Selasa, 05 September 2017

SEMANGAT MUDA YANG BERANEKA DALAM PANGGUNG TEATER

Catatan Parade Teater Taman Budaya Jawa Timur 2017

Oleh: Eko Santosa
(Catatan pengamatan ini disampaikan kepada panitia Parade Teater Jawa Timur, Taman Budaya Jawa Timur)

Dua hari berada di Taman Budaya Jawa Timur dalam agenda Parade Teater Jawa Timur mulai tanggal 18 sampai dengan 19 Agustus 2017 mengapikan satu semangat tersendiri. Agenda yang menampilkan 6 kelompok teater yang sebagian besar adalah teater kampus seolah menyajikan lukisan penuh warna. Panggung menjadi arena kreatif talenta muda dalam mewujudkan gagasan artistiknya. Ada yang merasa nyaman untuk tampil, ada yang ragu, dan ada pula yang mencoba menohok meski masih menahan diri untuk sesuatu yang belum diketahui mengapa. Panggung teater menjadi area penuh energi muda dengan wajah-wajah yang seolah berada di antara garis keraguan, keangkuhan, keakuan, kepastian pilihan maupun kebebasan wisata jiwa. Semua menemu maknanya ketika sebagian besar penonton juga berada di garis yang sama. Dalam semalam 3  pementasan digelar dan itu lebih dari cukup bagi orang-orang yang datang menonton untuk sementara mengasingkan diri dari riuhnya realitas kehidupan sehari-hari. Malam pertama tampil Lakon B.O.R, Kekenceng Adalah Situs, dan Wek Wek. Sedangkan malam kedua menyajikan lakon Sarip Tambak Oso, Balada Perempuan, dan Brol. Berikut catatan pengamatan sederhana sebagai refleksi Parade Teater Jawa Timur.
B.O.R yang merupakan adaptasi karya Putu Wijaya dipentaskan oleh Teater Universitas Kanjuruan Malang. Pertunjukan dimulai dengan menampilkan dua orang duduk di ketinggian sisi kanan dan kiri yang dibatasi ruang berwarna hitam, sekaligus sebagai latar. Sementara dari kanan dan kiri panggung muncul kelompok orang yang masing-masing membawa lampu penerang (senter). Set panggung ditata secara simetris, pun demikian dengan pola blocking secara keseluruhan. B.O.R bercerita tentang kebobrokan pemerintah di satu negeri. Sang pemimpin mementingkan diri sendiri dan bertindak otoriter. Kondisi ini coba disajikan dengan hadirnya dua orang dalang yang duduk di ketinggian dan adegan ceramah seorang pemimpin yang memperkenalkan teknologi mutakhir komputer. Di dalam acara ini, suasana chaotic terjadi karena adanya para wartawan yang menyusup di tengah kerumunan untuk mendapatkan berita dan dijual. Sementara ada beberapa orang melakukan provokasi sehingga ketegangan tidak terkendali. Wakil pemerintah berusaha menyebar uang untuk membungkam para wartawan namun toh keadaan tidak terselamatkan sehingga perlu menumbalkan seseorang sebagai korban.


Namun sayang, suasana tegang dan absurd yang menjadi ciri Putu Wijaya kurang bisa ditampilkan dalam adegan ini. Kehadiran dan wicara 2 orang dalang kurang membantu dinamika adegan. Pun demikian dengan sosok pemimpin dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal ini terjadi karena dialog pendek-pendek para tokoh kurang terdistribusi dengan lancar dan jelas. Mungkin terhalang oleh aksi menyalakan senter ke muka sendiri ketika harus memulai wicara atau dialog. Padahal, ilustrasi musik perkusif yang melatari cenderung mendorong situasi menjadi tegang. Namun karena komunikasi psikologis antara pemeran satu dengan yang lain kurang terjalin, ilustrasi musik seolah berjalan dengan plotnya sendiri dan kurang terhubung dengan adegan. Sosok pemimpin yang hadir  di tengah masa juga kurang bisa menyampaikan gagasan kalimat dialog dengan jernih. Akhirnya ketegangan situasi dalam adegan ini hanya bisa kuat ditampilkan melalui tata panggung yang simetris bergaris tegas, ilustrasi musik perkusif, dan pola blocking triangular.
Absurditas situasi dan teror baru terasa pada adegan berikutnya di mana rombongan penduduk berkerumun di sekitar kepala. Kalimat-kalimat dialog pendek yang terlontar jelas berpadu dengan suasana takut, tegang, dan saling curiga yang coba dibangun. Tidak jelas memang apa yang akan dituju dari keseluruhan rangkaian dialog orang-orang ini. Yang ada hanyalah ketidakpastian yang mengekang dan membuat mereka tak kunjung beranjak serta berada di antara keraguan dan keputusan. Orang-orang saling menduga apa yang terjadi, namun pada saat yang sama mereka saling bantah dan mencoba satu solusi naif yang diamini meski saling tidak yakin. Ciri khas Putu Wijaya muncul di sini di mana situasi absurd itu berpadu dengan teror meski hal itu hanya terjadi di antara mereka (pemain) sendiri. Sementara di kursi penonton, yang paling mencolok adalah absurditas situasi dan kelucuan yang ditimbulkan atas solusi yang dipilih oleh orang-orang tersebut – tidak sampai ke teror. Adegan ini sangat menarik untuk diikuti. Jika saja blocking berkelompok (grouping) lebih tertata dengan mempertimbangkan tinggi-rendah dan jarak antarpemain, visualisasi adegan yang ditampilkan akan semakin nyaman dipandang. Pengulangan adegan do’a bersama sebagai solusi naif masyarakat atas persoalan yang dihadapi sedikit terlalu berlebih walau menghasilkan tawa. Meski begitu, dinamika lakon dapat berjalan dengan baik karena tidak terganggu oleh interupsi 2 dalang seperti pada adegan sebelumnya. 2 orang dalang menjadi kehilangan peran – meski terus ada di atas pentas - dan justru itu membuat cerita mengalir berjalan sampai ke akhir.
Berikutnya, Teater Komunitas Malang mementaskan Kekenceng Adalah Situs. Panggung dibuka dengan penampilan seorang remaja putri yang seolah sedang ber-swa foto di berbagai lokasi. Kemudian ia mengajak seluruh hadirin untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pertunjukan sesungguhnya dimulai. Setelahnya ia menceritakan pengalaman diri pribadinya menandaskan pentingnya kenangan akan cinta meski tak harus memilikinya sekaligus sebagai kisah pembuka cerita. Sebuah opening yang menarik terutama pada momen lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan seluruh hadirin dengan berdiri tegap dengan konduktor remaja putri tadi. Akan tetapi karena sebelumnya, ia tampil ber-swa foto dengan pose unyu di sana sini, ajakannya untuk menyanyikan Lagu Kebangsaan dianggap tak serius pada awalnya. Hal yang paling menarik dari adegan pembuka ini adalah (semacam) curhat sang remaja putri yang terucap datar, kadang terbata, pola wicara yang berada di antara cerita dan reportase justru mengena dan mewakili sosok remaja.
Secara keseluruhan lakon ini bercerita tentang latar belakang atau sejarah sebuah situs. Kisah cinta yang berjalan tidak mulus sepasang manusia yang merupakan sejarah kehilangan. Kisan cinta bisa saja menghasilkan duka, amarah, suka, atau rencana masa depan yang lain bagi pelaku. Meski tidak jelas latar sejarah yang diambil dari lakon ini, namun penyajiannya cukup menarik terutama penyajian perjalanan waktu dari masa kini ke masa lalu dan kembali ke kini. Selepas tampilnya remaja putri tadi, kisah dilanjutkan dengan tembang yang seolah menarik waktu mundur. Dari sini sejarah cinta terkendala itu bermula. Cerita berjalan lumayan singkat untuk menggambarkan seorang berkasta lebih tinggi di antara yang lainnya, jatuh cinta kepada seorang putri dan berakhir kandas oleh sebab yang tak pasti. Gelora kehidupan remaja tokoh yang digambarkan penuh kelucuan di antara dedikasi dan kepemimpinan terenggut begitu saja dengan kehadiran seorang wanita. Lalu cerita mengalir hanya di antara sepasang kekasih ini, hingga yang satu melupakan yang lain dan menghasilkan rasa membatu. Tembang kembali hadir untuk kembali menarik waktu ke kini di mana ekskavasi situs berjalan dan lokasi menjadi wisata tersendiri kemudian.
Teater Komunitas lumayan cerdik memainkan dinamika sang waktu dalam perwujudan adegan teatrikal. Akan tetapi cerita cinta menjadi terasa ringan, sementara, dan berat untuk menghadirkan pesona romantisme dua pasang remaja yang justru menjadi pokok persoalan lakon. Pilihan komedi pada adegan sebelumnya membawa penonton pada pesona tawa yang terlalu mendalam. Ketidakjelasan latar sejarah tokoh yang diambil tidaklah menjadi masalah berarti dalam pertunjukan ini karena, sebagai analogi, fakta bahwa masyarakat lebih heboh dengan legenda Bandung Bandawasa  dan Rara Jonggrang daripada keberadaan Prasasti Siwagrha di seputar sejarah pembangunan Candi Prambanan, menguatkan hal tersebut. Namun komedi bukanlah pilihan tepat, terutama pada awal cerita dengan persentase durasi lumayan banyak. Apalagi hikayat manusia kasmaran itu kemudian digambarkan dengan komposisi tari atau gerak indah. Ia terasa kurang menggigit dan belum bisa menghilangkan pesona tawa adegan sebelumnya. Bahkan ketika proses ekskavasi situs dilakukan di mana adegan tersebut termasuk serius tetap saja memancing tawa. Pilihan pemain gitar dan penyanyi sebagai tanda waktu kini yang bisa jadi sangat menarik untuk dikritisi juga menjadi sedikit cair. Artinya, penonton menjadi bertanya, mengapa harus pemain gitar yang keluar-masuk sambil menyeret kursi dan penyanyi? Mengapa harus menyeret kursi dan tidak beridir saja? Mengapa tidak dengan (semacam) reportase seperti adegan pembuka? Namun pilihan artistik tetap ada pada pekarya dengan segala konsepnya. Ketika pada akhirnya penonton mampu meredam rasa lucu dalam pikirannya pada waktu tersisa, pertunjukan sajian Teater Komunitas Malang ini dapat berakhir baik.
Penampilan terakhir pada malam pertama adalah Serambi Teater STKW Surabaya dengan lakon Wek Wek. Lakon komedi klasik ini dibawakan dengan pendekatan drama musikal. Wek Wek bercerita tentang akal-akalan yang dilakukan oleh para tokoh yang mengambil figur Punakawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Para tokoh ini ditampilkan tidak dalam wujud Punakawan seperti dalam Wayang Orang, namun dengan penampilan kekinian. Hanya tata rias yang coba dipertahankan tetap seperti Punakawan versi Wayang Orang. Bagong coba digambarkan sebagai pengusaha beretnis Tionghoa, Gareng adalah seorang pembela penuh akal, Petruk seorang Sontoloyo (gembala bebek) bodoh, dan Semar adalah lurah sekaligus pengadil persoalan yang ada. Petruk oleh Bagong dianggap telah merugikan usahanya Karena tidak mampu menyetor telor bebek sejumlah yang ditentukan. Sementara semua bebek adalah milik Bagong. Bahkan beberapa bebek dinyatakan hilang oleh Petruk. Atas persoalan ini, Bagong melaporkannya pada Lurah Semar untuk mendapat pengadilan. Bagong berharap Petruk mengembalikan kerugian berlipat. Gareng yang datang mencoba membantu Petruk dengan harapan dapat uang hasil perkara. Namun, hasil akhir dari pengadilan justru menguntungkan Petruk karena strategi Semar. Sebagai Lurah, Semar sudah tahu akal-akalan yang dilakukan baik oleh Bagong maupun Gareng.
Lakon ini sejatinya memiliki struktur dramatik klasik di mana alur cerita memenuhi semua tahapan mulai dari introduksi sampai ke resolusi. Pengadeganan lakon mengacu pada teater tradisional kerakyatan dengan gaya presentasional, di mana semua tokoh memperkenalkan dirinya pada adegan pembuka dan menegaskan akibat yang terjadi pada diri masing-masing dalam adegan penutup serta kalimat dilaog dan aksi seolah ditujukan secara langsung untuk mendapat tanggapan penonotn. Baris-baris kalimat dialog tokoh memiliki kesamaan bunyi pada suku kata akhir setiap kalimat, sehingga jika tidak cerdik dalam mengolah, para tokoh seolah akan berbalas pantun dengan irama cenderung monoton. Tetapi dengan pendekatan drama musikal semua menjadi terasa lain. Lakon tampil lebih segar. Dialog perkenalan dan dialog lain yang dinyanyikan tidak menjebak pemeran untuk berpantun. Semua nampak mengalir, luwes dan menarik untuk diikuti. Hanya saja penampilan Dalang sebagai pengantar cerita tidaklah terlalu perlu mengingat cerita yang hendak dipentaskan jelas dan sederhana logikanya. Jika hadirnya Dalang dimaksudkan untuk menambah keseruan, juga tidaklah perlu karena instrumentasi tampilan drama musikal sudahlah seru dengan sendirinya. Lagipula, gaya aksi dalang kuranglah menyatu dengan karakter lain maupun bentuk drama musikal yang dipilih. Bahkan, kehadiran Dalang seolah sengaja ingin menandaskan bahwa Wek Wek yang dipentaskan berbeda dengan penampilan lain yang dianggap terlalu serius. Justru pernyataan Dalang ini menandakan adanya ketegangan (di antara mereka sendiri) sebelum Wek Wek ditampilkan atau keakuan yang telah dibangun lumayan tinggi akan suksesnya pementasan Wek Wek dan membawa aroma parade menjadi kompetitif.
Lepas dari itu, drama atau teater musikal Wek Wek berhasil menghibur sekaligus menyampaikan amanat lakon dengan baik. Pola blocking triangular (segitiga) dengan memainkan tinggi rendah panggung menarik untuk diikuti dan membuat karakter menjadi jelas terlihat (tidak saling menutupi). Tampilan para figuran dalam adegan tertentu untuk mendukung suasana juga sangat cerdas. Dialog yang dilagukan mampu membawa suasana baru dan menarik untuk disaksikan. Bagaimana para pemain menyanyikan dialog dan bergerak mengikuti irama musik menyajikan keindahan tersendiri. Hal ini juga didukung para pemain yang begitu yakin memerankan karakter lakon. Namun, segala irama nyanyian ini tiba-tiba hilang pada saat adegan pengadilan. Meski tidak mengurangi kemenarikan, namun cukup disayangkan. Pun demikian ketika perubahan set menuju ke pengadilan, para figuran tidak melakukannya sambil menyanyi dengan komposisi gerak yang digarap sedemikia rupa seperti adegan sebelumnya. Rasa drama musikal yang telah dibangun seolah berubah menjadi drama konvensional yang hanya berisi kata-kata. Hal lain yang sedikit mengganggu adalah penetapan karakter  Petruk dan Bagong di mana mereka harus memberikan tambahan interjeksi pada setiap akhir kalimat. Bagong menambahkan interjeksi untuk menegaskan bahwa dia beretnis Tionghoa, sementara Petruk menggunakannya untuk melabeli dirinya orang bodoh. Interjeksi ini terkadang mempengaruhi kejelasan makna kalimat dialog yang diucapkan dan menjadi sedikit berlebih. Artinya, sesuatu yang sudah jelas sebenarnya tidak lagi perlu dijelas-jelaskan. Namun segala catatan ini tidaklah menggusur kemenarikan Wek Wek dari sisi penonton.
            Sarip Tambak Oso menjadi pementasan pembuka malam kedua yang ditampilkan oleh Arek Teater STKW Surabaya. Pentas dihiasi dengan sangkar besi besar berisi puluhan burung. Sangkar tersebut digantung dengan rantai besi yang kuat dan di bawahnya berdiri seorang gadis yang menari mengikuti lagu sambil mempermainkan (menguasai) sangkar. Rupanya gadis  tersebut adalah gambaran kolonialis atau pihak Belanda. Ia menari sampai lagu selesai. Setelah itu ia mengabarkan dominasi Barat atas Timur dengan tegasan visual seorang Lurah yang menuruti segala perintahnya, bahkan mencium kakinya. Perkabaran tentang dominasi ini terus berulang dengan visualisasi ketundukan pribumi atas perintah kolonial baik dalam bentuk pelayanan maupun kerja. Sementara perlawanan pribumi yang diwakili oleh sosok Sarip digambarkan dengan usaha kerasnya untuk membebaskan burung dari sangkar besi. Beberapa kali ia mencoba, bahkan harus berkelahi dengan pribumi lain, dan beberapa kali ia ditembak mati. Namun, kekuatan Sarip yang sejati adalah Ibunya. Ia akan bangkit lagi dari kematian ketika mendengar panggilan sang ibu dengan kalimat magis yang menyatakan bahwa (kematian) ini belum saatnya. Hal ini terus terjadi hingga Sarip mampu membuka pintu sangkar besi meski harus mengorbankan dirinya.
            Pengadeganan yang cukup simbolis dari lakon ini mendukung wicara tokoh yang lebih cenderung berupa pernyataan daripada dialog. Aksi gerak tubuh lebih banyak mewarnai laku lakon. Hal itu cukup menggambarkan cerita dan pesan yang hendak disampaikan. Dalam teater yang lebih banyak menyajikan simbol, pemilihan objek dan subjek visual, aksi serta skenografi menjadi sangat penting. Sebab jika hal ini kurang mendapat perhatian bisa jadi simbol tersebut justru akan merusak citraan yang diharapkan. Ia bisa saja hadir kurang suara atau terlalu cerewet mengabarkan sesuatu yang maknanya sudah sangat jelas. Dalam kasus ini misalnya, pilihan lagu Sonja perlu diperdebatkan. Apakah lagu itu diambil untuk mewakili Belanda karena memang lagu itu berbahasa Belanda, ataukah lagu itu dipilih untuk menggambarkan Ratu Belanda sebagai penguasa sesungguhnya, ataukah lagu itu memiliki makna kekuasaan di dalamnya? Jika hanya karena lagu itu berbahasa Belanda, maka pemutaran lagu secara full dan sering muncul dalam pergantian adegan terlalu banyak. Ditambah dengan gerak tarian si tokoh yang sangat gamang antara erotis, liar, dan diam menikmati dalam keterbatasan vokabulari gerak. Penonton tidak diberikan pesan apapun selain bahwa tokoh itu adalah orang Belanda karena lagu yang dimainkan berbahasa Belanda.
            Sementara jika lagu itu dipilih sebagai simbol diri Ratu Belanda juga kurang begitu kena karena Belanda tidak memiliki Ratu bernama Sonja pada masa itu. Ratu yang berkuasa pada masa kolonial di Hindia Belanda dan perang kemerdekaan Indonesia adalah Wilhelmina (1890-1948) dan Ratu Juliana (1948-1980). Sedangkan dari sisi syair, lagu Sonja sama sekali tidak terkait dengan dominasi Belanda atas Hindia. Bait awal lirik lagu Sonja, “Sonja, lieve Sonja, waarom kwam die ander op je pad” dapat diartikan secara dasar sebagai; “Sonja, Sonja sayang, mengapa hadir orang lain di jalanmu”. Lirik akhir refrain lagu, “Als het orgel spelt vergeet ik dat de zon morgen voor je schijnt”, dapat diartikan, “Ketika organ (lagu) itu pada akhirnya dimainkan aku akan menjadi lupa bahwa matahari akan bersinar esok”. Dari cuplikan 2 lirik lagu tersebut jelas bahwa Sonja menceritakan kegalauan hati seorang laiki-laki di mana ada orang lain yang berdiri antara dirinya dan Sonja. Laki-laki itu juga tahu bahwa Sonja tak memilih dirinya sehingga ketika akhirnya lagu pernikahan dimainkan, dunia laki-laki itu seolah menjadi gelap dan ia tak tahu lagi apa yang akan terjadi esok hari. Jadi menurut liriknya, ini adalah lagu tentang kegagalan cinta. Pertanyaanya kenapa lagu ini yang dipilih? Apakah sesungguhnya Sarip tidak memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan ingin merebut hati si gadis Belanda? Jika memang iya, apakah dengan demikian Sarip telah berkhianat dan menutupi pengkhianatannya dengan seolah memperjuangkan kebebasan bagi rakyat? Kalau menilik cerita Sarip, tentu saja tidak demikian karena Sarip justru pahlawan yang dikorbankan. Oleh karena itu, kemungkinan paling besar lagu Sonja dipilih karena latar bahasanya. Dan persoalannya adalah lagu itu diputar terlalu lama serta berulang untuk sebuah simbol yang sederhana dan mudah ditangkap penonton. Kesederhanaan makna di dalam keberlimpahan aspek visual ini menyelimuti seluruh pementasan Sarip Tambak Oso. Bisa jadi menarik, namun terlalu banyak. Bisa jadi perlu namun kurang terkoordinasi dengan durasi. Bisa jadi membutuhkan pengulangan namun perlu pertimbangan timing. Bisa jadi menghentak, namun ia tampil ragu-ragu.
            Keberlimpahan visualisasi untuk kesederhanaan makna yang terjadi pada Arek Teater juga menimpa Teater PBSI Unipa Surabaya dalam Balada Perempuan dengan bentuk lain. Lakon ini merupakan adaptasi dari puisi WS Rendra Nyanyian Angsa yang bercerita tentang perjalanan hidup seorang PSK bernama Maria Zaitun. Ia diusir dari rumah bordil akibat penyakit yang dideritanya. Ia tak lagi bisa diterima di tempat di mana ia menuju. Semua orang mencibirnya. Maria Zaitun adalah potret buram seorang perempuan penjaja cinta  yang harus menjadi sepah ketika manisnya telah habis dikecap para laki-laki munafik. Ia seolah hadir mewakili derita semua wanita dari beragam sisi, karir, dan hidup. Sebuah lakon yang miris dan mengandung moral kuat.
Untuk menggambarkan laku hidup Maria Zaitun ini, panggung dibuka dengan komposisi pemain simetris bagaikan koor dengan tata panggung simetris pula. Dan mereka secara serempak mengucapkan kalimat-kalimat puitik nan lantang. Posisi dan tata panggung simetris serta ucapan tegas, datar serta lantang seolah menjadi 2 nilai yang saling menghapuskan. Dan memang yang terjadi demikian di mana pada akhirnya kalimat-kalimat dialog lah yang terkalahkan. Ia memang lantang terucapkan, namun kejelasan makna kalimat tenggelam karena speed dan volume yang tinggi demi mengejar kelantangan ucapan. Mungkin akan lain halnya jika kalimat-kalimat itu diucapkan dengan lebih berirama dan berani memainkan jeda. Kondisi seperti ini hampir terjadi di setiap koor atau kalimat dialog yang lantang diucapkan dengan speed dan volume tinggi plus timpahan musik perkusif yang kuat. Semua elemen tersebut yang rencananya digunakan untuk saling menguatkan pada akhirnya justru saling menghapuskan.
Sketsa-sketsa pembuka yang ditampilkan dalam bentuk pernyataan berkelompok untuk menandaskan lemahnya posisi kaum perempuan juga terasa kurang mengigit. Latar persoalan yang terlalu dangkal untuk diungkap kurang menegaskan upaya keras kaum perempuan dalam merebut posisi dan eksistensinya dalam masyarakat modern. Semua narasi banal ini dapat dilacak mengarah pada diskriminasi moralitas yang menyelimuti kehidupan Maria Zaitun. Akhirnya, semua sketsa hanya mengarah pada pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan dalam setiap bidang pekerjaan yang digeluti. Pandangan ini terlalu satu arah dan kesatuarahan tersebut juga kurang menancap karena bentuk ungkapnya justru mendulang tawa. Hal ini juga terjadi pada adegan sela yang difungsikan sebagai gambaran ditolaknya Maria Zaitun oleh semua kalangan yang mana diwakili pihak gereja dan rumah sakit. Bukan kesedihan yang dirasa namun tawa leceh yang didapat. Persoalan dasar bermain peran sangat berpengaruh di sini. Ekspresi artifisial yang cenderung bergaya presentasional tentulah bukan pillihan tepat. Meski adegan sela ini hanya tampil sekelebat namun intensitasnya sangat penting mendukung makna cerita. Bahkan ketika gambaran-gambaran asmara atau transaksi cinta dalam bentuk tari maupun komposisi gerak indah ditampilkan sebagai penegas justru menjadi kurang sesuai. Adegan sudah terlalu banyak dilimpahi pernyataan puitik dan menjadi luber informasi oleh komposisi tari dan gerak indah plus dentum musik perkusif yang terlalu mengintervensi pendengaran. Akhirnya, Maria Zaitun harus berjuang sendiri untuk menyampaikan pesan moral atas laku hidup yang dijalaninya. Memang, pemeran Maria Zaitun cukup kokoh untuk mengemban tugas berat ini. Meski di tengah pertunjukan suaranya mulai memarau ia tetap tegap dengan segala daya untuk membawa lakon sampai titik selesainya. Sebuah usaha yang patut diapresiasi dan perlu dukungan kerendahan hati dari unsur artistik serta konsep pengadeganan dan pemanggungan.
            Problematika dasar lakon Balada Perempuan terkait isu yang dilemparkan terasa kurang begitu tepat dalam kondisi sosial kini. Mungkin tema ini akan lebih mengena saat situasi penggusuran lokalisasi Dolly menjadi polemik. Orang kemungkinan akan kembali berpikir mengenai betapa munafiknya para lelaki terutama orang-orang penting yang (justru) sering menggunakan jasa PSK namun tidak perduli pada nasib yang dideritanya. Sementara itu kondisi sekarang - terutama - dengan munculnya terma “PSK” itu sendiri sudah mengalamatkan pada eksistensi yang telah diakui. PSK menjadi pilihan pekerjaan dan oleh karena itu perlu dilindungi. Meski perjuangan legalitas belum sepenuhnya berhasil namun ia menurut penalaran umum telah dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Kontekstualisasi tema-tema yang dianggap abadi seperti halnya pelacuran ini memerlukan titik atau sudut pandang tertentu sehingga lebih mengena karena sesuai kondisi riil zaman. Hal seperti ini juga terjadi dalam pementasan BROL, Trilogi ASU (Amergo Susah Urip) yang ditampilkan oleh Teater Ringin Contong STKIP PGRI Jombang. Penggusuran dengan bumbu premanisme dan korupsi masihlah merupakan tema umum/besar yang secara nyata sering terjadi dalam kehidupan. Namun kecermatan sudut pandang sangat diperlukan dalam membahas persoalan ini. Persis seperti halnya 2 orang tokoh pro-kontra yang saling berhadapan dalam talkshow mengenai penggusuran. Mereka akan saling beradu argumen berbasis teori ndakik-dakik untuk mempertahankan kebenarannya. BROL sayangnya tidaklah demikian, tema utama penggusuran itu hanya dilandasi semangat “pokoke”. Pemerintah berpendapat pokoke harus digusur sementara sebagian penduduk berpendapat pokoke harus bertahan. Tidak ada argumen teoritis ataupun referensial yang coba dikemukakan oleh kedua belah pihak. Penduduk di sini justru seolah menggantungkan nasibnya pada Baskoro dan menuntut hanya sekedar tanggungjawab atas sewa yang telah mereka bayar. Sementara Baskoro berjuang mempertahankan lahan bukan atas nama penduduk melainkan untuk melindungi bisnisnya. Padahal dalam beberapa kasus penggusuran selalu muncul argumen tentang pembangunan dan legalitas kepemilikan lahan berlawanan dengan keabsahan hak milik terkait lamanya bermukim dan pengakuan lisan pemerintah akan hal itu (biasanya disertai pungutan) yang telah berlangsung dalam kurun waktu lama. Debat argumentatif yang dapat disampaikan melalui kalimat dialog para tokoh dan bisa dijadikan anutan menuju klimaks ini tidak dimunculkan sebagai tulang punggung lakon.
            BROL hanya menjadi semacam potret yang dihasilkan oleh kamera digital dengan setting otomatis menggunakan flash. Ia kurang menyajikan detil persoalan yang dihadapi rakyat terkait penggusuran – detil soal yang semestinya bisa mencerdaskan. Ia memang memiliki kejelasan gambar namun kurang berdimensi. Namun galibnya, potret semacam inilah yang justru disuka karena ia tampil bersahaja, sedikit diperindah dan mampu membuat orang untuk melihat dan tertawa. Persis seperti para remaja yang berusaha melihat pose teman-temannya dalam album foto studi wisata. Tiba-tiba semua tertawa menyaksikan berbagai macam pose dan ekspresi orang yang ada di dalamnya meski berakibat melupakan lokasi wisata yang menjadi tujuan utama di mana foto itu dibuat. Dalam suasana semacam inilah BROL ditampilkan. Pendekatan realis dengan menggunakan bahasa daerah adalah pilihan cerdas. Penonton dibawa untuk menyaksikan kehidupan yang seolah nyata dengan bahasa sehari-hari.  Namun, gaya realis dalam teater Indonesia tidaklah sama dengan gaya realis Eropa. Ia telah bertumbuh secara organik dan sering bersinggungan dengan budaya latar di mana teater itu tumbuh. Persis seperti realisme dalam BROL yang sebenarnya tidaklah bisa dikatakan penuh sebagai realis. Hal ini mula-nula nampak dari tokoh penjual jamu yang mana ia menawarkan dagangannya pada penonton. Sebuah aksi yang sama sekali berlawanan dengan filosofi realisme di mana antara pemeran dan penonton harus dibatasi dinding imajiner agar pemeran benar-benar memerankan tokoh dan terpisah sepenuhnya dari penonton.  Penjual jamu justru dengan sengaja menabrak dinding imajiner tersebut sehingga sekat antara pemeran dan penonton menjadi hapus. Demikian pula dengan aksi beberapa tokoh lain sepanjang cerita. Mereka sering menabrak dinding ini baik secara langsung ataupun langsung. Pemeran dengan sendirinya seolah ingin memperlihatkan kepiawaiannya dalam berolah peran. Satu hal yang menjadi keniscayaan dalam teatrikalisme. Dengan demikian BROL meski berbasis realis namun ia juga tampil secara teatrikal.
            Realisme teatrikal semacam ini selalu menarik untuk diamati. Ia hadir sebagai penyatu antara konsepsi realisme Eropa dan budaya tetrikalisme teater daerah Indonesia dalam satu panggung. Kepiawaian (ketokohan) pemeran menjadi pesona tersendiri yang diterima publik selain karakter yang ia perankan dalam lakon. Kemenyatuan antara pemeran dan tokoh yang diperankan bukan dalam bentuk pemeran menjadi tokoh namun eksistesi pemeran dan tokoh tumbuh secara bersama. Satu hal yang merupakan salah satu dobrakan cerdas Brecht dalam melawan estetika akting realisme, namun sesuatu yang lumrah berlaku dalam teater daerah. Semua sangat tergantung sutradara dalam mengasah kemampuan pemeran. Dalam konteks ini, sutradara BROL berhasil. Ia mampu memunculkan kualitas diri pemeran bersamaan dengan kualitas peran yang dimainkan, terutama pada tokoh-tokoh yang sering muncul sepanjang lakon. Andaikan para tokoh kunci misalnya Baskoro, Narti dan Lurah juga dapat tampil dalam kualitas semacam ini tentu daya realisme tetrikal itu akan benar-benar mempesona.
            Tokoh kunci penajam konflik dan pengarah menuju penyelasain kurang mendapatkan porsi dalam pertunjukan ini. Panggung banyak dihiasi oleh sketsa-sketsa cerita seputar diri dan hubungan antarpenghuni. Cerita di antara mereka banyak tidak berhubungan dengan konflik yang sedang terjadi dan dialami. Kegentingan semenjak kematian Dargo dan ketergantungan sekaligus keresahan atas kebijakan Baskoro tak terlalu mencekam. Bahkan ketika antek-antek Baskoro menagih uang sewa secara paksa pun kurang bisa menggambarkan hal ini. Bukan perkara lakon namun situasi yang terbangun telah terlanjur cair dipenuhi hubungan personal di antara mereka yang mengundang tawa. Meski BROL tidak kemudian berubah menjadi kontes mencari tawa antara pemeran satu dengan pemeran lain (seperti umunya terjadi pada lakon komedi), namun mengangkat kegentingan dari situasi cair sungguhlah bukan perkara mudah. Dukungan tata panggung realis yang memotret kampung kumuh nan elok itupun tetap belum bisa menghapuskan pesona tawa yang ada. Dalam konteks inilah intensitas permainan watak tokoh kunci menjadi sangat penting. Jika saja Baskoro tampil lebih bengis dan Narti mampu mengekspresikan dendam mendalam dicampur kegilaan yang pernah dialami plus Lurah yang licik, BROL akan semakin mengharu biru. Jika hal ini terjadi maka scene penutup dari Glewo plus penampilannya yang konsisten akan melahirkan tawa getir di antara air mata mengalir.
            Secara keseluruhan, 6 pertunjukan yang ditampilkan dalam 2 malam mampu menyajikan ragam teater penuh semangat di dalamnya. Penonton diajak untuk mengapresiasi berbagai jenis teater. Pendekatan gaya pementasan yang beragam ini sangat menarik dan menggambarkan semangat pencarian atau rekayasa khas anak muda. Teater kemudian tidak hanya sekedar menyampaikan cerita di atas panggung namun juga menjadi ekspresi artistik yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Setiap pertunjukan yang ditampilkan memiliki sisi kekuatan dan kelemahannya masing-masing namun tetap tidak menghilangkan daya pikat bagi penonton untuk terus duduk menyaksikan. Tahniah untuk para penampil dan sukses untuk Taman Budaya Jawa Timur sebagai penyelanggara. Semoga dengan adanya agenda Parade Teater ini akan terbentuk semacam Jaringan Teater Jawa Timur. Sebuah jaringan kerja organisasi yang bisa saling berbagi pengalaman artistik serta menjadi link informasi, pelatihan, bengkel kerja dan segala hal terkait untuk saling membantu menjayakan kehidupan teater. Kehidupan seni modern dewasa ini tidak ditentukan dari seberapa banyak piala atau kejuaraan yang diraih. Bukan pula dari eksistensi kompetitif. Keberlangsungan kehidupan seni dewasa ini lebih menimbang pada eksistensi kooperatif. Pada bagaimana pekerja seni membangun kerja sama untuk tumbuh bersama. Sekali lagi tahniah untuk Parade Teater Jawa Timur. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar