Oleh: Eko Santosa
Pendahuluan
Theatre by Request (TbR) adalah teater interaktif improvisasional yang
diinisiasi oleh penulis pada tahun 2010. Sejarah kelahiran TbR bermula dari kebutuhan model dan metode pelatihan
serta pementasan bagi peserta yang sifatnya tidak tetap. Yang dimaksud dengan
peserta tidak tetap adalah peserta pada program tertentu dengan skala waktu
tertentu atau peserta yang datang dan pergi. Hal ini terjadi karena TbR
dilahirkan di Studio Teater yang berada di bawah naungan PPPPTK Seni dan Budaya
Yogyakarta yang merupakan lembaga diklat bagi guru seni dan budaya di
Indonesia. Selain itu, Studio Teater juga membuka pelatihan (selepas jam
kantor) bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk belajar teater sebagai
bentuk dari penyebarluasan program pelatihan teater bagi masyarakat. Tugas
utama Studio Teater ialah mengajarkan teater kepada setiap peserta pelatihan. Tujuan
pengajaran kemudian tidak hanya teater an
sich, namun juga nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya sebagai
wujud pendidikan karakter. Pembelajaran pada akhirnya diharapkan tidak hanya
kepada peserta pelatihan namun juga kepada penonton pada saat hasil pelatihan
dipresentasikan.
Menurut
pengalaman, membelajarkan teater dan nilai kemanusiaan dengan model drama
(berbasis naskah) dirasa kurang tepat mengingat waktu yang tersedia bagi
peserta tidaklah lama dalam satu program pembelajaran. Di samping itu peserta
juga tidak berkehendak menjadi aktor profesional. Dari sisi lain, model drama
tidak bisa mengakomodasi semua peserta menjadi pemain karena terikat dengan
kebutuhan karakter sesuai naskah lakon yang ada. Hal ini mengakibatkan peserta
lain hanya menjadi penonton yang bersifat pasif. Situasi dan kondisi semacam ini memunculkan berbagai pertanyaan dan atau masalah
sebagai berikut.
- Bagaimana menerapkan model atau metode pelatihan dan bentuk pementasan yang tepat bagi peserta pelatihan yang sifatnya datang dan pergi?
- Bagaimana menciptakan pementasan bagi orang-orang yang ingin berteater namun tidak mau terikat secara profesional, dalam artian teater hanya sebagai hobby atau pengisi waktu di luar kepenatan persoalan sosial yang ada?
- Bagaimana membuat penonton teater tidak berada dalam kondisi pasif dalam artian hanya menerima jejalan kode artistik yang belum tentu dipahami namun dipaksa untuk datang, melihat, dan mengapresiasi?
- Bagaimana menghadirkan peristiwa atau pementasan teater yang dapat dijadikan pembelajaran mengenai teater dan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya baik bagi pemain maupun penonton?
Atas dasar persoalan di atas, perlu kiranya dibuat konsep pertunjukan
atau pementasan teater yang mencakup pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
- Teater sebagi media pembelajaran teater dan nilai kemanusiaan yang ada di sebalik teater. Jadi bukan soal estetika teater yang dikedepankan melainkan keberfungsian teater sebagai media pembelajaran.
- Teater bisa dimainkan oleh siapa saja bahkan yang bukan aktor sekalipun namun memiliki keinginan untuk merasakan pengalaman berteater sehingga bukan olah keterampilan akting yang dipentingkan melainkan kemauan untuk belajar bersama.
- Teater yang dipentaskan harus bersifat improvisasional dan mampu melibatkan penonton untuk bersama-sama belajar.
Dari
pokok-pokok pikiran ini diharapkan pada nantinya pertunjukan teater yang
digelar bisa berubah menjadi peristiwa pembelajaran bersama bagi semua yang
hadir.
Menemukan konsep pertunjukan yang dapat mengakomodasi pokok pikiran
seperti tersebut di atas tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan telaah metode
pelatihan yang pernah dilakukan. Studio Teater selalu mencari dan mencobakan
beragam metode pelatihan teater sehingga dirasa tepat bagi para peserta. Secara
umum peserta pelatihan berasal dari dua latar belakang yang berbeda. Pertama
mereka yang berlatar belakang akademik teater dan yang kedua adalah mereka yang
tidak memiliki latar belakang akademik teater. Namun demikian, dalam penerapan
metode pelatihan sering terjadi singgungan dimana satu metode dapat digunakan
untuk dua jenis peserta dengan penekanan yang berbeda seperti dijelaskan sebagai
berikut.
· Metode improvisasi pertama kali diterapkan bagi
peserta pertama. Metode ini diadaptasi dari W.S Rendra dan digunakan untuk
mengasah kepekaan serta untuk mengatasi masalah yang timbul dalam pementasan
teater dramatik secara spontan (lihat Rendra, 2013). Sebagi pendalaman latihan
penghayatan peran, penerapan adegan improvisasional mulai dilakukan dengan
mengadaptasi pola latihan improvisasi dari Keith Johnstone (lihat Johnstone,
1989). Secara khusus metode
improvisasi ini dilakukan untuk memberikan gambaran laku karakter dan kaitannya
dengan karakter lain.
Metode improvisasi tidak bisa langsung
diterapkan pada peserta kedua. Namum prinsip-prinsipnya sangat menarik untuk
diadaptasi. Dari Johnstone didapatkan prinsip bahwa pembicaraan alamiah antara
dua orang dapat dilakukan jika di antara mereka meninggikan atau merendahkan
statusnya (Johnstone, 1989:33). Dalam praktiknya, metode improvisasi menarik
dan mampu membangkitkan semangat peserta. Oleh karena itu studi referensi
mengenai model pelatihan dan pementasan teater improvisasi dilakukan.
Dari Jeanne Leep didapatkan teori bahwa selain
sebagai sebuah karya pentas, improvisasi dapat digunakan sebagai proses
pembelajaran proses drama (teater) atau alat belajar untuk non-aktor. Sebagai
contoh adalah Augusto Boal yang menggunakan teater untuk perubahan sosial
(Jeanne Leep, 2008:5). Berikutnya, dari Kenn Adams didapatkan prinsip berharga
dalam akting improvisasi. Prinsip ini menyebutkan bahwa fokus akting bukan pada
diri sendiri melainkan pada partner. Pelajari apa yang dimaui oleh partner dan
wujudkanlah kemauannya. Dengan demikian apa yang dilakukan partner kita menjadi
nampak indah (lihat, Kenn Adams, 2007). Studi referensi terpenting selanjutnya yang
kemudian menjadi rujukan utama dalam praktik pelatihan adalah latihan teknik
improvisasi dari Viola Spolin (lihat Viola Spolin, 1963, 1993). Metode ini
berkaitan erat dengan metode lain yang lebih tepat digunakan untuk peserta
kedua, seperti tersebut di bawah.
· Metode theatre game, dikembangkan oleh Viola
Spolin yang telah mentransformasikan pola latihan teknik improvisasi ke dalam
bentuk permainan teater dan diajarkan di sekolah. Semua elemen teater termasuk gerak,
persepsi dan ekspresi, unsur drama, kerjasama tim, dan kreatifitas dapat
diajarkan dalam bentuk permainan teater (lihat Viola
Spolin, 1986). Metode theatre game ini dirasa tepat untuk peserta yang tak memiliki latar
belakang teater akademik. Kemudian sebagai
bentuk pengayaan, studi referensi juga merujuk pada acting game. Hampir sama dengan theatre game, namun dalam acting
game permainan-permainannya memungkinkan untuk dibentuk menjadi sebuah adegan
improvisasional (lihat, Gavin Levy, 2005).
Dari telaah metode yang dilakukan, akhirnya pilihan untuk mengembangkan theatre game dan atau acting game ditetapkan. Keluwesan dan
kekayaan materi serta nilai dalam setiap bentuk permainan dapat megakomodasi
subyek pengajaran. Dari sini pula, bentuk permainan dikembangkan menjadi adegan
atau cerita pendek yang dipresentasikan secara improvisasi. Artinya, persoalan
konsep pertunjukan teater improvisasi telah mendapatkan jawabannya.
Gagasan Bentuk Pementasan dan Penamaan Theatre by Request
Kerja berikutnya setelah konsep pertunjukan teater improvisasi ditemukan
adalah menggagas subyek yang bisa dipelajari dari pementasan. Selain itu perlu
pula dipikirkan bentuk pelaksanaan pementasan yang melibatkan keaktifan
penonton. Melalui studi referensi dan telaah ulang materi dan tujuan pelatihan
terangkumlah beberapa gagasan sebagai berikut.
· Menurut
referensi, konsepsi pelaksanaan pementasan yang dapat melibatkan penonton untuk
aktif adalah teater interaktif. Dalam
teater interaktif penonton terlibat atau dilibatkan secara aktif dengan berinteraksi
selama pertunjukan. Secara spontan penonton bersama-sama pemain membangun
pertunjukan yang bersifat terbuka (lihat Garry Izzo, 1998). Dengan konsepsi ini
maka dimungkinkan penonton menjadi bagian integral dalam pergelaran dan pada
akhirnya lebur batas antara pemain dan penonton karena semuanya ikut bermain.
· Berikutnya,
gagasan interaksi model by request
dimana penonton boleh memilih (meminta) cerita, tema, dan menentukan pemain
diinspirasi dari gaya penonton televisi dan pendengar radio. Penonton TV dapat
dengan bebas memilih channel acara
maupun stasiun TV dengan menggunakan remote
control. Sementara pendengar radio dalam acara tertentu bisa memilih dan
meminta (me-request) lagu kepada
penyiar dengan cara menelpon ke stasiun radio yang bersangkutan. Dari kegiatan request lagu inilah penamaan Theatre by Request (TbR) berasal.
Peran penyiar radio ketika menjelaskan background seputar lagu yang ditawarkan mengilhami munculnya cara menyisipkan materi atau nilai yang bisa dipelajari baik oleh pemain maupun penonton. Dengan demikian pertunjukan membutuhkan semacam penyiar. Namun, penamaan penyiar tidaklah tepat di dalam teater, pun demikian dengan MC. Akhirnya ditemukan istilah “Host” yang dianggap bisa mewakili peran ini. Host yang secara harfiah bermakna tuan rumah, dianggap tepat karena tuan rumah memang biasanya menawarkan sesuatu dan berinteraksi dengan tamu.
Daftar lagu yang dipilih di radio biasanya menggunakan “nomor” urutan. Penggunaan “nomor” ini kemudian diadaptasi dalam TbR untuk menggantikan penamaan “adegan” yang ditawarkan. Jika di radio penonton hanya memilih nomor lagu lalu lagu dimainkan, maka di TbR setelah penonton memilih nomor (adegan) mereka masih harus memilih tema, serta pemain yang akan memainkan nomor tersebut.
Kedua gagasan ini kemudian disatukan
menjadi rangkaian pertunjukan teater interaktif improvisasional. Interaksi yang
terjadi antara penonton dan Host pada
saat penonton memilih nomor, tema dan pemain dalam kegiatan ini merupakan
bentuk interaksi pertama. Dalam interaksi ini penonton dipandu Host seolah sedang merencanakan sebuah
pementasan. Sementara itu ketika sebuah nomor dimainkan dan penonton menyaksikan,
mengontrol atau terlibat dalam pertunjukan merupakan bentuk interaksi kedua
yang menghubungkan penonton dengan pemain dalam satu peristiwa teater secara
langsung. Dengan demikian bentuk pertunjukan menjadi sangat terbuka dan
penonton adalah pemain krusial yang sangat menentukan bagi jalannya pementasan.
Nomor-nomor dalam TbR yang
ditawarkan adalah adegan-adegan yang diambil atau diadaptasi dari theatre game dan acting game. Adegan ini kemudian diberi struktur sederhana untuk
ditampilkan. Struktur yang digunakan adalah, pemaparan – konflik – penyelesaian.
Namun demikian, terdapat beberapa jenis permainan dalam theatre game yang tidak bisa diberi struktur semacam ini. Untuk
permainan semacam ini tetap bisa digunakan dan disajikan sebagai apresiasi.
Dari keseluruhan nomor yang
dikembangkan dari permainan theater
dan acting game digolongkan menjadi 4
jenis nomor sesuai tata aturan penampilannya. Penyajian nomor yang mengadopsi theatre dan acting game mensyaratkan tata aturan yang harus ditaati. Aturan
menjadi kata kunci dari setiap nomor yang disajikan. Aturan ini diwartakan oleh
Host dan harus ditaati oleh pemain
dan penonton. Keempat jenis nomor tersebut adalah:
- Nomor apresiasi adalah nomor yang pada saat dimainkan penonton hanya menyaksikan. Namun saat menyaksikan nomor ini, penonton diperbolehkan bereaksi misalnya tertawa, bersorak, atau reaksi ekspresif lainnya. Nomor apresiasi ini digunakan sebagai selingan selepas penampilan nomor-nomor dari jenis yang lain.
- Nomor kontrol adalah nomor yang ketika dimainkan penonton mengontrol jalannya pementasan secara langsung dengan menggunakan alat atau kode tertentu – replikasi dari remote control. Ketika kode ini disampaikan, pemain mengikuti arahan sesuai kesepakatan yang telah dibuat antara Host, penonton, dan pemain sebelum nomor dimainkan.
- Nomor replay adalah nomor yang dimainkan sampai selesai. Kemudian nomor tersebut diulangi lagi dengan beberapa elemen yang diubah sesuai pilihan yang disediakan Host dan dipilih penonton.
- Nomor interaksi verbal adalah nomor yang ketika dimainkan terjadi interaksi verbal antara pemain dan penonton. Bentuk interaksi diatur dan disepakati antara Host, pemain dan penonton sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Peran Host sangatlah penting. Ia harus memahami semua aturan permainan
dari setiap nomor dan mampu memahamkan aturan tersebut kepada pemain dan penonton.
Selain itu sisipan materi dan nilai yang akan diajarkan dalam setiap nomor
harus diwartakan oleh Host.
Gambaran Umum Pementasan TbR
Host memasuki
ruang pementasan dan menjelaskan model dan aturan permainan dalam pentas. Sebagai
permainan pembuka sekaligus untuk menjelaskan model pementasannya, Host meminta salah satu penonton untuk
menjadi sutradara dengan mengontrol nomor yang akan disajikan. Host menjelaskan tata cara mengontrol
pementasan. Ketika semua sudah paham termasuk pemain, nomor disajikan. Penonton
mengontrol jalannya pementasan secara langsung dengan kode tertentu dan pemain
menaatinya seperti yang telah diatur dan disepakati sebelumnya.
Ketika nomor
selesai, Host menjelaskan makna dan
nilai yang bisa diambil dari nomor yang disajikan serta cara penyajiannya.
Berikutnya, Host menawarkan beragam
nomor kepada penonton dan menjelaskan secara sekilas aturan permainannya.
Penonton maju atau secara acak ditentukan oleh Host untuk memilih salah
satunya. Setelah itu, semua pemain dipanggil dan penonton memilih siapa saja
yang akan memainkannya. Jumlah pemain dibatasi oleh Host berdasar kebutuhan pemain untuk setiap nomor. Selepas itu
penonton menentukan tema atau topik dari nomor tersebut. Setelah semuanya siap,
Host menjelaskan kembali aturan
permainan nomor yang akan ditampilkan kepada penonton dan pemain sesaat sebelum
nomor dimainkan.
Ketika
sajian nomor selesai, Host kembali
menjelaskan makna dan nilai yang bisa diambil dari nomor tersebut. Berikutnya Host kembali menawarkan beragam nomor
dan penonton kembali memilih nomor, tema, dan pemain. Demikian seterusnya
sampai pementasan berakhir. Dalam satu pementasan tidak semua nomor terpilih
dan dipentaskan. Pertunjukan TbR diakhiri setelah berlangsung minimal 1 jam.
Pengaturan durasi ini sebelumnya juga disepakati antara Host, panitia, dan penonton dengan mempertimbangkan stamina pemain
dan efektifitas serta durabilitas penonton dalam menyerap informasi.
Pembelajaran
Teater dan Nilai Kemanusiaan dalam TbR
TbR
dalam setiap sajian nomornya memiliki sisipan materi dan nilai yang disampaikan
kepada pentonon. Peran Host sangat
dibutuhkan dan karena memang hal ini menjadi tugas utamanya. TbR sejak mula
kelahirannya ditujukan untuk membelajarkan teater dan elemennya serta nilai
karakter yang ada di sebalik teater. Sajian nomor dengan demikian merupakan
aplikasi dari materi pembelajaran tersebut atau sebaliknya bahwa dalam setiap
nomor terkandung materi dan nilai yang bisa dipelajari.
·
Pembelajaran
Teater
Setiap jenis nomor TbR memiliki ciri dan
keunikan tersendiri dan di dalamnya mengandung materi pembelajaran teater.
Nomor apresiasi misalnya “puisi jiberish” dimana satu orang berpuisi dengan
bahasa jiberish dan yang lain menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia
mengajarkan kreatifitas, konsentrasi, pembangunan imajinasi, dan kerjasama
dalam teater. Dalam konteks ini, Host dapat melempar pertanyaan kepada penonton
selepas sajian nomor mengenai hal-hal tersebut. Misalnya, apakah dalam sajian
“puisi jiberish” dibutuhkan konsentrasi? Imajinasi? Kerjasama? Siapa yang harus
lebih fokus dan konsentrasi apakah pembaca puisi jiberish atau yang
menerjemahkannya? Jawaban langsung penonton atas pertanyaan tersebut (bisa pula
diklarifikasi atau dikonfirmasi oleh Host)
merupakan proses pembelajaran elemen teater dari salah satu nomor yang
disajikan.
Nomor kontrol mengajarkan pada penonton
cara mengarahkan pemain dan bagimana pemain mengikuti arahan sutradara. Koneksi
kerja antara sutradara dan pemain semacam ini mengajarkan bahwa di dalam teater
situasi dan kondisi terkontrol sangat diperlukan. Nomor replay mengajarkan kepada penonton mengenai interpretasi lakon.
Sebuah adegan bisa disajikan dengan nuansa dan rasa yang berbeda tergantung
dari sudut pandangnya. Adegan yang memiliki ketegangan tinggi bisa menjadi
komedi ketika elemen emosi pemerannya diubah ke dalam atmosfir kegembiraan
misalnya. Sementara itu dalam nomor interaksi verbal, penonton diajak untuk
bersama-sama menciptakan teater secara spontan. Misalnya dalam nomor “end by audience”, Host menghentikan adegan di tengah-tengah dan meminta penonton
untun memberikan ending dari adegan
tersebut. Pemain harus mengikuti saran ending
dari penonton ini. Pada jenis nomor ini, penonton didorong untuk mengkreasi
sebuah pertunjukan teater secara langsung. Di setiap akhir sajian nomor, Host
memberikan penjelasan mengenai aspek atau elemen teater yang bisa dipelajari
baik melalui konfirmasi ataupun lontaran pertanyaan kepada penonton.
· Nilai
Kemanusiaan
Nilai-nilai kemanusiaan atau nilai
karakter yang dapat dipelajari dari TbR bisa diambil dari setiap sajian nomor
atau dari seluruh rangkaian pementasan. Nilai terpenting yang wajib diwartakan
oleh Host pada awal sajian adalah
perlunya kejujuran, keikhlasan, dan kerjasama dalam pementasan teater. Pementasan
tidak akan bisa berjalan tanpa kerjasama penonton. Jika tidak ada penonton yang
maju untuk memilih adegan, tema, dan pemain maka pementasan tidak akan
berjalan. Ketika salah satu penonton maju, Host
menyampaikan bahwa pemain dan penonton tidak saling kenal, namun pemain mau bekerja
sama dengan penonton demikian juga sebaliknya. Ketika penonton mengontrol
dengan kode tertentu pemain ikhlas mematuhinya dan untuk ikhlas ini dibutuhkan
kejujuran. Sebab jika tidak jujur maka ekspresi yang dimunculkan menjadi banal.
Sikap demokrasi juga diajarkan dalam TbR
dimana penonton bebas menentukan nomor dan memilih pemainnya. Dalam demokrasi
dibutuhkan rasa saling menghargai dimana penonton yang tidak memilih menghargai
pilihan penonton yang maju dan penonton yang maju juga bisa menawarkan pilihan
kepada penonton lainnya. Selain itu, sifat keberanian pun dimunculkan dalam TbR
dimana penonton harus berani maju dan memilih. Host akan memberikan motivasi kepada penonton untuk mau maju dan
memilih. Ketika sebuah nomor akhirnya disajikan, semua yang ada harus
bersama-sama mematuhi aturan yang telah disepakati. Sekali aturan dilanggar
maka nomor yang disajikan tidak akan berjalan dengan baik. Misalnya ketika ada aturan
setiap sugesti penonton harus dilakukan dan pemain tidak mau melakukan, maka
penonton akan kecewa dan nomor tidak bisa dilanjutkan. Atau ketika ada aturan
bahwa semua yang disampaikan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan ada penonton
yang menyalahkan, maka ia pasti akan mendapat sorakan dari penonton yang lain.
Banyak nilai kemanusiaan dan elemen teater yang bisa
diajarkan dalam setiap pementasan TbR. Apa yang dituliskan di atas adalah
sebagian di antaranya. Dibutuhkan Host
yang mampu mewartakan materi dan nilai tersebut dengan baik jika tidak, maka
sajian nomor hanya menjadi hiburan atau apresiasi. Meskipun dalam setiap nomor
terkandung materi dan nilai namun bagi penonton awam teater memerlukan alat
tuntuk menggalinya, dan itu adalah Host.
Karena itulah Host di TbR bukan hanya
sekedar tuan rumah yang menawarkan beragam hidangan pada tamunya namun Host adalah orang yang mampu mengajak
semua yang hadir untuk menjadi pembelajar melalui dan di dalam peristiwa
teater.
Penutup
TbR
jika ditinjau dari segi tujuan dapat dikatakan sebagai teater terapan. Teater
terapan adalah teater yang menyajikan format
pementasan atau gelaran peristiwa teater sebagai media pembelajaran atau tenaga
penggerak perubahan manusia. Teater terapan biasanya dipentaskan di ruang atau
tempat yang bukan gedung pertunjukan dengan pemain yang belum tentu memiliki
kecakapan berteater dan penonton yang memiliki ketertarikan pribadi atas
gelaran peristiwa teater yang dilangsungkan (lihat, Prendergast & Saxton, 2009). Kata “terapan” dengan
sendirinya telah memberi jarak kepada teater sebagai seni “murni”. Oleh karena
itulah penyikapan dan pengkondisian penonton terhadap penampilan TbR berbeda
dengan penyikapan penonton terhadap pertunjukan teater panggung pada umumnya.
TbR selalu dipentaskan di ruang alternatif dengan pemain dan penonton tertentu.
TbR seturut pengalaman pentasnya ditampilkan di ruang yang kecil dengan
penonton yang tidak terlalu banyak dan umumnya adalah siswa, mahasiswa serta
tenaga pendidik. Tidak ada jarak estetis antara pemain dan penonton sehingga
proses interaksi dapat dijalankan dengan baik.
Sejak
tahun 2010 sampai dengan tahun 2016, TbR telah dipentaskan di 22 kabupaten/kota.
Berikut sekilas catatan perjalanannya. Tahun 2010: SMKN 3 Banyumas, Universitas
Tidar Magelang, Universitas Negeri Semarang, Komunitas Tinting Kulonprogo, SMKN
1 Madiun, dan Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Tahun 2011: SMP 1
Cluring Banyuwangi, Aula Ki Hadjar Dewantara Gresik, Universitas Islam Darul Ulum
Lamongan, Gedung Perak Bojonegoro, SMAN 2 Ponorogo, SMK 1 Pogalan Trenggalek,
SMK 8 Surakarta, dan Universitas Muhammadiyah Purworejo. Tahun 2012: Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro Lampung, SMAN 9 Bandar Lampung, Aula Sosrodiwangsan
Banyuwangi, Universitas Negeri Surabaya, SMAN 2 Tuban, SMAN 1 Wirosari Grobogan-Purwodadi,
dan SMAN 2 Gresik. Tahun 2014: Univesitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan
SMK 12 Surabaya. Tahun 2015 pentas di Omah Kebon Bantul di hadapan staf PT
Regina Realty Jakarta. Tahun 2016: SMK 17 Magelang dan Gedung Kesenian Wonosari.
(*)
Bacaan:
Adams, Kenn. 2007. How to Improvize a Full-Length Play, The Art
of Spontaneous Theatre. New York: Allworth Press.
Izzo, Gary. 1998. Acting Interactive Theatre A Handbook. Portsmouth:
Heinemann.
Johnstone, Keith. 1989. Impro. London: Methuen Drama
Leep, Jeanne. 2008. Theatrical Improvisation, Short Form, Long Form, and Sketch-Based
Improv. New York: Palgrave Macmillan
Levy, Gavin. 2005. 112 Acting Games, A Comprehensive Workbook Of Theatre Games For
Developing Acting Skills. Colorado: Meriwether Publishing LTD.
Prendergast, Monica &
Juliana Saxton. 2009. Applied Theatre,
International Case Studies And Challenges For Practice. Bristol: Intellect.
Rendra, W.S. 2013. Seni Drama untuk Remaja. Bandung:
Pustaka Jaya.
Spolin, Viola. 1993. Improvisation for the Theatre. Illinois:
Northwestern University Press.
Spolin, Viola. 1986. Theater Games For The Classroom, A Teacher’s
Handbook. Illinois: Northwestern University Press.
+) Tulisan ini dikembangkan
dan dipertajam dari, “Tentang Theatre by
Request dan Kaitannya dengan Teater Pendidikan” oleh penulis, disampaikan
dalam forum sarasehan Gatra Puruhita #12 yang diselenggarakan oleh Paguyuban
Alumni UNSTRAT – UNY, di Bale Budaya Samirono, 21 Oktober 2016.
++) Tulisan ini disertakan dalam prosiding International Seminar "Today's Art Future's Culture", PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta, 23 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar