Oleh: Eko Santosa
Kebudayaan
Kebudayaan secara
harfiah berasal dari bahasa Latin “cultura”
hasil pembentukan dari kata “colere”
yang berarti “mengolah”, “menanami”, atau “mempererat”, secara umum berkaitan dengan pola dan struktur
simbolik yang menggambarkan aktivitas kegiatan manusia. Perbedaan definisi
tentang budaya merefleksikan perbedaan pandangan teoritis secara mendasar atau
kriteria penilaian dari kegiatan manusia tersebut. Secara general budaya
merupakan keseluruhan produk intelejensi individual, kelompok atau masyarakat. Di dalamnya termasuk; teknologi,
seni, ilmu pengetahuan, sebagaimana halnya dengan sistem moral, karakteristik
tingkah laku, serta perilaku kecerdasan lain yang tumbuh dan berkembang.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Culture).
Berdasar penjelasan di atas, definisi dan makna
kebudayaan dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda sesuai disiplin
ilmu terkait. Koentjaraningrat (1982:5)
mengemukakan bahwa, kebudayaan merupakan perkembangan dari bentuk jamak budi
daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Secara lebih jelas kebudayaan
dirumuskan sebagai, keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya
itu. Sementara itu, Ki Hajar Dewantara seperti dikutip oleh Supartono (2004:31)
menyebutkan bahwa kebudayaan adalah buah budi daya manusia sebagai hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan
masyarakat) yang merupakan bukti
kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran hidup
dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai.
Berkaitan dengan proses pelaksanaan hidup untuk mencapai
tujuan dan arahan tertentu – seperti apa yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat
dan Ki Hajar Dewantara - manusia menggunakan perangkat intelejensi yang
dimilikinya secara optima. Dengan
demikian hal-hal yang menyangkut keseluruhan hidup manusia berada dalam lingkup
kebudayaan. Terwujudnya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
yaitu hal-hal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan itu
sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan menurut Fischer, adalah faktor
geografis, faktor induk bangsa, dan faktor saling kontak antarbangsa (Supartono,
2004).
Faktor geografis merupakan suatu corak budaya sekelompok
masyarakat. Dengan kata lain, faktor kitaran geografis merupakan determinisme
yang berperan besar dalam pembentukan suatu kebudayaan. Hal nyata yang dapat
dilihat dari faktor ini adalah perbedaan tatanan budaya antara masyarakat
pegunungan dan pesisir. Sementara itu, faktor induk bangsa memberikan dua
pandangan yang berbeda yaitu pandangan Barat
dan pandangan Timur. Menurut pandangan
Barat perbedaan induk bangsa dari beberapa kelompok masyarakat memiliki
pengaruh terhadap suatu corak kebudayaan. Berdasar pandangan ini, tingkat peradaban
didasarkan atas ras (ras Kaukasia dianggap lebih tinggi dari ras Mongoloid dan Negroid).
Sedangkan pandangan Timur berpendapat
bahwa peranan induk bangsa bukanlah faktor yang mempengaruhi kebudayaan.
Faktor terakhir yang mempengaruhi kebudayaan adalah faktor
saling kontak antarbangsa dimana sistem komunikasi yang makin sempurna
menyebabkan suatu bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya
hubungan antarbangsa ini, dapat atau tidaknya suatu bangsa mempertahankan
kebudayaannya tergantung dari pengaruh bangsa lain. Jika lebih kuat, maka
kebudayaan asli dapat dipertahankan. Sebaliknya jika kebudayaan asli lemah,
maka lahirlah budaya jajahan yang sifatnya meniru (colonial and imitative culture). Namun sisi baik dalam kontak
antarbangsa ini adalah terjadinya keseimbangan yang melahirkan budaya campuran
(acculturation).
Memahami Kebudayaan
Guna lebih
mendalami soal kebudayaan, perlu diketahui beberapa masalah lain yang
bersangkutan dengannya seperti unsur dan wujud kebudayaan. Secara mendasar
unsur kebudayaan meliputi tata nilai, norma, lembaga budaya, dan artefak. Tata
nilai terdiri dari gagasan-gagasan yang penting dalam kehidupan yang menuntun
unsur kebudayaan lainnya. Norma berisi pengharapan akan sikap dan perilaku
manusia. Lembaga budaya adalah struktur satu masyarakat dimana tata nilai dan
norma dipancarkan. Artefak adalah benda atau aspek dari materi budaya yang
diperoleh dari tata nilai dan norma (http://en.wikipedia.org/wiki/).
C. Kluckhohn, seperti dikutip Supartono (2004),
menyebutkan tujuh unsur kebudayaan yang berlaku secara universal, yaitu sistem
religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan, bahasa,
dan kesenian. Ketujuh unsur ini
secara umum tergambar dalam kebudayaan setiap bangsa.
Selain unsur kebudayaan, masalah lain yang perlu
diperhatikan adalah wujud kebudayaan. Pendapat umum mengatakan bahwa ada dua
wujud kebudayaan, yaitu material dan spritual. Kebudayaan material memiliki
ciri dapat dilihat, diraba, dan dirasakan sehingga lebih konkret dan mudah
dipahami. Sedangkan kebudayaan rohanian (spiritual) bersifat lebih abstrak dan
sulit dipahami. Koentjaraningrat, seperti dikutip oleh Abdulkadir Muhammad (2005:
75-76), menyebutkan tiga wujud kebudayaan yaitu;
a.
Keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan
sebagainya yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat yang disebut adat tata kelakuan.
b.
Keseluruhan aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat, yang disebut sistem sosial. Sistem ini terdiri dari rangkaian
aktivitas manusia yang selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat
tata kelakuan, misalnya gotong-royong dan kerja sama.
c.
Benda-benda hasil karya manusia yang disebut kebudayaan fisik, misalnya pabrik baja, candi Borobudur, pesawat udara,
komputer atau kain batik.
Wujud kebudayan yang diungkap oleh Koentjaraningrat
nampaknya berlaku pula secara universal. Artinya, setiap bangsa dapat
dipastikan memilki adat tata kelakuan, sistem sosial, dan artefak yang merupakan
hasil budayanya.
Setelah memahami unsur dan wujud kebudayaan maka perlu
pula kiranya dipahami sifat kebudayaan. Secara umum, Supartono (2004)
menyebutkan ada tujuh sifat kebudayaan, yaitu budaya bersifat beraneka ragam,
didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran, dijabarkan dalam
komponen-komponen (biologi, psikologi, sosiologi), mempunyai struktur,
mempunyai nilai, mempunyai sifat statis dan dinamis, serta dapat dibagi dalam
bermacam bidang dan aspek.
Seni dalam Kebudayaan
Seni sebagai salah
satu unsur kebudayaan mengambil peran pokok perkembangan budaya itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam
karya seni, eksistensi serta laku hidup sang seniman atau masayarakat pencipta
seni tergambarkan di dalamnya. Pada seni massa misalnya seni pertunjukan, adat
tata kelakuan tersebut tercermin secara gamblang melalui makna-makna simbol
yang terwujud dalam tata artistiknya.
Karya seni adalah
suatu bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi kita lewat indera atau
pencitraan, dan apa yang diekspresikannya adalah perasaan insani (Suzanne K.
Lenger, 2006). Jadi bentuk seni massa adalah bentuk ekspresi masyarakat
penciptanya, ekspresi dari perasaan manusia. Dengan demikian, melalui karya
seni, budaya suatu masyarakat dapat dipelajari.
Karya seni hampir digunakan dalam semua bidang sosial kemasyarakatan.
Upacara religi, prosesi adat, hingga sampai pernak-pernik busana sehari-hari.
Peran seni menjadi sangat dominan dalam kebudayaan. Oleh karena itu tidaklah
salah kiranya ketika seseorang berbicara mengenai budaya maka imajinya akan
terbawa pada perkara yang menyangkut seni. Meski pada dasarnya makna kebudayaan
lebih besar dari seni tetapi kebudayaan sering dikaitkan dengan seni itu
sendiri.
Jika kita kembali
menilik tabel penyelenggaraan Kongres Kebudayaan dari tahun ke tahun maka akan
kita temui item kesenian di dalamnya. Apakah itu seni sastera, tari, wayang,
teater, dan bahkan film. Seni selain hasil ekspresi murni sang seniman, ia
dapat dijadikan media. Seni sebagai media ini erat kaitannya dengan produk budaya.
Dalam budaya daerah tertentu pada prosesi adat yang menggunakan tarian, seni
dijadikan media komunikasi antara yang hidup dengan arwah leluhur, dimana sang
tetua melakukan upacara penyejarahan umat manusia secara transendental.
Dalam kebudayaan
Indonesia, produk masa lampau yang masih bertahan hingga masa kini adalah
produk seni budaya dalam tahap mitis. Cara berpikir budaya mitis menekankan
penyatuan manusia dengan alam di luar dirinya. Hidup merupakan kesatuan maha
besar, antara manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam, antara manusia
dengan roh gaib, antara manusia dengan seluruh kosmos semesta ini. Manusia
harus menyelaraskan diri dengan kosmos tadi kalau mau selamat di dunia fana
ini. Manusia menyatukan dirinya dengan objek di luar dirinya, dan dari sana
menemukan jati dirinya (Jakob Sumardjo, 2000:320).
Produk seni budaya
masa lampau inilah yang alirannya masih terus terasa di sebagian besar wilayah
Indonesia. Kreasi seni yang lahir dari irama keselarasan alam, penyatuan jagad
kecil dan jagad besar inilah yang mewarnai budaya bangsa. Dengannya makna seni
dan budaya melekat menjadi satu kesatuan. Inilah warisan yang harus dipertahankan
atau dikembangkan dengan tetap berpijak pada garis estetikanya yang membumi.
Keberagaman Seni
Keberagaman seni
sebagai bentuk perwujudan budaya yang tersebar di Indonesia adalah kekayaan
yang tidak ternilai harganya. Dari ujung barat sampai Timur wilayah kepulauan
NKRI terhampar ribuan karya seni budaya. Masing-masing hadir dengan estetika
dan nilai-nilainya. Masing-masing sudah semestinya dipersatukan dalam wadah
kesatuan dalam keberagaman (unity in
diversity). Tidak ada yang satu lebih baik dari yang lain dan atau
sebaliknya.
Pemahaman akan
keragaman kesenian menjadi satu hal yang mutlak diperlukan. Manusia menggunakan
rasa dan intuisinya untuk menciptakan karya seni yang menggambarkan keindahan.
Rasa akan keindahan inilah yang menjadi dasar menghargai karya orang lain,
karya bangsa lain, karya daerah lain. Dalam edukasi kesenian penggunaan istilah
”ini benar – itu salah” selayaknya dihilangkan karena istilah semacam itu akan
melahirkan sikap chauvinis yang pada
akhirnya membenarkan (menganggap indah) budaya daerah sendiri dan menyalahkan
(menganggap jelek) budaya daerah lain.
Dalam perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara, satu komunitas masyarakat (budaya) mengalami
akulturasi akibat dari sistem politik dan ekonomi. Dorongan naluriah manusia
untuk mempertahankan hidupnya membawa ia mengembara dan bergaul dengan manusia
lain. Keadaan ini telah berlangsung semenjak manusia hadir di dunia. Karena
itulah percampuran budaya antar masyarakat dalam satu wilayah tidaklah
mengherankan. Kedewasaan sikap untuk saling menerima menjadikan ekspresi budaya
semakin kaya.
Dalam kehidupan
modern, tidak hanya budaya tradisi daerah satu dengan daerah lain bertemu.
Tetapi budaya bangsa lain yang lebih modern pun mengambil peranan. Budaya Timur
yang bersifat mitis bertemu dengan budaya Barat yang ontologis. Jika budaya
Timur menganggap manusia bagian dari alam maka budaya barat membuat manusia
mencoba untuk memahami alam di luar dirinya berdasar penalarannya dan pembuktia
nyata yang tak terbantahkan. Masyarakat Indonesia modern yang mendapat pengaruh
budaya Barat telah lama lahir melalui masyarakat terpelajar sejak jaman kolonial.
Cara berpikir semacam ini telah melahirkan berbagai macam ekspresi dan kreasi
seni dari generasi ke generasi.
Dengan demikian
keragaman seni budaya Indonesia semakin kompleks dan memikat. Di saru sisi seni
budaya yang lahir dari warisan tradisi mitis masih berkembang di sisi lain
warisan budaya ontologis juga memekarkan dirinya. Belum lagi dalam satu
komunitas kehidupan kota (masyarakat urban) yang terdiri dari beragam suku dan
budaya maka para anggota masyarakat harus mampu hidup berdampingan dengan
budaya selain dari sukunya. Dalam tatanan masyarakat seperti ini satu orang
sebagai representasi satu budaya harus mampu menerima dan menghargai budaya
lain baik itu budaya daerah maupun modern. Karena itu, menurut Magnis Suseno
(2006), ”tidak ada alternatif lain, kita harus belajar hidup bersama dengan
toleran, baik, berdamai”. Keberagaman seni harus kita terima sebagai satu
bentuk pembelajaran hidup untuk saling menghargai dan menghormati.
Nasionalisme dalam Karya Seni
Dalam kerangka
memajukan kebudayaan Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, telah mengamanatkan
dalam pasal 32 yaitu ”Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia,” yang
selanjutnya dijelaskan bahwa ”Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul
sebagai buah usaha rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli
terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan bangsa harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia.”
Dalam salah satu sambutannya pada Malam Anugerah Seni dan "Mboru Ate
Tedeh" 2007, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengatakan ”Kekayaan
budaya bangsa harus menjadi pilar utama dalam menangkal pengaruh negatif budaya
asing. Kekayaan budaya bangsa harus menjadi penyaring atau filter masuknya
nilai budaya asing yang tidak sesuai budaya kita," (antara.com). Dengan
demikian baik dari amanat UUD 45 maupun himbauan Presiden RI, budaya bangsa harus mampu tampil dengan kokoh penuh
citra, tidak phobi terhadap budaya asing yang baik dan mampu melindungi diri
dari pengaruh negatif.
Untuk
mewujudkan cita-cita luhur tersebut dibutuhkan kerja keras semua komponen
bangsa. Seniman sebagai agent of change bagi
produk budaya harus mau meluangkan waktu dan pikirannya untuk menciptakan
kreasi yang menunjukkan identitas ke-Indonesiaan. Bukan secara verbal seperti
seni pesanan melainkan melalui kaidah estetis dan citarasa tertentu.
Seiring
dengan kemuan jaman yang semakin
mengglobal. Arus perubahan dan informasi yang semakin pesat yang oleh Friedman
digambarkan sebagai ”Dunia Datar” ini memacu hidup manusia untuk semakin cepat
dan tanggap dalam menghadapi perubahan. Menghadapi perubahan bukan berarti
harus mengikuti arus tetapi bagaimana tetap mampu berkembang (berubah) dengan
berdasar pada jati diri sejati. Globalisasi harus disikapi dan dihadapkan
dengan kearifan lokal, sebab jika tidak vibrasi materi yang di bawanya akan
menyeret kita menjadi konsumen apapun.
Kesenian
sebagai jagad yang penuh simbol estetika sepantasnya dijadikan mata panah untuk
menyampaikan pesan-pesan kearifan lokal, pesan ke-Indonesiaan. Nasionalisme
harus dijadikan simbol bersama dalam karya seni. Menggali potensi budaya lokal,
mencermati nilai-nilainya, dan mengemasnya menjadi karya seni baru yang
artistik. Karya seni baru yang berpijak pada akar budaya lokal, karya baru yang
membumi.
Seni Budaya dalam Pendidikan
Pendidikan seni
selama ini agak sedikit dipinggirkan. Dengan dijadikannya kegiatan intrakurikuler
maka diharapkan pemahaman terhadap seni semakin baik. Seni dalam pendidikan
sudah ada sejak Abad
Pertengahan yang dalam proses pembelajarannya menerapkan “Kurikulum Seni
Liberal” terdiri dari 7 bidang untuk mencapai keseimbangan antara seni dan ilmu
yang terdiri dari Trivium (level rendah): Tata Bahasa, Logika, Retorika
dan Quadrium (Level lebih tinggi): Aritmetika, Geometri, Astronomi,
Musik. (Michael J. Gelb, 2001)
Leonardo Da Vinci, seperti dituturkan oleh Michael J. Gelb (2001)
memliki 7 prinsip dalam belajar, yaitu curiosita (keingintahuan yang tak
terpuaskan, upaya tak kenal lelah untuk belajar tanpa henti), dimostrazione
(menguji pengetahuan melalui pengalaman, ketekunan, dan sedia belajar dari
kesalahan, sensazione (penajaman indera secara terus-menerus untuk
menghidupkan pengalaman), sfumato (kesediaan untuk menerima, paradoks,
ambiguitas dan ketidakpastian, srte/scienza (mengembangkan keseimbangan
antara ilmu dan seni, logika dan imajinasi (whole brain thinking), corporalita
(pemupukan keterampilan, kebugaran dan sikap tubuh yang benar), connessione
(pengakuan dan penghargaan terhadap keterkaitan semua hal dan fenomena (pemikiran
sistemik). Dalam prinsipnya ini Da Vinci menempatkan kesenian sebagai
penyeimbang logika dan imajinasi untuk mendorong pemikiran yang utuh.
Dari paparan di
atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seni sangatlah penting. Selama ini
pendidikan lebih mementingkan pembangkitan otak kiri. Sedangkan otak kanan
kurang diperhatikan. Daniel H. Pink (2007: 93-95) mengutarakan enam kecerdasan
yang dapat dibangkitkan melalui otak kanan, yaitu:
- Tidak hanya fungsi tetapi juga disain. Tidaklah lagi memadai untuk menciptakan sebuah produk, jasa, pengalaman, atau gaya hidup yang semata-mata fungsional. Saat ini adalah saat yang secara ekonomi penting dan berharga secara personal untuk menciptakan sesuatu yang juga indah, sedikit fantastis, dan menarik secara emosional.
- Tidak hanya argumen namun juga cerita. Ketika hidup kita penuh dengan informasi dan data, mengumpulkan argumen yang efektif tidaklah memadai. Seseorang entah dimana pun juga pasti akan menemukan sesuatu yang berbeda untuk membantah maksud anda. Esensi dari persuasi, komunikasi, dan pemahaman diri telah menjadi suatu kemampuan juga untuk menciptakan suatu kisah menarik.
- Tidak hanya fokus tetapi juga simponi. Ketika pekerjaan direduksi dalam software maka penghargaan dijatuhkan pada kerja menggabungkan bagian-bagian. Apa yang menjadi permintaan terbesar bukanlah analisa tetapi sintesa.
- Tidak hanya logika tetapi juga empati. Dalam sebuah dunia yang penuh dengan informasi serta penggunaan alat-alat analitis yang maju, logika sendiri tidaklah bisa. Apa yang akan membedakan adalah kemampuan mempererat hubungan, dan kepedulian pada orang lain.
- Tidak hanya keseriusan namun juga permainan. Tentu ada saatnya untuk serius. Namun terlalu banyak keseriusan mungkin tidak baik. Dalam era konseptual, dalam pekerjaan dan kehidupan, kita perlu bermain.
- Tidak hanya akumulasi tetapi juga makna. Kita hidup dalam kelimpahan materi yang menarik. Hal itu menyebabkan kita untuk mengejar kesenangan-kesenangan yang lebih bermakna; transendensi, dan pemenuhan spiritual.
Keenam
kecerdasan yang diungkap oleh Pink dapat ditemukan dalam pembelajaran seni.
Disain, cerita, simponi, empati, permainan, dan makna adalah hal-hal pokok yang
dibicarakan dan dipraktekkan dalam pelatihan seni budaya.
Dengan
muatan nilai-nilai kearifan lokal pada seni budaya nusantara maka pembelajaran
seni dengan pendekatan enam kecerdasan tersebut dapat melahirkan ekspresi baru.
Sebuah ekspresi yang melahirkan makna baru dari nilai lokal yang ada sehingga bentuk kreasinya
tetap berpijak pada akar budaya lokal yang kuat. Jika semua bentuk ekspresi
bisa seperti ini maka jalinan komunikasi di antaranya akan berjalan seimbang,
saling menghargai, hingga dapat melahirkan satu kesatuan rasa. Indonesia.
(disampaikan dalam forum diklat guru seni budaya di Gorontalo dan Pontianak tahun 2013)
(disampaikan dalam forum diklat guru seni budaya di Gorontalo dan Pontianak tahun 2013)
Bacaan:
Friedman, Thomas L. 2006., The
World is Flat, Sejarah Ringkas Abad
Ke-21, Jakarta: Dian Rakyat.
Gelb. Michael J., 2001. Menjadi Jenius Seperti Leonardo da Vinci, Menggunakan Tujuh Prinsip Da
Vinci untuk Meningkatkan Kreativitas dan Meyeimbangkan Tubuh dan Pikiran, Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Koentjaraningrat, 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Gramedia
Langer, Suzzanne K. 2006. Problematika Seni, Bandung: Sunan Ambu Press.
Muhammad, Abdulkadir., 2005. Ilmu Sosial Budaya Dasar, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Pink, Daniel H., 2007. Misteri Otak Kanan Manusia, Jogjakarta: Think.
Sumardjo, Jakob, 2000. Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB.
Supartono, 2004, Ilmu
Budaya Dasar, Bogor Selatan: Penerbit Ghalia Indonesia
Suseno, Franz Magnis, 2006, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Website:
http://www.antara.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar