Eko Santosa
(Artikel dimuat di Jurnal Sendikraf, Vol. 2, No. 2 November 2021. Dalam unggahan ini abstrak tidak disertakan)
PENDAHULUAN
Pendidikan
teater di sekolah menengah kejuruan memberikan bekal kecakapan kepada peserta
didik yang dapat digunakan untuk berkarya di dunia kerja. Oleh karena itu,
hal-hal terkait keterampilan berteater diajarkan. Banyak bidang pekerjaan yang
dapat digeluti secara profesional oleh seseorang yang ingin belajar berteater.
Bidang-bidang tersebut di antaranya adalah pemeranan, tata artistik,
penyutradaraan, penulisan naskah, dan manajemen produksi pementasan. Sekolah
menengah kejuruan seni teater, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 06/D.D5/KK/2018
tentang Spektrum Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), berada di bawah bidang
keahlian seni pertunjukan. Berdasar aturan tersebut, seni teater merupakan
program keahlian yang memiliki paket kompetensi keahlian berupa pemeranan dan
tata artistik. Dengan demikian, sekolah menengah kejuruan seni teater dapat
menyelenggarakan pendidikan untuk bidang pekerjaan pemeranan (akting) maupun
tata artistik.
Program
Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul melatihkan satu paket kompetensi
keahlian yaitu, pemeranan. Berkait dengan visi sekolah yang berfokus pada
pelestarian dan pengembangan budaya di bidang seni pertunjukan, maka pemeranan
teater daerah dan teater modern diajarkan. Pemeranan teater daerah merupakan
wujud pelestarian budaya, sementara teater modern sebagai wujud pengembangan
budaya. Subjek teater daerah dan modern memiliki pengaruh kuat pada
pembelajaran pemeranan karena gaya pemeranan bersesuaian dengan gaya pementasan
yang ditentukan. Pementasan teater daerah disajikan melalui gaya pemeranan
teater daerah, demikian pula sebaliknya teater modern.
Pilihan
istilah teater daerah, dalam hal ini semakna dengan teater tradisional.
Beberapa tokoh seni pertunjukan menggunakan istilah teater daerah untuk mewadahi
seni pertunjukan khas satu daerah termasuk di dalamnya seni tradisional dan
seni bentukan baru. Sedangkan tokoh lain lebih memilih istilah teater
tradisional untuk menyebut teater yang tumbuh dan berkembang di daerah
tertentu. Murgiyanto, Dkk. (1983), menjelaskan bahwa teater daerah merupakan seni pertunjukan teater yang berkembang dan memiliki
ciri-ciri khas suatu daerah tertentu.
Sementara itu, Achmad (2006), menjelaskan bahwa teater tradisional adalah teater dalam suatu
masyarakat etnik tertentu yang mengikuti tata cara, tingkah laku dan cara
berkesenian mengikuti tradisi, ajaran turun-temurun dari nenek moyangnya, sesuai dengan budaya lingkungan yang
dianutnya. Dengan demikian, teater
daerah dan teater tradisional dapat dimaknai sebagai teater yang berkembang
dalam budaya masyarakat tertentu. Oleh karena SMKN 1 Kasihan Bantul berada di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka teater daerah yang berkembang di
masyarakat Yogyakartalah yang diajarkan. Dalam hal ini, ketoprak dipilih
menjadi subjek pokok pembelajaran.
Ketoprak sebagai seni teater daerah
memiliki perjalanan sejarah panjang. Pada awalnya, ketoprak lahir di Surakarta,
namun justru berkembang pesat di Yogyakarta dan mendapat label Ketoprak Mataram
(Murdiyastomo, 2019). Sampai saat ini eksistensi kesenian ketoprak di
Yogyakarta masih terjaga. Hatley (2008), mencatat bahwa ketoprak
yang sebenarnya berasal dari tontonan kampung, memiliki kekuatan tersendiri di
dalam pertunjukannya. Kekuatan tersebut mampu memberikan perubahan budaya
masyarakat di mana ketoprak tersebut tumbuh. Karena itulah, bukan merupakan hal
yang aneh ketika pada satu masa, ketoprak menjadi milik masyarakat di mana hampir
setiap kampung memiliki grup dan mementaskannya. Di dalam perkembangannya, banyak kelompok ketoprak dilahirkan dan
menjadi acuan pada masanya mulai dari Ketoprak Wreksodiningrat (1908-1925),
Ketoprak Wreksatama (1925-1927), Ketoprak Krida Madya Utama (1927-1930),
Ketoprak Gardanela (1930-1955) hingga munculnya ketoprak modern, gaya baru, dan
sampai ketoprak saat ini (Lisbijanto, 2013). Selain dari nama kelompok,
ketoprak juga berkembang sesuai bentuk penyajiannya seperti ketoprak lesung,
ketoprak dengan iringan kendang, seruling, dan rebana, serta ketoprak gamelan
(Murdiyastomo, 2019). Pementasan ketoprak dapat diselenggarakan di panggung
dalam bentuk pendapa, teater arena, lapangan, halaman rumah, atau prosenium.
Dalam hal pemeranan, ketoprak memiliki kekhususan
terkait adat istiadat dan budaya. Seorang pemeran mesti memahami tingkatan
bahasa Jawa dalam dialog dan bagaimana gerak dan sikap tubuh mesti dilakukan
untuk situasi dan kondisi tertentu saat bermain peran dalam ketoprak. Selain itu, aspek lain
terkait nilai budaya yang mendukung penghayatan peran sesuai dengan tokoh juga
mesti dipahami. Hal ini dikarenakan, seorang
pemeran diwajibkan untuk menghidupkan gambaran tokoh yang diperankannya seutuh
mungkin melalui gerakan jasmani dan suaranya (Rendra, 2013). Gambaran utuh tokoh ini tidak bisa
dihafalkan, dalam artian, penghayatan untuk tokoh satu berbeda dengan tokoh
lain dan pemeran mesti bisa memainkan tokoh yang berbeda-beda tersebut. Di
dalam ketoprak, perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain sangat dipengaruhi
lingkungan budaya di mana tokoh tersebut tumbuh sehingga teknik penghayatan
peran yang diajarkan bisa menjadi kompleks. Oleh karena itu, untuk mencapai
kualitas pemeranan yang baik, upaya pengembangan
pembelajaran pemeranan ketoprak harus
dilakukan.
Pengembangan pembelajaran di dalam
pendidikan dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Pengembangan
menurut Seels dan Richey merupakan proses penerjemahan atau menjabarkan
spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik (Setyosari, 2010). Oleh karena itu,
proses kegiatan mesti dilakukan secara sistematis mulai dari tahap merancang
hingga diwujudkan ke dalam bentuk fisik melalui prosedur tertentu sehingga
dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna (Ninit, 2016). Sementara itu, pembelajaran adalah suatu
usaha untuk membuat siswa belajar, sehingga situasi tersebut merupakan sebuah
peristiwa belajar atau usaha untuk terjadinya perubahan tingkah laku dari siswa
(Sunhaji, 2014). Perubahan tingkah
laku terjadi karena adanya interaksi dua arah dari pendidik dan peserta didik, di antara
keduanya terjadi komunikasi yang terarah menuju kepada target yang telah
ditetapkan (Pane & Dasopang, 2017). Dengan demikian, pengembangan
pembelajaran merupakan cara sistematik
untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi satu set bahan dan
strategi belajar dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Reigeluth (1983), mengungkapkan
bahwa pengembangan pembelajaran dilakukan melalui kegiatan perancangan,
produksi, dan validasi (Suparman, 2012). Tiga kegiatan Riegeluth ini mesti
dilakukan oleh Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul dalam upaya
pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah, ketoprak.
Satu hal menarik dan perlu mendapatkan
perhatian adalah belum banyaknya penelitian tentang pemeranan teater daerah,
baik itu dalam hal konsep, teknik, gaya maupun pembelajaran. Di antara sedikit
penelitian mengenai pemeranan teater daerah adalah penelitian yang dilakukan
Alfirdaus (2018), “Pengembangan Model Pembelajaran Berorientasi Teknik CS pada
Teater Tradisi”. Penelitian ini berfokus pada orientasi teknik pemeranan dan
bukan pada pemeranannya. Dalam hal ini orientasi pemeranan teater daerah
diarahkan pada teknik pemeranan Stanislavski. Berikutnya, penelitian
Intarti (2019), “Pembelajaran Teknik Pemeranan Bagi Mahasiswa Jurusan
Pedalangan”. Fokus penelitian ini adalah pentingnya modal dasar pemeranan dan kemampuan untuk
menguasai teknik dasar pemeranan bagi
mahasiswa pedalangan. Sementara teknik pemeranan yang diacu adalah teknik
pemeranan teater modern. Penelitian lain dilakukan oleh Haryanto, Yusril, dan
Martarosa (2020), “Perancangan Pertunjukan Teater Rambun Pamenan Dalam Pola Teater Tradisional
Randai Dengan Pendekatan Teater Modern (Well Made Play)”. Tujuan
penelitian adalah untuk menggarap randai dengan mengadaptasi konsep teater
modern. Pola yang digunakan dalam garapan ini adalah pola randai, tetapi untuk
aktingnya menggunakan pemeranan gaya realis yang bersumber pada Bolelavski.
Ketiga penelitian tersebut memiliki kesamaan dalam
hal keterhubungan pemeranan teater derah dan modern, di mana teater daerah
mesti merujuk pada konsep teater modern. Ketiganya menekankan pentingnya penggunaan teknik
pemeranan teater modern dalam pementasan teater daerah. Dengan demikian, teknik pemeranan teater
modern justru dijadikan justifikasi sehingga pada akhirnya teknik pemeranan
teater daerah lesap di dalamnya. Selain itu, ketiga penelitian tersebut tidak
membahas upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah hingga
sampai ditemukannya formulasi teknik pemeranan
yang tepat untuk diterapkan secara berkelanjutan.
Beranjak
dari kebutuhan menemukan dan mencatat teknik pemeranan teater daerah,
penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan latar pemikiran dipilihnya
ketoprak sebagai materi pokok pembelajaran pemeranan teater daerah pada Program
Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul dan upaya pengembangan pembelajarannya.
Penentuan ketoprak sebagai materi pokok pembelajaran pemeranan oleh SMKN 1
Kasihan Bantul sangat menarik diungkapkan. Hal ini dikarenakan jenis teater
daerah yang berkembang di Yogyakarta tidak hanya ketoprak saja. Selain itu,
pengajaran ketoprak secara umum adalah mimesis di mana para pemeran muda
menirukan cara bermain ketoprak para pemeran senior. Ini merupakan satu hal
yang dianggap wajar dalam khasanah teater daerah di Indonesia. Proses
pembelajaran mimesis dan turun-temurun ini tentunya memerlukan waktu yang tidak
sebentar di mana pemeran muda mesti mengikuti setiap produksi pementasan yang
ada agar bisa terampil. Sementara itu, di dalam pelaksanaan pembelajaran di
sekolah yang terbatas oleh waktu belajar dan kesempatan berproduksi tentu saja
metode mimesis tidak bisa serta merta diberikan. Oleh karena itu diperlukan
usaha pengembangan pembelajaran untuk memformulasikan teknik pemeranan ketoprak
sehingga dapat diajarkan secara terstruktur menyesuaikan tata aturan kurikulum
yang berlaku.
Selanjutnya
adalah proses yang mesti dilalui sehingga terciptanya sebuah produk yang
tervalidasi sesuai dengan rancangannya. Proses produksi ketoprak dalam kegiatan
belajar mengajar yang dilakukan akan menjawab apakah teknik pemeranan teater
daerah yang bersifat kultural cukup mewadahi ataukah diperlukan upaya lain agar
siswa mampu berperan dengan lebih baik. Jika teknik pemeranan ketoprak dianggap
cukup, maka teknik-teknik tersebut dapat dibakukan. Namun jika masih diperlukan
teknik pemeranan lain di luar ketoprak, maka formulasinya menjadi penting untuk
dicatat sehingga dapat diterapkan secara berkelanjutan. Kedua jawaban tersebut
sangat penting dan diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi pembelajaran
pemeranan teater daerah khususnya ketoprak dan membuka kemungkinan untuk
diadopsi dalam pemeranan teater daerah yang lain.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode ini digunakan untuk mengungkap dan memahami fenomena yang
belum banyak terungkap serta kemungkinannya untuk memperoleh wawasan baru
terkait objek yang diteliti (Strauss & Corbin, 2017). Lebih sederhana,
Creswell (2017), mengungkapkan bahwa di dalam metode penelitian kualitatif,
peneliti berusaha untuk memahami bagaimana sesuatu terjadi, kemudian melakukan
analisis menggunakan teori-teori berdasarkan data empiris yang diperoleh di
lapangan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2021 sampai
dengan Oktober 2021. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui catatan
lapangan, hasil wawancara, dan dokumentasi karya. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui studi dokumentasi, observasi, dan wawancara. Validitas data
dilakukan melalui triangulasi sumber data dan teknik pengumpulan data. Analisis
data dilakukan melalui tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data,
dan verifikasi.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi
karya pementasan ketoprak yang mulai dilakukan pada awal bulan Agustus 2021.
Selanjutnya dilakukan observasi pembelajaran pemeranan teater daerah pada bulan
September 2021 sampai dengan Oktober 2021. Pada dua kegiatan ini dilakukan
identifikasi dan pencatatan ciri-ciri pemeranan teater daerah serta
persinggungannya dengan teknik pemeranan teater modern. Selain itu, gaya
penyajian secara menyeluruh menjadi catatan dukungan karena sifat teater daerah
tidak bisa dipisahkan antara bentuk sajian dengan teknik pemeranan para
pemeran.
Wawancara sebagai tahap kegiatan berikutnya dalam
penelitian ini dilakukan secara sederhana, tidak terstruktur, tidak formal, dan
berlangsung secara tatap muka. Pertanyaan tidak terstruktur digunakan untuk
menggali lebih dalam informasi dan penggunaan bahasa tidak formal dimaksudkan
agar informasi dapat mengalir tanpa hambatan. Pada penelitian ini wawancara
dilakukan terhadap Bapak Ignatius Karyono selaku ketua program keahlian seni
teater dan guru pemeranan, Bapak Ardani selaku kepala sekolah, Bapak Beni Susilo Wardoyo selaku guru
pemeranan, serta narasumber ketoprak sekaligus guru pendamping proses yaitu,
Bapak Bondan Nusantara dan Bapak Mujiono Sugiharto. Wawancara tidak dilakukan
satu kali waktu karena untuk kepentingan pendalaman dan keabsahan diperlukan
wawancara tambahan.
Kegiatan analisis diawali dengan membuat transkripsi
wawancara, catatan pengamatan, studi
dokumen, dan mempersandingkan ketiganya sesuai dengan subjek penelitian.
Berikutnya pemilahan ciri-ciri karya dan teknik pemeranan dilakukan berdasar
catatan pengamatan mengacu pada teori pemeranan teater modern. Acuan yang
digunakan adalah klasifikasi teater dan pemeranan McTigue (1992), yang membagi
gaya pementasan teater berkait teknik pemeranan ke dalam teater presentasional,
representasional (realis) dan pasca realis. Selain itu, catatan Sumardjo (1993)
mengenai spesifikasi gaya pementasan teater dalam sejarah perkembangan teater
Barat menjadi rujukan. Teori pemeranan teater modern digunakan sebagai acuan
karena langkanya tulisan mengenai teknik pemeranan teater daerah. Setelah itu, hasil
analisis disandingkan dan dilengkapi dengan transkrip wawancara. Tujuannya
adalah memberikan kejelasan gambaran pengembangan pembelajaran pemeranan teater
daerah yang telah dilakukan melalui ketoprak.
HASIL
PENELITIAN DAN DISKUSI
Konten kurikulum program keahlian seni teater,
kompetensi keahlian pemeranan SMKN 1 Kasihan Bantul memberikan bekal kecapakan
pada siswa dalam bermain peran teater modern dan teater daerah. Pengembangan
pembelajaran pemeranan teater modern mengacu pada bentuk dan gaya pementasan
yang ada dan diakui (referensial). Sementara itu, di dalam pemeranan teater
daerah, produk pembelajaraannya adalah ketoprak. Teknik dan gaya pemeranan
mengacu pada bentuk dan gaya pementasan ketoprak. Latar penentuan ketoprak
serta upaya pengembangan pembelajaran pemeranannya diuraikan sebagai berikut.
Latar
Belakang Pemilihan Ketoprak
Visi
SMKN 1 Kasihan Bantul adalah terwujudnya sekolah manggala budaya yang mandiri,
kreatif, dan inovatif. Manggala budaya dimaknai sebagai satria pengemban,
pelestari, dan pengembang seni budaya berlandaskan iman dan takwa. Berkait
dengan visi tersebut, teater daerah sebagai bagian dari seni budaya Indonesia
diajarkan di Program Keahlian Seni Teater. Dari sejumlah teater daerah yang
berkembang di Yogyakarta, ketoprak dipilih menjadi materi pokok. Dengan
demikian semua siswa mendapatkan pelatihan kompetensi pemeranan ketoprak mulai
dari kelas X sampai kelas XII.
Alasan
utama pemilihan ketoprak selain untuk melestarikan dan mengembangkan seni
budaya adalah popularitas dan eksistensi ketoprak yang masih terjaga dengan
baik. Hal ini berkaitan dengan sejarah berdirinya SMKN
I Kasihan Bantul yang dahulu bernama SMKI di mana basis seninya adalah seni
tradisional. Ardani selaku Kepala Sekolah menjelaskan bahwa seni pertunjukan tradisional
gaya Yogyakarta menjadi pilihan sekaligus materi pokok untuk diajarkan di semua
program keahlian. Pada program keahlian seni teater, Ketoprak gaya Yogyakarta
menjadi pilihan. Namun demikian, ketoprak yang diajarkan mesti disesuaikan
dengan kebutuhan zaman dan di Yogyakarta sampai saat ini kesenian ketoprak
masih eksis dan digemari.
Karyono
menambahkan, bahwa dibanding jenis teater daerah lain seperti wayang wong dan
srandul, ketoprak lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan usaha para
seniman ketoprak tidak pernah berhenti dalam mengembangkan seni ketoprak.
Banyak produk yang telah dihasilkan dan semuanya mendapatkan sambutan
masyarakat. Selain itu, semua hal terkait keterampilan pemeranan dapat
ditemukan di dalam ketoprak. Seorang pemeran ketoprak dapat memiliki
keterampilan nembang (bernyanyi), laga, dialog, dan menari di mana semua
hal tersebut disajikan dalam adegan-adegan. Sementara itu, Sugiharto menegaskan,
bahwa ketoprak dapat digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa yang
merupakan bagian penting penghayatan peran dalam ketoprak. Melalui ketoprak,
siswa dapat memahami nilai budaya Jawa secara tak langsung karena telah menyatu
di dalam peran yang dimainkan.
Untuk
keperluan mengajarkan pemeranan teater daerah sekaligus nilai budaya Jawa
tersebut, SMKN 1 Kasihan Bantul mendatangkan narasumber ketoprak yang juga
bertindak sebagai guru pendamping. Menurut Ardani, hal ini merupakan keharusan
karena pementasan ketoprak tidak bisa dilakukan tanpa memahami konvensi
dasarnya. Oleh karena itu, kehadiran narasumber ketoprak yang sudah mendapatkan
pengakuan luas masyarakat menjadi jaminan bahwa usaha pengembangan seni teater
berbasis budaya dalam pembelajaran yang dilakukan tepat sasaran.
Program
Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul memerlukan strategi khusus dalam melaksanakan
pembelajaran pemeranan teater daerah. Meskipun ketoprak memiliki konsep
penghayatan peran dan keterampilan pemeranan yang lengkap, namun penjabaran
teknis pembelajarannya sangat langka. Di sisi lain, pembelajaran di sekolah tidak mungkin
menerapkan model mimesis sebagaimana halnya kultur ketoprak karena jumlah jam
pertemuan terbatas. Oleh karena itu, diperlukan formulasi pembelajaran pemeranan
seturut gaya bermain peran dalam ketoprak yang dapat diterapkan secara
kurikuler. Selanjutnya, formulasi tersebut dapat diaplikasikan dalam setiap proses
produksi ketoprak yang ditentukan.
Formulasi
pembelajaran pemeranan ketoprak yang dilakukan oleh Program Keahlian Seni
Teater SMKN 1 Kasihan Bantul adalah memadukan dua mata pelajaran yaitu, Teknik
Penghayatan Peran dan Bermain Peran. Di dalam mata pelajaran Teknik Penghayatan
Peran, siswa diberi dasar teknik pemeranan teater modern model Rendra serta
dasar penghayatan peran Stanislavski. Selanjutnya, pada mata pelajaran Bermain
Peran semua dasar teknik pemeranan dan penghayatan peran diterapkan sesuai
lakon ketoprak yang dimainkan.
Pada
tahap ini, teknik penghayatan peran menyesuaikan tuntutan pemeranan ketoprak.
Misalnya, di dalam pelatihan teknik muncul siswa diberi bekal cara masuk dan
keluar pangung secara artistik, maka ketika bermain peran teknik ini mesti
dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat Jawa. Pemeran masuk dengan lampah
dodok (jalan jongkok) kemudian sembahan (menghormat) atau dengan
jalan biasa namun mengedepankan torso. Hal yang sama juga berlaku pada konsep
dasar penghayatan peran di mana imajinasi peran yang telah dilatihkan mesti
disesuaikan dengan lingkungan budaya peran tersebut.
Formulasi
pembelajaran yang merupakan paduan antara teater modern Barat dan ketoprak ini
sampai saat ini berjalan efektif. Nusantara menjelaskan bahwa semua yang ada
dalam pemeranan teater modern itu ada di dalam ketoprak, namun ketoprak tidak
memiliki jabaran teknik pemeranan tertentu. Jika pun ada itu hanya bagian kecil
saja seperti angon tinon (teknik timing) dan greget saut
(teknik aksi-reaksi dalam dialog), dan itu pun tidak ada pola pelatihannya.
Jadi, teknik pemeranan teater modern lebih lengkap penjabaran dan cara
melatihkannya.
Secara
umum, teknik pemeranan ketoprak yang diajarkan meliputi gerak sembahan
(cara memberi hormat), kepada siapa memberi hormat, lampahan (cara
berjalan), unggah-ungguh basa (tata cara berbahasa) dan wicara yang di
dalamnya termasuk angon tinon dan greget saut. Sementara itu
teknik pemeranan teater modern yang diajarkan terdiri dari; 1) teknik muncul,
2) teknik memberi isi, 3) teknik pengembangan, 4) teknik membina puncak-puncak,
5) teknik timing, 6) teknik penonjolan, 7) teknik pengulangan, dan 9)
teknik improvisasi (Santosa, Dkk., 2008). Adopsi dan sublimasi teknik pemeranan
teater modern ke dalam teknik pemeranan ketoprak harus dilakukan karena tata
cara dan tahap pengajaran teknik pemeranan teater modern dapat digunakan untuk
menjelaskan teknik pemeranan yang diperlukan dalam ketoprak.
Pada
sisi pengahayatan peran, Wardoyo menjelaskan bahwa penerapan konsep
Stanislavski dalam penghayatan peran dilakukan semata karena tahap latihan
penghayatan peran dalam ketoprak belum ada formulasinya. Semua masih berdasar
rasa artistik pelatih atas pantas-tidaknya lakuan pemeran dalam adegan. Secara
umum konsep penghayatan peran di dalam ketoprak terangkum melalui solah bawa
(perilaku peran) yang memuat sifat gendhung (berani/yakin),
gendhing (luwes), gendheng (totalitas), dan gendhéng (mengayomi/patut).
Namun tahapan pelatihan dari masing-masing sifat atau keseluruhan perilaku tak
terjabarkan. Sementara itu, sistem Stanislavski mengajarkan dengan baik
langkah-langkah atau mindset (tata pikir) penghayatan peran yang di
antaranya terdiri dari; 1) konsentrasi, 2) imajinasi, 3) memori afektif, 4) magic
if (pengandaian), dan 5) motif penjiwaan (Stanislavski, 2003). Pemaduan
teknik penghayatan peran model Stanislavski dengan solah bawa dalam
ketoprak dilakukan untuk memberikan kemudahan dalam menjelaskan dan
mempraktikkan tahap-tahap penghayatan peran.
Pemaduan
teknik pemeranan teater modern dan ketoprak secara praktis dilakukan selama
proses pembelajaran bermain peran. Sampai saat ini belum ada upaya untuk
membakukan hasil pemaduan tersebut menjadi teknik tersendiri. Dengan demikian,
secara mendasar dan terpisah siswa diajari teknik dasar penghayatan peran
teater modern baru kemudian disesuaikan dengan tuntutan atau aturan dalam
ketoprak. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan formulasi teknik penghayatan
peran sebagai hasil pemaduan teater modern dan ketoprak mesti dilakukan agar
sejak mata pelajaran Teknik Penghayatan Peran siswa sudah dilatih teknik hasil
paduan antara teater modern dan ketoprak. Hasil pelatihan tersebut kemudian
diterapkan dalam mata pelajaran Bermain Peran.
Pada
saat pemaduan teknik dan penghayatan peran teater modern dan ketoprak terjadi dalam
pembelajaran bermain peran, maka materi ajarnya harus terkoneksi. Artinya, apa
yang diajarkan dalam teknik dan penghayatan peran dapat diterapkan sekaligus
mengalami penyesuaian secara pantas pada saat bermain peran dalam ketoprak.
Untuk hal ini Karyono menjelaskan bahwa memang materi-materi yang diajarkan
dalam teknik pengayatan peran disesuaikan dengan teknik pemeranan yang
diperlukan dalam bermain ketoprak. Oleh karena itu rencana pembelajaran justru
dimulai dari mata pelajaran Bermain Peran. Sebab jika tidak demikian, maka akan
terjadi teknik penghayatan peran yang telah diajarkan tidak digunakan pada saat
bermain peran.
Karyono
menambahkan, strategi dalam perencanaan pembelajaran tersebut dilakukan karena
pada mulanya tidak ada koneksi antara mata pelajaran Teknik Penghayatan Peran
dan Bermain Peran. Semua hal terkait pemeranan ketoprak diberikan sekaligus
pada saat berlangsungnya mata pelajaran Bermain Peran. Hal ini dinilai kurang
menguntungkan bagi siswa karena teknik penghayatan peran yang telah diajarkan
tidak bisa diterapkan. Berdasarkan pengalaman tersebut, guru pemeranan dan
narasumber ketoprak mulai merancang pengembangan pembelajaran bermain peran
berupa pemilahan produk ketoprak sesuai jenjang kelas. Produk ketoprak yang
dihasilkan adalah pementasan ketoprak panggung
dan sinematografi ketoprak.
2. Pementasan
Ketoprak Panggung
Produk
pementasan ketoprak panggung ditentukan per jenjang kelas berdasarkan tingkat
kesulitan dalam kaitannya dengan teknik pemeranan dan penghayatan peran.
Berdasarkan studi dan diskusi yang dilakukan antara Ketua Program Keahlian Seni
Teater dengan narasumber ketoprak, maka ditentukan 3 (tiga) bentuk ketoprak untuk
diajarkan, yaitu ketoprak lesung untuk
kelas X, ketoprak ongkek untuk kelas XI, dan ketoprak pendapan untuk kelas XII.
Dengan demikian, materi pelajaran teknik penghayatan peran disesuaikan dengan
yang dibutuhkan dalam ketiga bentuk ketoprak tersebut.
Ketoprak
lesung ditengarai sebagai bentuk awal lahirnya ketoprak di mana instrumen musik
yang digunakan hanyalah penumbuk padi. Cerita yang ditampilkan sangat
sederhana, kejadian sehari-hari, terdapat guyon (lelucon) dengan tokoh
tetap. Bentuk ini sekilas mirip dengan commedia dell’arte, teater yang
berkembang di Italia pada zaman Renaissance di mana tokoh tertentu
tampil secara tetap dan ceritanya mengandung kelucuan dan kisah cinta
(Sumardjo, 1993). Namun dalam perkembangannya, ketoprak lesung bisa menampilkan
tokoh siapa saja sementara commedia dell’arte terus mempertahankan tokoh
tetap.
Di
dalam proses pembelajaran, Karyono menjelaskan bahwa ketoprak lesung diberikan
untuk siswa kelas X dalam pelajaran Dasar Pemeranan materi pemeranan teater
daerah. Karena sifatnya yang dasar, maka bentuk ketoprak lesung dianggap tepat.
Selain kecakapan berdialog, siswa diajar untuk nembang (bernyanyi),
membuat musik iringan dengan lesung, serta menari dengan ragam gerak rakyat dan
gerak bangsawan yang menjadi ciri khas pertunjukan ketoprak lesung. Cerita yang
ditampilkan adalah cerita rakyat. Teknik pemeranan yang dilatihkan adalah
teknik muncul dengan menari dan menyanyi sesuai konvensi ketoprak lesung.
Validasi produk dilakukan berdasar parameter pertunjukan di mana cerita dapat
mengalir dengan lancar, pemain tidak mengalami hambatan dalam berdialog, dan
tarian serta iringan musik berjalan sesuai kebutuhan adegan.
Sementara
itu, ketoprak ongkek yang diajarkan kepada siswa kelas XI berakar dari sejarah
ketoprak yang dipentaskan secara berkeliling. Sugiharto menjelaskan bahwa kata
“ongkek” memiliki arti tempat untuk membawa alat musik (gamelan) berkeliling.
Selain itu, “ongkek” juga digunakan untuk gaya tarian yang dilakukan pemeran
ketika muncul dalam adegan dengan meliuk-liukkan tubuh dari pinggang ke atas
sesuai irama musik pengiring. Bentuk pementasan teater keliling ini mirip
dengan teater Cycle zaman Abad Pertengahan di mana para pemeran teater
keliling dari kompleks ke kompleks untuk menggelar pertunjukan (Sumardjo,
1993). Perbedaan mendasar adalah cara berkeliling dan berpentas di mana teater
ongkek tidak menggunakan mobil (kereta kuda) yang sekaligus adalah panggung.
Di
dalam proses pembelajarannya, ketoprak ongkek jelas tidak dipentaskan secara
berkeliling melainkan dilakukan di dalam studio. Alat musik yang digunakan
sebagai pengiring adalah instrumen gamelan yang terdiri dari saron, peking,
kendang, gong, dan kempul. Sama seperti proses ketoprak lesung, dalam
pembelajaran ketoprak ongkek siswa juga dilatih untuk memainkan alat-alat musik
tersebut. Cerita yang ditampilkan bertema kerakyatan dengan balutan humor namun
dengan struktur dramatik yang lebih kompleks. Pada sisi cerita ini, ketoprak
ongkek berbeda dengan Cycle. Tujuan cerita Cycle adalah untuk
menyebarkan agama sementara ketoprak ongkek untuk mendekatkan ketoprak kepada
masyarakat.
Formulasi
paduan mata pelajaran Teknik Penghayatan Peran dan Bermain Peran mulai berlaku
pada produk teater ongkek. Selain pendalaman teknik muncul siswa kelas XI
diberi materi pelatihan berupa teknik irama dan teknik pengulangan. Ketiga
teknik ini kemudian disesuaikan dengan kebutuhan adegan per adegan dalam ketoprak
ongkek. Validasi produk tidak jauh berbeda dengan ketoprak lesung namun dari
sisi pemeranan lebih kompleks di mana teknik muncul, irama, dan pengulangan
masuk ke dalam aspek penilaian.
Validasi
produk paling kompleks adalah ketoprak pendapan yang mesti dimainkan oleh siswa
kelas XII. Pada produk ini aspek penilaian, sebelum produk dipentaskan,
meliputi eksplorasi pikiran dan emosi
peran, teknik memberi isi, timing, pengembangan, improvisasi hingga penggunaan
peranti dalam bermain peran. Aspek-aspek dalam validasi produk pembelajaran ini
berkait erat dengan ketoprak pendapan yang memiliki struktur pertunjukan paling
lengkap sehingga membutuhkan keterampilan bermain peran yang lebih.
Sugiharto
menjelaskan bahwa ketoprak pendapan lahir karena adanya ketertarikan para
bangsawan terhadap seni ketoprak sehingga mereka mengelola sebuah grup dan
mengusungnya untuk dipentaskan di pendapa. Nusantara menambahkan bahwa pada
mulanya struktur pertunjukan masih sederhana namun lama-kelamaan, struktur
pertunjukann yang lengkap sebagaimana halnya struktur pertunjukan wayang kulit
mulai diterapkan. Dengan struktur yang lengkap, maka segala adegan mungkin
untuk ditampilkan seperti adegan pertemuan resmi di keraton, adegan laga, gandrung
(adegan percintaan), adegan pedesaan, dan lawakan. Penggunaan jenis-jenis
adegan tersebut kemudian sangat tergantung lakon dan penyutradaraannya.
Di
dalam proses pembelajarannya semua teknik pemeranan yang dibutuhkan dalam bermain
ketoprak diajarkan termasuk di dalamnya adat-istiadat sesuai tuntutan lakon.
Meski demikian, dalam beberapa produksi, ketoprak pendapan tidak harus
menampilkan jenis-jenis adegan secara utuh dalam satu lakon. Hal ini sangat
tergantung dari ketersediaan waktu dan target pembelajaran yang ditetapkan. Karyono
dan Wardoyo menjelaskan bahwa penentuan lakon dilakukan berdasarkan rekaman
kemampuan siswa pada saat mereka kelas XI dan memproduksi ketoprak ongkek. Oleh
karena itu, lakon ketoprak pendapan ditulis berdasarkan jumlah dan kondisi
siswa.
Ketoprak
pendapan dengan struktur pertunjukan dan dramatika yang lengkap dapat
disejajarkan dengan teater presentasional zaman Elizabeth di Inggris. Pada
periode ini semua jenis adegan dieksplorasi dengan latar cerita tentang
kerajaan (Sumardjo, 1993). Sementara sebagai teater presentasional, ketoprak
pendapan telah memenuhi unsur gaya yang ada dengan prinsip bahwa pementasan
teater adalah sebuah persembahan bagi siapa saja yang menontonnya sehingga
aspek artistik tampilan termasuk gaya berbahasa menjadi sangat penting
(McTigue, 1992). Melalui ketoprak pendapan, siswa kelas XII diharapkan dapat
memiliki keterampilan bermain ketoprak secara utuh. Namun, harapan yang menjadi
tujuan pembelajaran seringkali mesti berhadapan dengan keadaan menyangkut
sumber daya, waktu, dan sarana pendukung.
Penulisan
lakon yang disesuaikan dengan kemampuan siswa menandakan bahwa tidak setiap
tahun, ketoprak pendapan dapat dipentaskan dengan struktur yang lengkap. Untuk
itu diperlukan usaha yang lebih keras dalam pengembangan pembelajaran. Bentuk
ketoprak yang ditampilkan bisa dikaji ulang agar gradasi dalam teknik
pemeranannya bisa lebih jelas atau penentuan lakonnya mulai dipetakan sejak
awal tahun pembelajaran. Bisa pula materi pelatihan terkait teknik pemeranan
ketoprak lebih diperdalam. Bisa juga model pembelajaran atau penjadwalan antar
mata pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga sejak awal orientasi
pementaskan ketoprak dilakukan. Pelajaran pemeranan memang tidak hanya
menyangkut teknik, penghayatan, dan bermain peran, namun juga menyangkut dasar
pemeranan seperti olah tubuh dan suara. Hal semacam ini senantiasa harus
dilakukan meskipun pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah melalui
ketoprak sudah dapat dikatakan berjalan baik.
3. Sinematografi
Ketoprak
Pada tanggal 1 Maret 2021 sampai dengan 15
Mei 2021, Tim Pengembangan Ketoprak Daerah Istimewa Yogyakarta (TPK-DIY)
mendampingi proses pembelajaran ketoprak di SMKN 1 Kasihan Bantul dalam praktik
kerja lapangan. Namun karena pandemi COVID-19 yang membatasi pertemuan tatap
muka, program tidak dapat berjalan sesuai rencana. Atas kondisi
ini TPK-DIY, menawarkan sinematografi ketoprak sebagai produk pembelajaran. Sinematografi ketoprak atau sineprak adalah
ketoprak yang dibuat dalam format film seri dan ditayangkan di YouTube. Program
ini diinisasi dan dikembangkan oleh TPK-DIY pada tahun 2019 untuk melestarikan
seni ketoprak pada generasi muda termasuk di dalamnya ketoprak pelajar.
Sebagai karya film (sinema), sineprak tidak
memerlukan banyak tatap muka dan latihan serta pengambilan gambar (syuting) dapat
dilakukan adegan per adegan. Berkait dengan waktu, durasi tayang setiap seri
tidak lebih dari 20 menit. Oleh karena itu, siswa lebih banyak memiliki
kemudahan karena selain sistem produksi tidak memerlukan proses latihan tatap
muka lama, juga sifat pembuatan sinema yang dapat mensyuting ulang adegan
ketika terjadi kekeliruan. Atas pertimbangan hal-hal teknis dan
kondisional, sineprak diterima dan direncanakan proses produksinya oleh Program
Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul sebagai produk pemeranan teater
daerah.
Produk
sineprak ini diterapkan bagi siswa XI (semester
genap) yang mengikuti praktik kerja lapangan dan mestinya berproduksi ketoprak ongkek.
Tetapi kemudian, sineprak juga diterapkan untuk siswa kelas XII (semester
genap) yang semestinya berproduksi ketoprak pendapan. Hal ini terjadi karena
efektifitas tatap muka proses produksi ketoprak mendukung proses pembelajaran
selama pandemi. Bahkan, selepas program pendampingan dalam praktik kerja
lapangan, sineprak tetap diproduksi karena pembatasan tatap muka dalam
pembelajaran masih terus diberlakukan. Produk yang telah
dihasilkan adalah sineprak berjudul Bandung Bondowoso yang dimainkan
oleh siswa kelas XII dan Ing suwalike Tembok Sekolah yang dimainkan oleh siswa kelas XI. Sementara produk yang masih
dalam proses pelatihan pada saat dilakukannya penelitian ini adalah Telasih dan
Rajapati yang dimainkan oleh siswa kelas XII (semester gasal).
Proses
produksi sineprak berjalan secara online dan tatap muka langsung. Tahap
penentuan naskah/lakon, membaca, dan menghafal dilakukan secara online.
Pada tahap ini guru membagi peran dan mengontrol bacaan (diksi, intonasi,
artikulasi, dan interpretasi) serta membimbing proses hafalan dialog. Pertemuan
tatap muka dilakukan pada saat latihan pengadeganan dan syuting. Dengan pola
pembelajaran seperti ini kesempatan guru mengajarkan teknik penghayatan peran
dan bermain peran hanya pada saat tatap muka. Oleh karena itu, teknik
penghayatan peran diberikan secara praktis sesuai peran dan adegan yang
dilakoni pemeran. Kemudian pada saat syuting, proses pembelajaran bermain peran
sekaligus dilakukan. Dengan proses seperti ini pembelajaran terkesan teknis
namun diakui dapat berjalan secara efektif. Tatap muka dua kali dalam seminggu
dirasakan cukup untuk menghasilkan satu seri sineprak.
Proses
sineprak tidak jauh berbeda dari proses pementasan ketoprak panggung karena
konsep dasarnya adalah pementasan yang difilmkan. Hal ini terlihat sekali dalam
Bandung Bondowoso. Lakon dengan cerita berlatar kerajaan dan jalinan
cinta kasih antara putri raja dan seorang prajurit ini disajikan dalam format
panggung. Namun untuk mengakomodasi teknik pengambilan gambar, pentas tidak
dilakukan secara running melainkan cut to cut. Jadi, lakon
ketoprak dirancang sedemikian rupa agar dapat dipentaskan dan disyuting adegan
per adegan.
Bandung Bondowoso yang secara tampilan dapat dikatakan
sebagai teater presentasional hampir kehilangan ciri khas ketopraknya karena
menggunakan bahasa Indonesia. Penampilan adegan demi adegan terasa lebih mirip
teater Shakespearean yang menggunakan bahasa puitis, mementingkan wicara,
soliloki, dan dialog sampingan (Sumardjo, 1993). Apalagi tata musik dikerjakan
pada saat editing di mana proses syuting sudah selesai. Ciri khas ketoprak
tersisa pada tata busana dan sikap sopan-santun dalam berbicara. Dalam hal
pengambilan gambar, teknik perfilman sudah digunakan di mana titik atau posisi
pemeran berdiri dan bergerak telah ditentukan dan mesti diikuti, sebagaimana
dikatakan oleh Powell (2010), agar tidak out of frame.
Validasi produk sineprak yang dilakukan dalam Bandung
Bondowoso dan Ing Suwalike Tembok Sekolah menggunakan parameter film
di mana kejernihan gambar dan suara menjadi aspek utama. Hal ini mengakibatkan
ciri khusus yang mesti dipertahankan dalam ketoprak seolah dikesampingkan seperti
bahasa dan ilustrasi musik gamelan. Kekurangan ini coba diperbaiki dalam
produksi Telasih dan Rajapati di mana ilustrasi musik gamelan
dihadirkan secara live, cerita istana sentris dengan perbedaan status
antara tokoh satu dengan yang lain dipertegas, serta penggunaan bahasa Jawa
bersesuaian dengan status tokoh, sehingga ciri khas ketoprak tetap
dipertahankan. Pemertahanan ciri khas ketoprak ini memang harus dilakukan
karena ketoprak berbeda dengan bentuk teater daerah lain. Oleh karena itu,
meskipun hasilnya berupa film, ciri khas ketoprak tidak bisa dihilangkan
apalagi ketika nama produk tersebut adalah sinematografi ketoprak.
SIMPULAN
Ketoprak
dipilih menjadi materi pokok pembelajaran pemeranan teater daerah pada Program
Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul selain karena popularitas dan
eksistensinya juga sebagai bagian integral dari pelestarian dan pengembangan
budaya dalam bidang seni teater. Upaya pengembangan pembelajaran pemeranan
teater daerah dilakukan dengan memadukan teknik penghayatan peran teater modern
dan gaya bermain peran dalam ketoprak. Paduan ini menjadi formula dalam setiap
produksi pementasan ketoprak yang diselenggarakan. Pengembangan selanjutnya
adalah memilah jenis ketoprak berdasar tingkat kesulitan pemeranan dan
disesuaikan dengan jenjang kelasnya. Siswa kelas X bermain peran dalam ketoprak lesung, siswa kelas XI ketoprak
ongkek, dan siswa kelas XII ketoprak pendapan.
Salah
satu upaya lain pengembangan pembelajaran ketoprak terbaru adalah sineprak. Upaya
ini dilakukan pada saat program praktik kerja lapangan berlangsung. Sineprak
dirasa tepat karena prosesnya efektif dan sesuai dengan tuntutan pembelajaran di
masa pandemi COVID-19 di mana tatap muka hanya boleh dilakukan secara terbatas.
Selain itu, pendampingan yang diberikan oleh Tim Pengembangan Ketoprak DIY
dalam praktik kerja lapangan juga menjadi faktor pendukung dipilihnya sineprak
sebagai produk pengganti pementasan ketoprak panggung.
Proses
pembelajaran dapat berjalan dengan baik di mana perpaduan teknik pemeranan
teater modern dan teater daerah dapat dilakukan. Teknik dan penghayatan peran
model teater modern Barat disesuaikan dengan kebutuhan pemeranan dalam ketoprak
sehingga terjadi sublimasi teknik pemeranan. Sublimasi ini terjadi pada saat
proses pembelajaran bermain peran berlangsung di mana gaya pemeranan mesti
menyesuaikan dengan kaidah pemeranan ketoprak. Meskipun demikian, penamaan
teknik tetap mengacu pada istilah teater Barat sesuai dengan jabaran materi
ajar dalam kurikulum. Hal ini mengakibatkan belum terjadinya pembakuan teknik
penghayatan peran baru yang merupakan paduan dari teater modern dan ketoprak. Sementara
untuk sineprak, teknik pemeranan di depan kamera yang menjadi tuntutan
pembuatan film masih kurang diperhatikan. Validasi produk sineprak masih
mengedepankan kejernihan gambar dan suara dan belum menyertakan elemen
pemeranan dalam film, sehingga gaya bermain pemeran masih berorientasi pada
pementasan panggung. Oleh sebab itu,
upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah perlu mengadopsi teknik
pemeranan di depan kamera untuk produk yang bersifat filmis seperti sineprak.
REFERENSI
Achmad, Kasim.
(2006). Mengenal teater tradisional di Indonesia. Dewan Kesenian
Jakarta.
Alfirdaus, Moh. Mujib. (2018). Pengembangan model pembelajaran berorientasi
teknik CS pada teater tradisi. Jurnal buana pendidikan,
XIV(25).
Caine, Michael. (1997). Acing
in film, an actor’s on movie talk. New York: Applause.
Creswell, John W. (2017). Research
design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. (Terjemahan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
(2018). Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 06/D.D5/KK/2018 tentang Spektrum
Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)
Haryanto, Ikhsan,
Yusril, & Martarosa. (2020). Perancangan pertunjukan teater rambun pamenan dalam
pola teater tradisional randai dengan pendekatan teater modern (well made play).
Gora: Jurnal seni rupa, 9(2).
Hatley, Barbara. (2008). Javanese performance on an Indonesian
stage contesting culture, embracing, change. Singapore: NUS Press.
Intarti, Retno Dwi. (2019). Pembelajaran teknik
pemeranan bagi mahasiswa jurusan pedalangan. Wayang nusantara: Journal
of puppetry, 3(1).
Lisbijanto,
Herry. (2013). Ketoprak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lutters, Elizabeth. (2018). Kunci
sukses menjadi aktor. Jakarta: Grasindo.
McTigue,
Mary. (1992). Acting like a pro: Who's who, what's what, and the way things
really work in the theatre. Ohio: Betterway Books.
Murgiyanto, Sal,
Bandem, J.M., Bandem, I.M. (1983). Seni
teater daerah sebuah pengantar. Depdikbud,
Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Ninit, Alfianika. (2016). Metode penelitian
pengajaran bahasa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.
Pane, Aprida
& Dasopang, Muhammad Darwis. (2017). Belajar dan pembelajaran. Fitrah:
Jurnal kajian ilmu-ilmu keislaman, 3(2), 333-352.
Rendra. (2013). Seni
drama untuk remaja. Jakarta: Pustaka Jaya.
Santosa, Eko,
Dkk. (2008). Seni teater jilid 2 untuk sekolah menengah kejuruan. Dir.
PSMK Depdiknas.
Setyosari, Punaji (2010). Metode penelitian
pendidikan dan pengembangan. Jakarta: Kencana.
Stanislavski, Constantin. (2003). An actor
prepares. London: Routledge.
Strauss, Anselm, & Corbin, Juliet. (2017). Dasar-dasar
penelitian kualitatif: Tatalangkah dan teknik-teknik teoritisasi data. (Terjemahan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob. (1993). Ikhtisar
sejarah teater Barat. Bandung: Angkasa.
Sunhaji. (2014).
Konsep manajemen kelas dan implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal
kependidikan, 2(2), 30-46.
Suparman, M. Atwi. (2012). Desain
instruksional modern: Panduan para pengajar dan inovator pendidikan. Jakarta:
Erlangga.
Informan:
Ignatius Karyono, 55 tahun, Ketua Program
Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul
Ardani, 58 tahun, Kepala Sekolah SMKN 1 Kasihan
Bantul
Beni Susilo Wardoyo,
45 tahun, guru pemeranan
Mujiono Sugiharto, 67
tahun, narasumber ketoprak
Bondan Nusantara, 69
tahun, budayawan dan narasumber ketoprak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar