Minggu, 04 September 2016

Sekilas Mengenai Butoh

(The Dance of the Darkness)


Butoh adalah tarian kontemporer yang berakar pada citarasa Jepang. Adalah Tatsumi Hijikata, seorang penari dan koreografer Jepang yang mempelajari tari modern secara tidak langsung dari Marry Wigman melalui Takaya Eguchi. Ia memulai karyanya ‘Kinjiki’ (warna terlarang) pada tahun 1959, berdasarkan novel Yukio Mishima. Pada tahun 1960 Hijikata memberi judul karyanya ‘Ankoku Buyo’ yang kemudian disebut dengan ‘Ankoku Butoh’ (The Dance of The Darkness / Tarian Kegelapan). Dari karyanya ini kemudian ‘Butoh’ lahir menjadi satu gaya tari kontemporer baru. Sekilas Butoh nampak sebagai antitesis dari pencarian kebebasan (dalam periode yang sama) yang dilakukan oleh tarian barat kontemporer. Bahkan dalam tema keduanya; ‘kekejaman, kematian, kegelapan, penyimpangan persebadanan’ – (juga dalam hal) kesamaan perlakuan terhadap tubuh sebagai ‘kekacauan dasar’ dan (keduanya) merupakan tarian penolakan.

Keraguan

            Akar filosofi Butoh lahir dari rahim keraguan. Bentuk-bentuk keraguan hadir melampaui masa kini dan masa depan. Ada banyak jenis keraguan dalam hidup ini yang dimiliki oleh setiap manusia dalam satu waktu tertentu. Dalam gerak atau ekspresi tarian, keraguan datang menghalangi. Hal ini membuat penari kehilangan kontak dengan dirinya sendiri. Mereka lebih banyak memperhatikan detail dan ketepatan gerak daripada memperhatikan tubuh dan jiwa mereka. Ini membelenggu. Membuat tidak bebas dan melahirkan kekakuan serta ketakutan.
            Seorang penari biasanya terjebak pada bentuk tampilan benar dan indah dari rangkaian gerakan. Jika mereka lepas dari hukum ini maka mereka dianggap melakukan kesalahan dan dengan demikian tarian yang ditampilkan menjadi tidak baik. Kondisi ini menciptakan keraguan yang pada akhirnya membatasi ruang gerak dan ekspresi. Apakah bergerak di luar hukum benar dan indah adalah salah? Tentu saja tidak. Mempelajari tari bukan mempelajari posisi lengan dan lain sebagainya, tidak selalu harus berjalan dengan metode tertentu atau kontrol gerakan tertentu. Mempelajari tari adalah belajar kontak dengan diri sendiri, tubuh, dan jiwa.


Spirit Butoh dan Penderitaan

            Dalam hidup, seseorang sering (hanya) berpikir dan bekerja dalam satu hal, sementara di sisi lain kita memiliki kemungkinan untuk menjadi dua hal yang berbeda dalam satu waktu. Secara jelas kita bisa membedakan antara seorang petarung dengan pencari kesenangan. Yang satu memikirkan perkelahian, yang lain membayangkan berbaring mandi matahari. Meski berbeda keduanya dapat berbagi rasa, yaitu; kebersamaan. Salah jika seseorang berpikir bahwa kedua kegiatan itu berlawanan satu sama lain. Seseorang harus bisa melakukan keduanya. Inilah spirit butoh.
            Seperti sebuah peperangan, jika dalam serombongan prajurit ada satu yang menderita kelelahan maka yang lain akan segera memberikan tangannya sehingga kerugian atau kelemahan itu tertutupi. Hal ini bisa tercapai karena prajurit yang memberikan bantuan tersebut melakukan dua pekerjaan dalam waktu bersamaan, yaitu; pekerjaannya sendiri dan pekerjaan temannya. Dalam tari, banyak pelajar muda yang mempelajari tarian dengan antusias tinggi. Tetapi mereka cepat lelah dan merasa mudah kehilangan energi. Mereka hanya mempelajari sisi luar dan sok pamer. Hanya dengan menceburkan diri secara total ke dalam tari (tubuh dan jiwa / sisi luar dan dalam) maka seseorang akan menemukan spirit butoh.
            Ketika seseorang menghubungkan tubuhnya dalam aktivitas tari yang sesunggunya maka ia akan benar-benar merasakan apa yang disebut dengan penderitaan. Perlu disadari bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup kita. Tidak peduli berapa banyak kita menggali pengalaman ini dari luar, tidak akan ada artinya jika kita tidak menyelidiki dan menggali secara seksama dalam diri kita sendiri. Kita memang sudah menderita sejak dilahirkan, untuk itu apa gunanya menjadi penari profesional jika hanya menuruti pandangan orang? Kalau seseorang dapat hidup damai dengan menjadi petani, apakah itu belum cukup?
            Spirit Butoh, mencoba mengurai hal-hal di atas dengan seksama dan intens. Seorang penari tidak harus menari seperti apa yang dikehendaki orang atau seperti apa sebaiknya ia bergerak. Tari yang sesungguhnya ada bersemayam dalam diri si penari. Dengan memahami penderitaan, pengalaman-pengalaman penolakan, dan karakter-karakter yang berlawanan maka seseorang akan menemukan esensi Butoh.

Kekinian, Ketakutan, dan Keyakinan

            Hidup yang sesungguhnya adalah saat ini. Kita harus mengerjakan apa yang perlu dikerjakan saat ini dan tidak boleh terlalu lama berada dalam satu keadaan dan situasi tertentu. Hidup adalah bergerak. Terlalu lama berdiam akan menghasilkan kelelahan. Bagi anak-anak, waktu yang ada hanyalah saat ini. Karena itu mereka tidak pernah merasa takut. Ketakutan hanya akan memenjarakan diri dan tugas kita adalah membebaskannya.
            Penderitaan diciptakan oleh orang dewasa yang tidak dapat hidup dengan rasa takut. Penari yang mengikuti spirit Butoh akan melawan rasa takut alamiah yang ada dalam dirinya. Melawan rasa takut adalah mengenali rasa takut itu sendiri, hidup di dalamnya, dan memiliki pengalaman dengannya. Penari Butoh, belajar mengatasi rasa takut dengan latihan-latihan keras dan bentuk-bentuk yang tidak mengenakkan. Sekali jatuh, seorang Butoh harus bangkit lagi. Latihan-latihan yang biasa tidak memberikan pengalaman semacam ini. Spirit Butoh mengajarkan bahwa kegelapan lebih memberikan makna daripada cahaya yang terang. Seseorang tidak bisa memahami terang jika tidak tahu bagaimana rasanya gelap.
            Semangat tersebut, akan terus terpelihara dan melahirkan keyakinan diri yang kuat. Dengan mengenali keraguan dan ketakutan, keyakinan tumbuh kuat dan menancapkan akarnya ke dalam jiwa. Penari yang yakin (dengan dirinya sendiri) akan menghadirkan keseluruhan dirinya dalam setiap karya tanpa harus terbelenggu oleh ukuran baik dan benar, indah dan jelek atau berbagai ukuran apapun yang sering digunakan. Keyakinan penari Butoh memberikan energi kuat dan harapan besar dalam sebuah karya yang besar. Untuk mencapai hal tersebut Tatsumi Hijikata memberikan wawasan;

Jangan surutkan langkahmu, ambilah langkah raksasa!
Seseorang harus percaya pada energi diri yang lahir dari rahim keraguan.
Seseorang tidak boleh hanya sekedar menjadi bonsai.
Percayalah pada energimu sendiri dan jangan biarkan dipengaruhi orang lain.

(*****)


Diterjemahkan secara bebas oleh Eko Santosa dari:
Hijikata, Tatsumi, “Man, Once dead, crawl back!’, Butoh: Shades of Darkness”,  dalam Huxley, Michael, Noel Witts, ed., The Twentieth Century Perormance Reader, Routledge, London, 1996.

1 komentar:

  1. tulisan ini sangat bagus, selain saya bisa mencari inspirasi tentang tugas akhir saya mengenai tarian butoh lebih dari itu saya mendapati hal baru dan pandangan baru tentang tarian butoh dan pandangan baru tentang rasa sakit, perasaan tidak menyenangkan, tubuh yang terbelenggu dan hal-hal yang paling dihindari manusia yaitu penderitaan. terima kasih

    BalasHapus