Sabtu, 25 September 2021

Anekarupa Teater dalam Lomba

 Oleh: Eko Santosa

Program pemberdayaan teater, secara umum telah banyak dilakukan. Baik itu dalam konteks teater profesional, teater komunitas, maupun teater sekolah. Bentuk programnya juga bermacam-macam, ada yang berupa bantuan pendanaan produksi, fasilitasi pementasan, workshop, festival, dan lomba. Dalam khasanah teater sekolah, agenda berbentuk lomba paling banyak dilakukan. Meskipun terkadang namanya adalah festival tetapi konsep utamanya adalah lomba yang menentukan siapa juaranya (championship). Di teater sekolah, lomba ini bisa dilaksanakan secara bertahap dan bertingkat. Misalnya, seleksi awal adalah tingkat kabupaten, berikutnya pemenang dipilih untuk berkompetisi di tingkat propinsi, dan pemenang tingkat propinsi dikirim untuk berkompetisi di tingkat nasional. Namun ada juga lomba teater yang memang diselenggarakan dalam satu waktu, satu tempat, dan satu agenda tanpa berlanjut ke tingkat berikutnya. Banyak hal menarik dapat dijumpai dalam lomba teater yang diselenggarakan, terutama terkait dengan hasil akhir (tujuan) lomba, preparasi serta reaksi terhadapnya. Beberapa jenis teater dapat ditemukan di dalamnya. Penjenisan ini berdasar sifat, sikap, dan cara teater tersebut menghadapi lomba. Uraian berikut menyajikan beberapa jenis teater yang pernah atau mungkin masih muncul dalam perlombaan.

 1.   Teater Protes

Teater protes bukanlah teater yang selalu menyajikan lakon untuk memprotes pemerintah atas keadaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Bukan pula teater yang menggelar pementasan di jalan-jalan atau depan gedung parlemen. Teater protes dalam lomba adalah kelompok teater yang mengajukan protes begitu hasil akhir lomba diumumkan. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa jenis teater ini selalu muncul dalam lomba. Sikap kurang percaya pada penjurian, sifat merasa paling baik, dan cara yang ditempuh dalam melakukan protes sangat menarik jika diamati. Padahal secara jelas, di dalam setiap lomba sudah diumumkan – bahkan scara tertulis – ketentuan yang menyatakan bahwa keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Tetapi toh tetap saja teater protes ini hadir mewarnai lomba.

Mungkin banyak peserta lomba teater yang pernah menjumpai kelompok teater protes ini. Ada yang marah-marah tidak jelas di saat acara pengumuman kejuaraan belum benar-benar selesai. Ada yang berani mendatangi panitia dan melakukan protes dengan kalimat keras dan nada tinggi. Ada yang sampai mendatangi ruang singgah juri, dan bahkan ada yang sampai merusak properti lomba. Tingkah-polah yang sebenarnya lucu sekaligus memprihatinkan ini bisa dijadikan pembelajaran bagi seluruh pelaku teater yang mengikuti lomba. Artinya, kehadiran teater protes sebenarnya dapat dijadikan momen untuk introspeksi bagi seluruh kelompok teater bahwa, dunia panggung, dunia lomba, dan dunia seni tidak pernah bisa diukur secara matematis. Hitung-hitungan baik dan buruk, indah dan jelek dalam karya seni itu tidak bisa dikalkulasi seperti halnya penjumlahan dan pengurangan. 

Poin-poin yang disanggahkan oleh teater protes bisa jadi benar, tetapi ada aturan mengikat yang telah disepakati bersama sejak technical meeting di mana keputusan Juri bersifat mutlak. Jalan bijaksana dari sanggahan berdasar yang bisa jadi benar ini dapat berupa tulisan hasil analisis komprehensif yang ditujukan kepada panitia agar kejadian serupa tidak terulang pada penyelenggaraan berikutnya. Namun, situasi dan kondisi saat pengumuman lomba memang selalu panas dan rawan memicu kemarahan terutama ketika terjadi hal-hal yang dianggap tidak sesuai ukuran. Akan tetapi, protes secara emosional, apalagi tak terkendali justru akan merugikan diri sendiri. Jadi perlu sikap bijak dan cerdas dalam hal ini. 

Di dalam banyak pengalaman, dari sekian banyak teater protes yang lahir umumnya mereka memiliki ukuran tinggi bagi karya mereka sendiri. Dalam konteks ini, teater protes tersebut seolah memandang rendah capaian teater lain dan hanya merekalah yang berkualitas. Atas dasar inilah protes itu diarahkan terutama pada kelompok yang terpilih sebagai pemenang. Apa yang dilakukan terkadang tidak memperbandingkan karya secar artistik namun justru mencari-cari kesalahan pemenang. Jika mereka membandingkan karya-karya yang hadir saat lomba secara artistik tentunya protes emosional akan dapat diminimalisasi. Akan tetapi jika yang dicari adalah kesalahan atau kejelekan teater pemenang, maka bisa dipastikan protesnya akan emosional. Pada titik ini segala nilai artistik menjadi hilang karena yang coba digali dan ditemukan hanyalah kesalah-kesalahan. Bahkan ketika tidak ditemukan celah kelemahan, mereka tetap akan berusaha mencari hal-hal yang dianggap kurang tepat meskipun hal-hal tersebut tidak ada kaitannya dengan karya dan bahkan nilai dalam lomba. Intinya, semua hal yang dianggap kurang baik dari teater pemenang akan dikulik. 

Kondisi teater protes nan emosional ini sebenarnya tidak sehat, terutama ketika hal tersebut terjadi pada kelompok teater pelajar. Umumnya para peserta teater pelajar sudah cukup merasa puas dengan menyajikan karyanya di depan khalayak. Artinya, mampu berekspresi dengan memainkan peran saja sudah membanggakan bagi mereka dan pengalaman semacam ini sangat berharga. Namun, pelatih kelompok teater pelajarlah yang biasanya memaksa diri untuk tampil sebagai pemenang dalam lomba. Sikap yang semestinya positif ini kemudian akan menjalar menjadi sangat negatif ketika kelompok teater pelajar tersebut kalah dan pelatihnya mulai protes secara emosional dengan menjelekkan kualitas pemenang dan meninggikan kualitas teaternya sendiri. Tanpa disadari, laku pelatih dalam teater protes semacam ini akan mengaburkan makna keindahan dalam seni teater di mana pada saat itu para peserta sedang sama-sama mempelajarinya. Akhirnya, benih sinisme antarkelompok dengan sendirinya terbentuk dan ini bukan pertanda baik bagi perkembangan teater dan kemanusiaan di dalamnya. 

2.   Teater Juri

Ajang lomba teater, sebenarnya, bukan hanya merupakan arena pertemuan karya dan pekarya. Jika tidak ada orang yang berjuluk Juri di dalamnya, bisa saja agenda pertemuan itu menjadi lebih cair dan penuh kegembiraan. Namun, tanpa kehadiran Juri bisa juga pertemuan itu dianggap biasa saja sebagaimana acara kumpul-kumpul komunitas. Apa yang membuat kehadiran Juri sangat berpengaruh dalam lomba? Tentu saja karena keputusannya menentukan siapa yang berhak mendapatkan gelar pemenang (lebih unggul dari yang lain) dan hadiah-hadiah yang menyertainya. Karena itulah kehadiran Juri sangat penting. 

Secara umum dan berdasarkan pengalaman, Juri lomba teater merupakan seniman atau akademisi seni yang cukup dikenal karena pengalaman dan ilmunya. Selain itu, seorang Juri akan dihadirkan tidak hanya dalam sekali ajang perlombaan. Bahkan ada Juri yang seolah-olah menjadi Juri tetap dalam sebuah lomba. Faktor Juri ini seringkali dimanfaatkan oleh peserta di mana mereka mencoba mencari-cari selera Juri tersebut terhadap sebuah karya. Banyak cara yang dilakukan mulai dari memantau produksi yang pernah dilakukan, pemilihan juara dalam beberapa kali penyelenggaraan lomba, mengundangnya untuk memberikan workshop, dan banyak lagi yang dilakukan. Nah, ketika selera Juri ini diketahui, maka peserta akan menciptakan karya berdasarkan hal tersebut. 

Pada titik ini, pekarya atau pelatih sebuah kelompok teater yang mengikuti lomba memang menghendaki timnya menjadi. Konsepsi artistik dalam karya kemudian disesuaikan dengan selera Juri. Meskipun sesungguhnya anggapan bahwa selera Juri dapat diketahui belum sepenuhnya tepat, namun hal tersebut sudah diyakini, maka garapan teater pun diarahkan kesana. Dari beberapa pengalaman, peserta ada yang memang merasa yakin dengan selera Juri dan mengarahkan karyanya ke sana dan memang kemudian terbukti keluar sebagai juara. Lalu ketika peserta lain pada akhrinya mengetahui hal tersebut, maka mereka akan menganggap bahwa teater pemenang adalah teater (selera) Juri. 

Namun, apakah pengalaman semacam ini dapat dijadikan acuan dasar? Tentu saja tidak. Seorang Juri meskipun memiliki selera, tentu tidak akan serta-merta menentukan kualitas karya peserta berdasarkan seleranya saja. Banyak aspek dalam sebuah lomba teater yang dapat dijadikan rujukan penilaian. Karya yang memenuhi selera belum tentu memiliki nilai baik dalam setiap aspeknya. Persis seperti grup sepakbola yang bermain cantik dan membuat kagum banyak orang namun tidak bisa menang karena tidak bisa menyarangkan satu golpun dan bahkan gawangnya kebobolan. Sementara kesebelasan lain, bermain pragmatis namun malah bisa menghasilkan gol dan mampu menjaga gawangnya dengan baik. 

Memenuhi selera Juri, secara umum juga sedikit sulit diwujudkan karena jumlah Juri selalu lebih dari satu. Artinya, jika ada 3 orang Juri, maka peserta tersebut harus memenuhi selera ketiganya. Di dalam seni teater (dan seni lainnya), selera sangatlah subjektif. Bahkan dalam taraf tertentu tidak bisa terjelaskan dengan baik aspek-aspeknya sehingga antara orang satu dengan yang lainnya bisa dipastikan berbeda. Untuk itu, memenuhi selera lebih dari satu orang tidaklah mudah. Selain itu, ditinjau dari segi estetika, membuat karya hanya demi memenuhi selera orang tertentu dianggap justru menjauh dari nilai seni. Namun demikian, dari sisi lain, terutama pada kebanyakan peserta lomba, merebut kemenangan adalah hal yang utama sehingga nilai estetika bisa dipinggirkan untuk sementara. 

Jika dipandang dari sisi Juri, selera artistik terhadap satu karya memang akan muncul. Dan hal semacam ini jika tidak dikendalikan akan mempengaruhi penilaian, yang tentu saja subjektif. Akan tetapi, hal itu belum atau bahkan tidak bisa dijadikan acuan. Sebab, objektivitas penjurian memang ditentukan dari akumulasi subjektivitas para Juri. Karena itu, setiap Juri dapat menentukan tinggi-rendahnya skor untuk setiap aspek penialian. Jika setiap juri memiliki interest yang berbeda-beda, maka skor untuk aspek-aspek yang dinilaipun pasti akan berbeda. Dari sisi inilah, menyandarkan karya hanya pada selera Juri pada saat lomba belum tentu membawa hasil optimal. Aritnya, jika ada seorang peserta yang mencoba mendekatkan karyanya dengan selera Juri dan kemudian berhasil tampil sebagai pemenang, maka bisa dipastikan bahwa memang karya yang ia sajikan memenuhi kriteria setiap aspek penilaian yang ada. Karena aspek penilaian yang ditentukan merupakan ukuran sebuah karya dianggap sebagai karya yang baik dalam lomba tersebut dan hal itu berada di atas selera Juri. Oleh karena itu, memenuhi selera Juri dalam lomba boleh saja, namun aspek-aspek penilaian yang biasanya terkait langsung dengan kualitas artistik tidak boleh ditinggalkan.
 

3.   Teater Panitia

Seorang pelatih ataupun sebuah kelompok teater terkadang bersikukuh tidak mau mengikuti ajang lomba. Mereka hanya mau berproduksi sesuai dengan keinginan mereka saja. Tidak peduli apakah pementasan yang mereka selenggarakan itu dikenal banyak orang atau tidak. Bagi mereka yang penting adalah menghasilkan karya. Sekilas, pelatih atau kelompok teater ini terlihat idealis. Mungkin mereka menganggap bahwa aturan dalam lomba teater itu akan menghambat kreativitas mereka. Oleh karena itulah, menyelenggarakan produksi sendiri dan lepas dari ajang lomba lebih mengena. Jika memang seperti ini kondisinya, maka tidak ada yang salah dengan pelatih dan kelompok teater tersebut karena hasrat menampilkan karya bisa saja berbeda-beda termasuk latar belakang pemikirannya. 

Namun dari beberapa pengalaman, keengganan untuk mengikuti lomba ini ternyata bukan perkara idealisme, melainkan ada hal yang tak semestinya terjadi yaitu intervensi oknum panitia dalam lomba. Intervensi ini tidak sekedar memberikan pengaruh pada pementasan saat lomba, namun lebih pada penentuan siapa pemenangnya. Tidak sedikit rumor beredar, bahwa ada oknum panitia (bahkan terkadang ketuanya) memiliki interest terhadap peserta sehingga meminta Juri untuk menjadikan peserta tersebut juara. Hal ini terjadi pada event lomba yang umumnya menentukan kelompok pemenang menuju ke level berikutya. Misalnya saja, pemenang lomba di kecamatan akan dikirim ke kabupaten. Namun demikian, di teater sekolah, lomba teater bisa saja berlangsung semacam ini meskipun sang pemenang tidak akan dikirim ke level berikutnya. Semua tentu karena eksistensi. Apalagi, di sekolah dikenal dengan istilah pelajar berprestasi sehinga oknum panitia yang anaknya kebetulan menjadi peserta lomba bisa jadi, dengan berbagai cara, mempengaruhi (intervensi) Juri untuk memenangkannya. 

Kondisi seperti ini memang tidak akan mengenakkan, namun bisa terjadi, mungkin bahkan sampai saat ini. Kredibilitas Juri kemudian menjadi taruhannya. Jika Juri bersikukuh untuk tetap objektif dalam menilai, maka intervensi oknum panitia tidak akan berjalan dengan baik. Juri semacam ini akan mempertahankan kualifikasi dirinya sebagai orang yang memang pantas untuk didudukkan sebagai Juri, apalagi ketika eksistensinya sudah diakui banyak kalangan. Para peserta tidak akan khawatir terhadap penilaian yang tidak fair atas lomba yang diselenggarakan. 

Namun rupanya yang terjadi tidaklah demikian sederhana. Oknum panitia yang memang berniat untuk memenangkan seseorang atau salah satu kelompok tertentu pasti telah memiliki strategi jitu sejak pemilihan dewan Juri. Personel atau komposisi Juri telah ditentukan dengan pertimbangan matang sehingga pada nantinya apa yang dimintakan oleh oknum panitia dapat terwujud. Di dalam penilaian lomba teater, angka perolehan peserta merupakan penjumlahan antara Juri satu dengan Juri lainnya. Umumnya dewan Juri berjumlah ganjil, misalnya 3 orang. Jika 2 orang anggota dewan Juri sudah diset olah oknum panitia, maka penilaian Juri murni yang hanya seorang saja dapat dipastikan kalah. Intinya, oknum panitia akan berusaha semaksimal mungkin mempengaruhi Juri agar memenangkan peserta pilihannya. Bahkan di dalam ajang yang besar pun terkadang aroma suap-menyuap untuk memenangkan peserta tertentu bermunculan. 

Meskipun kejadian seperti di atas tidak terjadi pada semua lomba, namun situasi tersebut membuat peserta kehilangan semangat untuk mengikuti lomba berikutnya. Tetapi di teater sekolah yang mana mengikuti lomba terkadang diwajibkan, kondisi tersebut akan sangat menciderai semangat pendidikan seni. Peserta yang tampil dengan baik karena telah berlatih keras akan dikalahkan peserta pilihan oknum panitia. Jika guru atau pelatih pendamping memiliki kedewasaan sikap, maka mereka bisa menenangkan siswanya untuk menerima kenyataan bahwa lomba bukanlah segala-galanya dan estetika sebuah pertunjukan teaeter tidak diukur dari lomba saja. Satu lagi hal yang dapat menenangkan bagi peserta yang dikalahkan adalah kenyataan bahwa khalayak akan menganggap teater pemenang tersebut adalah teater panitia. Oleh karena itu, mereka bukanlah kelompok teater yang sesungguhnya. Anggapan teater panitia ini sedikit banyak akan meredam emosi para peserta yang sengaja dikalahkan dan akan menurunkan gengsi sang pemenang. Meski akhirnya apa yang telah berlalu pasti berlalu, namun yang menjadi catatan adalah peserta yang kalah bukanlah pecundang melainkan sang pemenang karena teater sesungguhnya bukan soal kalah-memang tetapi nilai kemanusiaan.

 

4.   Teater Hafalan

Festival teater dalam berbagai kelompok peserta, utamanya sekolah, umumnya diselenggarakan tahunan. Jadi sangat memungkinkan jika seorang pelatih mengikuti fesitval yang sama selama puluhan tahun. Jejak perjalanan dan perkembangan festival ia ikuti dengan baik. Berbagai macam pengalaman telah ia jumpai sampai akhirnya ia betul-betul memahami seluk-beluk festival tersebut. Karena pengalamannya ini, maka ia seolah telah hafal detail pelaksanaan festival tersebut hingga sampai model penentuan kejuaraannya. 

Ketika pelatih ini melatih sebuah kelompok teater sekolah, maka bisa dimungkinkan ia akan menggunakan pengalamannya untuk mengatur strategi agar kelompoknya tampil sebagai pemenang. Dalam bahasa sederhana, ia akan bermain aman. Artinya tidak mau lagi bereksperimen atau menemukan ekspresi artistik baru dalam menyajikan pertunjukan teater. Ia akan merasa enak berada di zona nyaman, dan pemahamannya mengenai festival tersebut akan ia gunakan seoptimal mungkin. Jadi lebih baik menjadi teater hafalan yang paham betul sifat festival yang diikuti tetapi punya harapan besar meraih kejuaraan ketimbang menjadi teater yang tampil dengan kreativitas baru. 

Namun demikian, sebenarnya ada hal yang kurang mengenakkan dari teater hafalan semacam ini. Jika menang, maka ia tidak akan mendapatkan kepuasan optimal, tetapi sebaliknya, jika tidak mampu tampil sebagai juara, rasa kecewanya akan melebihi peserta lain. Memang, memahami seluk-beluk sebuah festival sebenarnya bukanlah jaminan untuk tampil sebagai juara. Bagaimanapun juga sebuah karya seni itu akan selalu hidup, artinya, unsur-unsur penilaian bisa saja tetap namun sajian atau penampilan karya semestinya memberikan sesuatu yang baru. Orang awam pun juga akan merasa bosan jika disajikan tampilan yang itu-itu saja. Kecenderungan bermain aman dalam teater hafalan mesti akan mengedepankan aspek-spek yang dinilai sehingga lama-kelamaan karyanya tampil dengan pola dan struktur yang sama. Disadari atau tidak, karya-karya semacam ini kemudian akan menjadi kerajinan. Sesuatu yang dibuat secara berulang-ulang sehingga menepikan kreativitas yang menjadi ruh dari seni. 

Kelompok teater tentunya tidak akan nyaman dengan kondisi semacam itu. Daya cipta dan kreasi semestinya terus diasah di dalam kerja teater. Berbagai hal baru sesuai perkembangan zaman sebisa mungkin menjadi inspirasi dalam mengembangkan karya. Memang tidak mudah tetapi adanya teater hari ini harus disadari bahwa hal itu terjadi karena teater di masa lalu senantiasa memperbarui diri. Keberadaan teater hari ini pun semestinya membawa semangat untuk terus berlanjut di kemudian hari dalam waktu lama. Semangat ini berbeda sekali dengan teater hafalan yang mencipta karya berdasar pola atau formula tertentu. Dalam perjalanan waktu, bisa jadi proses seperti yang dilakukan oleh teater hafalan akan membekukan kreativitas. 

Akan tetapi, sekali lagi dalam lomba atau festival teater kejuaraanlah yang mesti diraih. Kualitas karya terbaiklah keluar sebagai pemenang. Oleh karena itu, apa yang dikerjakan oleh teater hafalan tidak sepenuhnya salah memang. Mengedepankan siasat ketimbang artistik dalam festival atau lomba diperbolehkan selama tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Apalagi ketika pemenang dianggap sebagai yang terbaik, maka segala siasat yang telah ditempuh seolah lesap menjadi pencapaian artistik. Kondisi inilah yang sering melingkupi arena lomba sehingga memunculkan berbagai macam jenis teater untuk meraih kemenangan. Padahal di dalam kenyataan tidak selamanya juara pertama akan bertahan dalam kehidupan nyata teater. Banyak teater profesional yang berkualitas dan bertahan namun tidak pernah menjadi juara pertama. Karena memang kehidupan teater tidak ditentukan oleh kejuaraan, melainkan kemauan dan kehendak untuk bertahan dalam menawarkan nilai kemanusiaan secara artistik kepada masyarakat.

 

5.   Teater Supporter

Penyelenggaraan lomba atau festival teater terkadang selain menetapkan kejuaraan (championship) juga menetapkan outsanding award (penghargaan khusus). Banyak kelompok teater yang berharap pada penghargaan khusus ini karena paling tidak itu akan membawa eksistensi kelompoknya lebih tinggi daripada pulang tidak membawa penghargaan apapun. Bahkan peserta festival yang merasa telah siap dengan karyanya tetap berharap pada penghargaan khusus ini karena akan menjadi lebih bergengsi ketika menyabet kejuaraan tetapi juga membawa pulang salah satu penghargaan khusus. 

Penghargaan khusus dalam festival teater bisa bersifat individu ataupun kelompok. Mulai dari penghargaan untuk sutradara, aktor, pemusik, tata artistik hingga sampai pada kelompok favorit, kelompok terkreatif, dan lain sebagainya. Jenis penghargaan ini sangat tergantung pada visi dan misi panitia. Penentuan kejuaraan biasanya untuk lomba bertingkat sehingga hanya yang juara 1 yang dikirim ke tingkat berikutnya. Sementara penentuan kejuaraan dan penghargaan dilakukan untuk memberikan motivasi pada kelompok peserta untuk memperhatikan garapan elemen yang diberikan penghargaan. Namun dewasa ini, banyak festival yang diselenggarakan dalam satu waktu tidak memberikan kejuaraan melainkan penghargaan saja. Penghargaan ini umumnya menyematkan kata “terbaik” di dalam pengharagaan individu seperti, sutaradara terbaik, aktor terbaik, dan lain sebagainya. 

Khusus untuk penghargaan kelompok, jenisnya bisa sangat beragam namun yang pernah terkenal adalah penghargan kelompok favorit pilihan penonton. Dalam penghargaan ini, panitia membagikan kertas kepada penonton untuk menuliskan kelompok (penyaji) favorit pilihannya. Pada akhir festival, pilihan penonton ini dikalkulasi dan kelompok yang mendapatan pilihan terbanyak tampil sebagai pemenang penghargaan. Karena penghargaan semacam ini maka, kelompok teater berlomba-lomba mendatangkan supporter khusus pada saat mereka tampil. Mereka berharap pada banyaknya supporter (yang tentu saja telah dibreifing) tersebut agar paling tidak tampil sebagai kelompok favorit pilihan penonton. 

Sampai pada tahap ini sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bagi penyelenggaraan festival atau lomba tersebut. Karena penghargaan kelompok terfavorit hanyalah penghargaan hiburan, maka akibat kualitatifnya tidak terlalu berpengaruh bagi karya yang ditampilkan. Apalagi pemilihannya hanya berdasar suara penonton terbanyak dan bukan dari Juri. Namun demikian, supporter yang didatangkan bisa saja menimbulkan masalah jika kehadiran mereka mengganggu jalannya pertunjukan baik itu pertunjukan kelompok yang didukungnya maupun kelompok lawan. Gangguan ini bisa saja berupa tertawaan, teriakan, atau komentar-komentar yang tidak tepat. Hal ini bisa terjadi karena tidak semua supporter yang datang itu mengetahui dengan baik tata cara (etika) menyaksikan pementasan teater dan mungkin waktu briefing yang diberikan kurang memadai. Pada titik ini memang perlu adanya kesadaran bahwa kultur menyaksikan pertunjukan teater itu berbeda dengan kultur menyaksikan pertunjukan yang bersifat hiburan. Antara seni dan hiburan memang seolah tidak ada batas bagi awam. Oleh karena itu, memberikan pemahaman bagi penonton (supporter) yang hendak dibawa masuk ke gedung pertunjukan tentang etika menonton teater sangat penting artinya. 

Kehadiran supporter dalam festival atalu lomba teater rupanya sampai saat ini masih ada meskipun penghargaan kelompok/penyaji favorit pilihan penonton tidak lagi ada. Dalam pelaksanaan lomba teater sekolah hal ini kentara sekali sehingga teater sekolah yang mampu mengumpulkan banyak supporter akan terasa meriah karena kursi penonton penuh. Terlebih lagi dengan kebiasaan bahwa supporter hanya akan menyaksikan pementasan kelompoknya saja. Artinya setelah kelompoknya selesai pentas, maka mereka akan berbondong-bondong keluar gedung pertunjukan. Akibatnya, kelompok penampil berikut yang tidak memiliki supporter akan terasa sepi karena kursi penonton banyak yang kosong. Namun segi baiknya, para Juri tidak dalam menilia karya tidak terpengaruh dengan banyak-sedikitnya penonton melainkan pada aspek artistik pementasan semata. Meski begitu, kondisi semacam ini dapat dijadikan pembelajaran bagi penyelenggara lomba mengingat bahwa penonton adalah unsur utama pertunjukan, maka akan lebih baik jika penonton dihadirkan secara terencana dalam pelaksanaan lomba. Jika bisa demikian, maka teater supporter tidak perlu lagi ada.

 

6.   Teater Dana

Pengalaman kelompok teater satu dengan kelompok teater lain dalam upaya penubuhan dan pengembangannya sangat berbeda. Beberapa kelompok teater sekolah mengandalkan hanya pada waktu, sarana, prasarana serta dukungan yang ada. Beberapa kelompok teater mampu menambah jumlah waktu latihan dan mendatangkan pelatih khusus. Ada pula kelompok teater yang muncul jika hanya ada perlombaan dan ada pula kelompok teater yang memiliki dana berlebih. Dari masing-masing muncullah kreativitas penciptaan teater yang berbeda. Kualitas ini seringkali tidak berbanding lurus dengan kondisi dasar yang dimiliki sebuah kelompok teater. Ada kelompok teater yang tidak memiliki banyak faktor dukungan tetapi mampu tampil kreatif dan konsisten, namun ada juga yang sebaliknya. Di dalam konteks lomba atau festival, kondisi awal satu kelompok ini seringkali dijadikan alasan baik untuk kualitas karya maupun konsekuensi kejuaraan yang dimiliki. 

Kelompok yang tidak tampil sebagai juara menggunakan dalih kekurangan faktor dukungan atau lemahnya pemain sebagai alasan. Kelompok yang tampil sebagai juara seringkali dituding sebagai kelompok yang mendapatkan dukungan berlebih dari berbagai pihak dan atau berpengalaman sehingga wajar saja keluar sebagai juara. Namun dari semua peserta lomba terkadang muncul teater dana yang memiliki faktor dukungan finansial berlebih namun belum tentu menjadi juara. Teater dana ini umumnya lahir karena antusias anggota kelompok atau kalau di teater sekolah adalah peran besar orang tua dalam memberikan dana sukarela demi mendukung penampilan anaknya. Teater dana jika keluar sebagai juara akan dianggap wajar, namun jika tidak, maka beberapa sindiran akan dilayangkan. Satu hal yang biasa dalam sebuah lomba namun satu hal yang tidak biasa untuk teater dana. Karena sangat jarang kelompok teater sekolah mendapatkan support dana. 

Dalam keadaan memiliki dana, kelompok teater terkadang terjebak pada mendahulukan kepentingan pemenuhan kebutuhan tata artistik sehingga mengesampingkan capaian kualitas pemeranan. Kondisi ini sangat bisa terjadi karena pemenuhan tata artistik membutuhkan proses yang tidak sederhana. Tata panggung, busana, rias, ilustrasi musik, dan tata cahaya membutuhkan kecermatan pentaan untuk mencapai harmoni. Jika waktu dan dana yang tersedia banyak diluangkan untuk kepentingan tata artistik, yang biasanya idealis, karena ada dananya, maka sangat mungkin berakibat pada kurangnya kesempatan untuk pengarahan pemeran. Menurut pengalaman, hal ini juga didukung dengan kondisi bahwa pada umumnya sutradara (pengarah pemeran) juga merupakan konseptor tata artistik. Kerja besar mengarahkan pemeran dan menkonsep tata artistik yang mana dalam pelaksanaannya juga seringkali konseptor ikut terlibat dalam pembuatan, penyusunan, dan penataan seringkali membawa akibat berat sebelah yang dalam hal teater dana, justru pemeranan yang lebih sedikit mendapat perhatian. 

Titik berat pada tata artistik ini memiliki alasan kuat jika teater dana tersebut baru saja mendapatkan dukungan dalam hal pendanaan. Artinya, selama belum menjadi teater dana, justru tata artistik yang tampil sederhana untuk mendukung kualitas pemeranan. Namun ketika dana tersedia, yang terjadi adalah sebaliknya. Lain halnya jika teater dana ini telah eksis cukup lama sehingga faktor dukungan dana dapat benar-benar dimanfaatkan untuk menguatkan tata artistik dan kualitas pemeranan. 

Satu hal yang menjadi kelebihan dari teater dana adalah kreativitas artistiknya bisa menjadi lebih terbuka. Dalam konteks lomba, mereka terkadang tidak memikirkan kejuaraan namun lebih pada ekspresi artistik sesuai gagasan yang ada. Karena keberadaan dana yang memungkinkan, maka pelaku tater dapat mengujicobakan gagasan artistiknya dalam sebuah pementasan. Oleh karena itulah, tampilan pementasan yang memuaskan lebih penting daripada pencapaian kejuaraan. Namun sekali lagi, dalams setiap lomba konsekuensi logis atas kejuaraan menjadi niscaya. Pengeluaran biaya berlebih namun pulang dengan tangan kosong pasti akan menyisakan sedikit rasa kekecewaan. Apalagi ketika mendengarkan tanggapan peserta lain. Untuk teater sekolah, kondisi ini memang sangat riskan kecuali memang semangat pendidikan seni telah mengakar kuat sehingga tujuan beruba pencapaian kesadaran artistik bagi siswa lebih penting daripada segalanya.

 

7.   Teater Juknis

Lomba atau festival teater selalu tidak lepas dari hal-hal teknis penyelenggaraan. Mulai dari tata cara lomba hingga sampai poin penilaian menjadi konsentrasi panitia dan peserta. Dari sisi panitia, perkara teknis ini tentunya telah dibincangkan lama dan kemudian dituangkan menjadi panduan lomba. Panduan tersebut ada yang digunakan oleh panitia, Juri, dan ada yang diperuntukkan khusus bagi peserta. Bagi panitia, panduan tersebut diikuti selama pelaksanaan lomba berlangsung. Bagi Juri, panduan tersebut akan mengarahkannya pada pokok-pokok penilaian. Bagi peserta panduan tersebut digunakan sebagai acuan dalam membuat karya yang akan dipresentasikan dalam lomba. 

Umum, panduan ini disebut sebagai petunjuk pelaksanaan atau juklak dan petunjuk teknis atau juknis. Peserta lomba teater sebagian besar lebih fokus pada juknis karena juklak biasanya berisi besaran pelaksanaan lomba saja. Istilah juknis ini sudah sangat membumi, terutama bagi teater sekolah. Dalam setiap pelaksanaan lomba teater sekolah di berbagai tingkatan dan wilayah, juknis ini selalu diperbincangkan. Oleh karena itu, ketersediaan juknis terkait dengan waktu persiapan pembuatan karya menjadi sangat penting artinya. Ketika juknis sudah ada jauh hari sebelum lomba dilaksanakan, maka peserta memiliki banyak kesempatan untuk menyiapkan karya. Namun, ketika keberadaan juknis terlalu dekat dengan pelaksanaan lomba, maka peserta pun akan kelabakan dalam mempersiapkan karyanya. 

Di dalam pelaksanaan lomba teater tingkat nasional yang mesti diikuti peserta secara berjenjang, kebutuhan akan juknis menjadi semacam kebutuhan pokok. Jika persebaran juknis tidak segera dan merata, dalam arti semua daerah mendapatkan dengan segera, maka para peserta hanya bisa meraba, hal-hal teknis yang dipersyaratkan dalam lomba. Banyak pengalaman mengabarkan bahwa di dalam lomba teater sekolah tingkat nasional yang diadakan setiap tahun pun persebaran juknis tidak segera dan merata. Akhirnya pada pelaksanaan jenjang daerah, juknis tahun sebelumnya yang dipergunakan dengan harapan juknis nasional juga masih sama. Jika kebetulan juknis tidak banyak perubahan, terutama dalam poin artistik, maka tidak terlalu menjadi masalah. Namun jika banyak yang berubah, maka otomatis masalah besar menimpa peserta di mana dalam waktu tersedia mesti mengubah karya agar sesuai dengan poin penilaian yang ada pada juknis. 

Saking pentingnya juknis ini, banyak peserta yang membincangkannya sebelum lomba dilaksanakan. Kriteria-kriteria yang ada pada juknis tahun sebelumnya seringkali menjadi perdebatan ketika disandingkan dengan kualitas karya pemenang. Meski demikian, perdebatan yang terjadi lebih bersifat sharing di antara mereka dan seringkali menghasilkan usulan-usulan terkait penilaian. Hal yang membuat menarik adalah ketika terjadi perubahan besar dalam juknis. Misalnya, menyangkut jumlah personel, durasi waktu per karya, dan jenis karya. Ketika hal ini terjadi, maka calon peserta akan riuh, apalagi ketika juknis nasional beredar dalam rentang waktu yang tidak panjang jaraknya dengan pelaksanaan lomba. Ditambah lagi ketika karya yang disajikan di tingkat daerah kriterianya juga tidak sesuai dengan kriteria nasional. Kondisi ini akan membuat peserta kalang kabut dan berusaha keras untuk mengubah karyanya sesuai dengan kriteria. Satu proses yang berat, namun juga seringkali terjadi. 

Pada sisi lain di mana juknis tidak banyak berubah dari tahun ke tahun atau kriterianya masih setara, maka peserta lebih bisa tenang dalam mempersiapkan karyanya. Akan tetapi, hal ini juga tidak bisa dipastikan begitu saja mengingat waktu persebaran juknis seringkali kurang berjarak lama dengan pelaksanaan lomba. Riuh-rendah soal juknis ini, pada akhirnya membawa pengaruh besar pada peserta lomba. Mereka akan meributkan perkara juknis ini dan terkadang seolah juknis lebih penting daripada kualitas karya. Ketiadaan juknis, diakui atau tidak, akan membuat peserta gamang untuk memulai proses karyanya. 

Perbincangan seputar juknis sebelum lomba juga akan melahirkan teater juknis, terutama ketika dikaitkan dengan penialian dan kejuaraan. Teater juknis adalah teater yang lebih sibuk memperhatikan juknis daripada kualifikasi artistik karya. Seolah karya yang benar-benar patuh pada juknislah yang akan menjadi juaranya. Pada sisi teknis memang bisa jadi demikian, namun pada sisi artistik tentu saja tidak. Teater adalah seni yang hidup, pun demikian dengan dewan Juri yang menilai karya tersebut. Karena itu kualifikasi artistik yang muncul dari seni yang hidup itulah yang akan dinilai. Jadi, kualitas artistik lebih penting daripada petunjuk teknis lomba. Meskipun begitu, karya yang baik namun berada jauh di luar kriteria lomba dalam juknis, juga tidak akan tampil sebagai juara. Oleh karena itu, fokus pada kualitas karya yang disesuaikan dengan petunjuk teknis yang ada lebih utama dibanding fokus pada petunjuk teknis sehingga karya menyesuaikannya.

 

8.   Teater Tugas

Perlombaan atau festival teater yang pesertanya adalah sekolah seringkali dilaksanakan dalam rangka melaksanakan program. Artinya, perlombaan diselenggarakan karena program telah dicanangkan di mana di dalamnya sudah mencakup pembiayaan. Jika program tidak dijalankan, maka pembiayaan akan bisa dialihkan dan panitia dianggap dianggap tidak bisa menjalankan program dengan baik. Akibatnya, jika program perlombaan itu bersifat tahunan, maka keberlanjutannya bisa dihentikan. Tentu saja hal ini akan merugikan, tidak hanya pihak panitia, tetapi juga dari pihak peserta yang mana event lomba semacam itu menjadi salah satu titik eksistensi teater sekolah. 

Problem program tahunan yang mesti diemban panitia terkadang juga menimpa pada peserta dengan cara yang lain. Jika panitia menyelenggarakan lomba karena sudah terprogramkan, maka ada peserta lomba yang mengikuti lomba karena memang sudah ditugaskan. Sebut saja, untuk memudahkan, peserta semacam ini sebagai teater tugas. Menjadi repot ketika teater sekolah tersebut belum memiliki pelatih mumpuni dan guru yang mendapat tugas juga merasa kurang piawai. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pelajaran teater di kelas umumnya adalah pelajaran drama yang masuk ke dalam pelajaran bahasa. Praktik drama di kelas jelaslah sangat berbeda dengan pementasan teater di atas panggung. Oleh karena itu, menjadi wajar jika guru yang ditunjuk untuk mendampingi merasa kewalahan. 

Hasil akhir dari situasi seperti tersebut adalah kelompok teater sekolah tersebut benar-benar menerapkan fungsi teater tugas. Artinya, karya teater yang dihasiilkan untuk mengikuti perlombaan terwujud karena memang adanya tugas. Dengan demikian, unsur-unsur artistik menjadi kurang tergarap dengan baik. Intinya, teater sekolah harus memiliki karya dan karya tersebut harus ditampilkan dalam lomba. Karena pengalaman guru pendamping yang kurang adekuat, maka karya diproses sebagaimana pelajaran praktik di kelas yang berlangsung selama ini. 

Di dalam pengalaman lain, teater tugas ini memiliki peluang untuk menyewa pelatih dalam memproses sebuah karya untuk lomba. Namun tentu saja waktu yang tersedia tidak terlalu memadai serta kemampuan pelatih yang disewa juga belum tentu tervalidasi. Pada situasi ini, guru pembimbing menjadi percaya sepenuhnya kepada pelatih tersebut dengan semangat bahwa tugas yang ia emban untuk menghasilkan karya lomba dapat segera terselesaikan. Pilihan atau keputusan ini tidak akan membawa perubahan berarti karena sejak awal memang niatnya hanya untuk menjalankan tugas. 

Lain halnya ketika tugas tersebut disikapi sebagai sebuah langkah pembelajaran. Dengan semangat ini guru pendamping akan berusaha memahami elemen artistik serta hal-hal yang mesti dikelola dalam proses pembuatan karya teater untuk lomba. Mungkin dalam pelaksanaan pertama karya yang dihasilkan kurang memenuhi standar, namun dengan semangat belajar, hal-hal yang diobservasi dan dipelajari selama lomba berlangsung dapat dijadikan dasar pijakan untuk peningkatan. Apalagi ketika pada saat itu dimungkinkan untuk menyewa pelatih, maka pembelajaran yang didapatkan pun akan semakin banyak. 

Sayangnya, dalam beberapa pengalaman, hal-hal positif terkait pembelajaran tidak terjadi. Pada akhirnya jika ada kesempata menyewa pelatih, maka seterusnya pelatih tersebut yang akan menangani pembuatan karya teater untuk lomba. Guru pendamping bisa melepas tanggungjawabnya. Atau, guru pendamping tetap saja mendampingi namun tetap dengan semangat melaksanakan tugas. Keadaan demikian, membuat sifat teater tugas melekat di kelompok teater sekolah tersebut. Peningkatan pengetahuan melalui pengalaman akan berjalan lambat dan kemungkinan besar tidak membawa pengaruh artistik apapun pada karya yang dihasilkan. 

Pengalaman dalam lomba atau festival memperlihatkan bahwa kualitas produk teater sekolah seringkali berjalan di tempat. Dari tahun ke tahun hampir tidak terjadi peningkatan berarti, selain pergantian pendukung dan cerita yang ditampilkan. Laku perjalanan latihan tetap sama bahkan kemungkinan besar telah terpola dan pengelolaan proses juga telah terstruktur sedemikian rupa. Akhirnya, penciptaan karya teater untuk lomba sekedar menjadi kerja rutin atau semacam kerajianan. Semua terjadi karena semangat teater tugas. Mungkin bisa terjadi juga di mana kelompok teater yang sudah lama eksis dan sering meraih kejuaraan tanpa tersadari satu kali waktu tersandung masalah sehingga sifat teater tugas ini muncul dalam proses penciptaan karya.

 

9.   Teater Kesempatan

Gairah mengembangkan teater sekolah bagi pelatih atau guru pendamping tertentu selalu bertumbuh. Hal ini didorong oleh semangat belajar melalui pencarian-pencarian estetik terkait karya seni teater. Banyak pengalaman mengabarkan bahwa tidak jarang pelatih dan guru membiayai proyek karyanya secara mandiri demi mendapatkan hasil sesuai yang direncanankan. Melalui pembelajaran dan pengembangan semacam ini, maka agenda teater sekolah senantiasa terus berkelanjutan. Karya satu akan disusul karya yang lain dan kegiatan satu akan disusul kegiatan yang lain. Namun demikian, kendala utama yang dihadapi biasanya adalah kesempatan untuk tampil di hadapan publik yang lebih luas. Oleh karena itu, adanya ajang festival atau lomba merupakan kesempatan yang baik, terutama ketika kelompok teater sekolah tersebut dikirim untuk mengikutinya. 

Kelompok teater sekolah yang aktif tersebut pasti akan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam lomba/festival untuk menyajikan karya mereka. Dalam konteks ini mereka berbeda dengan teater tugas dan dapat disebut sebagai teater kesempatan. Sebuah kelompok teater yang aktif namun kurang medapatkan kesempatan layak untuk tampil di publik. Oleh karena itu ketika kesempatan datang, maka akan mereka gunakan sebaik mungkin dalam konteks membuka diri di hadapan publik dengan tujuan agar publik mau mengapresiasi karya mereka. Dalam kondisi demikian, segala hal teknis lomba terkadang tidak mereka perhatikan, termasuk di dalamnya poin-poin penilaian. 

Teater kesempatan akan memanfaatkan ajang lomba/festival untuk mempertunjukkan diri dan eksistensi kelompok teaternya melalui karya. Berekspresi di hadapan khalayak dalam jumlah atau area yang lebih besar bagi mereka akan memberikan banyak keuntungan. Selain sebagai ajang unjuk diri mereka juga dapat mengambil pelajaran baik dari feedback (masukan) penonton atau Juri atas pementasan mereka. Hal ini lebih penting bagi mereka dalam konteks pembelajaran dan pengembangan serta dapat mempengaruhi produksi karya mereka berikutnya.

Di dalam konteks seni yang bertumbuh, hal ini sangat penting artinya bagi pengembangan teater sekolah. Dengan terus belajar dari pengalaman, maka karya-karya teater yang dihasilkan juga akan mengalami pertumbuha. Namun demikian, ajang lomba/festival selalu memiliki aturan, teknis, dan poin-poin penilaian khusus. Nah, dalam hal ini teater kesempatan pun akan belajar kemudian bagaimana menyajikan karya dalam lomba dan bagaimana menyajikan karya dalam pementasan atau produksi mandiri. Hal baik semacam ini akan terjadi jika teater kesempatan tersebut memang mendapatkan kesempatan memadahi untuk terus mengikuti ajang lomba/festival. 

Dari sisi lain, teater kesempatan juga bisa hadir sebagai wujud dari idealisme pelatih. Dalam hal ini, ketika pada akhirnya mereka mendapat kesempatan, kondisi itu justru digunakan untuk menunjukkan idealisme pelatih melalui karya seni teater. Dengan demikian, festival/lomba yang diikuti tidak kemudian dijadikan pembelajaran tetapi selalu menjadi ajang pamer idealisme karya. Tentu saja hasil atau kejuaraan tidak akan pernah menjadi tujuan pokok karena memang bukan itu yang ingin dicapai melainkan pengakuan orang lain atas idealisme sang pelatih tersebut. Namun satu hal penting yang dilupakan oleh pelatih tersebut adalah bahwa ia berada di teater sekolah dan bukan teater sanggar. Oleh karena itu, ajang unjuk karya itu lebiih dititikberatkan pada proses pembelejaran dan pengalaman bagi peserta yang dalam hal ini adalah siswa. Idealisme memang boleh dijadikan acuan dalam penciptaan karya teater sekolah, namun pendidikan melalui seni teater semestinya lebih diutamakan. Jadi tidak ada gunanya kesempatan yang akhirnya didapatkan jika tidak dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi siswa dalam berproses, mengelola, dan mengomunikasika karya. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar