Oleh: Eko Santosa
Kondisi ini berbeda 180 derajat
dengan situasi kelas di negara maju di mana siswanya justru aktif bertanya
sebelum guru memberikan kesempatan bertanya. Siswa di kelas tersebut tidak
merasakan beban, kelas terlihat hidup dan pembelajaran berjalan menyenangkan.
Guru seolah-olah mampu menyalakan api dan siswa menyambut terang api itu dengan
ragam ekspresi kegembiraan. Belajar menjadi sesuatu yang didambakan. Mengapa
bisa terjadi demikian? Apakah karena siswa di negara maju itu merupakan siswa
yang pintar dan berada di sekolah high
standard, sementara ruang kelas sunyi berisi siswa kurang pintar dan
sekolahnya tak berstandar? Tentu saja tidak.
Penyematan pintar dan kurang pintar
terkadang hanyalah anggapan yang terlanjur menjadi keyakinan dan bahkan ukuran.
Termasuk di dalamnya penyematan label sekolah terstandar dan tak terstandar. Christoper
Phillips (2002) membuktikan hal tersebut melalui serangkaian percobaan terkait
proses pemahaman filsafat. Salah satunya, ia bertanya perihal gelas yang diisi
separuh air itu sebagai separuh kosong atau separuh isi kepada siswa di sekolah
terstandar dengan siswa-siswa yang dianggap pandai dan kelas tak tersandar
dengan siswa-siswa yang dianggap nakal dan tentu saja tak pandai. Apa yang ia
temui adalah keajaiban di mana siswa-siswa pandai saling bersitegang dalam
debat tak kunjung usai antara kelompok yang menganggap gelas itu separuh isi
dan kelompok lawannya yang menganggap gelas itu separuh kosong, dengan berbagai
alasan. Sementara di kelas yang terdiri dari anak-anak yang dianggap nakal dan
tak pandai, jawaban justru sangat beragam. Ada yang menganggap separuh isi, ada
yang menganggap separuh kosong, ada yang menganggap penuh dengan partikel, serta
ada yang menganggap antara isi dan kosong tak perlu diperdebatkan karena
terdapat garis batas yang memisahkan air dan ruang hampa. Jika menilik hasil
jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka anggapan terhadap anak-anak nakal
dan tak pandai di kelas itu mesti dianulir.
Kasus Christoper
Phillips tersebut cukup digunakan sebagai cermin, bahwa anggapan pandai dan tak
pandai dengan hanya menggunakan satu jenis ukuran tentu saja tidaklah adil. Dalam
hal eksakta mungkin siswa kelas terstandar lebih jago menguraikan apakah gelas
itu separuh isi atau kosong, namun dalam hal proses bernalar siswa kelas tak
terstandar lebih jago karena mampu memberikan lebih banyak jawaban alternatif
berdasar nalar. Siswa bukanlah manusia homogen melainkan individu dengan
berbagai macam kecerdasan. Menurut Howard Gardner (2011) bisa saja satu siswa
memiliki kecerdasan multi. Semua tergantung bagaimana guru membangkitkan dan memupuk
kecerdasan tersebut. Nyala tidaknya api di kelas sangat bergantung pada guru,
bukan siswa.
Persiapan dan aktivitas-aktivitas
Kelas yang hidup tidak bisa serta merta tercipta. Api perlu
dinyalakan dan persiapan utamanya adalah penampilan. Kekhasan penampilan
membuat guru yakin dalam menjalankan kewajibannya yaitu mengajar. Jay
Parini (2009) memperhatikan
penampilannya mulai dari cara berpakaian, nada dan gaya bicara, serta segala
gerak-gerik yang perlu dilakukan dalam menunjang kegiatan mengajar agar
siswanya tertarik mengikuti kelasnya. Untuk mendapatkan persona ini ia perlu
memandang proses belajar mengajar dari berbagi sisi serta selalu membaca buku-buku
untuk mendukung pembelajaran. Persona ini tidak didapatkan dengan mudah
melainkan melalui berbagai macam cobaan hingga ia menemukan kekhasan dalam
mengajar. Hal ini berhasil membuatnya berbeda dari pengajar lain serta
mendapatkan pengakuan atas tampilan spesialnya.
Walakin, persona apapun yang dimiliki akan gugur ketika aktivitas pembelajaran cenderung monoton. Istilah pembelajaran satu arah atau pendekatakan teacher centered sudah dianggap kadaluwarsa dewasa ini. Konsep yang dirayakan di ruang-ruang workshop atau seminar adalah student centered. Namun konsep ini jarang menemukan praktik adekuat dalam kenyataan. Padahal, pembelajaran terpusat pada siswa akan memampukan guru dalam berkreasi bersama siswa selama proses pembelajaran. Kreasi ini dapat berupa aktivitas-aktivitas menarik yang dapat dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Adalah Timothy D. Waker (2017) yang mengungkapkan betapa menggairahkannya mengajar dengan berbagai macam aktivitas yang diciptakan bersama siswa. Pengalaman mengajarnya di Amerika yang sering membawa ketertekanan psikologis dapat terobati ketika mengajar di Finlandia.
Di dalam proses belajar mengajarnya, Walker yang tadinya
meyakini bahwa cara mengajarnya benar mendapatkan banyak masukan dari teman
guru dan terutama dari siswa. Ia pertama kali beradaptasi dengan jadwal
istirahat otak justru dari siswanya yang merasa terlalu banyak menerima
informasi sehingga mengalami kelelahan berpikir. Walker juga mendapatkan rangsangan
untuk belajar sambil bergerak karena duduk yang terlalu lama justru akan
membuat semua siswa malas bergerak. Berikutnya ia harus pulang dari sekolah
sedikit lebih awal sehingga dapat mengisi ulang energi ketika di rumah.
Mengatur ruang kelas dengan lebih sederhana dapat lebih memberikan kelegaan
dibanding menempel semua hasil karya siswa di dinding. Setiap proses
pembelajaran berlangsung perlu sesekali menghirup udara segar atau belajar
dengan pergi menuju alam liar pada satu kali waktu. Intinya, dengan melakukan
banyak aktivitas, kegiatan belajar mengajar menjadi sangat menyenangkan. Atas
dasar itulah Walker kemudian menuliskan dan membagi kiatnya berupa 33 strategi
sederhana untuk kelas yang menyenangkan (Walker, 2017).
Semua siswa adalah juara
Setiap siswa memliki kecakapan khas. Masing-masing individu memiliki kesukaan yang berbeda-beda. Pun demikian dengan ilmu yang ingin dipelajari. Keberbedaan ini manusiawi dan patut untuk dirayakan. Oleh karena itu, aktivitas di dalam dan luar kelas yang mendukung pelajaran dapat digunakan untuk memelihara keberbedaan ini dengan adil. Mr. Kobayashi, seperti yang dituliskan oleh Tetsuko Kuroyanagi (2004) merupakan kepala sekolah sekaligus guru kelas yang sangat menghargai kekhasan siswa-siswanya. Ia selalu menciptakan kegiatan yang memampukan siswa sesuai kecerdasan dan atau kemampuannya. Baginya semua siswa adalah juara.
Ada siswa yang
pintar dalam mata pelajaran matematika. Ada siswa yang pintar dalam mata
pelajaran bahasa. Ada siswa yang pintar dalam mata pelajaran olah raga. Semua
ia jadikan juara sesuai dengan kemampuannya. Jika seorang siswa tidak bisa
menjadi juara dalam mata pelajaran apapun, maka Mr. Kobayashi akan menciptakan
satu aktivitas khusus di mana pada akhirnya siswa tersebut mendapatkan juara.
Di dalam satu aktivitas perlombaan olah raga permainan misalnya, Mr. Kobayashi
menciptakan lari halang-rintang dengan aturan tertentu sehingga memungkinkan
hanya siswa yang memiliki kondisi tubuh tertentu yang menang. Dari kegiatan-kegiatan
kreatif yang diciptakan semacam ini akhirnya mampu membuat semua siswa pernah
menjadi juara. Untuk tujuan mulia tersebut hanya dibutuhkan satu syarat
sederhana, mau mendengarkan siswa (Kuroyanagi, 2004). Sekilas apa yang dilakukan
oleh Mr. Kobayashi ini mirip dengan semboyan pendidikan di Indonesia, “Tutwuri Handayani”.
Mindset
Jay Parini, Timothy D. Walker, dan
Mr. Kobayashi adalah beberapa contoh guru atau pengajar yang mampu memiliki
pemantik untuk menciptakan api di ruang kelas sehingga tak lagi sunyi. Ruang-ruang
kelas sunyi terjadi karena mengadopsi pendidikan sistem bank di mana siswa
dianggap sebagai sebuah tabungan yang pasrah untuk diisi kapanpun dan berapapun
jumlahnya. Sistem seperti ini harus diubah dimulai dari mindset pengajarnya. Paulo Freire menggambarkan pendidikan sistem
bank ini, sebagai berikut; (1) guru
mengajar, murid belajar, (2) guru mahatahu, murid tidak tahu apa-apa, (3) guru
berpikir, murid dipikirkan, (4) guru berbicara, murid mendengarkan, (5) guru
mengatur, murid diatur, (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menurut, (7) guru bertindak, murid membayangkan bagaimana berbuat sesuai
harapan gurunya, (8) guru mencampuradukkan wewenang ilmu pengetahuan dengan
wewenang profesionalismenya, dan guru mempertentangkannya dengan kebebasan
murid, dan (9) guru adalah subjek proses belajar, murid adalah objeknya. Bagi
Freire sistem pendidikan ini menindas sehingga ia mengajukan alternatif
kegiatan belajar dialogis dengan model hadap masalah. Paulo Freire menggunakan
istilah, “guru yang murid” dan “murid yang guru” untuk menegaskan bahwa guru
dan murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman
masing-masing atas apa yang mereka pelajari (dalam J. Sumardianta, 2013:
260-261).
Tawaran kegiatan belajar dari Freire
semestinya bisa dijadikan sebagai pantikan perubahan mindset karena dari sanalah segala aktivitas mengajar berawal. Dengan
melawan sistem bank seperti yang masih banyak terjadi, guru bisa menghidupkan
kelas dalam suasana saling belajar yang menggembirakan. Pantikan dari Freire
ini pula yang menjadi salah satu pijakan J.
Sumardianta dalam mengelola kelasnya yang aktif, kreatif melalui model
hadap masalah. Kelas senantiasa memiliki kebaruan karena masalah yang dihadapi
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pun contoh masalah selalu dapat
diganti meski konteks pembelajarannya masih sama. Berdasar pengalaman mengajar
dengan semangat Freire ini, tidak salah kiranya ketika ia menyemangati para
guru melalui tulisan-tulisan menggugah. Ia berujar bahwa para murid bukan lagi
kertas kosong yang ditulisi apa saja oleh para pengajar. Mereka begitu kritis
dan enggan duduk diam. Jadi, mari bersiap menjadi guru bermental driver, winner, dan good listener
(J. Sumardianta, 2013)
Apa yang dilakukan oleh Parini,
Walker, Kobayashi, dan Sumardianta adalah perubahan terus menerus berdasar
perkembangan yang terjadi di kelas selama proses belajar mengajar berlangsung. Keterbukaan
pikiran untuk selalu menerima hal baru sehingga melahirkan penyesuaian dan perubahan
membuat kelas senantiasa bergerak. Ruang kelas menjadi panas penuh energi
postif siswa dan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Keterbukaan pikiran
mesti terjadi agar kelas tidak sunyi. Keterbukaan pikiran adalah nyala api yang
hanya bisa dipantik (sesungguhnya) melalui literasi. (***)
Bacaan:
Gardner, Howard. 2011. Frames of Mind, The Theory of Multiple Intelligences. New York:
Basic Books.
J. Sumardianta. 2013. Guru Gokil
Murid Unyu. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka
Kuroyanagi, Tetsuko. 2004. Totto-Chan,
Gadis Cilik di Jendela. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama .
Parini, Jay. 2009. The Art Of
Teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Phillips, Christopher. 2002. Socrates
Café, Citarasa Baru Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Walker, Timothy D. 2017. Teach Like
Finland, Mengajar Seperti Finlandia, 33 Strategi Sederhana Untuk Kelas Yang
Menyenangkan. Jakarta: Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar