Catatan
Parade Teater Taman Budaya Jawa Timur 2017
Oleh:
Eko Santosa
(Catatan pengamatan ini disampaikan kepada panitia Parade Teater Jawa Timur, Taman Budaya Jawa Timur)
Dua hari berada di Taman Budaya Jawa
Timur dalam agenda Parade Teater Jawa Timur mulai tanggal 18 sampai dengan 19
Agustus 2017 mengapikan satu semangat tersendiri. Agenda yang menampilkan 6
kelompok teater yang sebagian besar adalah teater kampus seolah menyajikan
lukisan penuh warna. Panggung menjadi arena kreatif talenta muda dalam
mewujudkan gagasan artistiknya. Ada yang merasa nyaman untuk tampil, ada yang
ragu, dan ada pula yang mencoba menohok meski masih menahan diri untuk sesuatu
yang belum diketahui mengapa. Panggung teater menjadi area penuh energi muda
dengan wajah-wajah yang seolah berada di antara garis keraguan, keangkuhan,
keakuan, kepastian pilihan maupun kebebasan wisata jiwa. Semua menemu maknanya
ketika sebagian besar penonton juga berada di garis yang sama. Dalam semalam
3 pementasan digelar dan itu lebih dari
cukup bagi orang-orang yang datang menonton untuk sementara mengasingkan diri
dari riuhnya realitas kehidupan sehari-hari. Malam pertama tampil Lakon B.O.R, Kekenceng Adalah Situs, dan Wek
Wek. Sedangkan malam kedua menyajikan lakon Sarip Tambak Oso, Balada Perempuan, dan Brol. Berikut catatan pengamatan sederhana sebagai refleksi Parade
Teater Jawa Timur.
B.O.R yang merupakan adaptasi karya Putu
Wijaya dipentaskan oleh Teater Universitas Kanjuruan Malang. Pertunjukan
dimulai dengan menampilkan dua orang duduk di ketinggian sisi kanan dan kiri
yang dibatasi ruang berwarna hitam, sekaligus sebagai latar. Sementara dari
kanan dan kiri panggung muncul kelompok orang yang masing-masing membawa lampu
penerang (senter). Set panggung ditata secara simetris, pun demikian dengan
pola blocking secara keseluruhan. B.O.R bercerita tentang
kebobrokan pemerintah di satu negeri. Sang pemimpin mementingkan diri sendiri
dan bertindak otoriter. Kondisi ini coba disajikan dengan hadirnya dua orang
dalang yang duduk di ketinggian dan adegan ceramah seorang pemimpin yang
memperkenalkan teknologi mutakhir komputer. Di dalam acara ini, suasana chaotic
terjadi karena adanya para wartawan yang menyusup di tengah kerumunan untuk
mendapatkan berita dan dijual. Sementara ada beberapa orang melakukan provokasi
sehingga ketegangan tidak terkendali. Wakil pemerintah berusaha menyebar uang
untuk membungkam para wartawan namun toh keadaan tidak terselamatkan sehingga
perlu menumbalkan seseorang sebagai korban.
Namun sayang, suasana tegang
dan absurd yang menjadi ciri Putu Wijaya kurang bisa ditampilkan dalam adegan
ini. Kehadiran dan wicara 2 orang dalang kurang membantu dinamika adegan. Pun
demikian dengan sosok pemimpin dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal ini
terjadi karena dialog pendek-pendek para tokoh kurang terdistribusi dengan
lancar dan jelas. Mungkin terhalang oleh aksi menyalakan senter ke muka sendiri
ketika harus memulai wicara atau dialog. Padahal, ilustrasi musik perkusif yang
melatari cenderung mendorong situasi menjadi tegang. Namun karena komunikasi psikologis
antara pemeran satu dengan yang lain kurang terjalin, ilustrasi musik seolah
berjalan dengan plotnya sendiri dan kurang terhubung dengan adegan. Sosok
pemimpin yang hadir di tengah masa juga
kurang bisa menyampaikan gagasan kalimat dialog dengan jernih. Akhirnya
ketegangan situasi dalam adegan ini hanya bisa kuat ditampilkan melalui tata
panggung yang simetris bergaris tegas, ilustrasi musik perkusif, dan pola blocking
triangular.
Absurditas situasi dan teror
baru terasa pada adegan berikutnya di mana rombongan penduduk berkerumun di
sekitar kepala. Kalimat-kalimat dialog pendek yang terlontar jelas berpadu
dengan suasana takut, tegang, dan saling curiga yang coba dibangun. Tidak jelas
memang apa yang akan dituju dari keseluruhan rangkaian dialog orang-orang ini.
Yang ada hanyalah ketidakpastian yang mengekang dan membuat mereka tak kunjung
beranjak serta berada di antara keraguan dan keputusan. Orang-orang saling
menduga apa yang terjadi, namun pada saat yang sama mereka saling bantah dan
mencoba satu solusi naif yang diamini meski saling tidak yakin. Ciri khas Putu
Wijaya muncul di sini di mana situasi absurd itu berpadu dengan teror meski hal
itu hanya terjadi di antara mereka (pemain) sendiri. Sementara di kursi
penonton, yang paling mencolok adalah absurditas situasi dan kelucuan yang
ditimbulkan atas solusi yang dipilih oleh orang-orang tersebut – tidak sampai
ke teror. Adegan ini sangat menarik untuk diikuti. Jika saja blocking
berkelompok (grouping) lebih tertata dengan mempertimbangkan
tinggi-rendah dan jarak antarpemain, visualisasi adegan yang ditampilkan akan
semakin nyaman dipandang. Pengulangan adegan do’a bersama sebagai solusi naif
masyarakat atas persoalan yang dihadapi sedikit terlalu berlebih walau
menghasilkan tawa. Meski begitu, dinamika lakon dapat berjalan dengan baik
karena tidak terganggu oleh interupsi 2 dalang seperti pada adegan sebelumnya.
2 orang dalang menjadi kehilangan peran – meski terus ada di atas pentas - dan
justru itu membuat cerita mengalir berjalan sampai ke akhir.
Berikutnya, Teater Komunitas
Malang mementaskan Kekenceng Adalah Situs. Panggung dibuka dengan
penampilan seorang remaja putri yang seolah sedang ber-swa foto di berbagai
lokasi. Kemudian ia mengajak seluruh hadirin untuk menyanyikan lagu Indonesia
Raya sebelum pertunjukan sesungguhnya dimulai. Setelahnya ia menceritakan
pengalaman diri pribadinya menandaskan pentingnya kenangan akan cinta meski tak
harus memilikinya sekaligus sebagai kisah pembuka cerita. Sebuah opening
yang menarik terutama pada momen lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan
seluruh hadirin dengan berdiri tegap dengan konduktor remaja putri tadi. Akan
tetapi karena sebelumnya, ia tampil ber-swa foto dengan pose unyu di sana sini,
ajakannya untuk menyanyikan Lagu Kebangsaan dianggap tak serius pada awalnya.
Hal yang paling menarik dari adegan pembuka ini adalah (semacam) curhat sang
remaja putri yang terucap datar, kadang terbata, pola wicara yang berada di
antara cerita dan reportase justru mengena dan mewakili sosok remaja.
Secara keseluruhan lakon ini
bercerita tentang latar belakang atau sejarah sebuah situs. Kisah cinta yang
berjalan tidak mulus sepasang manusia yang merupakan sejarah kehilangan. Kisan
cinta bisa saja menghasilkan duka, amarah, suka, atau rencana masa depan yang
lain bagi pelaku. Meski tidak jelas latar sejarah yang diambil dari lakon ini,
namun penyajiannya cukup menarik terutama penyajian perjalanan waktu dari masa
kini ke masa lalu dan kembali ke kini. Selepas tampilnya remaja putri tadi,
kisah dilanjutkan dengan tembang yang seolah menarik waktu mundur. Dari sini
sejarah cinta terkendala itu bermula. Cerita berjalan lumayan singkat untuk
menggambarkan seorang berkasta lebih tinggi di antara yang lainnya, jatuh cinta
kepada seorang putri dan berakhir kandas oleh sebab yang tak pasti. Gelora
kehidupan remaja tokoh yang digambarkan penuh kelucuan di antara dedikasi dan
kepemimpinan terenggut begitu saja dengan kehadiran seorang wanita. Lalu cerita
mengalir hanya di antara sepasang kekasih ini, hingga yang satu melupakan yang
lain dan menghasilkan rasa membatu. Tembang kembali hadir untuk kembali menarik
waktu ke kini di mana ekskavasi situs berjalan dan lokasi menjadi wisata
tersendiri kemudian.
Teater Komunitas lumayan
cerdik memainkan dinamika sang waktu dalam perwujudan adegan teatrikal. Akan
tetapi cerita cinta menjadi terasa ringan, sementara, dan berat untuk
menghadirkan pesona romantisme dua pasang remaja yang justru menjadi pokok
persoalan lakon. Pilihan komedi pada adegan sebelumnya membawa penonton pada
pesona tawa yang terlalu mendalam. Ketidakjelasan latar sejarah tokoh yang
diambil tidaklah menjadi masalah berarti dalam pertunjukan ini karena, sebagai
analogi, fakta bahwa masyarakat lebih heboh dengan legenda Bandung
Bandawasa dan Rara Jonggrang daripada keberadaan
Prasasti Siwagrha di seputar sejarah pembangunan Candi Prambanan, menguatkan hal
tersebut. Namun komedi bukanlah pilihan tepat, terutama pada awal cerita dengan
persentase durasi lumayan banyak. Apalagi hikayat manusia kasmaran itu kemudian
digambarkan dengan komposisi tari atau gerak indah. Ia terasa kurang menggigit
dan belum bisa menghilangkan pesona tawa adegan sebelumnya. Bahkan ketika
proses ekskavasi situs dilakukan di mana adegan tersebut termasuk serius tetap saja
memancing tawa. Pilihan pemain gitar dan penyanyi sebagai tanda waktu kini yang
bisa jadi sangat menarik untuk dikritisi juga menjadi sedikit cair. Artinya,
penonton menjadi bertanya, mengapa harus pemain gitar yang keluar-masuk sambil
menyeret kursi dan penyanyi? Mengapa harus menyeret kursi dan tidak beridir
saja? Mengapa tidak dengan (semacam) reportase seperti adegan pembuka? Namun
pilihan artistik tetap ada pada pekarya dengan segala konsepnya. Ketika pada
akhirnya penonton mampu meredam rasa lucu dalam pikirannya pada waktu tersisa, pertunjukan
sajian Teater Komunitas Malang ini dapat berakhir baik.
Penampilan terakhir pada
malam pertama adalah Serambi Teater STKW Surabaya dengan lakon Wek Wek. Lakon
komedi klasik ini dibawakan dengan pendekatan drama musikal. Wek Wek bercerita
tentang akal-akalan yang dilakukan oleh para tokoh yang mengambil figur
Punakawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Para tokoh ini ditampilkan
tidak dalam wujud Punakawan seperti dalam Wayang Orang, namun dengan penampilan
kekinian. Hanya tata rias yang coba dipertahankan tetap seperti Punakawan versi
Wayang Orang. Bagong coba digambarkan sebagai pengusaha beretnis Tionghoa,
Gareng adalah seorang pembela penuh akal, Petruk seorang Sontoloyo (gembala
bebek) bodoh, dan Semar adalah lurah sekaligus pengadil persoalan yang ada.
Petruk oleh Bagong dianggap telah merugikan usahanya Karena tidak mampu
menyetor telor bebek sejumlah yang ditentukan. Sementara semua bebek adalah
milik Bagong. Bahkan beberapa bebek dinyatakan hilang oleh Petruk. Atas
persoalan ini, Bagong melaporkannya pada Lurah Semar untuk mendapat pengadilan.
Bagong berharap Petruk mengembalikan kerugian berlipat. Gareng yang datang
mencoba membantu Petruk dengan harapan dapat uang hasil perkara. Namun, hasil
akhir dari pengadilan justru menguntungkan Petruk karena strategi Semar.
Sebagai Lurah, Semar sudah tahu akal-akalan yang dilakukan baik oleh Bagong
maupun Gareng.
Lakon ini sejatinya memiliki
struktur dramatik klasik di mana alur cerita memenuhi semua tahapan mulai dari
introduksi sampai ke resolusi. Pengadeganan lakon mengacu pada teater
tradisional kerakyatan dengan gaya presentasional, di mana semua tokoh
memperkenalkan dirinya pada adegan pembuka dan menegaskan akibat yang terjadi
pada diri masing-masing dalam adegan penutup serta kalimat dilaog dan aksi
seolah ditujukan secara langsung untuk mendapat tanggapan penonotn. Baris-baris
kalimat dialog tokoh memiliki kesamaan bunyi pada suku kata akhir setiap
kalimat, sehingga jika tidak cerdik dalam mengolah, para tokoh seolah akan
berbalas pantun dengan irama cenderung monoton. Tetapi dengan pendekatan drama
musikal semua menjadi terasa lain. Lakon tampil lebih segar. Dialog perkenalan
dan dialog lain yang dinyanyikan tidak menjebak pemeran untuk berpantun. Semua
nampak mengalir, luwes dan menarik untuk diikuti. Hanya saja penampilan Dalang
sebagai pengantar cerita tidaklah terlalu perlu mengingat cerita yang hendak
dipentaskan jelas dan sederhana logikanya. Jika hadirnya Dalang dimaksudkan
untuk menambah keseruan, juga tidaklah perlu karena instrumentasi tampilan
drama musikal sudahlah seru dengan sendirinya. Lagipula, gaya aksi dalang
kuranglah menyatu dengan karakter lain maupun bentuk drama musikal yang
dipilih. Bahkan, kehadiran Dalang seolah sengaja ingin menandaskan bahwa Wek Wek yang dipentaskan berbeda dengan
penampilan lain yang dianggap terlalu serius. Justru pernyataan Dalang ini
menandakan adanya ketegangan (di antara mereka sendiri) sebelum Wek Wek ditampilkan atau keakuan yang
telah dibangun lumayan tinggi akan suksesnya pementasan Wek Wek dan membawa aroma parade menjadi kompetitif.
Lepas dari itu, drama atau
teater musikal Wek Wek berhasil
menghibur sekaligus menyampaikan amanat lakon dengan baik. Pola blocking triangular (segitiga) dengan
memainkan tinggi rendah panggung menarik untuk diikuti dan membuat karakter
menjadi jelas terlihat (tidak saling menutupi). Tampilan para figuran dalam
adegan tertentu untuk mendukung suasana juga sangat cerdas. Dialog yang
dilagukan mampu membawa suasana baru dan menarik untuk disaksikan. Bagaimana
para pemain menyanyikan dialog dan bergerak mengikuti irama musik menyajikan
keindahan tersendiri. Hal ini juga didukung para pemain yang begitu yakin
memerankan karakter lakon. Namun, segala irama nyanyian ini tiba-tiba hilang
pada saat adegan pengadilan. Meski tidak mengurangi kemenarikan, namun cukup
disayangkan. Pun demikian ketika perubahan set menuju ke pengadilan, para
figuran tidak melakukannya sambil menyanyi dengan komposisi gerak yang digarap
sedemikia rupa seperti adegan sebelumnya. Rasa drama musikal yang telah
dibangun seolah berubah menjadi drama konvensional yang hanya berisi kata-kata.
Hal lain yang sedikit mengganggu adalah penetapan karakter Petruk dan Bagong di mana mereka harus
memberikan tambahan interjeksi pada setiap akhir kalimat. Bagong menambahkan
interjeksi untuk menegaskan bahwa dia beretnis Tionghoa, sementara Petruk
menggunakannya untuk melabeli dirinya orang bodoh. Interjeksi ini terkadang
mempengaruhi kejelasan makna kalimat dialog yang diucapkan dan menjadi sedikit
berlebih. Artinya, sesuatu yang sudah jelas sebenarnya tidak lagi perlu
dijelas-jelaskan. Namun segala catatan ini tidaklah menggusur kemenarikan Wek Wek dari sisi penonton.
Sarip Tambak Oso menjadi pementasan pembuka malam kedua
yang ditampilkan oleh Arek Teater STKW Surabaya. Pentas dihiasi dengan sangkar
besi besar berisi puluhan burung. Sangkar tersebut digantung dengan rantai besi
yang kuat dan di bawahnya berdiri seorang gadis yang menari mengikuti lagu
sambil mempermainkan (menguasai) sangkar. Rupanya gadis tersebut adalah gambaran kolonialis atau
pihak Belanda. Ia menari sampai lagu selesai. Setelah itu ia mengabarkan
dominasi Barat atas Timur dengan tegasan visual seorang Lurah yang menuruti
segala perintahnya, bahkan mencium kakinya. Perkabaran tentang dominasi ini terus
berulang dengan visualisasi ketundukan pribumi atas perintah kolonial baik
dalam bentuk pelayanan maupun kerja. Sementara perlawanan pribumi yang diwakili
oleh sosok Sarip digambarkan dengan usaha kerasnya untuk membebaskan burung
dari sangkar besi. Beberapa kali ia mencoba, bahkan harus berkelahi dengan
pribumi lain, dan beberapa kali ia ditembak mati. Namun, kekuatan Sarip yang
sejati adalah Ibunya. Ia akan bangkit lagi dari kematian ketika mendengar
panggilan sang ibu dengan kalimat magis yang menyatakan bahwa (kematian) ini
belum saatnya. Hal ini terus terjadi hingga Sarip mampu membuka pintu sangkar
besi meski harus mengorbankan dirinya.
Pengadeganan
yang cukup simbolis dari lakon ini mendukung wicara tokoh yang lebih cenderung
berupa pernyataan daripada dialog. Aksi gerak tubuh lebih banyak mewarnai laku
lakon. Hal itu cukup menggambarkan cerita dan pesan yang hendak disampaikan.
Dalam teater yang lebih banyak menyajikan simbol, pemilihan objek dan subjek
visual, aksi serta skenografi menjadi sangat penting. Sebab jika hal ini kurang
mendapat perhatian bisa jadi simbol tersebut justru akan merusak citraan yang
diharapkan. Ia bisa saja hadir kurang suara atau terlalu cerewet mengabarkan
sesuatu yang maknanya sudah sangat jelas. Dalam kasus ini misalnya, pilihan
lagu Sonja perlu diperdebatkan.
Apakah lagu itu diambil untuk mewakili Belanda karena memang lagu itu berbahasa
Belanda, ataukah lagu itu dipilih untuk menggambarkan Ratu Belanda sebagai
penguasa sesungguhnya, ataukah lagu itu memiliki makna kekuasaan di dalamnya?
Jika hanya karena lagu itu berbahasa Belanda, maka pemutaran lagu secara full dan sering muncul dalam pergantian
adegan terlalu banyak. Ditambah dengan gerak tarian si tokoh yang sangat gamang
antara erotis, liar, dan diam menikmati dalam keterbatasan vokabulari gerak.
Penonton tidak diberikan pesan apapun selain bahwa tokoh itu adalah orang
Belanda karena lagu yang dimainkan berbahasa Belanda.
Sementara
jika lagu itu dipilih sebagai simbol diri Ratu Belanda juga kurang begitu kena
karena Belanda tidak memiliki Ratu bernama Sonja pada masa itu. Ratu yang
berkuasa pada masa kolonial di Hindia Belanda dan perang kemerdekaan Indonesia adalah
Wilhelmina (1890-1948) dan Ratu Juliana (1948-1980). Sedangkan dari sisi syair,
lagu Sonja sama sekali tidak terkait
dengan dominasi Belanda atas Hindia. Bait awal lirik lagu Sonja, “Sonja, lieve Sonja, waarom
kwam die ander op je pad” dapat diartikan secara dasar sebagai; “Sonja,
Sonja sayang, mengapa hadir orang lain di jalanmu”. Lirik akhir refrain lagu, “Als het orgel spelt vergeet ik dat de zon
morgen voor je schijnt”, dapat diartikan, “Ketika organ (lagu) itu pada
akhirnya dimainkan aku akan menjadi lupa bahwa matahari akan bersinar esok”. Dari
cuplikan 2 lirik lagu tersebut jelas bahwa Sonja
menceritakan kegalauan hati seorang laiki-laki di mana ada orang lain yang
berdiri antara dirinya dan Sonja. Laki-laki itu juga tahu bahwa Sonja tak
memilih dirinya sehingga ketika akhirnya lagu pernikahan dimainkan, dunia
laki-laki itu seolah menjadi gelap dan ia tak tahu lagi apa yang akan terjadi
esok hari. Jadi menurut liriknya, ini adalah lagu tentang kegagalan cinta.
Pertanyaanya kenapa lagu ini yang dipilih? Apakah sesungguhnya Sarip tidak
memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan ingin merebut hati si gadis
Belanda? Jika memang iya, apakah dengan demikian Sarip telah berkhianat dan
menutupi pengkhianatannya dengan seolah memperjuangkan kebebasan bagi rakyat?
Kalau menilik cerita Sarip, tentu saja tidak demikian karena Sarip justru
pahlawan yang dikorbankan. Oleh karena itu, kemungkinan paling besar lagu Sonja dipilih karena latar bahasanya.
Dan persoalannya adalah lagu itu diputar terlalu lama serta berulang untuk
sebuah simbol yang sederhana dan mudah ditangkap penonton. Kesederhanaan makna
di dalam keberlimpahan aspek visual ini menyelimuti seluruh pementasan Sarip Tambak Oso. Bisa jadi menarik,
namun terlalu banyak. Bisa jadi perlu namun kurang terkoordinasi dengan durasi.
Bisa jadi membutuhkan pengulangan namun perlu pertimbangan timing. Bisa jadi menghentak, namun ia tampil ragu-ragu.
Keberlimpahan
visualisasi untuk kesederhanaan makna yang terjadi pada Arek Teater juga
menimpa Teater PBSI Unipa Surabaya dalam Balada
Perempuan dengan bentuk lain. Lakon ini merupakan adaptasi dari puisi WS
Rendra Nyanyian Angsa yang bercerita
tentang perjalanan hidup seorang PSK bernama Maria Zaitun. Ia diusir dari rumah
bordil akibat penyakit yang dideritanya. Ia tak lagi bisa diterima di tempat di
mana ia menuju. Semua orang mencibirnya. Maria Zaitun adalah potret buram
seorang perempuan penjaja cinta yang harus
menjadi sepah ketika manisnya telah habis dikecap para laki-laki munafik. Ia
seolah hadir mewakili derita semua wanita dari beragam sisi, karir, dan hidup.
Sebuah lakon yang miris dan mengandung moral kuat.
Untuk menggambarkan laku
hidup Maria Zaitun ini, panggung dibuka dengan komposisi pemain simetris
bagaikan koor dengan tata panggung simetris pula. Dan mereka secara serempak
mengucapkan kalimat-kalimat puitik nan lantang. Posisi dan tata panggung
simetris serta ucapan tegas, datar serta lantang seolah menjadi 2 nilai yang
saling menghapuskan. Dan memang yang terjadi demikian di mana pada akhirnya
kalimat-kalimat dialog lah yang terkalahkan. Ia memang lantang terucapkan,
namun kejelasan makna kalimat tenggelam karena speed dan volume yang
tinggi demi mengejar kelantangan ucapan. Mungkin akan lain halnya jika
kalimat-kalimat itu diucapkan dengan lebih berirama dan berani memainkan jeda.
Kondisi seperti ini hampir terjadi di setiap koor atau kalimat dialog yang
lantang diucapkan dengan speed dan volume tinggi plus timpahan musik
perkusif yang kuat. Semua elemen tersebut yang rencananya digunakan untuk
saling menguatkan pada akhirnya justru saling menghapuskan.
Sketsa-sketsa pembuka yang
ditampilkan dalam bentuk pernyataan berkelompok untuk menandaskan lemahnya
posisi kaum perempuan juga terasa kurang mengigit. Latar persoalan yang terlalu
dangkal untuk diungkap kurang menegaskan upaya keras kaum perempuan dalam
merebut posisi dan eksistensinya dalam masyarakat modern. Semua narasi banal
ini dapat dilacak mengarah pada diskriminasi moralitas yang menyelimuti
kehidupan Maria Zaitun. Akhirnya, semua sketsa hanya mengarah pada pelecehan
seksual yang dialami oleh perempuan dalam setiap bidang pekerjaan yang
digeluti. Pandangan ini terlalu satu arah dan kesatuarahan tersebut juga kurang
menancap karena bentuk ungkapnya justru mendulang tawa. Hal ini juga terjadi
pada adegan sela yang difungsikan sebagai gambaran ditolaknya Maria Zaitun oleh
semua kalangan yang mana diwakili pihak gereja dan rumah sakit. Bukan kesedihan
yang dirasa namun tawa leceh yang didapat. Persoalan dasar bermain peran sangat
berpengaruh di sini. Ekspresi artifisial yang cenderung bergaya presentasional
tentulah bukan pillihan tepat. Meski adegan sela ini hanya tampil sekelebat
namun intensitasnya sangat penting mendukung makna cerita. Bahkan ketika
gambaran-gambaran asmara atau transaksi cinta dalam bentuk tari maupun
komposisi gerak indah ditampilkan sebagai penegas justru menjadi kurang sesuai.
Adegan sudah terlalu banyak dilimpahi pernyataan puitik dan menjadi luber
informasi oleh komposisi tari dan gerak indah plus dentum musik perkusif yang
terlalu mengintervensi pendengaran. Akhirnya, Maria Zaitun harus berjuang
sendiri untuk menyampaikan pesan moral atas laku hidup yang dijalaninya.
Memang, pemeran Maria Zaitun cukup kokoh untuk mengemban tugas berat ini. Meski
di tengah pertunjukan suaranya mulai memarau ia tetap tegap dengan segala daya
untuk membawa lakon sampai titik selesainya. Sebuah usaha yang patut
diapresiasi dan perlu dukungan kerendahan hati dari unsur artistik serta konsep
pengadeganan dan pemanggungan.
Problematika
dasar lakon Balada Perempuan terkait
isu yang dilemparkan terasa kurang begitu tepat dalam kondisi sosial kini.
Mungkin tema ini akan lebih mengena saat situasi penggusuran lokalisasi Dolly
menjadi polemik. Orang kemungkinan akan kembali berpikir mengenai betapa
munafiknya para lelaki terutama orang-orang penting yang (justru) sering
menggunakan jasa PSK namun tidak perduli pada nasib yang dideritanya. Sementara
itu kondisi sekarang - terutama - dengan munculnya terma “PSK” itu sendiri
sudah mengalamatkan pada eksistensi yang telah diakui. PSK menjadi pilihan
pekerjaan dan oleh karena itu perlu dilindungi. Meski perjuangan legalitas
belum sepenuhnya berhasil namun ia menurut penalaran umum telah dianggap
sebagai sebuah pekerjaan. Kontekstualisasi tema-tema yang dianggap abadi
seperti halnya pelacuran ini memerlukan titik atau sudut pandang tertentu
sehingga lebih mengena karena sesuai kondisi riil zaman. Hal seperti ini juga
terjadi dalam pementasan BROL, Trilogi
ASU (Amergo Susah Urip) yang ditampilkan oleh Teater Ringin Contong STKIP
PGRI Jombang. Penggusuran dengan bumbu premanisme dan korupsi masihlah
merupakan tema umum/besar yang secara nyata sering terjadi dalam kehidupan.
Namun kecermatan sudut pandang sangat diperlukan dalam membahas persoalan ini.
Persis seperti halnya 2 orang tokoh pro-kontra yang saling berhadapan dalam talkshow mengenai penggusuran. Mereka
akan saling beradu argumen berbasis teori ndakik-dakik
untuk mempertahankan kebenarannya. BROL
sayangnya tidaklah demikian, tema utama penggusuran itu hanya dilandasi semangat
“pokoke”. Pemerintah berpendapat pokoke harus digusur sementara sebagian
penduduk berpendapat pokoke harus
bertahan. Tidak ada argumen teoritis ataupun referensial yang coba dikemukakan
oleh kedua belah pihak. Penduduk di sini justru seolah menggantungkan nasibnya
pada Baskoro dan menuntut hanya sekedar tanggungjawab atas sewa yang telah
mereka bayar. Sementara Baskoro berjuang mempertahankan lahan bukan atas nama
penduduk melainkan untuk melindungi bisnisnya. Padahal dalam beberapa kasus
penggusuran selalu muncul argumen tentang pembangunan dan legalitas kepemilikan
lahan berlawanan dengan keabsahan hak milik terkait lamanya bermukim dan
pengakuan lisan pemerintah akan hal itu (biasanya disertai pungutan) yang telah
berlangsung dalam kurun waktu lama. Debat argumentatif yang dapat disampaikan
melalui kalimat dialog para tokoh dan bisa dijadikan anutan menuju klimaks ini
tidak dimunculkan sebagai tulang punggung lakon.
BROL hanya menjadi semacam potret yang
dihasilkan oleh kamera digital dengan setting
otomatis menggunakan flash. Ia kurang
menyajikan detil persoalan yang dihadapi rakyat terkait penggusuran – detil
soal yang semestinya bisa mencerdaskan. Ia memang memiliki kejelasan gambar
namun kurang berdimensi. Namun galibnya, potret semacam inilah yang justru
disuka karena ia tampil bersahaja, sedikit diperindah dan mampu membuat orang
untuk melihat dan tertawa. Persis seperti para remaja yang berusaha melihat
pose teman-temannya dalam album foto studi
wisata. Tiba-tiba semua tertawa menyaksikan berbagai macam pose dan
ekspresi orang yang ada di dalamnya meski berakibat melupakan lokasi wisata
yang menjadi tujuan utama di mana foto itu dibuat. Dalam suasana semacam inilah
BROL ditampilkan. Pendekatan realis
dengan menggunakan bahasa daerah adalah pilihan cerdas. Penonton dibawa untuk
menyaksikan kehidupan yang seolah nyata dengan bahasa sehari-hari. Namun, gaya realis dalam teater Indonesia
tidaklah sama dengan gaya realis Eropa. Ia telah bertumbuh secara organik dan
sering bersinggungan dengan budaya latar di mana teater itu tumbuh. Persis
seperti realisme dalam BROL yang
sebenarnya tidaklah bisa dikatakan penuh sebagai realis. Hal ini mula-nula
nampak dari tokoh penjual jamu yang mana ia menawarkan dagangannya pada
penonton. Sebuah aksi yang sama sekali berlawanan dengan filosofi realisme di
mana antara pemeran dan penonton harus dibatasi dinding imajiner agar pemeran
benar-benar memerankan tokoh dan terpisah sepenuhnya dari penonton. Penjual jamu justru dengan sengaja menabrak
dinding imajiner tersebut sehingga sekat antara pemeran dan penonton menjadi
hapus. Demikian pula dengan aksi beberapa tokoh lain sepanjang cerita. Mereka
sering menabrak dinding ini baik secara langsung ataupun langsung. Pemeran
dengan sendirinya seolah ingin memperlihatkan kepiawaiannya dalam berolah
peran. Satu hal yang menjadi keniscayaan dalam teatrikalisme. Dengan demikian BROL meski berbasis realis namun ia juga
tampil secara teatrikal.
Realisme
teatrikal semacam ini selalu menarik untuk diamati. Ia hadir sebagai penyatu
antara konsepsi realisme Eropa dan budaya tetrikalisme teater daerah Indonesia
dalam satu panggung. Kepiawaian (ketokohan) pemeran menjadi pesona tersendiri
yang diterima publik selain karakter yang ia perankan dalam lakon. Kemenyatuan
antara pemeran dan tokoh yang diperankan bukan dalam bentuk pemeran menjadi
tokoh namun eksistesi pemeran dan tokoh tumbuh secara bersama. Satu hal yang
merupakan salah satu dobrakan cerdas Brecht dalam melawan estetika akting
realisme, namun sesuatu yang lumrah berlaku dalam teater daerah. Semua sangat
tergantung sutradara dalam mengasah kemampuan pemeran. Dalam konteks ini,
sutradara BROL berhasil. Ia mampu
memunculkan kualitas diri pemeran bersamaan dengan kualitas peran yang
dimainkan, terutama pada tokoh-tokoh yang sering muncul sepanjang lakon.
Andaikan para tokoh kunci misalnya Baskoro, Narti dan Lurah juga dapat tampil
dalam kualitas semacam ini tentu daya realisme tetrikal itu akan benar-benar
mempesona.
Tokoh
kunci penajam konflik dan pengarah menuju penyelasain kurang mendapatkan porsi
dalam pertunjukan ini. Panggung banyak dihiasi oleh sketsa-sketsa cerita
seputar diri dan hubungan antarpenghuni. Cerita di antara mereka banyak tidak
berhubungan dengan konflik yang sedang terjadi dan dialami. Kegentingan
semenjak kematian Dargo dan ketergantungan sekaligus keresahan atas kebijakan
Baskoro tak terlalu mencekam. Bahkan ketika antek-antek Baskoro menagih uang
sewa secara paksa pun kurang bisa menggambarkan hal ini. Bukan perkara lakon
namun situasi yang terbangun telah terlanjur cair dipenuhi hubungan personal di
antara mereka yang mengundang tawa. Meski BROL
tidak kemudian berubah menjadi kontes mencari tawa antara pemeran satu dengan
pemeran lain (seperti umunya terjadi pada lakon komedi), namun mengangkat
kegentingan dari situasi cair sungguhlah bukan perkara mudah. Dukungan tata
panggung realis yang memotret kampung kumuh nan elok itupun tetap belum bisa
menghapuskan pesona tawa yang ada. Dalam konteks inilah intensitas permainan
watak tokoh kunci menjadi sangat penting. Jika saja Baskoro tampil lebih bengis
dan Narti mampu mengekspresikan dendam mendalam dicampur kegilaan yang pernah
dialami plus Lurah yang licik, BROL
akan semakin mengharu biru. Jika hal ini terjadi maka scene penutup dari Glewo plus penampilannya yang konsisten akan
melahirkan tawa getir di antara air mata mengalir.
Secara
keseluruhan, 6 pertunjukan yang ditampilkan dalam 2 malam mampu menyajikan
ragam teater penuh semangat di dalamnya. Penonton diajak untuk mengapresiasi
berbagai jenis teater. Pendekatan gaya pementasan yang beragam ini sangat
menarik dan menggambarkan semangat pencarian atau rekayasa khas anak muda. Teater
kemudian tidak hanya sekedar menyampaikan cerita di atas panggung namun juga
menjadi ekspresi artistik yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Setiap
pertunjukan yang ditampilkan memiliki sisi kekuatan dan kelemahannya
masing-masing namun tetap tidak menghilangkan daya pikat bagi penonton untuk
terus duduk menyaksikan. Tahniah untuk para penampil dan sukses untuk Taman Budaya
Jawa Timur sebagai penyelanggara. Semoga dengan adanya agenda Parade Teater ini
akan terbentuk semacam Jaringan Teater
Jawa Timur. Sebuah jaringan kerja organisasi yang bisa saling berbagi
pengalaman artistik serta menjadi link informasi,
pelatihan, bengkel kerja dan segala hal terkait untuk saling membantu
menjayakan kehidupan teater. Kehidupan seni modern dewasa ini tidak ditentukan
dari seberapa banyak piala atau kejuaraan yang diraih. Bukan pula dari
eksistensi kompetitif. Keberlangsungan kehidupan seni dewasa ini lebih menimbang
pada eksistensi kooperatif. Pada bagaimana pekerja seni membangun kerja sama
untuk tumbuh bersama. Sekali lagi tahniah untuk Parade Teater Jawa Timur. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar