatley, Barbara. (2008). Javanese performance on an Indonesian stage contesting culture, embracing, change. Singapore: NUS Press.

Intarti, Retno Dwi. (2019). Pembelajaran teknik pemeranan bagi mahasiswa jurusan pedalangan. Wayang nusantara: Journal of puppetry3(1).

Lisbijanto, Herry. (2013). Ketoprak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lutters, Elizabeth. (2018). Kunci sukses menjadi aktor. Jakarta: Grasindo.

McTigue, Mary. (1992). Acting like a pro: Who's who, what's what, and the way things really work in the theatre. Ohio: Betterway Books.

Murdiyastomo, HY. Agus. (2019). Revitalisasi teater tradisional “ketoprak”. Mozaik: Jurnal ilmu-ilmu sosial dan humaniora10(1).

Murgiyanto, Sal, Bandem, J.M., Bandem, I.M. (1983). Seni teater daerah sebuah pengantar. Depdikbud, Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

Ninit, Alfianika. (2016). Metode penelitian pengajaran bahasa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.

Pane, Aprida & Dasopang, Muhammad Darwis. (2017). Belajar dan pembelajaran. Fitrah: Jurnal kajian ilmu-ilmu keislaman3(2), 333-352.

Powell, Michael. (2010). The acting bible: The complete resource for aspiring actors. New York: Quinted Publishing Limited.

Rendra. (2013). Seni drama untuk remaja. Jakarta: Pustaka Jaya.

Santosa, Eko, Dkk. (2008). Seni teater jilid 2 untuk sekolah menengah kejuruan. Dir. PSMK Depdiknas.

Setyosari, Punaji (2010). Metode penelitian pendidikan dan pengembangan. Jakarta: Kencana.

Stanislavski, Constantin. (2003). An actor prepares. London: Routledge.

Strauss, Anselm, & Corbin, Juliet. (2017). Dasar-dasar penelitian kualitatif: Tatalangkah dan teknik-teknik teoritisasi data. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jakob. (1993). Ikhtisar sejarah teater Barat. Bandung: Angkasa.

Sunhaji. (2014). Konsep manajemen kelas dan implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal kependidikan2(2), 30-46.

Suparman, M. Atwi. (2012). Desain instruksional modern: Panduan para pengajar dan inovator pendidikan. Jakarta: Erlangga.

 

Informan:

Ignatius Karyono, 55 tahun, Ketua Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul

Ardani, 58 tahun, Kepala Sekolah SMKN 1 Kasihan Bantul

Beni Susilo Wardoyo, 45 tahun, guru pemeranan

Mujiono Sugiharto, 67 tahun, narasumber ketoprak

Bondan Nusantara, 69 tahun, budayawan dan narasumber ketoprak

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar