Eko
Santosa
PENDAHULUAN
Pementasan teater “Pemberdayaan Kesejahteraan
Keluarga” dengan sutradara Nunung Deni Puspitasari dari Teater Amarta
diselenggarakan pada tanggal 23 Oktober 2022 di Concert Hall Taman
Budaya Yogyakarta sebagai salah satu penyaji dalam Parade Teater Linimasa #5 Dinas
Kebudayaan Yogyakarta. Pementasan berdurasi sekitar 45 menit ini dimainkan oleh
Siti Nikandaru Chairina, Iin Suminar, Rheninta Herta Riwungudewi, Sulistyarini,
Ena Ressia, Kurnia Wuri Dewanti, Triana Budhi, Yanti, Suratini, Embun, Endang
Ambar, Ragil Kuning VS., dan Doni Riyanto. Penata artistik pementasan adalah Feri
Ludianto yang didukung oleh tim artistik, Andy Tuangke, Rizal E. Arrohman,
Regina Gandes M. Alan Daru W., dan Fathur Ramadan sebagai pimpinan produksi.
Naskah lakon “Pemberdayaan Kesejah-teraan
Keluarga” yang ditulis oleh Latief S. Nugraha (2022) bercerita tentang
kepelikan dinamika kehidupan bermasyarakat ala ibu-ibu rumah tangga yang
dipresentasikan melalui peristiwa rapat kerja Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK). Rapat dilakukan pascasuksesi rezim PKK lama yang digantikan kepengurusan
PKK baru, namun dianggap tidak menghasilkan perubahan yang berarti bagi
masyarakat. Suasana rapat juga dibumbui cerita seputar kehidupan domestik yang
melekat dengan aktivitas keseharian ibu-ibu rumah tangga menjadi cerminan
kedaulatan di lingkup keluarga. Namun, dalam rapat tersebut kemudian terjadi perbedaan
pandangan seputar peran dan fungsi PKK. Mereka terpisah dalam kelompok-kelompok
kecil. Ada dua figur penting representasi golongan tua dan golongan muda yang tidak
sejalan dalam menggerakkan PKK, dan ada pula golongan yang tak berpihak,
representasi dari ibu-ibu modern yang realistis dan tidak peduli dengan
politik. Reformasi PKK telah mengubah
struktur pengurus dan kebijakan-kebijakan yang berlaku pada kepengurusan
sebelumnya.
Teater Amarta, dalam pementasannya, berkolaborasi
dengan Paguyuban PKK Kampung Siliran Yogyakarta—ibu-ibu
rumah tangga yang tidak memiliki pengalaman bermain teater di atas panggung. Selain
itu, konsep pementasan disusun dengan menampilkan drama, koreografi, koor, dan
tayangan multimedia. Jalinan dari pilihan ragam ekspresi ini dimaksudkan untuk
membuat tampilan teater yang berbeda. Sementara itu, pemain gabungan antara
aktris teater dan ibu-ibu rumah tangga diharapkan dapat memberikan sesuatu yang
lain pada pertunjukan dan segar secara tampilan. Sutradara, dalam booklet
pertunjukan menandaskan bahwa peristiwa nyata rapat PKK dapat diadopsi ke atas
panggung teater kontemporer Indonesia dengan tanpa kehilangan daya tariknya.
Pementasan teater kontemporer Indonesia
menarik untuk dikaji, terutama dari unsur artistik yang melingkupinya. Yudiaryani (2010) menjelaskan bahwa teater kontemporer
Indonesia dibentuk melalui perkembangan adaptatif dari teater daerah dan
pengaruh kultur teater modern Barat. Catatan perjalanan teater kontemporer
Indonesia, menurut Sahid (1999), dimulai dari Rendra yang mana selepas belajar di Amerika Serikat mementaskan teater
berjudul “Bip Bop”, pada tahun 1968. Lalu pada tahun 1969 sejumlah karya baru
kembali dilahirkan, di antaranya adalah “Piiiieeep” dan “Rambate-rate-rata”.
Wujud ekspresi artistik dalam pementasannya berupa gerak-gerak pantomim, tari,
suara dengan kata-kata yang minim (Sahid, 1999). Menurut Toda (dalam Sahid,
1999) apa yang disajikan Rendra membukakan wawasan bahwasanya aktor bukanlah
budak kata-kata, melainkan pusat pertunjukan. Kemudian muncul beragam sematan
nama bagi pertunjukan Rendra tersebut. Subagio Sastrowardoyo menyebut sebagai
teater murni, Arifin C. Noer menyebutnya sebagai teater primitif, sedangkan
Goenawan Mohamad memberikan nama teater mini kata yang penyematannya disetujui
oleh Rendra (Sahid, 1999). Selepas Rendra, muncul berbagai bentuk
sajian teater kontemporer yang mencoba menampilkan hal-hal baru baik itu digali
dari teater daerah maupun atas pengaruh teater modern Barat.
Malna (1999), mencoba memetakan
perkembangan teater Indonesia secara genetis melalui arus pendidikan formal dan
arus sanggar. Dari kedua arus ini lahirlah kelompok teater yang menghiasi perkembangan
pertunjukan teater kontemporer Indonesia yang semenjak tahun 1970-an berjalan signifikan.
Banyak sanggar bermunculan yang diinisiasi oleh pelaku teater dari dua arus
tersebut. Oleh Sumardjo (2004), tokoh-tokoh teater
pada masa ini disebut sebagai perintis pembaruan. Pada tahun
1990-an, pembaruan teater mencapai puncaknya di mana ragam penampilan teater
benar-benar dirayakan dengan berbagai istilah, seperti teater total, teater
eksperimental, teater tubuh, dan teater kontemporer (Harun,
Kurniasih, Susandro, 2021). Semuanya memiliki makna yang sama di mana
pementasan teater mencoba mencari ekspresi baru dan keluar dari konvensi yang
telah memublik.
Sementara itu di kultur teater modern Barat,
istilah teater kontemporer yang penggunaannya mulai merebak pada tahun 1990 (Chkhartishvili, 2019), diawali dari lahir dan eksisnya
realisme sebagai penanda era modernisme dalam teater (Sumardjo, 1993). Gerakan realisme muncul pada tahun 1850-an di Perancis yang mendapat
pengaruh dari pemikian Charles Darwin dan Auguste Comte (Sumardjo, 1993).
Selain itu, menurut Wickham (2000) kemunculan realisme dalam teater dipengaruhi
oleh berkembangnya teknologi, terutama dengan ditemukannya kamera dan film. Hal
ini mengubah pandangan pelaku teater dalam berkarya. Di dalam pementasannya,
realisme mencoba menampilkan kenyataan hidup seobyektif mungkin (Sumardjo,
1993).
Pada masa
kemunculan realisme ini, teater berkembang sangat pesat sehingga banyak lakon dengan
latar pemikiran berbeda dituliskan (Hartnoll, 1998). Gaya realis terus
berkembang hingga mencapai puncaknya pada sub-genre naturalisme, yang mencoba
mengoreksi realisme melalui penampilan teater yang benar-benar menyajikan
potongan kehidupan (Wickham, 2000). Naturalisme menghendaki peristiwa di atas
panggung adalah peristiwa kehidupan itu sendiri. Koreksi atas realisme ini
mendorong lahirnya upaya seniman teater untuk memprotes (tidak sekedar mengoreksi)
konsep realisme dengan menyajikan karya dari sudut pandang atau latar pemikiran
berbeda atas kenyataan hidup. Upaya ini dilakukan oleh banyak seniman teater sehingga memunculkan beragam
gaya pementasan yang oleh Cohen (1994), masa-masa itu disebut sebagai era isme dan
kemudian dipertegas menjadi era teatrikal-isme (Cohen, 1994; Cohen & Sherman, 2017).
Menurut catatan, gerakan pertama yang benar-benar
menentang realisme adalah simbolisme di mana simbol-simbol digunakan untuk
menangkap kemungkinan abstrak dari sebuah drama (Cohen & Sherman, 2017)
yang sumber ceritanya adalah kehidupan nyata. Simbolisme kemudian dikenal
sebagai new stagecraft yang mencoba mensintesiskan semua aspek artistik
pementasan demi menyampaikan pesan (kebenaran) lakon (McTigue,
1992). Namun demikian gerakan atau gaya simbolisme tidak lama bertahan, akan
tetapi kepionirannya memicu lahirnya isme-isme baru dalam teater (Cohen & Sherman, 2017) di mana para pelaku teater
memiliki ragam sudut pandang atas teater itu sendiri serta keterkaitannya
dengan kehidupan dan kebenaran atasnya.
Beberapa pionir dalam masa lahirnya isme-isme
ini di antaranya adalah Alfred Jarry, Vsevolod Meyerhold, Yevgeny Vakhtangov,
dan Bertolt Brecht. Jarry mementaskan lakon berjudul “Ubu Roi” pada tahun 1896 dan
mendapat reaksi luar biasa. Penonton selama pertunjukan saling berteriak,
bersiul, dan bahkan bertengkar. Lakon yang merupakan sindiran atas kekuasaan
itu kemudian menjadi salah satu pemicu lahirnya gerakan avant-garde
selain pementasannya sendiri tergolong sebagai surealisme (Cohen & Sherman,
2017). Sementara itu, Meyerhold mengetengahkan konsep konstruktivisme yang
mendorong pelaku seni sebagai seniman sekaligus insinyur. Dalam hal ini, aktor
merupakan kombinasi dari seorang seniman yang memahami gagasan dan instruksi
sutradara dan eksekutor atas konsep yang ia pahami dalam proses berperan. Tata
panggung berupa konstruksi dihadirkan sehingga pemeran harus bisa menyesuaikan
diri, melalui keterampilan tubuhnya, ketika memainkan peran (Braun, 2016).
Vakhtangov mengajukan konsep realisme
fantastis di mana tata panggung dan elemen artistik lain dapat tampil lebih
ekspresif dan imajinatif. Baginya, realisme yang bersumber dari kehidupan nyata
telah mengalami ubahan kreatif sejak di tangan penulis. Oleh karena itu, sutradara,
pemain, dan penata artistik dapat pula melakukan ubahan kreatif atas realitas
yang telah diubah oleh penulis tersebut. Dengan demikian, konsep realisme mesti
diubah melalui penyajian teatrikal (Malaev-Babel, 2011).
Pada sisi akting, Brecht mengajukan konsep yang disebut efek keterasingan (alienasi).
Konsep ini mengubah penyajian konten lakon dengan cara yang tidak lazim agar muncul
efek baru sehingga penonton tidak berempati dengan kisah yang diperankan
seperti dalam realisme. Tujuan akhirnya, melalui efek tersebut, penonton dapat mengobservasi
secara lebih mendalam, dari berbagai sisi, atas drama yang dilakonkan (Silberman, Giles, & Kuhn, Eds., 2015).
Selain beberapa pionir teater di atas, masih
banyak tokoh lain yang mengajukan kebaruan konsep dan pemanggungan teater. Semuanya
merupakan wujud penentangan atas realisme. Dari upaya tersebut tercatat
beberapa isme yang memiliki pengaruh bagi perkembangan teater berikutnya,
seperti futurisme, dadaisme, idealisme, impresionisme, ekepresionisme,
konstruktivisme, dan surealisme (Cohen & Sherman, 2017). Ronald Hayman, dari
sudut pandang berbeda, menyebut semua isme dalam teater yang membebaskan
dirinya dari belenggu ilusi kenyataan (realisme) sebagai teatrikalisme (Effiom, 2021) yang pengaruh, eksistensi, dan
keberlanjutannya akan tak berbatas waktu (Cohen & Sherman, 2017). Hal yang
sama juga disampaikan oleh Puchner (2002) bahwa
realisme adalah anti-teatrikalisme, sehingga penyajian teater selain realisme
dapat disebut sebagai teatrikalisme.
Wallace
(2022), menyatakan bahwa
teatrikalisme mengajukan pemikiran di mana penonton teater mesti mengingat pada
apa yang disaksikan dan bukan ikut tenggelam dalam peristiwa lakon sehingga
pada akhirnya justru lupa pada pesan (kebenaran obyektif) yang hendak
disampaikan. Oleh karena itu, penonton mesti disadarkan bahwa apa yang mereka
saksikan di atas panggung hanya terjadi di atas panggung. Hal utama yang
dilakukan oleh seniman teater, dalam konteks ini, adalah mendobrak dinding
imajiner atau the fourth wall yang sengaja diciptakan oleh realisme
untuk membatasi reaksi dan interaksi langsung dengan penonton. Secara umum, perbedaan
realisme dan teatrikalisme akan terlihat dari bagaimana cara melukiskan
kehidupan. Realisme menghendaki lukisan yang sama persis dengan objek sementara
teatrikalisme mengingatkan bahwa lukisan sebuah objek bukanlah objek itu
sendiri (Wallace, 2022) meskipun keduanya, bisa jadi, memiliki pesan yang sama.
McTigue (1992) dan Cohen (1994) menyatakan
bahwa teatrikalisme tidak hanya sebagai gerakan lahirnya isme-isme yang
menentang realisme tetapi juga sebagai isme yang berbeda dan berada di luar
lingkup realisme. Perbedaan antara teatrikalisme dan realisme, menurut Puchner
(2002), tidak perlu dipertentangkan karena pembedaan tersebut bukan merupakan
upaya untuk menilai estetika masing-masing melainkan cara mengkaji sebuah pementasan
teater kontemporer. Keduanya memerlukan perhatian mendetail dalam kajian
terutama pada pilihan artistik pemanggungan lakon (Wallace, 2022). Kajian
teatrikalisme terhadap pementasan teater kontemporer, sesuai pendapat Puchner
dan Wallace, menarik untuk dilakukan terhadap teater kontemporer Indonesia.
Belum banyak
tulisan yang membahas secara khusus teatrikalisme sebagai kajian dalam
pementasan teater Indonesia. Kalaupun ada, teatrikalisme dilihat dari sudut pandang
dan penekanan berbeda. Yudiaryani (2010), mengajukan istilah teatrikalisasi
dalam mengidentifikasi teater Indonesia. Sekilas istilah ini serupa dengan teatrikalisme, namun sudut pandangnya
berbeda. Teaterikalisasi merujuk pada stilisasi realisme dan regenerasinya yang
membentuk teater kontemporer Indonesia, sementara teatrikalisme dalam kultur
teater modern Barat berpijak pada penolakan atas realisme. Saini K.M. (dalam Novianto, 2017) secara umum mengoneksikan
teatrikalisme dengan realitas di mana teater adalah teater. Namun ia tidak
membahas secara lebih mendalam tentang aspek teatrikalisme dalam sebuah
pementasan. Justru menekankan unsur nilai tradisional yang sudah dan dapat
diadaptasi dalam perkembangan teater Indonesia modern. Hal senada disampaikan oleh Yudiaryani (2014) di mana teater modern Indonesia
menyerap elemen-elemen teater daerah dalam pembentukannya. Sementara itu, Nurdiah (dalam Sari & Yanuartuti, 2020), meneliti
pementasan dramatari “Spirit Ibu Pertiwi” karya Asia Ramli Prapanca tahun 2019,
menyebutkan bahwa teatrikalisme merupakan gaya yang setara dengan pascarealisme
dan simbolisme. Hal ini jelas berbeda dengan konsep teatrikalisme model Barat
yang sama sekali tidak berkaitan dengan pengembangan teater tradisional menuju
modern sekaligus tidak mensejajarkan diri dengan pascarealisme karena sebagai
gaya, teatrikalisme merupakan bagian dari pascarealisme (McTigue, 1992).
Berdasarkan pemikiran seperti tersebut di atas, artikel kajian teatrikalisme dalam pementasan teater “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” ini disusun. Kajian dilakukan terhadap lakon, pemanggungan, dan akting. Ketiga hal tersebut dikaji berdasar ciri teatrikalisme yang ditampilkan para pionir teater dalam rumusan umum yang disampaikan oleh McTigue (1992) dan Cohen (1994), yaitu (1) menarik perhatian penonton untuk mengingatkan bahwa mereka berada di teater; (2) menerabas dinding imajiner melalui akting dan dekor atau penataan panggung dengan sudut pandang penonton; (3) mengkombinasikan unsur realis dan presenta-sional; (4) menggunakan percampuran bahasa puitik, formal, sehari-hari, dan slang; dan (5) aktor bermain sebagai tokoh, dirinya sendiri, atau dirinya sendiri yang sedang memainkan tokoh. Berikutnya, kajian ini diharapkan dapat memperkaya sudut pandang pengamatan karya pementasan teater kontemporer di Indonesia.
PEMBAHASAN
Teatrikalisme dalam sebuah pementasan teater dapat diselisik dari seluruh aspek artistik yang membentuknya. Namun dalam kajian ini dibatasi pada lakon, pemanggungan, dan gaya akting para pemain selama pementasan berlangsung. Hasil kajian teatrikalisme dalam pementasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” diuraikan berikut ini.
Lakon
Nugraha (2022) menuliskan lakon “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” sebagai
sindiran atas pergeseran kekuasaan dari tampuk pimpinan lama ke tampuk pimpinan
baru. Sebuah pergantian kekuasaan yang pada akhirnya tidak menyelesaikan
masalah karena jauh dari makna perubahan. Lakon ini dituliskan dalam tiga
babak. Pergantian antara babak satu dengan yang lain ditandai oleh perubahan subjek
pembicaraan. Babak pertama menyajikan informasi seputar PKK dan keberadaannya
di Pedukuhan Siliran. Babak ini diakhiri dengan pemaknaan PKK oleh
masing-masing anggota. Babak kedua merupakan konflik di mana mulai terjadi perpecahan
antara Bu Dukuh yang lama dan yang baru beserta kelompoknya. Perpecahan ini
dimulai dari persoalan iuran dan penggunaan dana kas. Babak ketiga merupakan puncak
problem di mana upaya pembaruan PKK yang sudah berusaha dilakukan pada akhirnya
tidak menemukan maknanya. Bahkan semua anggota menjadi bingung mengenai
definisi sesungguhnya dari PKK.
Tokoh lakon terdiri dari (1) Bu Dukuh Mantan, (2) Bu Dukuh Official, (3) Bu Sekretaris PKK, (4) Bu
Bendahara PKK, (5) Pak Dukuh, dan (6) Ibu-ibu PKK. Melalui penokohan, Latief
memperlihatkan potensi teatrikalisme dalam lakon, terutama dengan tokoh Ibu-ibu
PKK yang diberi keterangan tambahan; jumlahnya menyesuaikan. Selain itu,
beberapa tokoh ibu anggota PKK dalam lakon diberi nama berdasar emosi dialog atau
ciri tingkah laku, seperti Bu Anyel, Bu Wagu, Bu Kalem, Bu Gawai 1, dan Bu
Gawai 2. Jumlah serta penamaan tokoh Ibu-ibu PKK menandakan bahwa lakon ditulis
memang untuk keperluan pementasan dan bukan untuk menyajikan realitas di atas
panggung. Potensi teatrikalisme dengan sendirinya telah dimunculkan. Selanjutnya,
dalam perjalanan setiap babak, potensi teatrikalisme diperlihatkan, melalui
keterangan laku, adegan, peluang improvisasi, dan penggunaan bahasa dalam
dialog.
Sejak awal babak pertama, keterangan laku
atau adegan yang dituliskan memiliki potensi teatrikalisme. Berikut keterangan laku dalam adegan pembuka.
(Musik a cappella/yel-yel mengiringi langkah Sekretaris PKK masuk panggung selaku pewara Rapat Kerja Persyarikatan PKK Pedukuhan Siliran 2022. Di Panggung ada sebuah mimbar, bisa mimbar beneran, bisa juga simbolis dari perabot rumah tangga. Di sekitar mimbar ada benda-benda properti yang identik dengan Ibu-Ibu PKK seperti cucian kotor, wajan, sapu, televisi, barang dagangan, dan lain sebagainya. Pada layar tertulis teks RAPAT KERJA PERSYARIKATAN PKK PEDUKUHAN SILIRAN TAHUN 2022.)
Di dalam lakon
realis, keterangan yang diberikan menggambarkan kondisi riil seperti dalam
kehidupan nyata. Namun di sini, Latief menggambarkan adegan yang terjadi di
atas panggung sehingga objek tata panggung seperti mimbar dapat ditampilkan sebagaimana
model mimbar yang sesungguhnya atau simbolis. Selain itu, masuknya sekretaris
PKK diringi dengan musik akapela dan yel-yel jelas menunjukkan sesuatu yang
teatrikal alih-alih realis.
Keterangan lain, masih dalam babak pertama, yang jelas menampakkan aspek teatrikalisme adalah sebagai berikut.
(Ibu-Ibu PKK yang diperankan aktor dan seluruh penonton berdiri. Dirigen masuk ke panggung dan memandu dengan gerakan yang unik, menarik, dan energik. Layar menampilkan teks lagu “Mars PKK”. Lagu tersebut dinyanyikan secara koor oleh Ibu-Ibu PKK bersama seluruh penonton).
Keterangan
tersebut jelas mendobrak konvensi realisme dengan menghapus dinding imajiner di
mana semua penonton diajak bersama menyanyikan lagu. Dengan demikian, jarak/sekat
antara pemain dan penonton menjadi tiada dan penonton menjadi pemain yang lain.
Ditambah dengan adanya layar yang menampilkan syair lagu sebagai panduan, maka
gedung pertunjukan seolah berubah menjadi gedung pertemuan dan semua orang yang
hadir adalah bagian dari pertemuan tersebut.
Satu lagi keterangan laku dan adegan yang
jelas menampakkan teatrikalisme adalah peluang improvisasi bagi aktor.
Perhatikan keterangan berikut.
(Pewara mengundang satu-satu Ibu-Ibu PKK untuk menjawab pertanyaan, “Perkenalkan diri Anda dan menurut Anda PKK itu apa?” Ibu-Ibu PKK mengenakan daster seragam. Ibu-Ibu maju satu-satu menjawab sesuai pemikirannya sendiri-sendiri tentang pengertian PKK. Satu demi satu ibu-ibu PKK maju. Mula-mula mereka malu-malu dan kebingungan, ada yang bisa dengan sangat terang menjelaskan apa itu PKK, tapi yang terpenting di sini justru jawaban-jawaban organik dari masing-masing ibu-ibu.)
Keterangan
laku dalam adegan ini untuk selanjutnya tidak diikuti dengan dialog tokoh.
Artinya, memang tokoh ibu-ibu harus menciptakan kalimat dialognya sendiri. Peluang
improvisasi yang dengan sengaja diberikan oleh penulis semacam ini jelas bukan
merupakan konvensi lakon drama realis. Improvisasi, dalam konteks aktor boleh
menyampaikan narasi pribadi akan mengubah yang obyektif, seperti tujuan
realisme, menjadi subyektif. Selain itu, potensi untuk tersampaikannya kalimat
dialog secara teatrikal akan terbuka karena kedirian aktor pada saat itu jelas
berjarak dengan karakter yang dimainkan.
Berikutnya, potensi teatrikalisme dalam lakon
dihadirkan melalui penggambaran adegan serta bahasa yang digunakan, sebagaimana
contoh adegan berikut.
Bu Dukuh Official: (Menarik napas
panjang. Tapi, belum sempat ia berkata-kata, suara Bu Dukuh Mantan nyerobot
menyampaikan salam dilanjutkan dengan pidato. Bu Dukuh Official menampilkan wajah dan sikap dongkol. Meskipun begitu,
mulutnya tetap komat-kamit seperti di-dubbing).
VO Bu Dukuh Mantan:
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabara-katuh. (Dehem-dehem).
Ibu-Ibu para anggota penggerak PKK yang saya cintai dan hadirin sekalian yang
berbahagia. (Dehem). Kali ini ibu-ibu dan hadirin akan bersama-sama
mengikuti Rapat Kerja Persyarikatan PKK Pedukuhan
Siliran tahun 2022. Dalam rapat kerja kali ini kita akan membahas
langkah-langkah yang akan diambil untuk meningkatken pengelolaan gerakan PKK, …
Teatrikalisme dalam
adegan di atas jelas terlihat ketika Bu Dukuh Official yang sedianya memberikan pidato justru diserobot oleh
suara (voice over) dari Bu Dukuh Mantan. Akibatnya, Bu Dukuh Official seolah hanya boneka peraga yang
menggerakkan tubuh, ekspresi wajah, dan gerak-gerik mulut mengikuti
kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Bu Dukuh Mantan. Hal ini secara fisik tidak
mungkin terjadi di dalam kehidupan nyata meskipun kemungkinan seorang mantan
pemimpin mencoba menyetir dari belakang penerusnya bisa terjadi.
Selain itu, penggunaan bahasa, termasuk kata atau istilah tertentu
menarik untuk dicermati. Latief tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia baku
tetapi juga idiolek, bahasa Jawa, dan slang. Berikut beberapa cuplikan
dialog tokoh untuk menggambarkan penggunaan bahasa dimaksud.
VO Bu Dukuh Mantan: Ibu-ibu dan hadirin yang terhormat (Dehem). Pembangunan yang selama ini
kita laksanaken bertujuan untuk mewujudken masyarakat yang adil dan makmur
berdasarken Pancasila. Kita akan makin dekat kepada wujud masyarakat yang
demikian tadi jika kita berhasil meningkatken mutu kehidupan kita. …
…
Bu Anyel: Duwit
maneh. Durung apa-apa wis duwit maneh. Njur kapan le arep sugih nek ngene iki
carane? (Duit lagi. Belum apa-apa sudah duit lagi. Kapan bisa kaya kalau
begini caranya?)
….
Bu Anyel: Selak
butuh healing je ini. Sudah bunek dan sumpek banget di rumah.
Bu Sekretaris PKK: Jangan
lupa, sebelum healing kita harus
vaksin sing ping rong puluh…
…
Bu Dukuh Official: … kami bukan robot mainan
yang bisa dikendalikan. Sekarang ini segalanya serba sat-set…, wat-wet…!
Beda dengan zaman dulu, Nyah. Sal-sel…Sal-sel…!
…
Bu Dukuh Mantan: Anak zaman sekarang memang tidak tahu diri. Saya ingatken, jadi perempuan itu ada batasnya. Ada yang membatasi. Perempuan itu kanca wingking.
Penggunaan campuran antara bahasa Indonesia dan Jawa, serta bahasa slang seperti sat-set wat-wet (segera bertindak) dan sal-sel (tindak korupsi pribadi) mungkin terinspirasi dari realitas pertemuan ibu-ibu di Kampung Siliran Yogyakarta. Namun demikian, bahasa Jawa dan slang di sini tidak digunakan untuk menyajikan ilusi kehidupan melainkan sebagai refleksi atas kenyataan yang mungkin terjadi dalam kehidupan. Selain itu, idiolek tokoh Bu Dukuh Mantan yang selalu mengganti akhiran “kan” menjadi “ken” memiliki makna tersendiri karena hanya dia yang berlaku seperti itu. Penekanan ini dimaksudkan untuk mengajak penonton mengingat kembali pada pemimpin di masa lalu yang selalu menggunakan “ken” daripada “kan”. Penggunaan bahasa beragam dengan tujuan di luar penciptaan ilusi realitas merupakan salah satu ciri teatrikalisme.
Pemanggungan
Pembahasan pemanggungan menyangkut dua hal,
yaitu pengadeganan yang berkaitan dengan konsep penyutradaraan dan penataan artistik
(panggung, rias, busana, cahaya, dan suara). Sumber utama pemanggungan adalah
lakon. Kreativitas sutradara dan penata artistik berjalin antara arahan penulis
lakon dengan pengembangan gagasan atau interpretasi personal atas lakon. Pada pementasan
“Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” ini, potensi teatrikalisme yang ada dalam
lakon benar-benar diwujudkan. Di dalam pengadeganan, potensi ini dihadirkan
melalui kombinasi unsur realisme yang mengedepankan representasi kenyataan
dengan unsur presentasional yang menonjolkan aksi pemain dalam menyampaikan
cerita. Kombinasi ini masih ditambah dengan kehadiran tata artistik yang mengusung
konsep simbolisme sehingga ciri panggung teatrikalisme terlihat kental.
Pada adegan
pembuka misalnya, sutradara menata adegan dengan pemain masuk ke panggung
sambil menyampaikan yel-yel, menari, berpantun, mengucapkan salam, dan
dilanjutkan dengan menyanyi. Rangkaian adegan pembuka ini jelas bukan merupakan
representasi realitas melainkan penyampaian informasi kepada penonton bahwa
yang mereka saksikan adalah pertunjukan. Hal ini jelas terlihat dari cuplikan syair
lagu yang dinyanyikan berikut.
“Halo halo halo, hai kami PKK Siliran. Menyapa penonton semua. Kami
hendak berpentas, menyampaikan aspirasi. Ayo, ayo, ayo….. “
Semua pemain menonjolkan aksi gerak dan lagu
yang seragam seolah mereka tidak sedang memainkan watak tokoh masing-masing. Selain
itu, penggunaan pantun, yang isinya berupa permintaan izin pemain untuk memulai
pentas, yang tak tertulis dalam lakon, merupakan gagasan bernas sutradara untuk
menyatakan bahwa apa akan tersaji di atas panggung memang hanyalah pertunjukan.
Teatrikalisme dalam adegan ini semakin
diperkuat dengan kehadiran tata panggung berupa layar transparan sebagai latar
belakang, kursi kosong di depannya, dan penggorengan besar tergantung di
atasnya. Rias busana mengadopsi busana keseharian namun khusus Bu Dukuh Mantan
berbeda sendiri, terlihat old style. Tata cahaya bukan merupakan
representasi sinar matahari, bulan, atau lampu praktikal melainkan sebagai
penerang area dan pemain. Tata panggung simbolis ini kemudian menjadi objek
selisik penonton ketika tokoh Pak Dukuh datang dan hanya duduk menyaksikan rapat
PKK. Keberadaan Pak Dukuh yang hanya diam saja, seolah membendakan diri,
membuat penonton bertanya tentang makna dari keseluruhan tata panggung. Kondisi
ini menjadi salah satu ciri teatrikalisme yang kuat di mana penonton tidak
diajak untuk hanyut dalam cerita yang disampaikan melainkan melakukan obervasi
atas segala apa yang ada dan terjadi di atas panggung dikaitkan dengan cerita
atau isu-isu dalam cerita yang disajikan.
Observasi yang dilakukan penonton bisa saja
memunculkan makna lain di luar cerita, memperkuat cerita, atau hanya sekedar
mengalihkan perhatian sementara dari cerita. Namun, dengan adanya obesrvasi
tersebut penonton terhindar dari keterhanyutan emosi. Hal ini semakin jelas
terasa ketika adegan berlanjut dengan ibu-ibu anggota PKK yang duduk menghadap
panggung sebagaimana halnya penonton. Sampai saatnya Bu Sekretaris PKK mengajak
penonton berdiri dan bersama menyanyikan lagu “Mars PKK”, maka ketiadaan batas
antara pemain dan penonton menjadi semakin nyata.
Selanjutnya, pada saat adegan pidato Bu Dukuh
Official yang mendapatkan serobotan voice
over dari Bu Dukuh Mantan disajikan secara teatrikal di mana figur Bu Dukuh
Mantan juga dimunculkan. Bu Dukuh Official
tampak benar-benar hanya menggerak-gerakkan tangan, badan, dan mulut seolah
melakukan apa yang disuarakan oleh Bu Dukuh mantan dalam kurun waktu tertentu. Penonton
dengan demikian melihat dua figur di mana yang satu berperan penuh dan yang
satunya lagi hanya berpantomim. Peristiwa ini secara tidak langsung menyadarkan
penonton bahwa yang mereka saksikan tidak bakal terjadi dalam kehidupan nyata.
Pada adegan penyampaian
pendapat pribadi mengenai apa itu PKK, semua anggota maju dan mengungkapkan isi
pikiran masing-masing. Dalam lakon, hal ini mesti dilakukan oleh pemain secara
improvisasi dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namun, sutradara
mengubahnya dengan Bu Sekretaris menyebutkan nama anggota yang diminta maju
mengutarakan pendapat. Setiap anggota yang disebutkan namanya maju, melakukan
gerak tarian bebas diiringi musik akapela oleh ibu-ibu yang lain. Berikut
beberapa kalimat improvisasi yang dilontarkan.
Ibu Embun: Menurut saya, PKK itu saatnya saya memakai gincuuu…, pakai eye liner,
pakai eye shadow, dan pakai blush on.
…
Ibu Ragil: Jadi ya ibu-ibu ya, menurut saya, menurut saya lho ini ya. PKK itu
tempat saya promosi dagangan saya.
…
Ibu Tini Wini Biti: menurut saya, PKK itu adalah… kumpulan
makhluk tuhan yang paling sexy.
…
Ibu Wuri: (berbicara pelan) PKK itu adalah singkatan dari Pemberdayaan
Kesejahteraan Keluarga yang terdiri dari ……. (dihentikan oleh Sekretaris karena
terlalu lamban).
…
Ibu Klomoh Sedunia: Menurut saya, PKK itu adalah, cara ngrasani tangga… (langsung ibu-ibu saling membicarakan orang lain)…. Gibah is my life… Iya gibah is my life style… (Ibu-ibu semakin riuh dan Bu Sekretaris mencoba mengendalikannya).
Setiap selesai satu lontaran pendapat,
ibu-ibu yang lain langsung memberikan reaksi secara spontan. Adegan ini
terlihat teatrikal meskipun Bu Sekretaris mencoba untuk bertindak secara wajar
dalam menanyakan definisi PKK. Kewajaran yang menjadi ciri realisme dan
ditampilkan oleh Bu Sekretaris berpadu satu waktu dengan gaya teatrikal ibu-ibu
yang menyampaikan pendapatnya. Bahkan sesekali Bu Sekretaris terpancing memberikan
respon secara teatrikal.
Pengembangan gagasan dilakukan oleh sutradara
tidak hanya pada adegan tetapi juga penggantian nama ibu-ibu. Di dalam lakon,
nama ibu-ibu tertulis sebagai Bu Anyel, Bu Kalem, Bu Gawai, dan Bu Wagu. Namun
di dalam pementasan, nama ibu-ibu berubah menjadi nama aslinya atau julukan spontan
yang diberikan oleh Bu Sekretaris. Nama tokoh ibu-ibu dalam lakon
diinterpretasi oleh sutradara menjadi gaya bicara atau tingkah laku masing-masing
yang berbeda, seperti Bu Wuri yang berjalan dan berbicara pelan sebagai interpretasi
Bu Kalem. Instruksi sutradara kepada pemeran ibu-ibu untuk tampil dan
menyatakan subjek gagasan berbeda-beda secara menyolok menyiratkan bahwa tokoh
bukanlah representasi seseorang melainkan kelompok masyarakat tertentu.
Potensi teatrikalisme lakon secara optimal
diwujudkan oleh sutradara pada seluruh adegan. Percampuran antara dialog dengan
lagu, tari, improvisasi, dan video memberikan kesan kuat sebuah pertunjukan.
Pada saat adegan konflik, pertengkaran antara Bu Dukuh Mantan dan Bu Dukuh Official beserta kelompoknya
masing-masing tidak pernah mencapai puncak emosi karena hadirnya kelompok
tengah yang mengalihkan perhatian sekaligus membawa kesadaran yang berbeda.
Sebuah kesadaran yang mengajak penonton kembali pada pertunjukan agar tidak
larut secara emosional sembari mengingatkan bahwa dua kelompok tersebut pada
intinya sama saja, tidak ada gunanya, sama-sama mengaburkan makna PKK. Selepas
itu muncullah video penjelasan sejarah PKK, para pemain langsung berbuat seolah
mereka adalah penonton. Hasil akhir dari menyaksikan video ini juga sama saja,
semuanya kembali bertanya kepada diri sendiri dan orang lain mengenai makna PKK
sesungguhnya.
Pada puncak keriuhan pertanyaan yang disuarakan, seseorang mulai menyanyikan lagu, “Padamu Negeri” yang langsung diikuti oleh semua pemain. Pak Dukuh tiba-tiba berdiri dan mengibarkan, bukan bendera, melainkan pakaian perempuan. Semua penonton tersenyum atas hal yang secara nyata tak mungkin terjadi tersebut, tetapi ibu-ibu tetap khidmad. Adegan teatrikal ini semakin menjadi ketika selepas lagu, Pak Dukuh mendadak berkata, sekali waktu itu saja dalam seluruh pementasan, seolah hendak berpidato, “Baik ibu-ibu, sekarang saatnya ngocok arisan”. Penonton tertawa lepas, semua pemain bersorak dan langsung bernyanyi lagu yang sama di awal pementasan, hanya syair, “kami hendak berpentas”, diganti menjadi “kami telah berpentas”. Berpentas adalah tujuannya dan dalam berpentas itu mereka hanya ingin menyampaikan aspirasi.
Akting
Pembahasan akting teatrikalisme didasari pada konsepsi Meyerhold di mana
aktor adalah seniman sekaligus insinyur dan efek keterasingan Brecht dikaitkan
dengan aktor dan karakter yang dimainkan. Dalam pementasan “Pemberdayaan
Kesejahteraan Keluarga”, semua aktor berada pada posisi antara memerankan tokoh
dan sebagai dirinya sendiri. Pada saat semua pemain melakukan gerak dan lagu,
mereka tidak sedang berada sebagai tokoh cerita padahal adegan tersebut merupakan
bagian dari pementasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada saat itu,
mereka sebagai dirinya sendiri yang sedang berpentas. Kondisi ini juga terjadi
di tengah pementasan pada saat mereka melakukan improvisasi. Aksi dan reaksi
spontan membuat mereka berjarak dengan tokoh yang sedang dimainkan. Misalnya
saja tokoh Bu Wuri, yang dalam bergerak dan berbicara selalu pelan, tiba-tiba
memberikan reaksi tepuk tangan dengan gerakan yang cepat mengikuti ibu-ibu
lainnya. Pada saat inilah jarak antara diri aktor dan tokoh yang diperankan
tercipta. Pada teater realis hal ini tidak diperbolehkan, namun dalam
teatrikalisme, jarak ini menimbulkan efek keterasingan bagi pemain sehingga ia dihadapkan
pada kondisi untuk segera memutuskan apakah ia akan tetap seperti itu atau
kembali pada watak tokoh yang diperankan sesuai instruksi sutradara.
Kondisi berjarak tersebut menjadikan pentas teater sebagai pentas teater
dan bukan sebuah penggal kehidupan yang dihadirkan secara nyata di atas pentas.
Jarak antara diri aktor dan tokoh yang diperankan menggagalkan hadirnya ilusi
realitas. Di dalam teatrikalisme, jarak ini sengaja dimunculkan dan diramu
sedemikian rupa hingga menjadi tontonan yang menarik. Gaya akting pemain, oleh
karena itu dapat berupa campuran antara gaya pribadi aktor dan gaya tokoh yang
telah ditentukan oleh penulis dan sutradara. Kedua gaya ini muncul terutama
pada saat improvisasi dan visualisasi adegan teatrikal. Semua pemeran
menampilkan gaya akting semacam ini.
Rheninta Herta
Riwungudewi yang berperan sebagai Bu
Sekretaris dan Pewara sekaligus pemimpin awal dan akhir adegan, gaya akting
teatrikalismenya terlihat sejak adegan pembuka. Pada adegan ini ia mesti
menempatkan diri kapan sebagai pemimpin rombongan pemain, serta kapan sebagai
Sekretaris dan Pewara. Ketika sebagai pemimpin, terutama pada saat menyanyi,
maka ia menjadi diri sendiri dan peran yang lain dikesampingkan. Pada saat
tokoh ibu-ibu menyampaikan pendapat secara improvisasi, Rheninta mesti
membatasi porsi improvisasi tersebut agar tidak melebar. Pada saat ini pula ia
mengambil jarak dengan karakter yang dimainkan, menjadi diri sendiri, sebelum
kemudian kembali lagi sebagai Pewara.
Siti Nikandaru Chairina sebagai Bu Dukuh
Mantan menyajikan gaya akting teatrikalisme sejak menyampaikan pantun pembuka.
Pada adegan pidato voice over, Chairina juga memegang kertas berisi teks
informasi yang mesti ia sampaikan. Pada saat ini, ia sering berjarak dengan
tokoh yang dimainkan karena harus membagi konsentrasi antara membaca dan
memainkan peran sebagai tokoh. Selain itu, gerak-gerik Chairina terutama pada
saat konflik seringkali terlihat lebih presentasional daripada realis dengan
volume suara tinggi dan gestur diperbesar. Hal yang sama ditampilkan oleh Sulistyorini
sebagai Bu Bendahara yang menyampaikan laporan keuangan, dan mungkin dialog
lainnya dengan membaca teks.
Sementara itu, Iin Suminar sebagai Bu Dukuh Official, gaya teatrikalismenya terlihat
kuat sejak berpidato pantomim. Ia mesti memeragakan apa yang disampaikan atau
dibaca oleh Bu Dukuh Mantan. Perhatiannya menjadi ganda antara mendengar dan
mengekspresikan apa yang didengar. Dua kegiatan ini belum tentu tepat sesuai watak
tokoh yang ia perankan. Dalam hal ini, Iin justru menjadi diri sendiri yang
sedang memainkan peran dan bukan sebagai peran. Selebihnya, dalam improvisasi,
dan visualisasi adegan teatrikal ia lebih terlihat sebagai diri sendiri
daripada tokoh Bu Dukuh Official.
Berbeda dengan yang lainnya, teatrikalisme tokoh
Pak Dukuh yang diperankan Doni Riyanto justru terlihat karena posisinya
yang hanya diam menyaksikan. Akting diam saja atau silent act dalam
waktu lama membuka kemungkinan bagi pemeran untuk mengobservasi akting peran
yang lain. Hal ini menjadikan dirinya seolah sebagai penonton yang berada di atas
panggung. Ketika pada satu saat ia mesti beraksi atau berbicara, maka instruksi
sutradaralah yang ia lakukan dan bukan peran yang ia mainkan. Doni, meskipun
berperan sebagai Pak Dukuh, terlihat lebih menikmati sebagai dirinya sendiri.
Keberadaannya di atas panggung justru menguatkan teatrikalisme dari sisi tata
artistik yang simbolis. Ia bisa sebagai tokoh peran, penonton, sekaligus bagian
dari tata panggung. Teatrikalisme yang disajikan oleh Doni di sini jelas
merupakan perwujudan dari konsep garap sutradara.
Semua pemain, secara umum, juga berada dalam kondisi yang sama. Kondisi ini membuat gaya akting teatrikalisme, di hampir semua tokoh, terlihat kental karena sadar bahwa mereka sedang berpentas dan ditonton sehingga aktingnya dilebih-lebihkan. Namun demikian, akting yang dilebih-lebihkan tersebut tidak mengurangi kemenarikan pentas karena acuan patokannya bukan realitas yang dihadirkan secara persis, melainkan refleksi atas realitas yang dipanggungkan melalui simbol, informasi, dan ekspresi artistik dalam jalinan peristiwa yang diperagakan oleh para pemain.
SIMPULAN
Teatrikalisme
sebagai salah satu cara mengkaji pertunjukan memiliki sudut pandang yang luas.
Semua aspek artistik dapat diselisik dengan berpijak pada tujuan utama bahwa
sebuah pertunjukan adalah sebuah pertunjukan meskipun sumber inspirasinya dari
kehidupan nyata. Penonton dapat mengobservasi segala hal yang terjadi dalam
pertunjukan dan mendapatkan pengetahuan atasnya serta tidak terhanyut dalam
cerita. Di dalam pementasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga”,
teatrikalisme bermula dari teks lakon. Keterangan laku, adegan, peluang improvisasi,
dan penggunaan bahasa memperlihatkan potensi teatrikalisme. Potensi ini
diwujudkan sepenuhnya oleh sutradara dan penata artistik.
Konsep pemanggungan
yang dirancang sutradara dan penata artistik merupakan kombinasi antara unsur
gaya realis dan gaya presentasional. Kombinasi ini didukung oleh tata artistik
yang mengusung konsep simbolis. Akhirnya, seluruh adegan tampil secara
teatrikal dengan mencampurkan beragam ekspresi dan media. Penonton sejak awal
adegan digiring untuk memahami bahwa apa yang ada di atas panggung adalah
pertunjukan. Untuk menegaskan hal tersebut, dinding imajiner diterabas melalui
aksi improvisasi pemain dan dengan mengajak penonton menjadi bagian dari
petunjukan.
Dalam meragakan konsep pemanggungan pada setiap adegan, pemain berada pada posisi berjarak antara dirinya sendiri dengan tokoh yang diperankan. Hal ini terjadi karena adanya peluang improvisasi dan rancangan visualisasi adegan yang bersifat teatrikal. Melalui jarak yang tercipta, pemain tidak bisa sepenuhnya memerankan tokoh. Akibatnya, kondisi sadar ditonton muncul sehingga ekspresi akting dilebih-lebihkan. Ekspresi di luar kewajaran ini justru membuat penonton menyadari bahwa yang mereka saksikan adalah pertunjukan, bukan kehidupan.
REFERENSI
Braun, E. (2016). Meyerhold on theatre. New York:
Bloomsbury Methuen Drama.
Chkhartishvili, L. (2019). Modern and contemporary
theatre–definitions and boundaries. Central Asian Journal of Art Studies, 4(4), 38-45.
Cohen, R. (1994). Theatre. California: Mayfield Publishing Company.
Cohen, R. & Sherman,
D. (2017). Theatre brief. New York: McGraw-Hill Education.
Dinas Kebudayaan
Yogyakarta. (2022). Parade teater taman budaya Yogyakarta teater linimasa #5.
Ruang.Kosmik.Jiwa. Booklet pementasan 23-25 Oktober 2022.
Effiom, A. (2021). The luminous theories of
Constantine Stanislavski and Bertolt Brecht: Parallels and implications for the
contemporary theatre director. Pinisi Journal of Art, Humanity & Social Studies,
1(5), 43-48.
Hartnoll, P. (1998). The Theatre a concise history. London: Thames and Hudson.
Harun, A. Zaitun, K.,
& Susandro, S. (2021). Postdramatik: Dramaturgi teater Indonesia kontemporer.
Dance and Theatre Review:
Jurnal Tari, Teater, dan Wayang, 4(2), 57-69.
Malaev-Babel, A. Ed. (2011). The
Vakhtangov sourcebook. London: Routledge.
Malna, A. (1999). Anatomi teater
Indonesia. Dalam Rahzen, T. (Ed.). Ekologi teater Indonesia. Jakarta:
MSPI.
McTigue, M. (1992). Acting like a pro, who’s who, what’s what,
and the way things really work in the theatre. Ohio: Betterway Books.
Novianto, W. (2017). Realisme epik dalam pertunjukan lakon KUP
Teater Segogurih Yogyakarta. Surakarta:
ISI Press.
Nugraha, L. S. (2022). Pemberdayaan kesejah-teraan keluarga. Naskah teater. Tidak diterbitkan.
Puchner, M. (2002). Stage fright, modernism, anti-theatricality,
and drama. The Johns Hopkins
University Press.
Sahid, N. (1999). Rendra
dan teater kontemporer Indonesia (Studi tentang kepeloporan, konvensi, dan pandangan
dunianya). Dalam Rahzen, T., Ed. Ekologi teater Indonesia. Jakarta: MSPI.
Sari, F.K.A., &
Yanuartuti, S. (2020). Kajian struktur pertunjukan tari Gandhong di Desa Bangun
Kecamatan Munjungan Kabupaten Trenggalek. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 4(2),
128-136.
Silberman, M., Giles, S., &
Kuhn, T. (Eds.) (2015). Brecht on theatre. New York: Bloomsbury Methuen Drama.
Sumardjo, Jakob. (1993). Ikhtisar sejarah teater Barat. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sumardjo, Jakob. (2004). Perkembangan teater modern dan sastra drama
Indonesia. Bandung: STSI Press.
Wallace, E., B. (2022). Style: An approach to appreciating theatre. London: Routledge.
Wickham, G. (2000). History of the theatre. London: Phaidon Press Limited.
Yudiaryani, M.A. (2010). Identifikasi teater Indonesia: inspirasi
teoretis bagi praktik teater kontemporer. Seminar Nasional Konstruksi Realitas Teater, 23-28
Oktober 2010, Jurusan Seni Drama Tari dan Musik FBS Universitas Negeri
Surabaya.
Yudiaryani,
M.A. (2014). Mengemas teater Indonesia berbasis tradisi. Sarasehan Festival
Nasional Teater Tradisional, 15 Juni 2014, Direktorat Pembinaan Kesenian dan
Perfilman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar