Kamis, 01 Desember 2016

Mempelajari Seni Budaya Untuk Memupuk Rasa Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Oleh: Eko Santosa


Kebudayaan
Kebudayaan secara harfiah berasal dari bahasa Latin “cultura” hasil pembentukan dari kata “colere” yang berarti “mengolah”, “menanami”, atau “mempererat”, secara umum berkaitan dengan pola dan struktur simbolik yang menggambarkan aktivitas kegiatan manusia. Perbedaan definisi tentang budaya merefleksikan perbedaan pandangan teoritis secara mendasar atau kriteria penilaian dari kegiatan manusia tersebut. Secara general budaya merupakan keseluruhan produk intelejensi individual, kelompok  atau masyarakat. Di dalamnya termasuk; teknologi, seni, ilmu pengetahuan, sebagaimana halnya dengan sistem moral, karakteristik tingkah laku, serta perilaku kecerdasan lain yang tumbuh dan berkembang. (http://en.wikipedia.org/wiki/Culture).

Berdasar penjelasan di atas, definisi dan makna kebudayaan dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda sesuai disiplin ilmu terkait.  Koentjaraningrat (1982:5) mengemukakan bahwa, kebudayaan merupakan perkembangan dari bentuk jamak budi daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Secara lebih jelas kebudayaan dirumuskan sebagai, keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Sementara itu, Ki Hajar Dewantara seperti dikutip oleh Supartono (2004:31) menyebutkan bahwa kebudayaan adalah buah budi daya manusia sebagai hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan  bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. 


Berkaitan dengan proses pelaksanaan hidup untuk mencapai tujuan dan arahan tertentu – seperti apa yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat dan Ki Hajar Dewantara - manusia menggunakan perangkat intelejensi yang dimilikinya secara optima.  Dengan demikian hal-hal yang menyangkut keseluruhan hidup manusia berada dalam lingkup kebudayaan. Terwujudnya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu hal-hal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan menurut Fischer, adalah faktor geografis, faktor induk bangsa, dan faktor saling kontak antarbangsa (Supartono, 2004).

Faktor geografis merupakan suatu corak budaya sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, faktor kitaran geografis merupakan determinisme yang berperan besar dalam pembentukan suatu kebudayaan. Hal nyata yang dapat dilihat dari faktor ini adalah perbedaan tatanan budaya antara masyarakat pegunungan dan pesisir. Sementara itu, faktor induk bangsa memberikan dua pandangan yang berbeda yaitu pandangan Barat dan pandangan Timur. Menurut pandangan Barat perbedaan induk bangsa dari beberapa kelompok masyarakat memiliki pengaruh terhadap suatu corak kebudayaan. Berdasar pandangan ini, tingkat peradaban didasarkan atas ras (ras Kaukasia dianggap lebih tinggi dari ras Mongoloid dan Negroid). Sedangkan pandangan Timur berpendapat bahwa peranan induk bangsa bukanlah faktor yang mempengaruhi kebudayaan. 

Faktor terakhir yang mempengaruhi kebudayaan adalah faktor saling kontak antarbangsa dimana sistem komunikasi yang makin sempurna menyebabkan suatu bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya hubungan antarbangsa ini, dapat atau tidaknya suatu bangsa mempertahankan kebudayaannya tergantung dari pengaruh bangsa lain. Jika lebih kuat, maka kebudayaan asli dapat dipertahankan. Sebaliknya jika kebudayaan asli lemah, maka lahirlah budaya jajahan yang sifatnya meniru (colonial and imitative culture). Namun sisi baik dalam kontak antarbangsa ini adalah terjadinya keseimbangan yang melahirkan budaya campuran (acculturation).

Memahami Kebudayaan
Guna lebih mendalami soal kebudayaan, perlu diketahui beberapa masalah lain yang bersangkutan dengannya seperti unsur dan wujud kebudayaan. Secara mendasar unsur kebudayaan meliputi tata nilai, norma, lembaga budaya, dan artefak. Tata nilai terdiri dari gagasan-gagasan yang penting dalam kehidupan yang menuntun unsur kebudayaan lainnya. Norma berisi pengharapan akan sikap dan perilaku manusia. Lembaga budaya adalah struktur satu masyarakat dimana tata nilai dan norma dipancarkan. Artefak adalah benda atau aspek dari materi budaya yang diperoleh dari tata nilai dan norma (http://en.wikipedia.org/wiki/). 

C. Kluckhohn, seperti dikutip Supartono (2004), menyebutkan tujuh unsur kebudayaan yang berlaku secara universal, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. Ketujuh unsur ini secara umum tergambar dalam kebudayaan setiap bangsa.

Selain unsur kebudayaan, masalah lain yang perlu diperhatikan adalah wujud kebudayaan. Pendapat umum mengatakan bahwa ada dua wujud kebudayaan, yaitu material dan spritual. Kebudayaan material memiliki ciri dapat dilihat, diraba, dan dirasakan sehingga lebih konkret dan mudah dipahami. Sedangkan kebudayaan rohanian (spiritual) bersifat lebih abstrak dan sulit dipahami. Koentjaraningrat, seperti dikutip oleh Abdulkadir Muhammad (2005: 75-76), menyebutkan tiga wujud kebudayaan yaitu;
a.    Keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat yang disebut  adat tata kelakuan.
b.    Keseluruhan aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, yang disebut sistem sosial. Sistem ini terdiri dari rangkaian aktivitas manusia yang selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, misalnya gotong-royong dan kerja sama.
c.    Benda-benda hasil karya manusia yang disebut  kebudayaan fisik, misalnya  pabrik baja, candi Borobudur, pesawat udara, komputer atau kain batik.
Wujud kebudayan yang diungkap oleh Koentjaraningrat nampaknya berlaku pula secara universal. Artinya, setiap bangsa dapat dipastikan memilki adat tata kelakuan, sistem sosial, dan artefak yang merupakan hasil budayanya.

Setelah memahami unsur dan wujud kebudayaan maka perlu pula kiranya dipahami sifat kebudayaan. Secara umum, Supartono (2004) menyebutkan ada tujuh sifat kebudayaan, yaitu budaya bersifat beraneka ragam, didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran, dijabarkan dalam komponen-komponen (biologi, psikologi, sosiologi), mempunyai struktur, mempunyai nilai, mempunyai sifat statis dan dinamis, serta dapat dibagi dalam bermacam bidang dan aspek.

Seni dalam Kebudayaan
Seni sebagai salah satu unsur kebudayaan mengambil peran pokok perkembangan  budaya itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam karya seni, eksistensi serta laku hidup sang seniman atau masayarakat pencipta seni tergambarkan di dalamnya. Pada seni massa misalnya seni pertunjukan, adat tata kelakuan tersebut tercermin secara gamblang melalui makna-makna simbol yang terwujud dalam tata artistiknya.

Karya seni adalah suatu bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi kita lewat indera atau pencitraan, dan apa yang diekspresikannya adalah perasaan insani (Suzanne K. Lenger, 2006). Jadi bentuk seni massa adalah bentuk ekspresi masyarakat penciptanya, ekspresi dari perasaan manusia. Dengan demikian, melalui karya seni, budaya suatu masyarakat dapat dipelajari.  Karya seni hampir digunakan dalam semua bidang sosial kemasyarakatan. Upacara religi, prosesi adat, hingga sampai pernak-pernik busana sehari-hari. Peran seni menjadi sangat dominan dalam kebudayaan. Oleh karena itu tidaklah salah kiranya ketika seseorang berbicara mengenai budaya maka imajinya akan terbawa pada perkara yang menyangkut seni. Meski pada dasarnya makna kebudayaan lebih besar dari seni tetapi kebudayaan sering dikaitkan dengan seni itu sendiri.

Jika kita kembali menilik tabel penyelenggaraan Kongres Kebudayaan dari tahun ke tahun maka akan kita temui item kesenian di dalamnya. Apakah itu seni sastera, tari, wayang, teater, dan bahkan film. Seni selain hasil ekspresi murni sang seniman, ia dapat dijadikan media. Seni sebagai media ini erat kaitannya dengan produk budaya. Dalam budaya daerah tertentu pada prosesi adat yang menggunakan tarian, seni dijadikan media komunikasi antara yang hidup dengan arwah leluhur, dimana sang tetua melakukan upacara penyejarahan umat manusia secara transendental.

Dalam kebudayaan Indonesia, produk masa lampau yang masih bertahan hingga masa kini adalah produk seni budaya dalam tahap mitis. Cara berpikir budaya mitis menekankan penyatuan manusia dengan alam di luar dirinya. Hidup merupakan kesatuan maha besar, antara manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam, antara manusia dengan roh gaib, antara manusia dengan seluruh kosmos semesta ini. Manusia harus menyelaraskan diri dengan kosmos tadi kalau mau selamat di dunia fana ini. Manusia menyatukan dirinya dengan objek di luar dirinya, dan dari sana menemukan jati dirinya (Jakob Sumardjo, 2000:320).

Produk seni budaya masa lampau inilah yang alirannya masih terus terasa di sebagian besar wilayah Indonesia. Kreasi seni yang lahir dari irama keselarasan alam, penyatuan jagad kecil dan jagad besar inilah yang mewarnai budaya bangsa. Dengannya makna seni dan budaya melekat menjadi satu kesatuan. Inilah warisan yang harus dipertahankan atau dikembangkan dengan tetap berpijak pada garis estetikanya yang membumi.

Keberagaman Seni
Keberagaman seni sebagai bentuk perwujudan budaya yang tersebar di Indonesia adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. Dari ujung barat sampai Timur wilayah kepulauan NKRI terhampar ribuan karya seni budaya. Masing-masing hadir dengan estetika dan nilai-nilainya. Masing-masing sudah semestinya dipersatukan dalam wadah kesatuan dalam keberagaman (unity in diversity). Tidak ada yang satu lebih baik dari yang lain dan atau sebaliknya.

Pemahaman akan keragaman kesenian menjadi satu hal yang mutlak diperlukan. Manusia menggunakan rasa dan intuisinya untuk menciptakan karya seni yang menggambarkan keindahan. Rasa akan keindahan inilah yang menjadi dasar menghargai karya orang lain, karya bangsa lain, karya daerah lain. Dalam edukasi kesenian penggunaan istilah ”ini benar – itu salah” selayaknya dihilangkan karena istilah semacam itu akan melahirkan sikap chauvinis yang pada akhirnya membenarkan (menganggap indah) budaya daerah sendiri dan menyalahkan (menganggap jelek) budaya daerah lain.

Dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, satu komunitas masyarakat (budaya) mengalami akulturasi akibat dari sistem politik dan ekonomi. Dorongan naluriah manusia untuk mempertahankan hidupnya membawa ia mengembara dan bergaul dengan manusia lain. Keadaan ini telah berlangsung semenjak manusia hadir di dunia. Karena itulah percampuran budaya antar masyarakat dalam satu wilayah tidaklah mengherankan. Kedewasaan sikap untuk saling menerima menjadikan ekspresi budaya semakin kaya. 

Dalam kehidupan modern, tidak hanya budaya tradisi daerah satu dengan daerah lain bertemu. Tetapi budaya bangsa lain yang lebih modern pun mengambil peranan. Budaya Timur yang bersifat mitis bertemu dengan budaya Barat yang ontologis. Jika budaya Timur menganggap manusia bagian dari alam maka budaya barat membuat manusia mencoba untuk memahami alam di luar dirinya berdasar penalarannya dan pembuktia nyata yang tak terbantahkan. Masyarakat Indonesia modern yang mendapat pengaruh budaya Barat telah lama lahir melalui masyarakat terpelajar sejak jaman kolonial. Cara berpikir semacam ini telah melahirkan berbagai macam ekspresi dan kreasi seni dari generasi ke generasi.

Dengan demikian keragaman seni budaya Indonesia semakin kompleks dan memikat. Di saru sisi seni budaya yang lahir dari warisan tradisi mitis masih berkembang di sisi lain warisan budaya ontologis juga memekarkan dirinya. Belum lagi dalam satu komunitas kehidupan kota (masyarakat urban) yang terdiri dari beragam suku dan budaya maka para anggota masyarakat harus mampu hidup berdampingan dengan budaya selain dari sukunya. Dalam tatanan masyarakat seperti ini satu orang sebagai representasi satu budaya harus mampu menerima dan menghargai budaya lain baik itu budaya daerah maupun modern. Karena itu, menurut Magnis Suseno (2006), ”tidak ada alternatif lain, kita harus belajar hidup bersama dengan toleran, baik, berdamai”. Keberagaman seni harus kita terima sebagai satu bentuk pembelajaran hidup untuk saling menghargai dan menghormati.
 
Nasionalisme dalam Karya Seni
Dalam kerangka memajukan kebudayaan Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, telah mengamanatkan dalam pasal 32 yaitu ”Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia,” yang selanjutnya dijelaskan bahwa ”Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan bangsa harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Dalam salah satu sambutannya pada Malam Anugerah Seni dan "Mboru Ate Tedeh" 2007, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengatakan ”Kekayaan budaya bangsa harus menjadi pilar utama dalam menangkal pengaruh negatif budaya asing. Kekayaan budaya bangsa harus menjadi penyaring atau filter masuknya nilai budaya asing yang tidak sesuai budaya kita," (antara.com). Dengan demikian baik dari amanat UUD 45 maupun himbauan Presiden RI, budaya  bangsa harus mampu tampil dengan kokoh penuh citra, tidak phobi terhadap budaya asing yang baik dan mampu melindungi diri dari pengaruh negatif.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut dibutuhkan kerja keras semua komponen bangsa. Seniman sebagai agent of change bagi produk budaya harus mau meluangkan waktu dan pikirannya untuk menciptakan kreasi yang menunjukkan identitas ke-Indonesiaan. Bukan secara verbal seperti seni pesanan melainkan melalui kaidah estetis dan citarasa tertentu.

Seiring  dengan kemuan jaman yang semakin mengglobal. Arus perubahan dan informasi yang semakin pesat yang oleh Friedman digambarkan sebagai ”Dunia Datar” ini memacu hidup manusia untuk semakin cepat dan tanggap dalam menghadapi perubahan. Menghadapi perubahan bukan berarti harus mengikuti arus tetapi bagaimana tetap mampu berkembang (berubah) dengan berdasar pada jati diri sejati. Globalisasi harus disikapi dan dihadapkan dengan kearifan lokal, sebab jika tidak vibrasi materi yang di bawanya akan menyeret kita menjadi konsumen apapun.

Kesenian sebagai jagad yang penuh simbol estetika sepantasnya dijadikan mata panah untuk menyampaikan pesan-pesan kearifan lokal, pesan ke-Indonesiaan. Nasionalisme harus dijadikan simbol bersama dalam karya seni. Menggali potensi budaya lokal, mencermati nilai-nilainya, dan mengemasnya menjadi karya seni baru yang artistik. Karya seni baru yang berpijak pada akar budaya lokal, karya baru yang membumi.

Seni Budaya dalam Pendidikan
Pendidikan seni selama ini agak sedikit dipinggirkan. Dengan dijadikannya kegiatan intrakurikuler maka diharapkan pemahaman terhadap seni semakin baik. Seni dalam pendidikan sudah ada sejak Abad Pertengahan yang dalam proses pembelajarannya menerapkan “Kurikulum Seni Liberal” terdiri dari 7 bidang untuk mencapai keseimbangan antara seni dan ilmu yang terdiri dari Trivium (level rendah): Tata Bahasa, Logika, Retorika dan Quadrium (Level lebih tinggi): Aritmetika, Geometri, Astronomi, Musik. (Michael J. Gelb, 2001)

Leonardo Da Vinci, seperti dituturkan oleh Michael J. Gelb (2001) memliki 7 prinsip dalam belajar, yaitu curiosita (keingintahuan yang tak terpuaskan, upaya tak kenal lelah untuk belajar tanpa henti), dimostrazione (menguji pengetahuan melalui pengalaman, ketekunan, dan sedia belajar dari kesalahan, sensazione (penajaman indera secara terus-menerus untuk menghidupkan pengalaman), sfumato (kesediaan untuk menerima, paradoks, ambiguitas dan ketidakpastian, srte/scienza (mengembangkan keseimbangan antara ilmu dan seni, logika dan imajinasi (whole brain thinking), corporalita (pemupukan keterampilan, kebugaran dan sikap tubuh yang benar), connessione (pengakuan dan penghargaan terhadap keterkaitan semua hal dan fenomena (pemikiran sistemik). Dalam prinsipnya ini Da Vinci menempatkan kesenian sebagai penyeimbang logika dan imajinasi untuk mendorong pemikiran yang utuh.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seni sangatlah penting. Selama ini pendidikan lebih mementingkan pembangkitan otak kiri. Sedangkan otak kanan kurang diperhatikan. Daniel H. Pink (2007: 93-95) mengutarakan enam kecerdasan yang dapat dibangkitkan melalui otak kanan, yaitu:
  1. Tidak hanya fungsi tetapi juga disain. Tidaklah lagi memadai untuk menciptakan sebuah produk, jasa, pengalaman, atau gaya hidup yang semata-mata fungsional. Saat ini adalah saat yang secara ekonomi penting dan berharga secara personal untuk menciptakan sesuatu yang juga indah, sedikit fantastis, dan menarik secara emosional.
  2. Tidak hanya argumen namun juga cerita. Ketika hidup kita penuh dengan informasi dan data, mengumpulkan argumen yang efektif tidaklah memadai. Seseorang entah dimana pun juga pasti akan menemukan sesuatu yang berbeda untuk membantah maksud anda. Esensi dari persuasi, komunikasi, dan pemahaman diri telah menjadi suatu kemampuan juga untuk menciptakan suatu kisah menarik.
  3. Tidak hanya fokus tetapi juga simponi. Ketika pekerjaan direduksi dalam software maka penghargaan dijatuhkan pada kerja menggabungkan bagian-bagian. Apa yang menjadi permintaan terbesar bukanlah analisa tetapi sintesa.
  4. Tidak hanya logika tetapi juga empati. Dalam sebuah dunia yang penuh dengan informasi serta penggunaan alat-alat analitis yang maju, logika sendiri tidaklah bisa. Apa yang akan membedakan adalah kemampuan mempererat hubungan, dan kepedulian pada orang lain.
  5. Tidak hanya keseriusan namun juga permainan. Tentu ada saatnya untuk serius. Namun terlalu banyak keseriusan mungkin tidak baik. Dalam era konseptual, dalam pekerjaan dan kehidupan, kita perlu bermain.
  6. Tidak hanya akumulasi tetapi juga makna. Kita hidup dalam kelimpahan materi yang menarik. Hal itu menyebabkan kita untuk mengejar kesenangan-kesenangan yang lebih bermakna; transendensi, dan pemenuhan spiritual.
Keenam kecerdasan yang diungkap oleh Pink dapat ditemukan dalam pembelajaran seni. Disain, cerita, simponi, empati, permainan, dan makna adalah hal-hal pokok yang dibicarakan dan dipraktekkan dalam pelatihan seni  budaya.

Dengan muatan nilai-nilai kearifan lokal pada seni budaya nusantara maka pembelajaran seni dengan pendekatan enam kecerdasan tersebut dapat melahirkan ekspresi baru. Sebuah ekspresi yang melahirkan makna baru dari nilai  lokal yang ada sehingga bentuk kreasinya tetap berpijak pada akar budaya lokal yang kuat. Jika semua bentuk ekspresi bisa seperti ini maka jalinan komunikasi di antaranya akan berjalan seimbang, saling menghargai, hingga dapat melahirkan satu kesatuan rasa. Indonesia.

(disampaikan dalam forum diklat guru seni budaya di Gorontalo dan Pontianak tahun 2013)


Bacaan:

Friedman, Thomas L.  2006., The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Jakarta: Dian Rakyat.
Gelb. Michael J., 2001. Menjadi Jenius Seperti Leonardo da Vinci, Menggunakan Tujuh Prinsip Da Vinci untuk Meningkatkan Kreativitas dan Meyeimbangkan Tubuh dan Pikiran, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Koentjaraningrat, 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Gramedia
Langer, Suzzanne K. 2006. Problematika Seni, Bandung: Sunan Ambu Press.
Muhammad, Abdulkadir., 2005. Ilmu Sosial Budaya Dasar, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Pink, Daniel H., 2007. Misteri Otak Kanan Manusia, Jogjakarta: Think.
Sumardjo, Jakob, 2000. Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB.
Supartono, 2004, Ilmu Budaya Dasar, Bogor Selatan: Penerbit Ghalia Indonesia
Suseno, Franz Magnis, 2006, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

 
Website:
http://www.antara.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar