Kamis, 01 Desember 2016

Theatre by Request: Pembelajaran Teater dan Nilai Kemanusiaan Melalui Peristiwa Teater



Oleh: Eko Santosa


Pendahuluan
Theatre by Request (TbR) adalah teater interaktif improvisasional yang diinisiasi oleh penulis pada tahun 2010. Sejarah kelahiran TbR bermula dari kebutuhan model dan metode pelatihan serta pementasan bagi peserta yang sifatnya tidak tetap. Yang dimaksud dengan peserta tidak tetap adalah peserta pada program tertentu dengan skala waktu tertentu atau peserta yang datang dan pergi. Hal ini terjadi karena TbR dilahirkan di Studio Teater yang berada di bawah naungan PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta yang merupakan lembaga diklat bagi guru seni dan budaya di Indonesia. Selain itu, Studio Teater juga membuka pelatihan (selepas jam kantor) bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk belajar teater sebagai bentuk dari penyebarluasan program pelatihan teater bagi masyarakat. Tugas utama Studio Teater ialah mengajarkan teater kepada setiap peserta pelatihan. Tujuan pengajaran kemudian tidak hanya teater an sich, namun juga nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya sebagai wujud pendidikan karakter. Pembelajaran pada akhirnya diharapkan tidak hanya kepada peserta pelatihan namun juga kepada penonton pada saat hasil pelatihan dipresentasikan.

Menurut pengalaman, membelajarkan teater dan nilai kemanusiaan dengan model drama (berbasis naskah) dirasa kurang tepat mengingat waktu yang tersedia bagi peserta tidaklah lama dalam satu program pembelajaran. Di samping itu peserta juga tidak berkehendak menjadi aktor profesional. Dari sisi lain, model drama tidak bisa mengakomodasi semua peserta menjadi pemain karena terikat dengan kebutuhan karakter sesuai naskah lakon yang ada. Hal ini mengakibatkan peserta lain hanya menjadi penonton yang bersifat pasif. Situasi dan kondisi semacam ini memunculkan berbagai pertanyaan dan atau masalah sebagai berikut.

  • Bagaimana menerapkan model atau metode pelatihan dan bentuk pementasan yang tepat bagi peserta pelatihan yang sifatnya datang dan pergi? 
  • Bagaimana menciptakan pementasan bagi orang-orang yang ingin berteater namun tidak mau terikat secara profesional, dalam artian teater hanya sebagai hobby atau pengisi waktu di luar kepenatan persoalan sosial yang ada? 
  • Bagaimana membuat penonton teater tidak berada dalam kondisi pasif dalam artian hanya menerima jejalan kode artistik yang belum tentu dipahami namun dipaksa untuk datang, melihat, dan mengapresiasi? 
  • Bagaimana menghadirkan peristiwa atau pementasan teater yang dapat dijadikan pembelajaran mengenai teater dan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya baik bagi pemain maupun penonton?

Atas dasar persoalan di atas, perlu kiranya dibuat konsep pertunjukan atau pementasan teater yang mencakup pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
  • Teater sebagi media pembelajaran teater dan nilai kemanusiaan yang ada di sebalik teater. Jadi bukan soal estetika teater yang dikedepankan melainkan keberfungsian teater sebagai media pembelajaran. 
  • Teater bisa dimainkan oleh siapa saja bahkan yang bukan aktor sekalipun namun memiliki keinginan untuk merasakan pengalaman berteater sehingga bukan olah keterampilan akting yang dipentingkan melainkan kemauan untuk belajar bersama. 
  • Teater yang dipentaskan harus bersifat improvisasional dan mampu melibatkan penonton untuk bersama-sama belajar.
Dari pokok-pokok pikiran ini diharapkan pada nantinya pertunjukan teater yang digelar bisa berubah menjadi peristiwa pembelajaran bersama bagi semua yang hadir.


Telaah Metode Pelatihan
Menemukan konsep pertunjukan yang dapat mengakomodasi pokok pikiran seperti tersebut di atas tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan telaah metode pelatihan yang pernah dilakukan. Studio Teater selalu mencari dan mencobakan beragam metode pelatihan teater sehingga dirasa tepat bagi para peserta. Secara umum peserta pelatihan berasal dari dua latar belakang yang berbeda. Pertama mereka yang berlatar belakang akademik teater dan yang kedua adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang akademik teater. Namun demikian, dalam penerapan metode pelatihan sering terjadi singgungan dimana satu metode dapat digunakan untuk dua jenis peserta dengan penekanan yang berbeda seperti dijelaskan sebagai berikut.

·     Metode  improvisasi pertama kali diterapkan bagi peserta pertama. Metode ini diadaptasi dari W.S Rendra dan digunakan untuk mengasah kepekaan serta untuk mengatasi masalah yang timbul dalam pementasan teater dramatik secara spontan (lihat Rendra, 2013). Sebagi pendalaman latihan penghayatan peran, penerapan adegan improvisasional mulai dilakukan dengan mengadaptasi pola latihan improvisasi dari Keith Johnstone (lihat Johnstone, 1989). Secara khusus metode improvisasi ini dilakukan untuk memberikan gambaran laku karakter dan kaitannya dengan karakter lain.

Metode improvisasi tidak bisa langsung diterapkan pada peserta kedua. Namum prinsip-prinsipnya sangat menarik untuk diadaptasi. Dari Johnstone didapatkan prinsip bahwa pembicaraan alamiah antara dua orang dapat dilakukan jika di antara mereka meninggikan atau merendahkan statusnya (Johnstone, 1989:33). Dalam praktiknya, metode improvisasi menarik dan mampu membangkitkan semangat peserta. Oleh karena itu studi referensi mengenai model pelatihan dan pementasan teater improvisasi dilakukan.

Dari Jeanne Leep didapatkan teori bahwa selain sebagai sebuah karya pentas, improvisasi dapat digunakan sebagai proses pembelajaran proses drama (teater) atau alat belajar untuk non-aktor. Sebagai contoh adalah Augusto Boal yang menggunakan teater untuk perubahan sosial (Jeanne Leep, 2008:5). Berikutnya, dari Kenn Adams didapatkan prinsip berharga dalam akting improvisasi. Prinsip ini menyebutkan bahwa fokus akting bukan pada diri sendiri melainkan pada partner. Pelajari apa yang dimaui oleh partner dan wujudkanlah kemauannya. Dengan demikian apa yang dilakukan partner kita menjadi nampak indah (lihat, Kenn Adams, 2007). Studi referensi terpenting selanjutnya yang kemudian menjadi rujukan utama dalam praktik pelatihan adalah latihan teknik improvisasi dari Viola Spolin (lihat Viola Spolin, 1963, 1993). Metode ini berkaitan erat dengan metode lain yang lebih tepat digunakan untuk peserta kedua, seperti tersebut di bawah.

·        Metode theatre game, dikembangkan oleh Viola Spolin yang telah mentransformasikan pola latihan teknik improvisasi ke dalam bentuk permainan teater dan diajarkan di sekolah. Semua elemen teater termasuk gerak, persepsi dan ekspresi, unsur drama, kerjasama tim, dan kreatifitas dapat diajarkan dalam bentuk permainan teater (lihat Viola Spolin, 1986). Metode theatre game ini dirasa tepat untuk peserta yang tak memiliki latar belakang teater akademik. Kemudian sebagai bentuk pengayaan, studi referensi juga merujuk pada acting game. Hampir sama dengan theatre game, namun dalam acting game permainan-permainannya memungkinkan untuk dibentuk menjadi sebuah adegan improvisasional (lihat, Gavin Levy, 2005).

Dari telaah metode yang dilakukan, akhirnya pilihan untuk mengembangkan theatre game dan atau acting game ditetapkan. Keluwesan dan kekayaan materi serta nilai dalam setiap bentuk permainan dapat megakomodasi subyek pengajaran. Dari sini pula, bentuk permainan dikembangkan menjadi adegan atau cerita pendek yang dipresentasikan secara improvisasi. Artinya, persoalan konsep pertunjukan teater improvisasi telah mendapatkan jawabannya.


Gagasan Bentuk Pementasan dan Penamaan Theatre by Request
Kerja berikutnya setelah konsep pertunjukan teater improvisasi ditemukan adalah menggagas subyek yang bisa dipelajari dari pementasan. Selain itu perlu pula dipikirkan bentuk pelaksanaan pementasan yang melibatkan keaktifan penonton. Melalui studi referensi dan telaah ulang materi dan tujuan pelatihan terangkumlah beberapa gagasan sebagai berikut.

·    Menurut referensi, konsepsi pelaksanaan pementasan yang dapat melibatkan penonton untuk aktif  adalah teater interaktif. Dalam teater interaktif penonton terlibat atau dilibatkan secara aktif dengan berinteraksi selama pertunjukan. Secara spontan penonton bersama-sama pemain membangun pertunjukan yang bersifat terbuka (lihat Garry Izzo, 1998). Dengan konsepsi ini maka dimungkinkan penonton menjadi bagian integral dalam pergelaran dan pada akhirnya lebur batas antara pemain dan penonton karena semuanya ikut bermain.

·       Berikutnya, gagasan interaksi model by request dimana penonton boleh memilih (meminta) cerita, tema, dan menentukan pemain diinspirasi dari gaya penonton televisi dan pendengar radio. Penonton TV dapat dengan bebas memilih channel acara maupun stasiun TV dengan menggunakan remote control. Sementara pendengar radio dalam acara tertentu bisa memilih dan meminta (me-request) lagu kepada penyiar dengan cara menelpon ke stasiun radio yang bersangkutan. Dari kegiatan request lagu inilah penamaan Theatre by Request (TbR) berasal.

Peran penyiar radio ketika menjelaskan background seputar lagu yang ditawarkan mengilhami munculnya cara menyisipkan materi atau nilai yang bisa dipelajari baik oleh pemain maupun penonton. Dengan demikian pertunjukan membutuhkan semacam penyiar. Namun, penamaan penyiar tidaklah tepat di dalam teater, pun demikian dengan MC. Akhirnya ditemukan istilah “Host” yang dianggap bisa mewakili peran ini. Host yang secara harfiah bermakna tuan rumah, dianggap tepat karena tuan rumah memang biasanya menawarkan sesuatu dan berinteraksi dengan tamu.

Daftar lagu yang dipilih di radio biasanya menggunakan “nomor” urutan. Penggunaan “nomor” ini kemudian diadaptasi dalam TbR untuk menggantikan penamaan “adegan” yang ditawarkan. Jika di radio penonton hanya memilih nomor lagu lalu lagu dimainkan, maka di TbR setelah penonton memilih nomor (adegan) mereka masih harus memilih tema, serta pemain yang akan memainkan nomor tersebut.

Kedua gagasan ini kemudian disatukan menjadi rangkaian pertunjukan teater interaktif improvisasional. Interaksi yang terjadi antara penonton dan Host pada saat penonton memilih nomor, tema dan pemain dalam kegiatan ini merupakan bentuk interaksi pertama. Dalam interaksi ini penonton dipandu Host seolah sedang merencanakan sebuah pementasan. Sementara itu ketika sebuah nomor dimainkan dan penonton menyaksikan, mengontrol atau terlibat dalam pertunjukan merupakan bentuk interaksi kedua yang menghubungkan penonton dengan pemain dalam satu peristiwa teater secara langsung. Dengan demikian bentuk pertunjukan menjadi sangat terbuka dan penonton adalah pemain krusial yang sangat menentukan bagi jalannya pementasan. 

Nomor-nomor dalam TbR yang ditawarkan adalah adegan-adegan yang diambil atau diadaptasi dari theatre game dan acting game. Adegan ini kemudian diberi struktur sederhana untuk ditampilkan. Struktur yang digunakan adalah, pemaparan – konflik – penyelesaian. Namun demikian, terdapat beberapa jenis permainan dalam theatre game yang tidak bisa diberi struktur semacam ini. Untuk permainan semacam ini tetap bisa digunakan dan disajikan sebagai apresiasi.

Dari keseluruhan nomor yang dikembangkan dari permainan theater dan acting game digolongkan menjadi 4 jenis nomor sesuai tata aturan penampilannya. Penyajian nomor yang mengadopsi theatre dan acting game mensyaratkan tata aturan yang harus ditaati. Aturan menjadi kata kunci dari setiap nomor yang disajikan. Aturan ini diwartakan oleh Host dan harus ditaati oleh pemain dan penonton. Keempat jenis nomor tersebut adalah:
  • Nomor apresiasi adalah nomor yang pada saat dimainkan penonton hanya menyaksikan. Namun saat menyaksikan nomor ini, penonton diperbolehkan bereaksi misalnya tertawa, bersorak, atau reaksi ekspresif lainnya. Nomor apresiasi ini digunakan sebagai selingan selepas penampilan nomor-nomor dari jenis yang lain. 
  • Nomor kontrol adalah nomor yang ketika dimainkan penonton mengontrol jalannya pementasan secara langsung dengan menggunakan alat atau kode tertentu – replikasi dari remote control. Ketika kode ini disampaikan, pemain mengikuti arahan sesuai kesepakatan yang telah dibuat antara Host, penonton, dan pemain sebelum nomor dimainkan. 
  •  Nomor replay adalah nomor yang dimainkan sampai selesai. Kemudian nomor tersebut diulangi lagi dengan beberapa elemen yang diubah sesuai pilihan yang disediakan Host dan dipilih penonton. 
  •  Nomor interaksi verbal adalah nomor yang ketika dimainkan terjadi interaksi verbal antara pemain dan penonton. Bentuk interaksi diatur dan disepakati antara Host, pemain dan penonton sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Peran Host sangatlah penting. Ia harus memahami semua aturan permainan dari setiap nomor dan mampu memahamkan aturan tersebut kepada pemain dan penonton. Selain itu sisipan materi dan nilai yang akan diajarkan dalam setiap nomor harus diwartakan oleh Host.


Gambaran Umum Pementasan TbR
Host memasuki ruang pementasan dan menjelaskan model dan aturan permainan dalam pentas. Sebagai permainan pembuka sekaligus untuk menjelaskan model pementasannya, Host meminta salah satu penonton untuk menjadi sutradara dengan mengontrol nomor yang akan disajikan. Host menjelaskan tata cara mengontrol pementasan. Ketika semua sudah paham termasuk pemain, nomor disajikan. Penonton mengontrol jalannya pementasan secara langsung dengan kode tertentu dan pemain menaatinya seperti yang telah diatur dan disepakati sebelumnya.

Ketika nomor selesai, Host menjelaskan makna dan nilai yang bisa diambil dari nomor yang disajikan serta cara penyajiannya. Berikutnya, Host menawarkan beragam nomor kepada penonton dan menjelaskan secara sekilas aturan permainannya. Penonton maju atau secara acak ditentukan oleh Host untuk memilih salah satunya. Setelah itu, semua pemain dipanggil dan penonton memilih siapa saja yang akan memainkannya. Jumlah pemain dibatasi oleh Host berdasar kebutuhan pemain untuk setiap nomor. Selepas itu penonton menentukan tema atau topik dari nomor tersebut. Setelah semuanya siap, Host menjelaskan kembali aturan permainan nomor yang akan ditampilkan kepada penonton dan pemain sesaat sebelum nomor dimainkan.
Ketika sajian nomor selesai, Host kembali menjelaskan makna dan nilai yang bisa diambil dari nomor tersebut. Berikutnya Host kembali menawarkan beragam nomor dan penonton kembali memilih nomor, tema, dan pemain. Demikian seterusnya sampai pementasan berakhir. Dalam satu pementasan tidak semua nomor terpilih dan dipentaskan. Pertunjukan TbR diakhiri setelah berlangsung minimal 1 jam. Pengaturan durasi ini sebelumnya juga disepakati antara Host, panitia, dan penonton dengan mempertimbangkan stamina pemain dan efektifitas serta durabilitas penonton dalam menyerap informasi.


Pembelajaran Teater dan Nilai Kemanusiaan dalam TbR
TbR dalam setiap sajian nomornya memiliki sisipan materi dan nilai yang disampaikan kepada pentonon. Peran Host sangat dibutuhkan dan karena memang hal ini menjadi tugas utamanya. TbR sejak mula kelahirannya ditujukan untuk membelajarkan teater dan elemennya serta nilai karakter yang ada di sebalik teater. Sajian nomor dengan demikian merupakan aplikasi dari materi pembelajaran tersebut atau sebaliknya bahwa dalam setiap nomor terkandung materi dan nilai yang bisa dipelajari.

·         Pembelajaran Teater
Setiap jenis nomor TbR memiliki ciri dan keunikan tersendiri dan di dalamnya mengandung materi pembelajaran teater. Nomor apresiasi misalnya “puisi jiberish” dimana satu orang berpuisi dengan bahasa jiberish dan yang lain menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia mengajarkan kreatifitas, konsentrasi, pembangunan imajinasi, dan kerjasama dalam teater. Dalam konteks ini, Host dapat melempar pertanyaan kepada penonton selepas sajian nomor mengenai hal-hal tersebut. Misalnya, apakah dalam sajian “puisi jiberish” dibutuhkan konsentrasi? Imajinasi? Kerjasama? Siapa yang harus lebih fokus dan konsentrasi apakah pembaca puisi jiberish atau yang menerjemahkannya? Jawaban langsung penonton atas pertanyaan tersebut (bisa pula diklarifikasi atau dikonfirmasi oleh Host) merupakan proses pembelajaran elemen teater dari salah satu nomor yang disajikan.

Nomor kontrol mengajarkan pada penonton cara mengarahkan pemain dan bagimana pemain mengikuti arahan sutradara. Koneksi kerja antara sutradara dan pemain semacam ini mengajarkan bahwa di dalam teater situasi dan kondisi terkontrol sangat diperlukan. Nomor replay mengajarkan kepada penonton mengenai interpretasi lakon. Sebuah adegan bisa disajikan dengan nuansa dan rasa yang berbeda tergantung dari sudut pandangnya. Adegan yang memiliki ketegangan tinggi bisa menjadi komedi ketika elemen emosi pemerannya diubah ke dalam atmosfir kegembiraan misalnya. Sementara itu dalam nomor interaksi verbal, penonton diajak untuk bersama-sama menciptakan teater secara spontan. Misalnya dalam nomor “end by audience”, Host menghentikan adegan di tengah-tengah dan meminta penonton untun memberikan ending dari adegan tersebut. Pemain harus mengikuti saran ending dari penonton ini. Pada jenis nomor ini, penonton didorong untuk mengkreasi sebuah pertunjukan teater secara langsung. Di setiap akhir sajian nomor, Host memberikan penjelasan mengenai aspek atau elemen teater yang bisa dipelajari baik melalui konfirmasi ataupun lontaran pertanyaan kepada penonton.

·        Nilai Kemanusiaan
Nilai-nilai kemanusiaan atau nilai karakter yang dapat dipelajari dari TbR bisa diambil dari setiap sajian nomor atau dari seluruh rangkaian pementasan. Nilai terpenting yang wajib diwartakan oleh Host pada awal sajian adalah perlunya kejujuran, keikhlasan, dan kerjasama dalam pementasan teater. Pementasan tidak akan bisa berjalan tanpa kerjasama penonton. Jika tidak ada penonton yang maju untuk memilih adegan, tema, dan pemain maka pementasan tidak akan berjalan. Ketika salah satu penonton maju, Host menyampaikan bahwa pemain dan penonton tidak saling kenal, namun pemain mau bekerja sama dengan penonton demikian juga sebaliknya. Ketika penonton mengontrol dengan kode tertentu pemain ikhlas mematuhinya dan untuk ikhlas ini dibutuhkan kejujuran. Sebab jika tidak jujur maka ekspresi yang dimunculkan menjadi banal.

Sikap demokrasi juga diajarkan dalam TbR dimana penonton bebas menentukan nomor dan memilih pemainnya. Dalam demokrasi dibutuhkan rasa saling menghargai dimana penonton yang tidak memilih menghargai pilihan penonton yang maju dan penonton yang maju juga bisa menawarkan pilihan kepada penonton lainnya. Selain itu, sifat keberanian pun dimunculkan dalam TbR dimana penonton harus berani maju dan memilih. Host akan memberikan motivasi kepada penonton untuk mau maju dan memilih. Ketika sebuah nomor akhirnya disajikan, semua yang ada harus bersama-sama mematuhi aturan yang telah disepakati. Sekali aturan dilanggar maka nomor yang disajikan tidak akan berjalan dengan baik. Misalnya ketika ada aturan setiap sugesti penonton harus dilakukan dan pemain tidak mau melakukan, maka penonton akan kecewa dan nomor tidak bisa dilanjutkan. Atau ketika ada aturan bahwa semua yang disampaikan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan ada penonton yang menyalahkan, maka ia pasti akan mendapat sorakan dari penonton yang lain.

Banyak nilai kemanusiaan dan elemen teater yang bisa diajarkan dalam setiap pementasan TbR. Apa yang dituliskan di atas adalah sebagian di antaranya. Dibutuhkan Host yang mampu mewartakan materi dan nilai tersebut dengan baik jika tidak, maka sajian nomor hanya menjadi hiburan atau apresiasi. Meskipun dalam setiap nomor terkandung materi dan nilai namun bagi penonton awam teater memerlukan alat tuntuk menggalinya, dan itu adalah Host. Karena itulah Host di TbR bukan hanya sekedar tuan rumah yang menawarkan beragam hidangan pada tamunya namun Host adalah orang yang mampu mengajak semua yang hadir untuk menjadi pembelajar melalui dan di dalam peristiwa teater.

Penutup
TbR jika ditinjau dari segi tujuan dapat dikatakan sebagai teater terapan. Teater terapan adalah teater yang menyajikan format pementasan atau gelaran peristiwa teater sebagai media pembelajaran atau tenaga penggerak perubahan manusia. Teater terapan biasanya dipentaskan di ruang atau tempat yang bukan gedung pertunjukan dengan pemain yang belum tentu memiliki kecakapan berteater dan penonton yang memiliki ketertarikan pribadi atas gelaran peristiwa teater yang dilangsungkan (lihat, Prendergast & Saxton, 2009). Kata “terapan” dengan sendirinya telah memberi jarak kepada teater sebagai seni “murni”. Oleh karena itulah penyikapan dan pengkondisian penonton terhadap penampilan TbR berbeda dengan penyikapan penonton terhadap pertunjukan teater panggung pada umumnya. TbR selalu dipentaskan di ruang alternatif dengan pemain dan penonton tertentu. TbR seturut pengalaman pentasnya ditampilkan di ruang yang kecil dengan penonton yang tidak terlalu banyak dan umumnya adalah siswa, mahasiswa serta tenaga pendidik. Tidak ada jarak estetis antara pemain dan penonton sehingga proses interaksi dapat dijalankan dengan baik.

Sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2016, TbR telah dipentaskan di 22 kabupaten/kota. Berikut sekilas catatan perjalanannya. Tahun 2010: SMKN 3 Banyumas, Universitas Tidar Magelang, Universitas Negeri Semarang, Komunitas Tinting Kulonprogo, SMKN 1 Madiun, dan Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Tahun 2011: SMP 1 Cluring Banyuwangi, Aula Ki Hadjar Dewantara Gresik, Universitas Islam Darul Ulum Lamongan, Gedung Perak Bojonegoro, SMAN 2 Ponorogo, SMK 1 Pogalan Trenggalek, SMK 8 Surakarta, dan Universitas Muhammadiyah Purworejo. Tahun 2012: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro Lampung, SMAN 9 Bandar Lampung, Aula Sosrodiwangsan Banyuwangi, Universitas Negeri Surabaya, SMAN 2 Tuban, SMAN 1 Wirosari Grobogan-Purwodadi, dan SMAN 2 Gresik. Tahun 2014: Univesitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan SMK 12 Surabaya. Tahun 2015 pentas di Omah Kebon Bantul di hadapan staf PT Regina Realty Jakarta. Tahun 2016: SMK 17 Magelang dan Gedung Kesenian Wonosari. (*)


Bacaan:
Adams, Kenn. 2007. How to Improvize a Full-Length Play, The Art of Spontaneous Theatre. New York: Allworth Press.
Izzo, Gary. 1998. Acting Interactive Theatre A Handbook. Portsmouth: Heinemann.
Johnstone, Keith. 1989. Impro. London: Methuen Drama
Leep, Jeanne. 2008. Theatrical Improvisation, Short Form, Long Form, and Sketch-Based Improv. New York: Palgrave Macmillan
Levy, Gavin. 2005. 112 Acting Games, A Comprehensive Workbook Of Theatre Games For Developing Acting Skills. Colorado: Meriwether Publishing LTD.
Prendergast, Monica & Juliana Saxton. 2009. Applied Theatre, International Case Studies And Challenges For Practice. Bristol: Intellect.
Rendra, W.S. 2013. Seni Drama untuk Remaja. Bandung: Pustaka Jaya.
Spolin, Viola. 1993. Improvisation for the Theatre. Illinois: Northwestern University Press.
Spolin, Viola. 1986. Theater Games For The Classroom, A Teacher’s Handbook. Illinois: Northwestern University Press.


+) Tulisan ini dikembangkan dan dipertajam dari, “Tentang Theatre by Request dan Kaitannya dengan Teater Pendidikan” oleh penulis, disampaikan dalam forum sarasehan Gatra Puruhita #12 yang diselenggarakan oleh Paguyuban Alumni UNSTRAT – UNY, di Bale Budaya Samirono, 21 Oktober 2016.
++) Tulisan ini disertakan dalam prosiding International Seminar "Today's Art Future's Culture", PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta, 23 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar