Selasa, 24 Januari 2023

Menyalakan Api Di Ruang Kelas Yang Sunyi

(arikel ini dimuat di majalah Artista edisi Desember 2018)

 Oleh: Eko Santosa

Satu waktu di masa lalu, seorang guru menjelaskan materi pembelajaran di dalam kelas. Setelah serangkaian penjelasan dianggap cukup, guru bertanya kepada siswa, “Siapa yang hendak bertanya?”, atau, “Ada pertanyaan?”. Kontan seluruh kelas terdiam. Kelas menjadi sunyi justru ketika guru menawarkan pertanyaan kepada siswa. Kelas menjadi sunyi justru ketika siswa diberi kebebasan untuk bertanya. Jika kemudian guru mencoba memancing situasi agar kelas menjadi hidup dengan memberikan pertanyaan terkait materi yang telah dijelaskan untuk dijawab, kelas justru semakin hening. Kalaupun ada siswa yang bisa menjawab, ia tak segera mengacungkan jari melainkan menunggu ditunjuk. Kalaupun ditunjuk ia akan memberikan jawaban tidak dengan yakin. Intinya, kelas benar-benar sunyi, berada dalam ketegangan. Hanya bunyi bel istirahat atau pulanglah yang bisa mengembalikan kegembiraan mereka sebagai manusia.

Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan situasi kelas di negara maju di mana siswanya justru aktif bertanya sebelum guru memberikan kesempatan bertanya. Siswa di kelas tersebut tidak merasakan beban, kelas terlihat hidup dan pembelajaran berjalan menyenangkan. Guru seolah-olah mampu menyalakan api dan siswa menyambut terang api itu dengan ragam ekspresi kegembiraan. Belajar menjadi sesuatu yang didambakan. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah karena siswa di negara maju itu merupakan siswa yang pintar dan berada di sekolah high standard, sementara ruang kelas sunyi berisi siswa kurang pintar dan sekolahnya tak berstandar? Tentu saja tidak.

Penyematan pintar dan kurang pintar terkadang hanyalah anggapan yang terlanjur menjadi keyakinan dan bahkan ukuran. Termasuk di dalamnya penyematan label sekolah terstandar dan tak terstandar. Christoper Phillips (2002) membuktikan hal tersebut melalui serangkaian percobaan terkait proses pemahaman filsafat. Salah satunya, ia bertanya perihal gelas yang diisi separuh air itu sebagai separuh kosong atau separuh isi kepada siswa di sekolah terstandar dengan siswa-siswa yang dianggap pandai dan kelas tak tersandar dengan siswa-siswa yang dianggap nakal dan tentu saja tak pandai. Apa yang ia temui adalah keajaiban di mana siswa-siswa pandai saling bersitegang dalam debat tak kunjung usai antara kelompok yang menganggap gelas itu separuh isi dan kelompok lawannya yang menganggap gelas itu separuh kosong, dengan berbagai alasan. Sementara di kelas yang terdiri dari anak-anak yang dianggap nakal dan tak pandai, jawaban justru sangat beragam. Ada yang menganggap separuh isi, ada yang menganggap separuh kosong, ada yang menganggap penuh dengan partikel, serta ada yang menganggap antara isi dan kosong tak perlu diperdebatkan karena terdapat garis batas yang memisahkan air dan ruang hampa. Jika menilik hasil jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka anggapan terhadap anak-anak nakal dan tak pandai di kelas itu mesti dianulir.

Kasus Christoper Phillips tersebut cukup digunakan sebagai cermin, bahwa anggapan pandai dan tak pandai dengan hanya menggunakan satu jenis ukuran tentu saja tidaklah adil. Dalam hal eksakta mungkin siswa kelas terstandar lebih jago menguraikan apakah gelas itu separuh isi atau kosong, namun dalam hal proses bernalar siswa kelas tak terstandar lebih jago karena mampu memberikan lebih banyak jawaban alternatif berdasar nalar. Siswa bukanlah manusia homogen melainkan individu dengan berbagai macam kecerdasan. Menurut Howard Gardner (2011) bisa saja satu siswa memiliki kecerdasan multi. Semua tergantung bagaimana guru membangkitkan dan memupuk kecerdasan tersebut. Nyala tidaknya api di kelas sangat bergantung pada guru, bukan siswa.

 

Persiapan dan aktivitas-aktivitas

Kelas yang hidup tidak bisa serta merta tercipta. Api perlu dinyalakan dan persiapan utamanya adalah penampilan. Kekhasan penampilan membuat guru yakin dalam menjalankan kewajibannya yaitu mengajar. Jay Parini  (2009) memperhatikan penampilannya mulai dari cara berpakaian, nada dan gaya bicara, serta segala gerak-gerik yang perlu dilakukan dalam menunjang kegiatan mengajar agar siswanya tertarik mengikuti kelasnya. Untuk mendapatkan persona ini ia perlu memandang proses belajar mengajar dari berbagi sisi serta selalu membaca buku-buku untuk mendukung pembelajaran. Persona ini tidak didapatkan dengan mudah melainkan melalui berbagai macam cobaan hingga ia menemukan kekhasan dalam mengajar. Hal ini berhasil membuatnya berbeda dari pengajar lain serta mendapatkan pengakuan atas tampilan spesialnya.

Walakin, persona apapun yang dimiliki akan gugur ketika aktivitas pembelajaran cenderung monoton. Istilah pembelajaran satu arah atau pendekatakan teacher centered sudah dianggap kadaluwarsa dewasa ini. Konsep yang dirayakan di ruang-ruang workshop atau seminar adalah student centered. Namun konsep ini jarang menemukan praktik adekuat dalam kenyataan. Padahal, pembelajaran terpusat pada siswa akan memampukan guru dalam berkreasi bersama siswa selama proses pembelajaran. Kreasi ini dapat berupa aktivitas-aktivitas menarik yang dapat dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Adalah Timothy D. Waker (2017) yang mengungkapkan betapa menggairahkannya mengajar dengan berbagai macam aktivitas yang diciptakan bersama siswa. Pengalaman mengajarnya di Amerika yang sering membawa ketertekanan psikologis dapat terobati ketika mengajar di Finlandia.  

Di dalam proses belajar mengajarnya, Walker yang tadinya meyakini bahwa cara mengajarnya benar mendapatkan banyak masukan dari teman guru dan terutama dari siswa. Ia pertama kali beradaptasi dengan jadwal istirahat otak justru dari siswanya yang merasa terlalu banyak menerima informasi sehingga mengalami kelelahan berpikir. Walker juga mendapatkan rangsangan untuk belajar sambil bergerak karena duduk yang terlalu lama justru akan membuat semua siswa malas bergerak. Berikutnya ia harus pulang dari sekolah sedikit lebih awal sehingga dapat mengisi ulang energi ketika di rumah. Mengatur ruang kelas dengan lebih sederhana dapat lebih memberikan kelegaan dibanding menempel semua hasil karya siswa di dinding. Setiap proses pembelajaran berlangsung perlu sesekali menghirup udara segar atau belajar dengan pergi menuju alam liar pada satu kali waktu. Intinya, dengan melakukan banyak aktivitas, kegiatan belajar mengajar menjadi sangat menyenangkan. Atas dasar itulah Walker kemudian menuliskan dan membagi kiatnya berupa 33 strategi sederhana untuk kelas yang menyenangkan (Walker, 2017).

 

Semua siswa adalah juara

Setiap siswa memliki kecakapan khas. Masing-masing individu memiliki kesukaan yang berbeda-beda. Pun demikian dengan ilmu yang ingin dipelajari. Keberbedaan ini manusiawi dan patut untuk dirayakan. Oleh karena itu, aktivitas di dalam dan luar kelas yang mendukung pelajaran dapat digunakan untuk memelihara keberbedaan ini dengan adil. Mr. Kobayashi, seperti yang dituliskan oleh Tetsuko Kuroyanagi (2004) merupakan kepala sekolah sekaligus guru kelas yang sangat menghargai kekhasan siswa-siswanya. Ia selalu menciptakan kegiatan yang memampukan siswa sesuai kecerdasan dan atau kemampuannya. Baginya semua siswa adalah juara.  

Ada siswa yang pintar dalam mata pelajaran matematika. Ada siswa yang pintar dalam mata pelajaran bahasa. Ada siswa yang pintar dalam mata pelajaran olah raga. Semua ia jadikan juara sesuai dengan kemampuannya. Jika seorang siswa tidak bisa menjadi juara dalam mata pelajaran apapun, maka Mr. Kobayashi akan menciptakan satu aktivitas khusus di mana pada akhirnya siswa tersebut mendapatkan juara. Di dalam satu aktivitas perlombaan olah raga permainan misalnya, Mr. Kobayashi menciptakan lari halang-rintang dengan aturan tertentu sehingga memungkinkan hanya siswa yang memiliki kondisi tubuh tertentu yang menang. Dari kegiatan-kegiatan kreatif yang diciptakan semacam ini akhirnya mampu membuat semua siswa pernah menjadi juara. Untuk tujuan mulia tersebut hanya dibutuhkan satu syarat sederhana, mau mendengarkan siswa (Kuroyanagi, 2004). Sekilas apa yang dilakukan oleh Mr. Kobayashi ini mirip dengan semboyan pendidikan di Indonesia, “Tutwuri Handayani”.
 

Mindset

Jay Parini, Timothy D. Walker, dan Mr. Kobayashi adalah beberapa contoh guru atau pengajar yang mampu memiliki pemantik untuk menciptakan api di ruang kelas sehingga tak lagi sunyi. Ruang-ruang kelas sunyi terjadi karena mengadopsi pendidikan sistem bank di mana siswa dianggap sebagai sebuah tabungan yang pasrah untuk diisi kapanpun dan berapapun jumlahnya. Sistem seperti ini harus diubah dimulai dari mindset pengajarnya. Paulo Freire menggambarkan pendidikan sistem bank ini, sebagai berikut; (1)  guru mengajar, murid belajar, (2) guru mahatahu, murid tidak tahu apa-apa, (3) guru berpikir, murid dipikirkan, (4) guru berbicara, murid mendengarkan, (5) guru mengatur, murid diatur, (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menurut, (7) guru bertindak, murid membayangkan bagaimana berbuat sesuai harapan gurunya, (8) guru mencampuradukkan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan guru mempertentangkannya dengan kebebasan murid, dan (9) guru adalah subjek proses belajar, murid adalah objeknya. Bagi Freire sistem pendidikan ini menindas sehingga ia mengajukan alternatif kegiatan belajar dialogis dengan model hadap masalah. Paulo Freire menggunakan istilah, “guru yang murid” dan “murid yang guru” untuk menegaskan bahwa guru dan murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman masing-masing atas apa yang mereka pelajari (dalam J. Sumardianta, 2013: 260-261).

Tawaran kegiatan belajar dari Freire semestinya bisa dijadikan sebagai pantikan perubahan mindset karena dari sanalah segala aktivitas mengajar berawal. Dengan melawan sistem bank seperti yang masih banyak terjadi, guru bisa menghidupkan kelas dalam suasana saling belajar yang menggembirakan. Pantikan dari Freire ini pula yang menjadi salah satu pijakan J.  Sumardianta dalam mengelola kelasnya yang aktif, kreatif melalui model hadap masalah. Kelas senantiasa memiliki kebaruan karena masalah yang dihadapi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pun contoh masalah selalu dapat diganti meski konteks pembelajarannya masih sama. Berdasar pengalaman mengajar dengan semangat Freire ini, tidak salah kiranya ketika ia menyemangati para guru melalui tulisan-tulisan menggugah. Ia berujar bahwa para murid bukan lagi kertas kosong yang ditulisi apa saja oleh para pengajar. Mereka begitu kritis dan enggan duduk diam. Jadi, mari bersiap menjadi guru bermental driver, winner, dan good listener (J. Sumardianta, 2013)

Apa yang dilakukan oleh Parini, Walker, Kobayashi, dan Sumardianta adalah perubahan terus menerus berdasar perkembangan yang terjadi di kelas selama proses belajar mengajar berlangsung. Keterbukaan pikiran untuk selalu menerima hal baru sehingga melahirkan penyesuaian dan perubahan membuat kelas senantiasa bergerak. Ruang kelas menjadi panas penuh energi postif siswa dan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Keterbukaan pikiran mesti terjadi agar kelas tidak sunyi. Keterbukaan pikiran adalah nyala api yang hanya bisa dipantik (sesungguhnya) melalui literasi. (***)

 

Bacaan:

Gardner, Howard. 2011. Frames of Mind, The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.

J. Sumardianta. 2013. Guru Gokil Murid Unyu. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka

Kuroyanagi, Tetsuko. 2004. Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama .

Parini, Jay. 2009. The Art Of Teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Phillips, Christopher. 2002. Socrates Café, Citarasa Baru Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Walker, Timothy D. 2017. Teach Like Finland, Mengajar Seperti Finlandia, 33 Strategi Sederhana Untuk Kelas Yang Menyenangkan. Jakarta: Grasindo.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar